Jumat, 03 Mei 2013

GARAGARA OPOL



Oleh Iswan Sual

Sudah hampir sebulan aku tak melihat anak perempuanku. Bolak-balik aku mencarinya di seluruh sudut kampung. Namun, aku tak menemukannya.
“Dimana Nini?” tanyaku pada istriku. Dia hanya sibuk dengan kukunya. Tanpa mempedulikan kegetiranku.
Hari berikutnya datang. Masih juga tak bisa kulihat anak tunggalku itu. Dari tetangga aku tahu bahwa anakku telah dibawa oleh seorang  wanita dari Dolodu’o. Aku langsung naik pitam begitu mendengarnya. Segera kucari si Opol. Wanita Dolodu’o itu adalah istrinya. Parang dan pisau yang kusimpan di bawah ranjang kurogoh. Ku sematkan di pinggang. Aku siap membuat orang merenggang nyawa. Dan aku juga siap untuk mati. Tujuanku adalah mencari si Opol. Istrinyalah yang yang membawa lari anak perempuanku.
“Opol, dimana ngana pe bini?” kataku mencak-mencak.
“Kita nda tau,” jawab Opol dingin.
Tak sedikitpun Opol merasa terbeban dengan kepedihanku dalam hati. Aku terpukul. Kukeluarkan pisau dan kutodongkan tepat di lehernya.
“Kalu ngana nda mo bertanggungjawab. Ta bunung ngana di sini!” ancamku. Kancing-kancing kemeja berhamburan di tanah setelah kutarik dengan membabi buta. Dia mendadak ketakutan.
“Iyo…iyo Lex. Nanti kita mo bertanggungjawab,” opol memohon belas kasihan. Kini celana coklatnya kuyup oleh pesingnya. Dua kakinya yang besar-besar gemetar tak tahu kemana. Rupanya gertakkanku cukup berguna. Memang gertakkan itu tidak hanya isapan jempol belaka bila anak perempuanku tak kulihat besok. Opol yang ketakutan nampak memeras otak. Memikirkan sesuatu. Sore itu juga dia menjual rumah dan tanahnya sekaligus untuk kami pakai dalam pencarian anak perempuanku.
***
“Aku harus ikut bersama kalian. Aku tahu dimana tepatnya si Hoce membawa Nini anakmu,” kata Fredrik, “Dia cucuku. Aku merasa harus turut kalian dalam pencarian.”
Aku tak tahu pasti apa benar orang ini betul-betul ingin mencari anakku atau karena inginkan jalan-jalan gratis karena tahu kebetulan ada yang akan menanggung biayanya. 
Subuh-subuh kami menuruni jalan yang penuh becek. Dengan menggunakan obor kami menyusuri jalan yang jauh dari merdeka itu. Repelita Suharto tak sedikit menyentuh desa kami yang tak pernah aku lihat pada peta di kantor kecamatan. Kami tiba di Ongkau kira-kira masih jam 5.00 subuh. Tak berapa lama, mobil telanjang yang lewat memuat dan membawa kami ke Kotamobagu. Kami mengganti pakaian yang sudah berbau bermacam aliran bau. Selain bekal makanan, kami memang telah sengaja membawa tiga pasang pakaian.
Perjalanan panjang membuat aku semakin gelisah. Membayangkan hal-hal buruk telah terjadi pada anakku. Empat jam kemudian kami tiba di Kotamobagu. Sempat mampir sebentar untuk mengisi perut yang keroncongan. Dari Kotamobagu kami menuju Dolodu’o. Opol terlihat begitu tegang. Aku juga pedih membayangkan anakku. Tak tahu apa dia masih dalam keadaan baik atau sudah tewas mengenaskan. Sebulan bukanlah waktu yang pendek. Terpisah dengan pujaan hati tentu begitu menyakitkan. Mungkin dia sudah menjadi korban lelaki dewasa yang maniso. Aku hanya berharap semua yang ada dalam bayanganku tidak benar.
Lama dalam perjalanan. Jalanan lurus membuatku bosan duduk. Beberpa kali aku musti berdiri karena kejang pantat. Ditambah lagi hanya terlihat pemandangan hanya itu-itu saja. Jalanan sepanjang pantai begitu membosankan. Terik panas memanggang memperburuk suasana.
“Kita berhenti di sini, sopir,” kata Frederik setelah menepuk bahu sopir. Aku terbangun dari tidurku. Kini kami sudah di Dolo’duo. Konon, orang Minahasa yang gagah berani berperang mengejar orang Mongondo sampai ke tanah ini. Barulah perang itu selesai ketika Belanda menjadi penengah.
Kami turun. Diantar Fredrik kami masuk ke dalam sebuah rumah yang besar dengan cat berwarna putih. Tak ada orang di rumah. Beberapa kali ketukan memekik namun tak ada yang membukakan pintu. Seorang tua dari tetangga terlihat keluar dari halaman mengamat-amati.
“Mo cari sapa?” tanya orang tua itu.
“Kami mencari seorang perempuan bernama Hoce Walangitan,” kata Hendrik sambil mendekat pada orang tua itu. Mencoba bersahabat. Si orang tua tampak keheranan melihat ada orang asing. Kulihat dahinya mengernyit pertanda pertanyaan lain bermunculan dalam benaknya.
“Oh, mereka ada di perkebunan Toraut,” kata pak tua, “Sudah hampir dua minggu mereka semua di sana.”
Pikiranku bercampur aduk. Membayangkan anakku. Jangan-jangan dia telah dijadikan tumbal oleh para Mongondo untuk menyembah para leluhur mereka yang telah pergi. Mungkin juga mereka hendak melampiaskan kekalahan leluhur mereka saat berperang dengan leluhur kami ratusan tahun yang lalu. Darah Minahasa yang mengalir dalam darah anakku dirasa mereka sangat pas untuk menyenangkan arwah leluhur mereka yang menjadi korban kegagahan dan keberingasan berperang para Waraney yang menyerang balik hingga Dolodu’o.
“Saya tahu di mana perkebunan Toraut itu. Mari kita mencari kendaraan untuk membawa kita kesana,” usul Hendrik. Dia semakin bersemangat hendak memuaskan nafsu petualangannya.
“Aku tak bisa ikut kalian kesana. Aku tinggal di sini saja,” sambung Opol, “Kalau aku kesana aku pasti akan menjadi mayat. Mereka akan mencincangku dan melemparkan daging-dagingku ke dalam kolam dan dilahap ikan-ikat lapar.”
Sangat tidak bertanggungjawab! Bangsat!
“Opol, kamu harus ikut bersama kami. Jangan berani kau menghindar! Akan kucari kau sampai ke ujung bumi bila kau coba melarikan diri. Tak segan aku membuat kamu mampus meski kita berada di kampung orang,” kataku dengan mata hampir lepas keluar. Pisau yang tadinya terselip di pinggang kusandarkan lagi ke lehernya. Badannya berkeringat hebat. Totofore. Gemetar.
“Biarkan dia di sini saja. Dia takkan lari,” kata Frederik, “Aku yakin dia takkan melarikan diri.”
Kusingkirkan pisau dari lehernya. Kembali kusisipkan di pinggang. Namun amarahku belum pergi.
Mobil telanjang yang kami tumpangi meluncur ke arah yang ditunjuk Frederik. Awalnya aku pikir tak akan makan waktu lama ke tujuan. Namun perkiraanku keliru. Walaupun capek, kupaksakan membuka lebar-lebar mataku. Tak sabar melihat putriku yang masih terlampau polos itu. Heran aku kenapa aku hampir gila memikirkannya tapi ibunya yang melahirkan dia tenang-tenang saja. Seperti tidak terjadi apa-apa. Dasar perempuan tak berperasaan! Beginilah jadinya rumah tangga yang tak didasarkan oleh cinta. Hanya semata harta. Orangtua Tine dulu merengek-rengek pada orangtuaku agar kami dikawinkan. Waktu itu memang keluargaku orang berada.

***
Tepat di kaki bukit kami turun. Nampak hamparan perkebunan yang luas. Barisan pohon jagung dan sayuran laksana barisan tentara berlaksa-laksa yang dipimpin Daud. Siap menghancurkan satu dinasti di depan mata.
Tibalah kami di satu sabuah yang sangat besar. Panjangnya mirip gudang yang mampu menampung bertonton kopra. Di soldor tergelar kedelai dan jagung yang tak bisa diukur banyaknya. Banyak. Ayah-ayam berlarian saling berkejaran. Tikar-tikar penuh dengan jagung yang tak habis dimakan ayam dan bebek. Ada banyak orang berkerumun. Mereka memandang kami dengan mata penuh awas. Di tangan mereka masing-masing ada parang. Mereka tampak kumal. Keremos oleh tanah-tanah di ladang.
“Selamat siang,” dengan kompak kami menyapa.
“Selamat siang. Dari mana ini?” kata seorang setengah baya. Dia terlihat begitu perkasa dengan topi koboinya. Tubuh tegaknya menyiratkan dia adalah keturunan Waraney. Dari perawakannya dapat disingkap bahwa leluhurnya juga turut menyerang hingga  mereka ada di tanah itu. Dia mungkin tak tahu kebaradaannya di Dolodu’o karena peristiwa penyerangan itu.
“Torang dari Minahasa,” kataku hendak menjelaskan.
“Minahasa? Ngoni bawa surat jalan?”
Aku menyodorkan Surat Jalan yang saya bawa dari kampung. Sudah tengah malam surat itu dibuat oleh seorang Sekretaris Desa yang bernaa Bernard. Tak peduli walaupun tak dibayar sepeser pun. Dia terkesima saat kusampaikan maksud pembuatan surat jalan itu. Dia terkejut tahu bahwa Nini anakku telah hilang. Dia kaget bukan kepalang mendengar Nini hilang. Anak itu sudah diangggapnya anaknya sendiri.
“Mo apa jao-jao datang dari Minahasa,” kata si koboi sambil melihat-lihat surat jalan itu.
“Kami mau mencari anak kami yang bernama Nini. Dia dibawa oleh seorang perempuan yang bernama Hoce Walangitan. Seseorang di Dolodu’o memberitahu kami kalau kami bisa menemukan mereka di sini,” kataku panjang lebar.
Sengaja kutunjukkan muka pengasihan. Berharap itu boleh menggugah para koboi Mongondo ini.
“Oh bagitu. Tu anak ada. Tiap hari dia manangis pangge-pangge dia pe mama deng papa. Hoce kwa kita pe anak dia bilang tu anak yang dia bawa-bawa itu dia pe bos pe anak di Tondano,” kata koboi sambil membetulkan topinya karena menyebabkan kepala gatal-gatal. Kulihat dia membisikkan sesuatu kepada istrinya. Sang istripun berlari cepat ke belakang.
Tak bisa digambarkan dengan untaian kata-kata mengenai perasaanku saat si pak tua memberitahu bahwa anakku masih hidup. Mudah-mudahan mereka jujur. Mudah-mudahan mereka tidak berkata demikian hanya untuk menghiburku.
“Fani, antar om ini. Panggil kakakmu. Dia mungkin sedang mencuci di kali,” pak tua menyuruh.
Seorang anak remaja berlari mendekatiku. Akupun dituntunnya menyusuri jalanan kerikil yang jauh. Semakin lama aku semakin lemas. Rasanya tak tahan lagi.
“Dek masih jauh?” tanyaku pada anak yang bernama Fani itu.
“Om lihat deretan alat-alat berat itu. Dekat situlah kalinya. Tapi om tidak usah kesana. Di sana banyak orang Bugis. Mereka tidak mengenal om. Bisa-bisa om dicincang mereka,” kata anak ingusan itu.
Aku sedikit takut mendengar anak itu bercerita. Kulihat sekeliling. Ada wa’tang di pinggir jalan. Kuputuskan untuk duduk disitu sambil berteduh. Sambil memandangi anak ingusan itu. Aku tertunduk kelelahan. Air mata tertumpah. Pikiranku kacau. Dalam hati aku berandai-andai tentang anakku. Mungkin dia sebenarnya sudah tak ada. Mungkin pak tua hanya menghiburku. Barangkali dia menunda-nunda kabar buruk. Dalam diam terisak berat. Oh putriku yang malang! Dimana sebenarnya kamu? Papa rindu sama kamu nak.
Saat penat mulai menjauh kulihat tiga sosok sebesar semut mengarah kepadaku. Kutunggui dengan sabar. Lama kelamaan satu sosok terlihat mendekat dengan cepat. Hatiku deg-degan bercampur aduk. Kulihat gerak-gerik sosok yang mendekat itu. Sangat kukenal. Mungkin dia anakku. Rasa gembira menuntut. Akupun tak sabar menunggu lebih lama. Kuberlari menyusul. Dua gerak saling mendekat. Persis seperti di film-film.
“Papa! Papa! Papa!” terlihat dengan gamblang dia benar-benar anakku. Wajahnya begitu terang. Memancarkan sinar yang menyegarkan jiwa.
“Nini! Niiini!!” langkah kaki semakin cepat. Kupeluk anakku yang cantik itu. Kuangkat dia ke langit. Kini beratnya telah berkurang. Pipinya masuk ke dalam. Tapi putriku masih menawan. Dia sungguh cantik rupawan. Putriku sungguh merindukan aku. Dia tak mau melepaskan dekapannya. Rasa capekku hilang.
Satu sosok lain berlari mendekat. Melambai-lambai seperti seorang di tengah laut berteriak, “Mayday…mayday…mayday.” Dari perawakan kusimpulkan dia seorang perempuan. Dan itu benar.
“Om tolong pa kita ne. Jang bilang pa papa kalu kita deng Opol so kaweng. Dia mo bunung pa kita. Kita kwa so nda suka mo bakubale deng Opol. Dia da tipu pa kita. Dia bilang dia orang kaya. Ternyata dia kote cuma orang suruhan di Amurang.”
“Opol ada. Cuma dia ada di Dolodu’o.”
“Ado kasiang om. Lebe bae om pulang jo capat kong bilang pa dia cepat jo lari. Jang dorang mo teto pa dia. Ada le tu orang sana yang dia tipu. Kalu dorang dapa, kita nintau apa yang mo jadi.”
Tapi banyak bicara lagi aku merangkul anakku dan menuju ke gudang kopra dimana orang tua Hoce berada. Jalanan bisa tempuh dengan enteng kini. Tawaran untuk makan siang si koboi kami acuhkan dan langsung menuju ke Dolodu’o. di tengah jalan kami berpapasan dengan seorang yang terus memandangi. Opol begitu ketakutan begitu kami tiba.
“Kalu ngoni terlambat sadiki, korang mayat kita.”
“Kyapa?”
“Napa tu opa di sablah so pigi ke kobong mo lapor kalu kita so kaweng deng depe anak. Cuma tu anak so mati. Ada orang kampung datang babilang. Kita le nintau sapa...”
Belum selesai Opol bicara tampak ada tiga kendaraan beriringan di belakang kami. Semua penumpang yang ada dalam truk mengacungkan golok dan tombak. Tampak kemarahan dialamatkan kepada kami. Dengan keras aku menepuk bahu sopir dan membentak agar dia segera melarikan kami sejauh mungkin. Sopir yang mendadak bangun itu seperti kesetanan. Tiga kendaraan di belakang kami hilang tak berbekas.


Marore, 12 November 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar