Oleh Iswan Sual
Dengan keseriusan yang mendalam,
ditemani secangkir teh dan kue cucur, aku membaca berita-berita dari sebuah harian
lokal. Harian yang kentara dengan dua hal saja: kriminal dan seks. Gambar orang
yang mengenaskan dan memanaskan mendominasi lembar demi lembarnya. Menurutku
berita-berita yang disuguhkan di situ bukanlah berita. Prosentase terbesarnya
adalah kejadian yang dilebih-lebihkan. Antara fiksi dan nonfiksi
perbandingannya adalah 80 % dan 20%. Walaupun tahu kebohongan itu, terus saja aku
membaca. Siapa tahu, tulisan-tulisan itu dapat dijadikan inspirasi untuk
karya-karyaku nanti.
Di petang itu, matahari seakan
menunda tenggelamnya karena ikut terlena bersamaku. Tiba-tiba telepon genggamku
berderit-derit. Begitu kutekan tombol tanda terimanya, terdengar suara lembut
seorang gadis di ujung telepon. Tak pernah terpikirkan olehku si penelepon itu akan
melakukan itu setelah apa yang pernah aku lakukakan padanya.
“Halo kak!”
“Halo, sapa ini?” kataku dengan kernyitan pada dahi.
“Eh, pe sombong! Masa so lupa.”
Ku coba menerka-nerka dalam kepala.
Memang suara itu tidak asing di pendengaranku. Hanya saja akhir-akhir ini tak
lagi pernah ku dengar. Suaranya yang mendayu-dayu mengorek masa laluku, empat
atau lima tahun yang lalu. “Ah pasti dia! Takkan keliru. Itu pasti Hartina,”
aku memastikan.
“Eh tumben telepon. Tau dari mana kita pe nomor?”
“Memangnya so tau sapa kita?”
“Haaartina to? Dari mana ngana tau kita pe nomor?”
“Ih kakak, kalu nda suka orang tahu tu nomor, jang taru di
feisbuk dang,” katanya sinis. Aku jadi malu sendiri.
“Oh io kang. Kyapa ngana telpon pa kita?”
Kyapa ngana telpon. Kutanyakan sekali lagi pertanyaan
itu. Aku heran dia mau mencari kabarku. Padahal aku sama sekali tak peduli padanya.
Perasaanku campur aduk. Kami terus saja ngobrol. Tak sedikitpun disinggungnya
soal masa lalu kami yang sangat menyakitkan bagi dia. Anehnya, dia malah
melarangku membicarakan itu. Sebenarya aku mencoba mengingatkannya supaya aku
mendapat kesempatan untuk memohon maaf. Dia malah menimpali, “Tak ada yang
perlu dimaafkan, kak. Yang sudah terjadi, terjadilah. Lagipula, kita tidak
dapat merubah sesuatu menjadi lebih baik dengan terusan saja menyesalinya.”
Begitu menusuk kata-kata itu. Aku jengah. Malu. Malu pada seorang yang terus
memanggilku kakak. Begitu hormatnya dia padaku meskipun aku telah merenggut
kesucianya dan meninggalkannya.
“Kak, torang baku dapa kwa,” katanya bak sengatan kelabang
yang tiba-tiba.
“For apa? Ngana mo lebe kecewa mo lia kita pe keadaan
sekarang. Kita so nda gaga. Kita bukang lagi orang yang pantas ngana mo beking
idola.”
“Hahaha…kakak…kakak. Masih saja seperti dulu. Walaupun kakak
dulu playboy, tapi tetap saja rendah hati. Kak, kita serius. Torang baku dapa
ne?”
“Ngana dimana?”
“Kita di Jakarta. Mar besok kita pulang. Plis…ada yang
penting torang dua mo bacirita…hehehe. Besok…bole to? Plis…plis…”
Keramahannya tidak membuatku senang.
Malah semakin membuatku merasa bersalah dan penasaran. Terbesit dalam benak akan
ada pembalasan dalam pertemuan yang dia rencanakan itu.
“Nanti bacirita ulang jo. Kita nda bisa pastikan kalu torang
bisa bakudapa.”
“Kak, tenang jo kwa. Kita nda mo bajahat. Tolong ne, datang.”
Telepon ditutup. Pertanyaan demi
pertanyaan muncul bergantian. Kebanyakkan tak bisa kujawab. Ada apakah
gerangan? Kenapa dengan tiba-tiba dia menghubungiku untuk bertemu? Aneh bin
ajaib. Dulu, setelah madunya aku hisap semua, dia kutinggalkan begitu saja. Tak
sedikitpun kuanggap dia berharga dalam hidupku waktu itu. Kini, dia datang
dengan senyuman manis. Sungguh tak masuk di akal. Pembalasan lebih kejam
daripada perbuatan. Biasanya itu yang berlaku. Tapi, kenapa ini rupanya
berbeda? Tapi apa boleh buat, aku harus menemuinya. Aku harus
mempertanggungjawabkan semua perbuatanku. Inilah kesempatanku untuk memperbaiki
semua kerusakan yang telah aku lakukan padanya. Apa yang akan terjadi,
terjadilah.
***
Bayangan tentang rupa dia, ternyata
tak salah sedikitpun. Dia sudah berubah. Penampilannya sangat jauh berbeda
denganku. Dia terlihat sejahtera. Pakaiannya dibuatnya sederhana, namun tetap
saja bergelimang mewah dari kaki hingga kepala. Sedangkan aku, apa yang terbaik
dari lemari pakaian, itu yang kukenakan. Tapi, tetap saja kelihatan seperti
seorang gembel. Antara aku dan dia serupa bumi dan langit perbandingannya.
“Ayo,” katanya lembut sambil menyentuh pundakku. Kami masuk
semua café remang-remang. Solaria dulu tempat aku dan teman-teman mengadakan
pertemuan. Disini kami banyak berdiskusi mengenai teori-teori yang tak berguna
sama sekali ketika kami terjun ke dunia nyata. Di sini juga kami menyusun
rencana awal untuk demonstrasi sebagai bentuk pendampingan kepada masyarakat
kota Manado yang menjadi korban penggusuran brutal oleh Polisi Pamong Praja.
Banyak masyarakat yang dibohongi dan bahkan dipentungi karena tetap bertahan.
Mereka bertahan untuk mengais nafkah hidup. Pemerintah malah lebih mengutamakan
pengusaha besar yang berduit banyak daripada pengusaha kelas ikang puti
yang cari sehari makan sehari.
“Torang mo bicara apa, Hartina?” kataku mendesak.
“Pesan dulu kwa. Pesan jo apa yang kak suka. Makanan, minuman
apa jo. Kita traktir hehehe,” celotehnya enteng.
Aku diam dalam kebingungan. Kupikir
keramahannya hanya akan berlaku sewaktu di telepon. Sangkaanku keliru. Hingga
di tempat ini pun dia terus bersikap ramah dan superbaik padaku. Aku jadi
seperti orang dungu di depannya. Barangkali ini adalah kutukan dari Tuhan
atasku karena aku banyak bualannya ketika masih sama-sama dengan dia dulu.
“Aku pesan ini saja,” kataku sambil mengeserkan buku menu ke
arah Hartina.
“Hi, kyapa cuma capoccino? Emang, kak nda lapar. Jao-jao
kamari dari kampung cuma mo minum. Kakak musti makan, kita tulis jo tre. Kakak
ini bagimana,” cepat-cepat dia menulis beberapa item nama makanan dan minuman
atas namaku.
“Hartina…!”
Langkah kaki Hartina tak sanggup
kucegah. Dia telah pergi ke meja kasir untuk mengonfirmasi pesanannya. Dia
kembali dengan wajah berseri. Seperti saat kami bertemu di lobi tadi. Dia
berusaha menghiburku dengan kata-katanya. Semakin dia melakukan itu, aku kian
merasa akan ada hal luar biasa mengagetkan yang akan aku dengar dan lihat
sebentar lagi. Kupikir, dia sedang menunda semua sumpah serapah dan segala
tetekbengek yang sesungguhya yang harus dia lakukan. “Aku siap. Lakukan saja
Hartina. Aku siap menanggung semuanya. Seberat dan seburuk apapun,” gumamku.
“Kak, ayo makan. Tenang, semua ini kita yang bayar. Kakak nda
usah repot. Habiskan…hahaha.”
Guyonannya kubalas dengan senyum
tipis. Tapi dia kelihatan tenang-tenang saja. Dia bebas dari beban. Santai. Dia
pun makan dengan lahap. Padahal, dia tidak sebegitu pelahap sewaktu kami masih
sama-sama dulu. Separuh dari nasi di piringnya, selalu saja dia berikan padaku.
Dia malah beberapa kali tak makan dengan alasan diet. Itu hal aneh yang pernah
kutemui. Sudah ramping dan langsing tapi mengekang mulut untuk makan. Dulu, itu
aku tak pedulikan. Tak menjadi persoalan penting bagiku.
Sekarang Hartina memiliki hidup yang
disiplin. Badannya yang terurus dan pakaiannya yang rapih menunjukkan
bukti-bukti itu. Maklumlah, dia bekerja di perusahaan penerbangan terbaik
Indonesia. Sedangkan aku hanyalah seorang pemanjat kelapa yang sewaktu-waktu
jatuh dari udara tanpa jaminan asuransi perusahaan. Padahal, orang-orang
seperti kamilah yang menyongkong bahan pangan orang-orang kota.
Namun, aku sedikit bahagia. Dia tentu
tak akan pernah mewujudkan cita-citanya menjadi pramugari bila aku serius
mencintainya lalu kammi sampai ke jenjang pernikahan. Pasti dia akan turut
dalam kemelaratan bersamaku.
“Kak, kita jalan yuk,” kata Hartina sambil mengambil tasnya
yang berwarna pink bercampur putih susu.
Ponselnya yang berukuran besar juga
punya warna serupa dengan tas. Kini dia berdiri tepat di sampingku sambil
menyentuh pundak sekali lagi. Tubuhnya kian berbentuk. Lebih elok daripada
tubuh yang pernah aku peluk dulu. Kusadari dia memiliki lebih banyak keunggulan
fisik dari Happy Salma. Keinginan berahiku mencuat namun terlampau kuat
kukekang. “Jangan pernah berharap lagi gembel!” kataku dalam diam.
“Mo kamana torang?”
“Ke tempat dimana kakak akan dijagal. Di situlah aku akan
membalaskan dendamku…hahaha… Aku bercanda. Ikut saja kak. Kita akan mencari
tempat yang lebih aman untuk bicara. Kakak tidak keberatan kan?”
***
Aku tak pernah menyangka kalau kini
Hartina telah benar-benar berubah dalam banyak hal. Bukan hanya dalam penampilan
fisik dan kelakuan. Tak pernah terpikir kalau aku baru saja naik dan turun dari
mobil sedan berwarna putih miliknya. Aku juga tak pernah membayangkan kalau dia
akan membawaku ke rumahnya yang mewah di perumahan Real Estate Citra Land. Tak
pernah lewat dalam benakku dia akan membiarkan seorang gembel nun jahat sepertiku
mencicipi kemewahan yang dia peroleh dengan keringatnya sendiri. Apakah ini
adalah bentuk balas dendam yang dia maksudkan? Apakah ini semua menjelaskan
padaku bahwa seorang korban seperti dia telah diangkat oleh Tuhan dan telah
diberikan kehidupan yang lebih baik daripada orang yang telah merusak
kehidupannya di masa silam? Kalau itu tujuannya, aku sudah menderita jauh
sebelum dia menelponku kemarin. Bahkan hari itu saja, hari dimana aku
mencampakkanya, siksa dari balasan itu sudah kurasakan. Tapi rupanya ini adalah
puncak dari semua itu. Aku siap Tuhan. Balaskan dendamnya setimpal dengan semua
kebejatanku.
“Kak, apa kakak sudah memiliki seorang istri?”
“Kenapa kamu bertanya seperti itu Hartina? Terus terang,
setelah apa yang pernah aku lakukan padamu, aku tak lagi punya keberanian untuk
berangan memiliki seorang istri. Aku rasa, aku tak pantas dianugerahi seorang
wanita. Dosaku terlalu banyak pada perempuan.”
Hartina meraih tanganku. Air mata
mengalir deras dari matanya. Semakin erat dia meremas tanganku. Dia tertunduk
sesenggukan. Aku tak mengerti. Sangat runyam untuk kupahami.
“Kak, kita nda perna baharap cinta lagi dari kakak. Samua
yang perna kak kase so cukup mo se sadar pa kita kalu kita ini cantik. Samua
yang perna kakak kase, walaupun itu stenga pura-pura, so cukup beking kita rasa
apa depe arti menjadi seorang gadis yang dicintai. Kita blajar, kalu kita lei
sayang pa kakak, berarti kita musti kase kebebasan pa kakak for mo dapa apa yang
kakak rasa bagus. Kita memang manangis, waktu kakak kase tinggal dulu. Mar kita
nda perna binci pa kak. Kita kase biar kakak pigi mo cari kakak pe cinta sejati
supaya kakak bahagia. Tantu, kita senang kalu kakak bahagia. Kebahagiaan kakak
adalah kita pe kebahagiaan juga.”
Aku menunduk malu. Tak pantas aku
mendongak dan menghapus air matanya yang terlalu suci untuk kujamah. Dia
sempurna. Dia adalah malaikat. Bagaimana bisa aku tak mengenalnya sedari awal?
Aku telah menyia-nyiakan sebuah cinta sejati.
***
Setahun kemudian aku menikah dengan
seorang gadis di kampungku. Dia tidak memiliki pendidikan tinggi namun ada
padanya kepribadian yang serupa dengan Hartina. Namanya Hermita. Gadis yang
berkulit agak gelap. Tubuhnya semampai. Cantiknya tiada bandingan. Kusuma desa.
Ya, bunga desa.
Pertemuan aku dan Hermita pun mirip
pertemuanku dengan Hartina. Sekarang aku dan Hermita tinggal di perumahan Citra
Land. Semua harta dan kepunyaan Hartina dia wariskan padaku pada saat kami
bertemu tahun lalu. Dia memberikan semua surat-surat tanah, rumah, serta kendaraan
yang tertulis atas namaku. Juga dua café yang terletak di kawasan Mega Mas. Rupanya
dia bekerja bertahun-tahun demi aku yang telah menyia-nyiakannya. Sulit untuk
memahami pikiran dan perasaannya padaku. Namun yang pasti, dia mencintaiku
dengan segenap jiwa dan raga.
Setiap minggu aku mengunjungi
kuburannya. Dia meninggal dalam kecelakaan pesawat di atas wilayah Makassar
sehari sesudah pertemuan kami. Dia telah tahu dengan pasti kapan malaikat maut
akan menjemputnya. Air mataku tak terbendung
setiap kali aku meziarahi makamnya. Pada batu nisannya tertulis:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar