Oleh Iswan Sual
Sudah hampir sebulan aku tak melihat
anak perempuanku. Bolak-balik aku mencarinya di seluruh sudut kampung. Namun,
aku tak menemukannya.
“Dimana Nini?” tanyaku pada istriku.
Dia hanya sibuk dengan kukunya. Tanpa mempedulikan kegetiranku.
Hari berikutnya datang. Masih juga tak
bisa kulihat anak tunggalku itu. Dari tetangga aku tahu bahwa anakku telah
dibawa oleh seorang wanita dari
Dolodu’o. Aku langsung naik pitam begitu mendengarnya. Segera kucari si Opol.
Wanita Dolodu’o itu adalah istrinya. Parang dan pisau yang kusimpan di bawah ranjang
kurogoh. Ku sematkan di pinggang. Aku siap membuat orang merenggang nyawa. Dan
aku juga siap untuk mati. Tujuanku adalah mencari si Opol. Istrinyalah yang
yang membawa lari anak perempuanku.
“Opol, dimana ngana pe bini?” kataku
mencak-mencak.
“Kita nda tau,” jawab Opol dingin.
Tak sedikitpun Opol merasa terbeban
dengan kepedihanku dalam hati. Aku terpukul. Kukeluarkan pisau dan kutodongkan
tepat di lehernya.
“Kalu ngana nda mo bertanggungjawab.
Ta bunung ngana di sini!” ancamku. Kancing-kancing kemeja berhamburan di tanah
setelah kutarik dengan membabi buta. Dia mendadak ketakutan.
“Iyo…iyo Lex. Nanti kita mo
bertanggungjawab,” opol memohon belas kasihan. Kini celana coklatnya kuyup oleh
pesingnya. Dua kakinya yang besar-besar gemetar tak tahu kemana. Rupanya
gertakkanku cukup berguna. Memang gertakkan itu tidak hanya isapan jempol
belaka bila anak perempuanku tak kulihat besok. Opol yang ketakutan nampak
memeras otak. Memikirkan sesuatu. Sore itu juga dia menjual rumah dan tanahnya
sekaligus untuk kami pakai dalam pencarian anak perempuanku.
***
“Aku harus ikut bersama kalian. Aku
tahu dimana tepatnya si Hoce membawa Nini anakmu,” kata Fredrik, “Dia cucuku.
Aku merasa harus turut kalian dalam pencarian.”
Aku tak tahu pasti apa benar orang
ini betul-betul ingin mencari anakku atau karena inginkan jalan-jalan gratis
karena tahu kebetulan ada yang akan menanggung biayanya.
Subuh-subuh kami menuruni jalan yang
penuh becek. Dengan menggunakan obor kami menyusuri jalan yang jauh dari
merdeka itu. Repelita Suharto tak sedikit menyentuh desa kami yang tak pernah
aku lihat pada peta di kantor kecamatan. Kami tiba di Ongkau kira-kira masih
jam 5.00 subuh. Tak berapa lama, mobil telanjang yang lewat memuat dan membawa
kami ke Kotamobagu. Kami mengganti pakaian yang sudah berbau bermacam aliran
bau. Selain bekal makanan, kami memang telah sengaja membawa tiga pasang
pakaian.
Perjalanan panjang membuat aku
semakin gelisah. Membayangkan hal-hal buruk telah terjadi pada anakku. Empat
jam kemudian kami tiba di Kotamobagu. Sempat mampir sebentar untuk mengisi
perut yang keroncongan. Dari Kotamobagu kami menuju Dolodu’o. Opol terlihat
begitu tegang. Aku juga pedih membayangkan anakku. Tak tahu apa dia masih dalam
keadaan baik atau sudah tewas mengenaskan. Sebulan bukanlah waktu yang pendek. Terpisah
dengan pujaan hati tentu begitu menyakitkan. Mungkin dia sudah menjadi korban
lelaki dewasa yang maniso. Aku hanya berharap semua yang ada dalam bayanganku
tidak benar.
Lama dalam perjalanan. Jalanan lurus
membuatku bosan duduk. Beberpa kali aku musti berdiri karena kejang pantat.
Ditambah lagi hanya terlihat pemandangan hanya itu-itu saja. Jalanan sepanjang
pantai begitu membosankan. Terik panas memanggang memperburuk suasana.
“Kita berhenti di sini, sopir,” kata
Frederik setelah menepuk bahu sopir. Aku terbangun dari tidurku. Kini kami
sudah di Dolo’duo. Konon, orang Minahasa yang gagah berani berperang mengejar
orang Mongondo sampai ke tanah ini. Barulah perang itu selesai ketika Belanda
menjadi penengah.
Kami turun. Diantar Fredrik kami
masuk ke dalam sebuah rumah yang besar dengan cat berwarna putih. Tak ada orang
di rumah. Beberapa kali ketukan memekik namun tak ada yang membukakan pintu. Seorang
tua dari tetangga terlihat keluar dari halaman mengamat-amati.
“Mo cari sapa?” tanya orang tua itu.
“Kami mencari seorang perempuan
bernama Hoce Walangitan,” kata Hendrik sambil mendekat pada orang tua itu.
Mencoba bersahabat. Si orang tua tampak keheranan melihat ada orang asing.
Kulihat dahinya mengernyit pertanda pertanyaan lain bermunculan dalam benaknya.
“Oh, mereka ada di perkebunan
Toraut,” kata pak tua, “Sudah hampir dua minggu mereka semua di sana.”
Pikiranku bercampur aduk.
Membayangkan anakku. Jangan-jangan dia telah dijadikan tumbal oleh para
Mongondo untuk menyembah para leluhur mereka yang telah pergi. Mungkin juga
mereka hendak melampiaskan kekalahan leluhur mereka saat berperang dengan
leluhur kami ratusan tahun yang lalu. Darah Minahasa yang mengalir dalam darah
anakku dirasa mereka sangat pas untuk menyenangkan arwah leluhur mereka yang
menjadi korban kegagahan dan keberingasan berperang para Waraney yang menyerang
balik hingga Dolodu’o.
“Saya tahu di mana perkebunan Toraut
itu. Mari kita mencari kendaraan untuk membawa kita kesana,” usul Hendrik. Dia
semakin bersemangat hendak memuaskan nafsu petualangannya.
“Aku tak bisa ikut kalian kesana. Aku
tinggal di sini saja,” sambung Opol, “Kalau aku kesana aku pasti akan menjadi
mayat. Mereka akan mencincangku dan melemparkan daging-dagingku ke dalam kolam dan
dilahap ikan-ikat lapar.”
Sangat tidak bertanggungjawab!
Bangsat!
“Opol, kamu harus ikut bersama kami.
Jangan berani kau menghindar! Akan kucari kau sampai ke ujung bumi bila kau
coba melarikan diri. Tak segan aku membuat kamu mampus meski kita berada di
kampung orang,” kataku dengan mata hampir lepas keluar. Pisau yang tadinya
terselip di pinggang kusandarkan lagi ke lehernya. Badannya berkeringat hebat. Totofore.
Gemetar.
“Biarkan dia di sini saja. Dia takkan
lari,” kata Frederik, “Aku yakin dia takkan melarikan diri.”
Kusingkirkan pisau dari lehernya.
Kembali kusisipkan di pinggang. Namun amarahku belum pergi.
Mobil telanjang yang kami tumpangi
meluncur ke arah yang ditunjuk Frederik. Awalnya aku pikir tak akan makan waktu
lama ke tujuan. Namun perkiraanku keliru. Walaupun capek, kupaksakan membuka
lebar-lebar mataku. Tak sabar melihat putriku yang masih terlampau polos itu.
Heran aku kenapa aku hampir gila memikirkannya tapi ibunya yang melahirkan dia
tenang-tenang saja. Seperti tidak terjadi apa-apa. Dasar perempuan tak
berperasaan! Beginilah jadinya rumah tangga yang tak didasarkan oleh cinta.
Hanya semata harta. Orangtua Tine dulu merengek-rengek pada orangtuaku agar
kami dikawinkan. Waktu itu memang keluargaku orang berada.
***
Tepat di kaki bukit kami turun.
Nampak hamparan perkebunan yang luas. Barisan pohon jagung dan sayuran laksana
barisan tentara berlaksa-laksa yang dipimpin Daud. Siap menghancurkan satu
dinasti di depan mata.
Tibalah kami di satu sabuah
yang sangat besar. Panjangnya mirip gudang yang mampu menampung bertonton
kopra. Di soldor tergelar kedelai dan jagung yang tak bisa diukur
banyaknya. Banyak. Ayah-ayam berlarian saling berkejaran. Tikar-tikar penuh
dengan jagung yang tak habis dimakan ayam dan bebek. Ada banyak orang
berkerumun. Mereka memandang kami dengan mata penuh awas. Di tangan mereka masing-masing
ada parang. Mereka tampak kumal. Keremos oleh tanah-tanah di ladang.
“Selamat siang,” dengan kompak kami
menyapa.
“Selamat siang. Dari mana ini?” kata
seorang setengah baya. Dia terlihat begitu perkasa dengan topi koboinya. Tubuh
tegaknya menyiratkan dia adalah keturunan Waraney. Dari perawakannya dapat
disingkap bahwa leluhurnya juga turut menyerang hingga mereka ada di tanah itu. Dia mungkin tak tahu
kebaradaannya di Dolodu’o karena peristiwa penyerangan itu.
“Torang dari Minahasa,” kataku hendak
menjelaskan.
“Minahasa? Ngoni bawa surat jalan?”
Aku menyodorkan Surat Jalan yang saya
bawa dari kampung. Sudah tengah malam surat itu dibuat oleh seorang Sekretaris Desa
yang bernaa Bernard. Tak peduli walaupun tak dibayar sepeser pun. Dia terkesima
saat kusampaikan maksud pembuatan surat jalan itu. Dia terkejut tahu bahwa Nini
anakku telah hilang. Dia kaget bukan kepalang mendengar Nini hilang. Anak itu
sudah diangggapnya anaknya sendiri.
“Mo apa jao-jao datang dari
Minahasa,” kata si koboi sambil melihat-lihat surat jalan itu.
“Kami mau mencari anak kami yang
bernama Nini. Dia dibawa oleh seorang perempuan yang bernama Hoce Walangitan.
Seseorang di Dolodu’o memberitahu kami kalau kami bisa menemukan mereka di
sini,” kataku panjang lebar.
Sengaja kutunjukkan muka pengasihan.
Berharap itu boleh menggugah para koboi Mongondo ini.
“Oh bagitu. Tu anak ada. Tiap hari
dia manangis pangge-pangge dia pe mama deng papa. Hoce kwa kita pe anak dia
bilang tu anak yang dia bawa-bawa itu dia pe bos pe anak di Tondano,” kata koboi
sambil membetulkan topinya karena menyebabkan kepala gatal-gatal. Kulihat dia
membisikkan sesuatu kepada istrinya. Sang istripun berlari cepat ke belakang.
Tak bisa digambarkan dengan untaian
kata-kata mengenai perasaanku saat si pak tua memberitahu bahwa anakku masih
hidup. Mudah-mudahan mereka jujur. Mudah-mudahan mereka tidak berkata demikian hanya
untuk menghiburku.
“Fani, antar om ini. Panggil kakakmu.
Dia mungkin sedang mencuci di kali,” pak tua menyuruh.
Seorang anak remaja berlari
mendekatiku. Akupun dituntunnya menyusuri jalanan kerikil yang jauh. Semakin
lama aku semakin lemas. Rasanya tak tahan lagi.
“Dek masih jauh?” tanyaku pada anak
yang bernama Fani itu.
“Om lihat deretan alat-alat berat
itu. Dekat situlah kalinya. Tapi om tidak usah kesana. Di sana banyak orang Bugis.
Mereka tidak mengenal om. Bisa-bisa om dicincang mereka,” kata anak ingusan
itu.
Aku sedikit takut mendengar anak itu
bercerita. Kulihat sekeliling. Ada wa’tang di pinggir jalan. Kuputuskan
untuk duduk disitu sambil berteduh. Sambil memandangi anak ingusan itu. Aku
tertunduk kelelahan. Air mata tertumpah. Pikiranku kacau. Dalam hati aku
berandai-andai tentang anakku. Mungkin dia sebenarnya sudah tak ada. Mungkin
pak tua hanya menghiburku. Barangkali dia menunda-nunda kabar buruk. Dalam diam
terisak berat. Oh putriku yang malang! Dimana sebenarnya kamu? Papa rindu sama
kamu nak.
Saat penat mulai menjauh kulihat tiga
sosok sebesar semut mengarah kepadaku. Kutunggui dengan sabar. Lama kelamaan
satu sosok terlihat mendekat dengan cepat. Hatiku deg-degan bercampur aduk.
Kulihat gerak-gerik sosok yang mendekat itu. Sangat kukenal. Mungkin dia
anakku. Rasa gembira menuntut. Akupun tak sabar menunggu lebih lama. Kuberlari
menyusul. Dua gerak saling mendekat. Persis seperti di film-film.
“Papa! Papa! Papa!” terlihat dengan
gamblang dia benar-benar anakku. Wajahnya begitu terang. Memancarkan sinar yang
menyegarkan jiwa.
“Nini! Niiini!!” langkah kaki semakin
cepat. Kupeluk anakku yang cantik itu. Kuangkat dia ke langit. Kini beratnya
telah berkurang. Pipinya masuk ke dalam. Tapi putriku masih menawan. Dia
sungguh cantik rupawan. Putriku sungguh merindukan aku. Dia tak mau melepaskan
dekapannya. Rasa capekku hilang.
Satu sosok lain berlari mendekat.
Melambai-lambai seperti seorang di tengah laut berteriak, “Mayday…mayday…mayday.”
Dari perawakan kusimpulkan dia seorang perempuan. Dan itu benar.
“Om tolong pa kita ne. Jang bilang pa
papa kalu kita deng Opol so kaweng. Dia mo bunung pa kita. Kita kwa so nda suka
mo bakubale deng Opol. Dia da tipu pa kita. Dia bilang dia orang kaya. Ternyata
dia kote cuma orang suruhan di Amurang.”
“Opol ada. Cuma dia ada di Dolodu’o.”
“Ado kasiang om. Lebe bae om pulang
jo capat kong bilang pa dia cepat jo lari. Jang dorang mo teto pa dia. Ada le
tu orang sana yang dia tipu. Kalu dorang dapa, kita nintau apa yang mo jadi.”
Tapi banyak bicara lagi aku merangkul
anakku dan menuju ke gudang kopra dimana orang tua Hoce berada. Jalanan bisa
tempuh dengan enteng kini. Tawaran untuk makan siang si koboi kami acuhkan dan
langsung menuju ke Dolodu’o. di tengah jalan kami berpapasan dengan seorang
yang terus memandangi. Opol begitu ketakutan begitu kami tiba.
“Kalu ngoni terlambat sadiki, korang
mayat kita.”
“Kyapa?”
“Napa tu opa di sablah so pigi ke
kobong mo lapor kalu kita so kaweng deng depe anak. Cuma tu anak so mati. Ada
orang kampung datang babilang. Kita le nintau sapa...”
Belum selesai Opol bicara tampak ada
tiga kendaraan beriringan di belakang kami. Semua penumpang yang ada dalam truk
mengacungkan golok dan tombak. Tampak kemarahan dialamatkan kepada kami. Dengan
keras aku menepuk bahu sopir dan membentak agar dia segera melarikan kami
sejauh mungkin. Sopir yang mendadak bangun itu seperti kesetanan. Tiga
kendaraan di belakang kami hilang tak berbekas.
Marore, 12 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar