Jumat, 03 Mei 2013

BRENTI JO BAGATE



Sebuah Novel Oleh Iswan Sual, S.S

Jam dinding tak bergerak.  Namun, setelah kurogoh ponsel dalam kantong celana jins tebal kutahu sekarang jam telah menunjukkan pukul 16.13. Bertumpuk-tumpuk tugas mahasiswa (makalah, laporan) kutaruh disamping laptop putih pucat bermerek Axio. Ibu Noni, pegawai yayasan, memberiku beberapa lembar kertas formulir untuk diisi. Katanya untuk keperluan melengkapi data universitas.
Lalu masuklah enam orang berpakaian rapih. Usia setengah baya. Bersepatu semir mengkilap. Diikuti seorang mahasiswa dengan kantong plastik berisi beberapa benda yang menyerupai botol. Benar. Setelah dikeluarkan isinya kutahu bahwa ada dua botol bir merk Guinness, sebotol bir bintang, sebotol Kasegaran, satu botol cocacola dan lainnya. Masing-masing mereka kini memegang sebuah gelas yang tingginya sejengkal. Persis seperti gelas berisi kopi yang ada di sebelah kanan laptopku. Ibu Noni memberinya sejam saat aku tiba di kantor Fakultas Kelautan.
“Bodok ni Fakultas Kelautan! Kalu kita, dorang di atas so musti dieksekusi. Nda ada  istilah mo bilang gabung! Eksekusi jo sampe tatinggal puing-puing. Sebab, selama masi badiri tu gedung-gedung itu, dorang tetap basusuru di situ,” seru  seorang bapak bertubuh bongsor. Potongan rambutnya mirip sadam Husein. Kumisnya mirip milik Andi Malarangeng  atau rifalnya Adiyaksa Daud. Suaranya pun mirip. Yang beda, pria bongsor ini seorang yang setiap hari minggunya berdiri di atas mimbar dengan jubah dan benda berwarna putih bersegih di kerahnya.
Saling bergantian mereka datang menuangkan alkohol ke gelas mirip grem. Bapak-bapak dosen itu melakukan perjamuan tanpa liturgi tak ubahnya orang-orang tak sekolah yang minum-minum di warung-warung. Minuman ditemani tola-tola. Makanan ringan untuk menghilangkan efek sengat alkohol saat ditegak.
“Kalu kita, stuju mo gabung. Asal cuma depe mahasiswa. Dong pe mahasiswa di atas bawa jo kamari kong suru pa dorang beking pengakuan,” seorang pria ganteng beruban pun berkila. Dia pernah kulihat menjadi pemateri di sebuah forum kegiatan pemuda. Waktu itu dengan lancar dia mengurai presentasinya sembari memberi penekanan-penekanan bahwa kompetesi adalah keniscayaan. Aku ngeri saat dia bilang, “Pohon kecil akan dililit habis pohon yang besar. Ikan kecil akan jadi santapan ikan besar.” Seolah tak ada lagi jalan lain untuk menghindari kecenderungan sekarang. Seolah Mapalus telah punah atau usang untuk dipraktekkan. Bagaimana dia bisa bilang bahwa itu adalah keniscayaan. Menurutku, dia hanyalah manusia bodoh yang putus asa. Bukannya memberi penguatan kepada generasi muda. Malah, justru mencoba mencuci otaknya kami dengan konsep pesanan kapitalis.
Aku mengusulkan beberapa pikiran tentang perlunya pemuda mempelajari jati dirinya sebagai orang Minahasa. Dia malah menembakku dengan pertanyaan untuk mempermalukanku di depan khalayak ramai. “Ngana percaya Tuhan to?” tentu saja kesan yang timbul di forum waktu itu adalah bahwa saya berupaya menyuntikan pemikiran-pemikiran Minahasa kuno yang mau mengarahkan orang meninggalkan kekristenan dan kembali ke jaman Wentel.
“Ngoni tau, lalu, waktu dorang pe mahasiswa di atas turun mo tur pelayanan  pa kita pe jemaat, kita trima samua. Pendeta-pendeta laeng heran. ‘Hi kyapa ngana trima pa dorang? Dorang kan Yepeteka? Bagitu pendeta batanya pakita. Kita bilang pa dorang, torang trima. Dorang itu mo babantu pa kita slama dua bulan. Dorang jadi pembantu. Samua se maso di jadwal. Spaya lagi kita bebas pangko-pangko kaki di ruma.” Mendengar itu suasana menjadi riuh. Seisi ruangan dikuasai gelak tawa. Hanya aku dan beberapa mahasiswa lain yang senyum sembari menunduk dan menggeleng pelan.
Semua terbahak-bahak dengan tingkah bicara Adyaksa Daud. Setiap satu kalimat seluruh jari menghadap ke langit memamerkan kuku panjang mirip ma’beris.
“Pendeta, kita da dengar cirita ini. Butul so pendeta perna kase mati teip di mesjid?” tanya seorang lagi.
Dengan mata tajam dan semburan asap keluar dari mulutnya suaranya menggelegar. Sedangkan yang lainnya terus mengunjungi meja dan melayani diri mereka sendiri.
“Di Manado sana kita pe ruma dekat mesjid. Satu kali kita pigi maso kong balia-lia di dalang. Mana kata tu babataria? Kita bilang. Ternyata kote cuma kaset. Bukang ustad. Nyanda orang yang bataria-bataria alawahbar alawahbar! Kong kita se mati no tu teip.”
Gelak tawa pecah lagi menguasai ruangan menyaingi raungan kendaraan yang lalu lalang di jalanan. Sedangkan aku terus pura-pura sibuk dengan leptop.
“Waktu kita dudu di mesjid, datang satu orang. Kong dia bilang, om kyapa begitu? Kong kita bilang, kyapa? Itu torang pe agama? Eh ngana musti tau e. Ni manado ini kota Kristen. Nyanda ada orang Manado asli kong islam!”
Aku kaget mendengar  itu. Kok bisa ya seorang pendeta tak tahu sejarah. Dan sedikitpun tak mau toleransi pada orang dengan kepercayaan lain. Lantang sekali dia bilang Orang Manado asli tak ada yang islam dan bahwa kota Manado adalah kota orang Kristen. Rupanya dia tak tahu bahwa Islam dan agama lain sudah lama masuk ke Wenang (nama kota Manado tempo dulu) jauh sebelum penjajah dari Eropa membawa agama Kristen. Dan rupanya juga dia tak tahu bahwa tak ada yang namanya Manado asli. Kalau ada dasarnya apa? Apa dia juga akan bilang kalau yang asli adalah orang Minahasa? Picik! Padahal Orang Minahasa sudah memiliki agama sebelum Ridel dan Schwars datang menginjakkan kaki mereka di tanah Toar Lumimuut. Walau ajarannya tak tertulis dalam sebuah kitab, namun jelas terpahat dalam benak setiap leluhur kami.
Aku sungguh menyayangkan seorang pendeta sekaligus dosen itu punya pandangan yang sangat chauvinistic.  Aku jadi nek. Apalagi setiap kalimatnya diselipi kata-kata yang tak enak didengar. Pemai, pendo dan cuki selalu mengiringi kalimat demi kalimatnya. Tak pantas kata itu keluar dari seorang pendeta. Aku malu memilki pendeta seperti itu. Rasa-rasanya aku tak tahan lagi. Kalau tugas tidak menahan, sudah lama aku berlalu meninggalkan ruangan. Muak dengan gelagat pendeta seperti itu!
***
Satu per satu teman-temannya pergi. Dengan berbagai alasan yang belum tentu benar. Barangkali, mereka juga pastiu menengar bualan. Atau, mungkin mereka mulai sadar bahwa mahasiswa yang ada dalam ruangan itu memiliki agama yang beragam.
“Woi mo pigi mana ngana? Pemai, sadiki kwa lai. Pendo!” Pendeta berkumis tebal itu mulai tampak mabuk. Tinggal dirinya saja yang duduk. Satu temannya sudah di depan pintu. Mau pergi entah kemana. Mereka mulai insaf dengan perbuatan mereka. Perjamuan tanpa liturgi kini jadi tontonan mahasiswa-anak didik mereka.
Lantunan kidung pujian ilahia terdengar di gedung seberang. Banyak dosen lain sudah bergabung dengan para mahasiswanya. Tinggal dua sejoli mabuk yang belum mengambil tempat di aula di mana ibadah ulang tahun seorang mahasiswa dilaksanakan.
Sungguh bertolak belakang. Tadi, sewaktu lewat di depan gedung polisi terbesar di jalan Bethesda kota Manado, tergerai baliho ukuran luar biasa besar yang bertuliskan “Brenti jo bagate”. Foto gubernur, kapolda dan pendeta juga ada. Namun, praktiknya aparat hukum dan tokoh agama justru keburu menjadi anutan melawan slogan itu. Jangan-jangan slogan itu adalah upaya membunuh petani captikus? Bisa jadi! Siapa tahu ada konspirasi di baliknya.
Aku terus berkutat dengan laptop. Kidung pujian membahana di kejauhan. Adiyaksa Daud dengan mata lima watt mengoceh seorang diri. Temannya duduk diam. Lalu, tiba-tiba beranjak menuju gedung darimana sumber lantunan pujian untuk Tuhan bergema.
“Woi! Pendo! Tunggu kita! Ta mo iko ibadah. Biar cuma mo makang babi putar.”


28 juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar