Oleh
Iswan Sual, S.S
Pikiran
yang suntuk lantaran jadi sasaran marah-marah atasan membuatku mengubah
kebiasanku bepergian saat keluar dari ruang rapat untuk makan siang. Jarak dua
ratus meter yang selalu saya tempuh dengan menumpang mikro hari ini kulalui
dengan jalan kaki saja. Mungkin terinspirasi oleh gagasan yang pernah kubaca
dalam sebuah artikel yang menyebutkan kalau jalan kaki bisa mengusir penat dan
menyegarkan otak. Percobaan yang kulakukan hari ini tidaklah mengecewakan. Rasa
capek taklah muncul meski tas punggung agak membeban di punggung. Tambah lagi,
setumpuk berkas di dalam kantong plastik terjinjing di tangan. Urat-urat muncul
bagai akar-akar timbul pohon besar.
Panggilan
teman sekerjaku pura-pura tak aku dengar walau langkah baru beberapa keluar
dari kantor, rumah tua besar yang dialihhfungsikan, yang berdiri tepat di
antara dua jalan. Persis seperti sesuatu benda di antara kayu bercabang ketapel.
Titik-titik keringat berhamburan menuruni leher dan punggung. Kemeja kotak-kotak
berwarna biru putih basah dibuatnya. Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di
sisi kananku. Pria yang mengendarakan kendaraan membuka helmnya dan menyapaku
dengan ramah. Pria yang tak kutahu namanya. Tapi wajahnya kukenal karena sering
datang bersama seorang gadis yang kebetulan menjadi teman sekerjaku selama tiga
bulan ini.
“Bro,
ada bawa?”katanya sembari turun dari sepeda motor yang bunyi mesinnya sudah
kedengaran agak ribut. Barangkali kendaraan itu jarang diganti olinya atau
mungkin sudah ada suku candangnya yang harus diganti.
Pertanyaan
pria dengan jaket hitam itu awalnya membuat otakku penuh dengan tanda tanya.
Baru aku sadar ketika dia membuat gambar di udara. Gambar yang menyerupai kotak.
Dari situ aku tahu bahwa yang dia maksudkan adalah berkas titipan yang dikirim
kerabat kerjaku dari Marore. Setelah itu dia pergi sambil memberi senyum
keramahan basabasi.
Kuteruskan
perjalanku ke pusat kota Tahuna. Tinggal lima puluh meter namun kaki mulai
kalah kuat. Ironis, orang Jepang senang jalan kaki.Bahkan cepat sekali seperti
orang yang terburu-buru. Padahal mereka adalah negara dengan kecanggihan
teknologi tertinggi di dunia.Di negara kita orang mulai dinina bobokan dengan
teknologi. Sehingga tak mengherankan mereka rela menunggu bis hingga sejam
untuk pergi ke tempat yang hanya berjarak kurang dari seratus meter.
Aku
tiba di sebuah gedung besar yang disekat-sekat untuk jadi tempat kumpulan kios
makan. Langkahku langsung menuntun ke sebuah kios yang menjual makanan seharga
Rp. 10.000. Perpaduan kelezatan makanan dan keramahan adalah pemantik yang
mujarab sehingga aku sering ke tempat itu. Minggu-minggu sebelumnya aku biasa
makan di sebuah kios makan yang pemiliknya kurang ramah. Seporsi harga bisa
hingga Rp. 13.000. Suatu waktu karena kehabisan makanan di tempat itu aku
mencari kios yang lain. Akhirnyahingga
hari ini aku tak mau lagi kembali berlangganan dengan kios sebelumnya sering
aku datangi itu. Kecuali kalau memang aku lagi ingin sekali makan coto atau
sekedar duduk melihat-lihat hiasan dinding yang nampak ingin memberi kesan
tingkat kealiman pemiliknya. Kesan yang saya peroleh justru adalah sebaliknya.
Penilaianku terhadap pemilik itu tak berdasarkan ornamen-ornamen agama yang
terpampang di dinding. Melainkan pada tindak tanduk mereka saat melayani
pelanggan dan memperlakukan pekerjanya.
“Mo
makan opo[1]?”
tanya seorang ibu sewaktu aku kedapatan menempel di kaca lemari dimana
makanannya digelar.
Dengan
cekatan dia menyiapkan makananku setelah tanganku menunjuk lauk dan sayur yang
ingin saya lahap. Dan tak sampai lima menit sepiring makanan itu telah terkubur
dalam perutku. Perutku pun membuncit. Sisa-sisa makanan di sela-sela gigi
kubereskan dengan tusuk gigi yang sudah disiapkan di atas meja. Secara berguyon
temanku menyebutnya sebagai makanan penutup. Habis itu, koran yang sempat
kubeli di emperan pertokohan ku keluarkan pula. Berita yang dimuat hanya
seputar beberapa politisi pindah partai karena tak lagi diberi jatah kursi.
Padahal, masih ingin berkuasa membodohi rakyat-rakyat tak berdosa. Kerjanya
lebih banyak plesiran daripada turun langsung ke lapangan untuk menyerap
aspirasi dan menyalurkannya.
Begitu
koran agak terturun ke bawah wajah kulihat seorang pria berkulit lebam dan
rambut kusut menerima sepiring nasi dari pemilik kios. Orang itu sering kulihat
tidur di lantai trotoar. Kadang juga terlihat berjalan kaki di pelabuhan. Orang
gila itu minta nasinya ditambah. Ibu sang pemilik warungpun tak menampik.
Pelanggan yang lain terperangah bercampur jijik. Atau bisa saja irih karena
lelaki gila bertelanjang dada itu mendapat makan gratis. Sedangkan mereka harus
merogoh kocek. Ironis, orang berada masih saja tak rela orang yang kurang
beruntung sedikit menikmati hidup. Mengapa ya? Saya jadi teringat dengan
orang-orang kaya di kampong. Begitu mendengar ada bantuan pemerintah, mereka
berjubel ria mendaftarkan diri sebagai orang miskin. Sungguh ironis!
Tondano,
8 Februari 2013
[1]
Opo adalah sebutan orang Sangihe kepada kaum lelaki. Opo adalah sapaan/panggilan
kepada anak-anak yang disayang. Tapi kini, panggilan ini telah menyeluruh ke
semua lelaki. Di Minahasa sapaan Opo diperuntukkan untuk Tuhan atau orang tua.
Dan tidak terbatas hanya pada lelaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar