Jumat, 03 Mei 2013

IRONI KEHIDUPAN


Oleh Iswan Sual, S.S

Pikiran yang suntuk lantaran jadi sasaran marah-marah atasan membuatku mengubah kebiasanku bepergian saat keluar dari ruang rapat untuk makan siang. Jarak dua ratus meter yang selalu saya tempuh dengan menumpang mikro hari ini kulalui dengan jalan kaki saja. Mungkin terinspirasi oleh gagasan yang pernah kubaca dalam sebuah artikel yang menyebutkan kalau jalan kaki bisa mengusir penat dan menyegarkan otak. Percobaan yang kulakukan hari ini tidaklah mengecewakan. Rasa capek taklah muncul meski tas punggung agak membeban di punggung. Tambah lagi, setumpuk berkas di dalam kantong plastik terjinjing di tangan. Urat-urat muncul bagai akar-akar timbul pohon besar.
Panggilan teman sekerjaku pura-pura tak aku dengar walau langkah baru beberapa keluar dari kantor, rumah tua besar yang dialihhfungsikan, yang berdiri tepat di antara dua jalan. Persis seperti sesuatu benda di antara kayu bercabang ketapel. Titik-titik keringat berhamburan menuruni leher dan punggung. Kemeja kotak-kotak berwarna biru putih basah dibuatnya. Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di sisi kananku. Pria yang mengendarakan kendaraan membuka helmnya dan menyapaku dengan ramah. Pria yang tak kutahu namanya. Tapi wajahnya kukenal karena sering datang bersama seorang gadis yang kebetulan menjadi teman sekerjaku selama tiga bulan ini.
“Bro, ada bawa?”katanya sembari turun dari sepeda motor yang bunyi mesinnya sudah kedengaran agak ribut. Barangkali kendaraan itu jarang diganti olinya atau mungkin sudah ada suku candangnya yang harus diganti.
Pertanyaan pria dengan jaket hitam itu awalnya membuat otakku penuh dengan tanda tanya. Baru aku sadar ketika dia membuat gambar di udara. Gambar yang menyerupai kotak. Dari situ aku tahu bahwa yang dia maksudkan adalah berkas titipan yang dikirim kerabat kerjaku dari Marore. Setelah itu dia pergi sambil memberi senyum keramahan basabasi.
Kuteruskan perjalanku ke pusat kota Tahuna. Tinggal lima puluh meter namun kaki mulai kalah kuat. Ironis, orang Jepang senang jalan kaki.Bahkan cepat sekali seperti orang yang terburu-buru. Padahal mereka adalah negara dengan kecanggihan teknologi tertinggi di dunia.Di negara kita orang mulai dinina bobokan dengan teknologi. Sehingga tak mengherankan mereka rela menunggu bis hingga sejam untuk pergi ke tempat yang hanya berjarak kurang dari seratus meter.
Aku tiba di sebuah gedung besar yang disekat-sekat untuk jadi tempat kumpulan kios makan. Langkahku langsung menuntun ke sebuah kios yang menjual makanan seharga Rp. 10.000. Perpaduan kelezatan makanan dan keramahan adalah pemantik yang mujarab sehingga aku sering ke tempat itu. Minggu-minggu sebelumnya aku biasa makan di sebuah kios makan yang pemiliknya kurang ramah. Seporsi harga bisa hingga Rp. 13.000. Suatu waktu karena kehabisan makanan di tempat itu aku mencari kios  yang lain. Akhirnyahingga hari ini aku tak mau lagi kembali berlangganan dengan kios sebelumnya sering aku datangi itu. Kecuali kalau memang aku lagi ingin sekali makan coto atau sekedar duduk melihat-lihat hiasan dinding yang nampak ingin memberi kesan tingkat kealiman pemiliknya. Kesan yang saya peroleh justru adalah sebaliknya. Penilaianku terhadap pemilik itu tak berdasarkan ornamen-ornamen agama yang terpampang di dinding. Melainkan pada tindak tanduk mereka saat melayani pelanggan dan memperlakukan pekerjanya.
“Mo makan opo[1]?” tanya seorang ibu sewaktu aku kedapatan menempel di kaca lemari dimana makanannya digelar.
Dengan cekatan dia menyiapkan makananku setelah tanganku menunjuk lauk dan sayur yang ingin saya lahap. Dan tak sampai lima menit sepiring makanan itu telah terkubur dalam perutku. Perutku pun membuncit. Sisa-sisa makanan di sela-sela gigi kubereskan dengan tusuk gigi yang sudah disiapkan di atas meja. Secara berguyon temanku menyebutnya sebagai makanan penutup. Habis itu, koran yang sempat kubeli di emperan pertokohan ku keluarkan pula. Berita yang dimuat hanya seputar beberapa politisi pindah partai karena tak lagi diberi jatah kursi. Padahal, masih ingin berkuasa membodohi rakyat-rakyat tak berdosa. Kerjanya lebih banyak plesiran daripada turun langsung ke lapangan untuk menyerap aspirasi dan menyalurkannya.
Begitu koran agak terturun ke bawah wajah kulihat seorang pria berkulit lebam dan rambut kusut menerima sepiring nasi dari pemilik kios. Orang itu sering kulihat tidur di lantai trotoar. Kadang juga terlihat berjalan kaki di pelabuhan. Orang gila itu minta nasinya ditambah. Ibu sang pemilik warungpun tak menampik. Pelanggan yang lain terperangah bercampur jijik. Atau bisa saja irih karena lelaki gila bertelanjang dada itu mendapat makan gratis. Sedangkan mereka harus merogoh kocek. Ironis, orang berada masih saja tak rela orang yang kurang beruntung sedikit menikmati hidup. Mengapa ya? Saya jadi teringat dengan orang-orang kaya di kampong. Begitu mendengar ada bantuan pemerintah, mereka berjubel ria mendaftarkan diri sebagai orang miskin. Sungguh ironis!

Tondano, 8 Februari 2013


[1] Opo adalah sebutan orang Sangihe kepada kaum lelaki. Opo adalah sapaan/panggilan kepada anak-anak yang disayang. Tapi kini, panggilan ini telah menyeluruh ke semua lelaki. Di Minahasa sapaan Opo diperuntukkan untuk Tuhan atau orang tua. Dan tidak terbatas hanya pada lelaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar