Jumat, 03 Mei 2013

BAGORO



Sebuah Cerpen oleh Iswan Sual, S.S

Dalam undangan diwajibkan kami harus berpakaian rapih- putih hitam. Lengan panjang berdasi. Jam 11.30 sudah harus di gedung Waleta. Undangan yang ditandangani camat Arindo berisi pesan yang sangat meyakinkan. Perasaan terhormat bersemayam dalam hati kami. Walau hanya di tingkatan kampung, kami adalah anggota legislatif. Anggota Badan Permusyawaratan Desa.
Mengingat acara ini penting dan bersejarah kami pun bersiap secara maksimal. Mobil Avansa carteran kami booking sehari sebelum hari H. Disepakati  ongkosnya Rp. 250.000. Sudah termasuk bensin dan sewa sopir. Jam keberangkatan kami pastikan ke ehnar, pemilik kendaraan, adalah 09.00 WITA.
***
Semenjak subuh hujan mengguyur. Hanya satu-satu orang terlihat lewat di depan rumah. Hanya mereka yang berprofesi sebagai ma’gula. Air yang ditampung semalam dengan berani kusiramkan ke tubuhku. Belum menyentuh kulit dinginnya telah merasuk hingga sumsum. Serasa mengoyak-ngoyak jantung. Waktu mandi kupersingkat hanya lima menit. Waktu tercepat seumur-umur hidupku. Hal biasa bagi orang Australia. Siswa kursusku, namanya Gledys, mengaku bahwa dia terbiasa mandi hanya selama lima menit. Dengan air seember. Menurut penuturannya, itulah salah satu cara pemerintah mengajar masyarakatnya menghemat air. Walaupun, sebenarnya Australia termasuk negara limpah air.
Kemeja putih dipadu celana panjang hitam sudah membalut tubuh. Air sedingin es serasa masih melekat pada daging. Jaket hitam kutambahkan membungkus tubuh yang terus bergetar bak sedang berjuang menahan tantangan musim salju di Amerika Utara.
“Pep…pep….,” bunyi klakson melengking menembus curah hujan yang lewat.
Jendela rumah kami kubuka lebar sambil menunjukkan setengah badan sebagai tanda bahwa aku telah siap untuk berangkat. Kututup lagi jendela. Diikuti tangan menarik sebuah tas carrier. Sebelum melewati pintu kuikat tali sepatu yang telah terurai panjang. Ayah menemaniku dengan payung berlari kecil bersama hingga ke pintu mobil berwarna perak yang terparkir di bawah pohon rambutan di depan rumah kami yang mungil nan tua. Sudah reyot lagi!
Aku adalah orang kedua yang menaiki mobil. Sopir menjemput aku pertama-tama agar dapat menunjuk jalan, siapa-siapa anggota Badan Permusyawaratan Desa yang akan ikut. Kusarankan agar kami mulai dengan menjemput satu anggota di kampung baru, Lumopa. Kira-kira lagijam Sembilan mobil telah selesai melaksanakan tugas penjemputan. Hujan masih terus mengguyur. Kepada sopir kami menyarankan untuk menembus guyuran supaya tidak terlambat dan melewatkan acara kenegaraan di aula kantor bupati.
Rasa mual muncul disebabkan oleh bau mobil plus kecepatannya. Mobil yang kami tumpangi tiba tepat waktu. Sayangnya, ketepatan dalam soal waktu tak mendapat sambutan hangat dari panitia atau apapun. Baru beberapa orang yang berada di gedung Waleta. Secara harafia Waleta (bahasa Tontemboan) berarti rumah kita. Sayangnya kami justru diperlakukan tidak hormat di rumah sendiri. Bupati menganggap itu rumahnya. Sang tuan rumah yang mengundang kami belum menunjukkan batang hidungnya sekalipun. Sekarang hujan sudah meredah. Gantian perut yang tak hentinya menggemuruh. Begitu kepala desa datang, kami langsung didesaknya menuju kota Tumpaan untuk makan. Kurang lebih satu jam kami di sana. Menikmati berbagai jenis menu, nasi, rangksak, babi kecap, ragei, sayur pahit, kolombi, bia, dan kacang goreng.
Bagi pemalu, pasti tak akan menambah sampai tiga kali. Dan terbukti saya dan dua orang lain sangat tidak tahu malu. Semua yang digelar di depan kami terlahap habis. Sampai perut hampir mau pecah. Bernafaspun menjadi susah. Segera sesudah itu kami kembali ke Waleta.
Rombongan manusia dalam jumlah besar terlihat memenuhi ruangan luas. Kursi-kursi tak satupun menganggur. Lautan manusia menciptakan suara riuh layaknya hujan deras dan lebat menghantam atap. Kami berdiri bingung mencari tempat untuk menaruh pantat. Lama berdiri membuat kaki terasa nyeri. Lima menit kemudian datang kursi-kursi plastik berwarna kuning. Sesuai warna partai Bupati. Padahal seharusnya bila sudah menjadi pelayanan masyarakat, tak perlu lagi menampakkan warna partai.
Kami pun duduk. Sekarang sudah jam 03.00 sore. Lautan manusia mulai kepanasan dan siap-siap menguap. Waktu serasa berjalan begitu lambat meskipun terus kami isi dengan bincang-bincang penuh lelucon. Ibu bupati, belum datang juga. Ibarat cengkeh, kami hampir matu’, kering. Ponsel kukeluarkan dari saku celana depan. Kuaktifkan akun jejaring sosialku. Pada wall Facebook tertulis status teman: Dasar! Pejabat selalu terlambat! Aku hanya tersenyum dan melayangkan pandang ke semua jurusan. Coba memindai siapa tahu orang itu dekat dengan kami. Tapi tak kutemukan.
“Bapak ibu sekalian sebagai keanggotaan BPD harap perhatikan. Kita akan gladi….” Kata seorang bapak dengan wajah seratus persen percaya diri. Berkali-kali dia menggunakan kata keanggotaan dalam kalimat yang seharusnya diisi dengan kata anggota. Barangkali kata ini lagi populer di lingkungan kantor bupati. Atau bisa saja  PNS yang berderet-deret dengan gelar dan bertingkat-tingkat pangkatnya kurang membaca Ejaan Yang Disempurnakan untuk bisa berbicara bahasa Indonesia yang baik dan benar.
“ ‘Pada saat saya bertanya apakah saudara  bersedia disumpah?’ dengan kompak bapa-ibu harus menjawab ya. Lalu, ‘Dengan agama apa?’ Bersamaan dan berurutan masing-masing pemeluk agama menjawab, “Kristen! Katolik! Islam!”
Suara nyaring terkesan sekali dibuat-buat oleh MC. Berkali-kali dia mengingatkan kami agar berdiri tegap. Yang menjengkelkan dan membosankan adalah berdiri lalu duduk, berdiri lagi lalu duduk lagi. Menurut MC kami harus serius karena itu acara resmi. Itu aku setujui. Tapi cara dia bicara pada kami itu terlampau meremehkan.
Selain itu dia juga bicara ke orang-orang di luar ruangan. Kalau dihitung-hitung, lebih dari sepuluh kali microphone digunakannya pula untuk mengingatkan agar tamu yang datang tidak memarkir kendaraan di depan gedung Waleta. Berkali-kali juga diundang agar rohaniwan mengambil tempat di depan. Riuh kian memekakan telinga. Orang-orang mengeluhkan soal panasnya udara. Aku berusaha tenang-tenang saja. Karena kalau banyak bergerak udara akan tambah panas. Aku tak mau mandi keringat. Akan menimbulkan bau tak sedap.
“Hadirin sekalian kita sambut Bupati kita, Ibu Christy Eugenia Paruntu, SE.”
Kerumunan dengan spontan membalikkan badan melihat Bupati yang datang sangat terlambat itu. Tetapi dia masih berani senyum dan menyapa. Dasar! Pejabat selalu mau ditunggu. Tak bisa menjadi panutan dalam hal ketepatan waktu.  Tidak sedikit respek buatnya dariku. Bukanya berdiri, aku malah duduk-duduk saja. Beberapa orang lain juga begitu.
“Bukang main torang pe Bupati ini. Lama sekali dia bahodeng! Dia anggap torang klapa yang mo fufu! Emplas malo tatawa lei!” teriak seorang pria dalam keriuhan. Aku hanya duduk diam. Percuma mengomel. Bisa saja yang salah adalah panitianya. Kebiasaan panitia, bila mengharapkan orang datang jam dua belas, mereka akan menulis di undangan bahwa acara jam sembilan. itu karena orang Indonesia cenderung gunakan jam bagoro. Tapi, tentu orang yang tepat waktu akan merasa dilecehkan karena merasa dibohongi.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar