Sebuah
Novel Oleh Iswan Sual, S.S
Jam dinding
tak bergerak. Namun, setelah kurogoh
ponsel dalam kantong celana jins tebal kutahu sekarang jam telah menunjukkan
pukul 16.13. Bertumpuk-tumpuk tugas mahasiswa (makalah, laporan) kutaruh disamping
laptop putih pucat bermerek Axio. Ibu Noni, pegawai yayasan, memberiku beberapa
lembar kertas formulir untuk diisi. Katanya untuk keperluan melengkapi data
universitas.
Lalu
masuklah enam orang berpakaian rapih. Usia setengah baya. Bersepatu semir
mengkilap. Diikuti seorang mahasiswa dengan kantong plastik berisi beberapa
benda yang menyerupai botol. Benar. Setelah dikeluarkan isinya kutahu bahwa ada
dua botol bir merk Guinness, sebotol bir bintang, sebotol Kasegaran, satu botol
cocacola dan lainnya. Masing-masing mereka kini memegang sebuah gelas yang
tingginya sejengkal. Persis seperti gelas berisi kopi yang ada di sebelah kanan
laptopku. Ibu Noni memberinya sejam saat aku tiba di kantor Fakultas Kelautan.
“Bodok ni Fakultas
Kelautan! Kalu kita, dorang di atas so musti dieksekusi. Nda ada istilah mo bilang gabung! Eksekusi jo sampe
tatinggal puing-puing. Sebab, selama masi badiri tu gedung-gedung itu, dorang
tetap basusuru di situ,” seru seorang
bapak bertubuh bongsor. Potongan rambutnya mirip sadam Husein. Kumisnya mirip
milik Andi Malarangeng atau rifalnya
Adiyaksa Daud. Suaranya pun mirip. Yang beda, pria bongsor ini seorang yang
setiap hari minggunya berdiri di atas mimbar dengan jubah dan benda berwarna
putih bersegih di kerahnya.
Saling bergantian
mereka datang menuangkan alkohol ke gelas mirip grem. Bapak-bapak dosen itu
melakukan perjamuan tanpa liturgi tak ubahnya orang-orang tak sekolah yang minum-minum
di warung-warung. Minuman ditemani tola-tola. Makanan ringan untuk
menghilangkan efek sengat alkohol saat ditegak.
“Kalu kita,
stuju mo gabung. Asal cuma depe mahasiswa. Dong pe mahasiswa di atas bawa jo
kamari kong suru pa dorang beking pengakuan,” seorang pria ganteng beruban pun
berkila. Dia pernah kulihat menjadi pemateri di sebuah forum kegiatan pemuda.
Waktu itu dengan lancar dia mengurai presentasinya sembari memberi
penekanan-penekanan bahwa kompetesi adalah keniscayaan. Aku ngeri saat dia
bilang, “Pohon kecil akan dililit habis pohon yang besar. Ikan kecil akan jadi
santapan ikan besar.” Seolah tak ada lagi jalan lain untuk menghindari
kecenderungan sekarang. Seolah Mapalus telah punah atau usang untuk
dipraktekkan. Bagaimana dia bisa bilang bahwa itu adalah keniscayaan.
Menurutku, dia hanyalah manusia bodoh yang putus asa. Bukannya memberi
penguatan kepada generasi muda. Malah, justru mencoba mencuci otaknya kami
dengan konsep pesanan kapitalis.
Aku
mengusulkan beberapa pikiran tentang perlunya pemuda mempelajari jati dirinya
sebagai orang Minahasa. Dia malah menembakku dengan pertanyaan untuk
mempermalukanku di depan khalayak ramai. “Ngana percaya Tuhan to?” tentu saja
kesan yang timbul di forum waktu itu adalah bahwa saya berupaya menyuntikan
pemikiran-pemikiran Minahasa kuno yang mau mengarahkan orang meninggalkan
kekristenan dan kembali ke jaman Wentel.
“Ngoni tau,
lalu, waktu dorang pe mahasiswa di atas turun mo tur pelayanan pa kita pe jemaat, kita trima samua.
Pendeta-pendeta laeng heran. ‘Hi kyapa ngana trima pa dorang? Dorang kan
Yepeteka? Bagitu pendeta batanya pakita. Kita bilang pa dorang, torang trima.
Dorang itu mo babantu pa kita slama dua bulan. Dorang jadi pembantu. Samua
se maso di jadwal. Spaya lagi kita bebas pangko-pangko kaki di ruma.” Mendengar
itu suasana menjadi riuh. Seisi ruangan dikuasai gelak tawa. Hanya aku dan
beberapa mahasiswa lain yang senyum sembari menunduk dan menggeleng pelan.
Semua terbahak-bahak
dengan tingkah bicara Adyaksa Daud. Setiap satu kalimat seluruh jari menghadap
ke langit memamerkan kuku panjang mirip ma’beris.
“Pendeta,
kita da dengar cirita ini. Butul so pendeta perna kase mati teip di mesjid?”
tanya seorang lagi.
Dengan mata
tajam dan semburan asap keluar dari mulutnya suaranya menggelegar. Sedangkan yang
lainnya terus mengunjungi meja dan melayani diri mereka sendiri.
“Di Manado
sana kita pe ruma dekat mesjid. Satu kali kita pigi maso kong balia-lia di
dalang. Mana kata tu babataria? Kita bilang. Ternyata kote cuma kaset. Bukang
ustad. Nyanda orang yang bataria-bataria alawahbar alawahbar! Kong kita se mati
no tu teip.”
Gelak tawa
pecah lagi menguasai ruangan menyaingi raungan kendaraan yang lalu lalang di
jalanan. Sedangkan aku terus pura-pura sibuk dengan leptop.
“Waktu kita
dudu di mesjid, datang satu orang. Kong dia bilang, om kyapa begitu? Kong kita
bilang, kyapa? Itu torang pe agama? Eh ngana musti tau e. Ni manado ini kota
Kristen. Nyanda ada orang Manado asli kong islam!”
Aku kaget
mendengar itu. Kok bisa ya seorang
pendeta tak tahu sejarah. Dan sedikitpun tak mau toleransi pada orang dengan
kepercayaan lain. Lantang sekali dia bilang Orang Manado asli tak ada yang
islam dan bahwa kota Manado adalah kota orang Kristen. Rupanya dia tak tahu
bahwa Islam dan agama lain sudah lama masuk ke Wenang (nama kota Manado tempo
dulu) jauh sebelum penjajah dari Eropa membawa agama Kristen. Dan rupanya juga
dia tak tahu bahwa tak ada yang namanya Manado asli. Kalau ada dasarnya apa?
Apa dia juga akan bilang kalau yang asli adalah orang Minahasa? Picik! Padahal Orang
Minahasa sudah memiliki agama sebelum Ridel dan Schwars datang menginjakkan
kaki mereka di tanah Toar Lumimuut. Walau ajarannya tak tertulis dalam sebuah
kitab, namun jelas terpahat dalam benak setiap leluhur kami.
Aku sungguh
menyayangkan seorang pendeta sekaligus dosen itu punya pandangan yang sangat chauvinistic.
Aku jadi nek. Apalagi setiap kalimatnya
diselipi kata-kata yang tak enak didengar. Pemai, pendo dan cuki selalu
mengiringi kalimat demi kalimatnya. Tak pantas kata itu keluar dari seorang
pendeta. Aku malu memilki pendeta seperti itu. Rasa-rasanya aku tak tahan lagi.
Kalau tugas tidak menahan, sudah lama aku berlalu meninggalkan ruangan. Muak
dengan gelagat pendeta seperti itu!
***
Satu per
satu teman-temannya pergi. Dengan berbagai alasan yang belum tentu benar.
Barangkali, mereka juga pastiu menengar bualan. Atau, mungkin mereka
mulai sadar bahwa mahasiswa yang ada dalam ruangan itu memiliki agama yang
beragam.
“Woi mo
pigi mana ngana? Pemai, sadiki kwa lai. Pendo!” Pendeta berkumis tebal itu
mulai tampak mabuk. Tinggal dirinya saja yang duduk. Satu temannya sudah di depan
pintu. Mau pergi entah kemana. Mereka mulai insaf dengan perbuatan mereka. Perjamuan
tanpa liturgi kini jadi tontonan mahasiswa-anak didik mereka.
Lantunan
kidung pujian ilahia terdengar di gedung seberang. Banyak dosen lain sudah bergabung
dengan para mahasiswanya. Tinggal dua sejoli mabuk yang belum mengambil tempat
di aula di mana ibadah ulang tahun seorang mahasiswa dilaksanakan.
Sungguh
bertolak belakang. Tadi, sewaktu lewat di depan gedung polisi terbesar di jalan
Bethesda kota Manado, tergerai baliho ukuran luar biasa besar yang bertuliskan
“Brenti jo bagate”. Foto gubernur, kapolda dan pendeta juga ada. Namun,
praktiknya aparat hukum dan tokoh agama justru keburu menjadi anutan melawan
slogan itu. Jangan-jangan slogan itu adalah upaya membunuh petani captikus?
Bisa jadi! Siapa tahu ada konspirasi di baliknya.
Aku terus
berkutat dengan laptop. Kidung pujian membahana di kejauhan. Adiyaksa Daud
dengan mata lima watt mengoceh seorang diri. Temannya duduk diam. Lalu,
tiba-tiba beranjak menuju gedung darimana sumber lantunan pujian untuk Tuhan
bergema.
“Woi! Pendo!
Tunggu kita! Ta mo iko ibadah. Biar cuma mo makang babi putar.”
28 juli
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar