Sebuah Cerpen oleh Iswan
Sual, S.S
Dalam
undangan diwajibkan kami harus berpakaian rapih- putih hitam. Lengan panjang
berdasi. Jam 11.30 sudah harus di gedung Waleta. Undangan yang ditandangani
camat Arindo berisi pesan yang sangat meyakinkan. Perasaan terhormat bersemayam
dalam hati kami. Walau hanya di tingkatan kampung, kami adalah anggota
legislatif. Anggota Badan Permusyawaratan Desa.
Mengingat
acara ini penting dan bersejarah kami pun bersiap secara maksimal. Mobil Avansa
carteran kami booking sehari sebelum hari H. Disepakati ongkosnya Rp. 250.000. Sudah termasuk bensin
dan sewa sopir. Jam keberangkatan kami pastikan ke ehnar, pemilik
kendaraan, adalah 09.00 WITA.
***
Semenjak
subuh hujan mengguyur. Hanya satu-satu orang terlihat lewat di depan rumah.
Hanya mereka yang berprofesi sebagai ma’gula. Air yang ditampung semalam
dengan berani kusiramkan ke tubuhku. Belum menyentuh kulit dinginnya telah
merasuk hingga sumsum. Serasa mengoyak-ngoyak jantung. Waktu mandi kupersingkat
hanya lima menit. Waktu tercepat seumur-umur hidupku. Hal biasa bagi orang
Australia. Siswa kursusku, namanya Gledys, mengaku bahwa dia terbiasa mandi
hanya selama lima menit. Dengan air seember. Menurut penuturannya, itulah salah
satu cara pemerintah mengajar masyarakatnya menghemat air. Walaupun, sebenarnya
Australia termasuk negara limpah air.
Kemeja
putih dipadu celana panjang hitam sudah membalut tubuh. Air sedingin es serasa
masih melekat pada daging. Jaket hitam kutambahkan membungkus tubuh yang terus
bergetar bak sedang berjuang menahan tantangan musim salju di Amerika Utara.
“Pep…pep….,”
bunyi klakson melengking menembus curah hujan yang lewat.
Jendela rumah
kami kubuka lebar sambil menunjukkan setengah badan sebagai tanda bahwa aku
telah siap untuk berangkat. Kututup lagi jendela. Diikuti tangan menarik sebuah
tas carrier. Sebelum melewati pintu kuikat tali sepatu yang telah
terurai panjang. Ayah menemaniku dengan payung berlari kecil bersama hingga ke
pintu mobil berwarna perak yang terparkir di bawah pohon rambutan di depan
rumah kami yang mungil nan tua. Sudah reyot lagi!
Aku adalah
orang kedua yang menaiki mobil. Sopir menjemput aku pertama-tama agar dapat
menunjuk jalan, siapa-siapa anggota Badan Permusyawaratan Desa yang akan ikut.
Kusarankan agar kami mulai dengan menjemput satu anggota di kampung baru,
Lumopa. Kira-kira lagijam Sembilan mobil telah selesai melaksanakan tugas
penjemputan. Hujan masih terus mengguyur. Kepada sopir kami menyarankan untuk
menembus guyuran supaya tidak terlambat dan melewatkan acara kenegaraan di aula
kantor bupati.
Rasa mual
muncul disebabkan oleh bau mobil plus kecepatannya. Mobil yang kami tumpangi
tiba tepat waktu. Sayangnya, ketepatan dalam soal waktu tak mendapat sambutan
hangat dari panitia atau apapun. Baru beberapa orang yang berada di gedung
Waleta. Secara harafia Waleta (bahasa Tontemboan) berarti rumah kita. Sayangnya
kami justru diperlakukan tidak hormat di rumah sendiri. Bupati menganggap itu
rumahnya. Sang tuan rumah yang mengundang kami belum menunjukkan batang
hidungnya sekalipun. Sekarang hujan sudah meredah. Gantian perut yang tak
hentinya menggemuruh. Begitu kepala desa datang, kami langsung didesaknya
menuju kota Tumpaan untuk makan. Kurang lebih satu jam kami di sana. Menikmati
berbagai jenis menu, nasi, rangksak, babi kecap, ragei, sayur pahit, kolombi,
bia, dan kacang goreng.
Bagi pemalu,
pasti tak akan menambah sampai tiga kali. Dan terbukti saya dan dua orang lain
sangat tidak tahu malu. Semua yang digelar di depan kami terlahap habis. Sampai
perut hampir mau pecah. Bernafaspun menjadi susah. Segera sesudah itu kami
kembali ke Waleta.
Rombongan
manusia dalam jumlah besar terlihat memenuhi ruangan luas. Kursi-kursi tak
satupun menganggur. Lautan manusia menciptakan suara riuh layaknya hujan deras
dan lebat menghantam atap. Kami berdiri bingung mencari tempat untuk menaruh
pantat. Lama berdiri membuat kaki terasa nyeri. Lima menit kemudian datang
kursi-kursi plastik berwarna kuning. Sesuai warna partai Bupati. Padahal
seharusnya bila sudah menjadi pelayanan masyarakat, tak perlu lagi menampakkan
warna partai.
Kami pun
duduk. Sekarang sudah jam 03.00 sore. Lautan manusia mulai kepanasan dan
siap-siap menguap. Waktu serasa berjalan begitu lambat meskipun terus kami isi
dengan bincang-bincang penuh lelucon. Ibu bupati, belum datang juga. Ibarat
cengkeh, kami hampir matu’, kering. Ponsel kukeluarkan dari saku celana
depan. Kuaktifkan akun jejaring sosialku. Pada wall Facebook tertulis
status teman: Dasar! Pejabat selalu terlambat! Aku hanya tersenyum dan melayangkan
pandang ke semua jurusan. Coba memindai siapa tahu orang itu dekat dengan kami.
Tapi tak kutemukan.
“Bapak ibu
sekalian sebagai keanggotaan BPD harap perhatikan. Kita akan gladi….” Kata
seorang bapak dengan wajah seratus persen percaya diri. Berkali-kali dia
menggunakan kata keanggotaan dalam kalimat yang seharusnya diisi dengan
kata anggota. Barangkali kata ini lagi populer di lingkungan kantor
bupati. Atau bisa saja PNS yang
berderet-deret dengan gelar dan bertingkat-tingkat pangkatnya kurang membaca
Ejaan Yang Disempurnakan untuk bisa berbicara bahasa Indonesia yang baik dan
benar.
“ ‘Pada
saat saya bertanya apakah saudara
bersedia disumpah?’ dengan kompak bapa-ibu harus menjawab ya. Lalu,
‘Dengan agama apa?’ Bersamaan dan berurutan masing-masing pemeluk agama
menjawab, “Kristen! Katolik! Islam!”
Suara
nyaring terkesan sekali dibuat-buat oleh MC. Berkali-kali dia mengingatkan kami
agar berdiri tegap. Yang menjengkelkan dan membosankan adalah berdiri lalu
duduk, berdiri lagi lalu duduk lagi. Menurut MC kami harus serius karena itu
acara resmi. Itu aku setujui. Tapi cara dia bicara pada kami itu terlampau
meremehkan.
Selain itu
dia juga bicara ke orang-orang di luar ruangan. Kalau dihitung-hitung, lebih
dari sepuluh kali microphone digunakannya pula untuk mengingatkan agar
tamu yang datang tidak memarkir kendaraan di depan gedung Waleta. Berkali-kali juga
diundang agar rohaniwan mengambil tempat di depan. Riuh kian memekakan telinga.
Orang-orang mengeluhkan soal panasnya udara. Aku berusaha tenang-tenang saja.
Karena kalau banyak bergerak udara akan tambah panas. Aku tak mau mandi
keringat. Akan menimbulkan bau tak sedap.
“Hadirin
sekalian kita sambut Bupati kita, Ibu Christy Eugenia Paruntu, SE.”
Kerumunan
dengan spontan membalikkan badan melihat Bupati yang datang sangat terlambat
itu. Tetapi dia masih berani senyum dan menyapa. Dasar! Pejabat selalu mau
ditunggu. Tak bisa menjadi panutan dalam hal ketepatan waktu. Tidak sedikit respek buatnya dariku. Bukanya
berdiri, aku malah duduk-duduk saja. Beberapa orang lain juga begitu.
“Bukang
main torang pe Bupati ini. Lama sekali dia bahodeng! Dia anggap torang klapa
yang mo fufu! Emplas malo tatawa lei!” teriak seorang pria dalam keriuhan. Aku
hanya duduk diam. Percuma mengomel. Bisa saja yang salah adalah panitianya.
Kebiasaan panitia, bila mengharapkan orang datang jam dua belas, mereka akan
menulis di undangan bahwa acara jam sembilan. itu karena orang Indonesia
cenderung gunakan jam bagoro. Tapi, tentu orang yang tepat waktu akan
merasa dilecehkan karena merasa dibohongi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar