Rabu, 07 November 2012

SEBUAH CERPEN: KEKUASAAN GEREJA


jaKekuasaan Gereja
Oleh Iswan Sual, S.S

Pimpinan dan jemaat gereja di Jakarta berunjuk rasa di depan kantor agama dan gubernur serta di DPR DKI Jakarta kemarin. Mereka meminta perlindungan pemerintah. Menjamin hak-hak mereka untuk beribadah. Pada hari jumat hingga hari minggu beberapa gereja diserang massa yang terang-terang sudah dikenal. Organisasi itu sudah akan akan merayakan dies natalis organisasinya ke 12 tahun ini. Sudah banyak tempat ibadah yang mereka porak-porandakan. Tak hanya gereja yang diserang. Mesjid juga. Jemaah Muhammadiah juga dibunuhi oleh mereka. Pemerintah tak berbuat hal nyata untuk menjamin hak-hak warganya untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Paling banter hanya memberikan pernyataan “mengutuk” tak terkesan membiarkan. Padahal organisasi itu sudah jelas-jelas meresahkan dan justru pernah mengeluarkan ancaman untuk menurunkan presiden dari tampuk kekuasaannya.  Sebegitukah pengecutnya pemerintah kita sehingga mereka terus memelihara ular dalam rumahnya. Yang terancam tak diperdulikan.
Di Koran juga kubaca pimpinan-pimpinan agama di daerah kami mempublikasikan pernyataan mereka. Semuanya bernada sama: mengutuk tindakan penyerangan terhadap gereja itu. Mereka juga menghendaki agar pemerintah memberikan balasan setimpal kepada para pelakunya. Padahal orang-orang yang diserang itu tak berniat sedikit mengutuki dan membalas mereka. Mereka hanya meminta pemerintah agar mereka diberikan kenyamanan dan ketentraman sebagai warga negara. Para pemimpin agama di daerahku bahkan berlebihan dengan penunjukkan rasa simpati mereka. Rasa simpati yang sebenarnya dibungkus oleh keinginan untuk tampil sebagai pahlawan. Berharap agar masyarakat bahkan dunia melihat bahwa mereka peduli dan menginginkan agar kemajemukan harus senantiasa dijaga. Mereka meneriakkan penjaminan hak-hak setiap orang beribadah dan berkeyakinan. Mereka menyumpahi para Islam garis keras yang memboikot rumah-rumah ibadah yang hendak dibangun. Tanpa tahu duduk persoalannya.
***
Seperti biasa, setiap hari minggu saya ke gereja. Demikian juga hari ini. Batin saya yang sumpek di enam hari boleh terasa sejuk setiap kali saya melangkahkan kaki rumah Tuhan. Alunan musik yang ciptakan pada abad 13 dimainkan begitu sempurna. Seketika itu kurasakan suasana surga melingkupiku. Senyum dan tawa mengembang pada semua orang berdatangan. Kami saling berjabat tangan. Begitu sejuk suasana terasa.
“Pertolongan kepada kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi, yang tetap setia untuk selama-lamanya dan tidak meninggalkan perbuatan tangaNya. Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai saudara-saudara,” ucapan khadim di atas mimbar menambah kesejukkan dalam batinku. Bagaikan titik embun pagi hari. Seumpama pohon-pohon perteduhan di saat mentari menyengat sepanjang hari.
“Amin,” balas kami.
Bila suasana ini mampu membuat batinku tenang aku rela tinggal lama dalam gedung ini. Akan kujual seluruh hartaku untuk para pendeta dan pelayan Tuhan. Akan kubaktikan hidup ini untuk gereja. “Saudara-saudara sekalian, mari kita persiapan hati kita untuk mendengarkan suara Tuhan…” ini yang paling kutunggu. Disinilah pesan-pesan indah tentang kedamaian diungkapkan. Di waktu inilah Tuhan menjelma membagikan percikan-percikan keadaan surgawi. Seperti mana surgawi dilimpahkan kepada bangsa Israel kita mereka ditempah di  gurun dalam perjalanan ke tanah Kanaan.
“Kita sebagai cepat harus saling memperhatikan. Saling mengunjungi di saat sakit, saling mengingatkan bila ada yang mulai menyimpang dari jalan Tuhan. Didiklah anak-anak kita agar menjadi taat pada agama dan gereja. Didiklah mereka agar selalu dekat dengan Tuhan…Mari taburkan damai ke sekeliling kita……tapi kita juga seharusnya waspada. Jangan, besok-besok anak-anak kita dulu bernama Maria lalu menjadi Siti Mariam, Yohanes menjadi Ibrahim, Sarah menjadi Siti Hajar, Ishak menjadi Ismail, Imanuel lalu berubah menjadi Muhammad. Jangan! Jangan saudara sekalian. Jangan berikan kesempatan. Awalnya mereka datang dengan senyum, ada  yang pura-pura jual bakso, mie ayam, jamu, sayur, tahu. Kemudian lama kelamaan mereka akan membeli rumah di kampung kita. Mereka akan tinggal. Seiring waktu mereka mengundang keluarga mereka dari Jawa sehingga mereka dapat mendirikan mesjid.”
Aku terhenyak dengan khotbah pendeta. Awalya dia berbicara tentang kedamaian. Selanjutnya dia menaruh rasa curiga pada jemaat agar mewaspadai orang yang datang. Dia juga menyebutkan cara-cara penyebaran agama Islam yang bakal terjadi di kampung kami. Bukankah begitu juga cara Riedel dan swharz sewaktu mereka membawa agama Kristen ke tanah Minahasa?
Dia menyebutkan deretan nama seperti Siti Mariam, Ibrahim, Siti Hajar, Ismail dan Muhammad seolah-olah mereka adalah sosok yang menebarkan permusuhan ke dunia. Seolah-olah mereka adalah orang jahat yang juga dibenci oleh Tuhan. Siti Mariam, bukankah dia itu nama dari ibu Isa (Yesus) dalam bahasa Arab? Ibrahim apalagi. Bukankah itu nama Arab dari bapa semua orang beriman, Abraham. Hajar dan Ismail bukankah Allah memberkati mereka juga. Muhammad, bukankah dia mengajarkan kepada pengikutnya agar tak memusuhi orang Kristen? Bukankah dia sangat menghormati orang Kristen karena pamannya (beragama Kristen) juga yang menikahkan dia dengan istrinya?
Kenapa tega-teganya pemuka agama mengajarkan umatnya untuk membenci umat lain. Para pemuka menampakkan kerukunan dalam lembaga tetapi ketika mereka pulang ke asal mereka masing-masing, mereka menebarkan benih permusuhan. Pantas saja kita terus berkelahi.
Saat ibadah selesai aku pulang tanpa menyalami sang pengkhotbah. Senyumku hilang seiring benih-benih perpecahan ditabur di dalam gereja.
***
“Selamat sore,” terdengar suara dan ketukan pada pintu. Dari balik jendela aku melihat tiga sampai lima orang. Aku kenal mereka. Setiap hari minggu aku selalu melihat mereka, dengan stola putih berbordir ∆ dan Ω, duduk wibawa rohani yang ternyata dibuat-buat. Kulihat sang pengkhotbah juga berdiri di depan pintu.
“Selamat sore,” sahutku setelah membuka pintu, “Ada ya?”
“Begini, kamu hendak bertemu dengan bapak.”
“Bapak? Oh ada. Dia di belakang sedang memberi makan bebek dan ayam. Aku panggil ya…”
“Kami datang untuk bertemu anda,” kata bapa yang sudah beruban, memotong pembicaraanku.
“Maksud bapak, mau ketemu saya? Oh silahkan duduk.”
Lima orang ini tampak enggan untuk berbicara. Senyuman mereka terkesan hanya dibuat-buat. Tak berapa lama ayah dan ibu muncul dan langsung menyalami pendeta dan rekan-rekannya. Ayah dan tampak respek sekali pada pendeta. Bahkan kelihatan malu bercampur takut. Seperti Adam dan Hawa yang malu setelah ketahuan oleh Tuhan karena telah menelan “buah pengetahuan buruk dan baik” yang disuguhkan oleh si ular.
Setelah didahului doa yang panjang, sang pendeta mulai bertutur:             
“Kedatangan kami kesini untuk melihat jangan-jangan saudara sedang sakit. Soalnya sudah dua bulan tidak pernah kami lihat di gereja. Biasanya bapak yang paling rajin.”
Oh ternyata ini toh maksud kedatangan mereka. Bukan yang sakit. Sebenarnya merekalah yang sakit. Mereka seharusnya mengunjungi dan mengembalakan jiwa mereka yang digerogoti oleh rupa-rupa penyakit, terutama penyakit curiga dan antikris. Kalau mereka tidak menjalankan anjuran dan ajaran Kristus, tak keliru kalau aku menyegel mereka sebagai antikris.
“Memang sudah lama saya mau bicara dengan bapak dan ibu sekalian. Sudah lama saya aktif dalam gereja. Sudah lama juga saya mempelajari gereja dan agama. Dan inilah saatnya saya mau bicara, kebutulan bapak dan ibu sekalian adalah wakil gereja. Sebetulnya saya telah memutuskan membacakan surat pernyataan saya di gereja, namun mungkin itu tak akan baik akibat yang akan ditimbulkannya. Tapi, mumpung bapak dan ibu sekalian sudah datang, saya akan mengatakannya sekarang.”
Terlukis keheranan pada raut wajah setiap orang yang datang itu. Namun, aku tak tahu pasti bilakah mereka sudah mengerti isi hatiku. Ku lihat pendeta menelan ludah. Seorang wanita memperbaiki duduknya. Seorang bapak mengatupkan mulut dengan kencang. Yang lainnya menata lantai.
“Katakan saja pak. Kami siap menerima keluhan dari jemaat. Sudah tugas kami sebagai penatua dan syamas, pelayanan khusus, untuk mendengar suara jemaatnya. Itulah yang diajarkan Kristus,” kata pendeta memecah keheningan.
“Saya sudah memutuskan untuk tidak akan bergereja lagi,” mendadak semua kepala pendengar terangkat, mencari kepastian yang barusan mereka dengar, “Saya bahkan sudah tak ingin beragama lagi. Buat saya agama hanyalah jembatan untuk dekat dengan sang pencipta. Gereja sekarang kini adalah jembatan yang rapuh. Dan, menurutku, agama bukanlah satu-satunya jembatan untuk dekat dengan Tuhan. Sudah puluhan tahun saya bergereja. Sudah puluhan saya mempelajari sejarah gereja. Yang kutemukan hanya kegagalan gereja. Kalaupun ada keberhasilanya, hal itu pun bisa dilakukan tanpa harus bergereja. Lagipula, Yesus datang kedunia tidak membawa agama. Dia membawa damai. Bukan menganjurkan membentuk organisasi besar dunia yang berkuasa dan mengatur untuk kepengatan golongan penguasa. Pimpinan gereja mengira bahwa mendirikan organisasi gereja yang besar sama dengan membangun kerajaan Allah. Pemuka agama kita telah salah memaknai kerajaan Allah yang Yesus pernah ucapkan. Gereja bukanlah kekuasaan, melainkan pelayanan. Pelayanan adalah pelayanan. Bukan kekuasaan. Karena kekuasaan adalah kekuasaan.”


- dan berarti alfa dan omega. Simbol itu melambangkan Yesus Kristus sang pembawa damai.
- Penulis adalah guru bahasa Inggris di SMP Kristen Tondei. Juga sebagai dosen di Universitas Kristen Indonesia di Sulawesi Utara.

SEBUAH CERPEN: KEKUASAAN GEREJA


jaKekuasaan Gereja
Oleh Iswan Sual, S.S

Pimpinan dan jemaat gereja di Jakarta berunjuk rasa di depan kantor agama dan gubernur serta di DPR DKI Jakarta kemarin. Mereka meminta perlindungan pemerintah. Menjamin hak-hak mereka untuk beribadah. Pada hari jumat hingga hari minggu beberapa gereja diserang massa yang terang-terang sudah dikenal. Organisasi itu sudah akan akan merayakan dies natalis organisasinya ke 12 tahun ini. Sudah banyak tempat ibadah yang mereka porak-porandakan. Tak hanya gereja yang diserang. Mesjid juga. Jemaah Muhammadiah juga dibunuhi oleh mereka. Pemerintah tak berbuat hal nyata untuk menjamin hak-hak warganya untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Paling banter hanya memberikan pernyataan “mengutuk” tak terkesan membiarkan. Padahal organisasi itu sudah jelas-jelas meresahkan dan justru pernah mengeluarkan ancaman untuk menurunkan presiden dari tampuk kekuasaannya.  Sebegitukah pengecutnya pemerintah kita sehingga mereka terus memelihara ular dalam rumahnya. Yang terancam tak diperdulikan.
Di Koran juga kubaca pimpinan-pimpinan agama di daerah kami mempublikasikan pernyataan mereka. Semuanya bernada sama: mengutuk tindakan penyerangan terhadap gereja itu. Mereka juga menghendaki agar pemerintah memberikan balasan setimpal kepada para pelakunya. Padahal orang-orang yang diserang itu tak berniat sedikit mengutuki dan membalas mereka. Mereka hanya meminta pemerintah agar mereka diberikan kenyamanan dan ketentraman sebagai warga negara. Para pemimpin agama di daerahku bahkan berlebihan dengan penunjukkan rasa simpati mereka. Rasa simpati yang sebenarnya dibungkus oleh keinginan untuk tampil sebagai pahlawan. Berharap agar masyarakat bahkan dunia melihat bahwa mereka peduli dan menginginkan agar kemajemukan harus senantiasa dijaga. Mereka meneriakkan penjaminan hak-hak setiap orang beribadah dan berkeyakinan. Mereka menyumpahi para Islam garis keras yang memboikot rumah-rumah ibadah yang hendak dibangun. Tanpa tahu duduk persoalannya.
***
Seperti biasa, setiap hari minggu saya ke gereja. Demikian juga hari ini. Batin saya yang sumpek di enam hari boleh terasa sejuk setiap kali saya melangkahkan kaki rumah Tuhan. Alunan musik yang ciptakan pada abad 13 dimainkan begitu sempurna. Seketika itu kurasakan suasana surga melingkupiku. Senyum dan tawa mengembang pada semua orang berdatangan. Kami saling berjabat tangan. Begitu sejuk suasana terasa.
“Pertolongan kepada kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi, yang tetap setia untuk selama-lamanya dan tidak meninggalkan perbuatan tangaNya. Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai saudara-saudara,” ucapan khadim di atas mimbar menambah kesejukkan dalam batinku. Bagaikan titik embun pagi hari. Seumpama pohon-pohon perteduhan di saat mentari menyengat sepanjang hari.
“Amin,” balas kami.
Bila suasana ini mampu membuat batinku tenang aku rela tinggal lama dalam gedung ini. Akan kujual seluruh hartaku untuk para pendeta dan pelayan Tuhan. Akan kubaktikan hidup ini untuk gereja. “Saudara-saudara sekalian, mari kita persiapan hati kita untuk mendengarkan suara Tuhan…” ini yang paling kutunggu. Disinilah pesan-pesan indah tentang kedamaian diungkapkan. Di waktu inilah Tuhan menjelma membagikan percikan-percikan keadaan surgawi. Seperti mana surgawi dilimpahkan kepada bangsa Israel kita mereka ditempah di  gurun dalam perjalanan ke tanah Kanaan.
“Kita sebagai cepat harus saling memperhatikan. Saling mengunjungi di saat sakit, saling mengingatkan bila ada yang mulai menyimpang dari jalan Tuhan. Didiklah anak-anak kita agar menjadi taat pada agama dan gereja. Didiklah mereka agar selalu dekat dengan Tuhan…Mari taburkan damai ke sekeliling kita……tapi kita juga seharusnya waspada. Jangan, besok-besok anak-anak kita dulu bernama Maria lalu menjadi Siti Mariam, Yohanes menjadi Ibrahim, Sarah menjadi Siti Hajar, Ishak menjadi Ismail, Imanuel lalu berubah menjadi Muhammad. Jangan! Jangan saudara sekalian. Jangan berikan kesempatan. Awalnya mereka datang dengan senyum, ada  yang pura-pura jual bakso, mie ayam, jamu, sayur, tahu. Kemudian lama kelamaan mereka akan membeli rumah di kampung kita. Mereka akan tinggal. Seiring waktu mereka mengundang keluarga mereka dari Jawa sehingga mereka dapat mendirikan mesjid.”
Aku terhenyak dengan khotbah pendeta. Awalya dia berbicara tentang kedamaian. Selanjutnya dia menaruh rasa curiga pada jemaat agar mewaspadai orang yang datang. Dia juga menyebutkan cara-cara penyebaran agama Islam yang bakal terjadi di kampung kami. Bukankah begitu juga cara Riedel dan swharz sewaktu mereka membawa agama Kristen ke tanah Minahasa?
Dia menyebutkan deretan nama seperti Siti Mariam, Ibrahim, Siti Hajar, Ismail dan Muhammad seolah-olah mereka adalah sosok yang menebarkan permusuhan ke dunia. Seolah-olah mereka adalah orang jahat yang juga dibenci oleh Tuhan. Siti Mariam, bukankah dia itu nama dari ibu Isa (Yesus) dalam bahasa Arab? Ibrahim apalagi. Bukankah itu nama Arab dari bapa semua orang beriman, Abraham. Hajar dan Ismail bukankah Allah memberkati mereka juga. Muhammad, bukankah dia mengajarkan kepada pengikutnya agar tak memusuhi orang Kristen? Bukankah dia sangat menghormati orang Kristen karena pamannya (beragama Kristen) juga yang menikahkan dia dengan istrinya?
Kenapa tega-teganya pemuka agama mengajarkan umatnya untuk membenci umat lain. Para pemuka menampakkan kerukunan dalam lembaga tetapi ketika mereka pulang ke asal mereka masing-masing, mereka menebarkan benih permusuhan. Pantas saja kita terus berkelahi.
Saat ibadah selesai aku pulang tanpa menyalami sang pengkhotbah. Senyumku hilang seiring benih-benih perpecahan ditabur di dalam gereja.
***
“Selamat sore,” terdengar suara dan ketukan pada pintu. Dari balik jendela aku melihat tiga sampai lima orang. Aku kenal mereka. Setiap hari minggu aku selalu melihat mereka, dengan stola putih berbordir ∆ dan Ω, duduk wibawa rohani yang ternyata dibuat-buat. Kulihat sang pengkhotbah juga berdiri di depan pintu.
“Selamat sore,” sahutku setelah membuka pintu, “Ada ya?”
“Begini, kamu hendak bertemu dengan bapak.”
“Bapak? Oh ada. Dia di belakang sedang memberi makan bebek dan ayam. Aku panggil ya…”
“Kami datang untuk bertemu anda,” kata bapa yang sudah beruban, memotong pembicaraanku.
“Maksud bapak, mau ketemu saya? Oh silahkan duduk.”
Lima orang ini tampak enggan untuk berbicara. Senyuman mereka terkesan hanya dibuat-buat. Tak berapa lama ayah dan ibu muncul dan langsung menyalami pendeta dan rekan-rekannya. Ayah dan tampak respek sekali pada pendeta. Bahkan kelihatan malu bercampur takut. Seperti Adam dan Hawa yang malu setelah ketahuan oleh Tuhan karena telah menelan “buah pengetahuan buruk dan baik” yang disuguhkan oleh si ular.
Setelah didahului doa yang panjang, sang pendeta mulai bertutur:             
“Kedatangan kami kesini untuk melihat jangan-jangan saudara sedang sakit. Soalnya sudah dua bulan tidak pernah kami lihat di gereja. Biasanya bapak yang paling rajin.”
Oh ternyata ini toh maksud kedatangan mereka. Bukan yang sakit. Sebenarnya merekalah yang sakit. Mereka seharusnya mengunjungi dan mengembalakan jiwa mereka yang digerogoti oleh rupa-rupa penyakit, terutama penyakit curiga dan antikris. Kalau mereka tidak menjalankan anjuran dan ajaran Kristus, tak keliru kalau aku menyegel mereka sebagai antikris.
“Memang sudah lama saya mau bicara dengan bapak dan ibu sekalian. Sudah lama saya aktif dalam gereja. Sudah lama juga saya mempelajari gereja dan agama. Dan inilah saatnya saya mau bicara, kebutulan bapak dan ibu sekalian adalah wakil gereja. Sebetulnya saya telah memutuskan membacakan surat pernyataan saya di gereja, namun mungkin itu tak akan baik akibat yang akan ditimbulkannya. Tapi, mumpung bapak dan ibu sekalian sudah datang, saya akan mengatakannya sekarang.”
Terlukis keheranan pada raut wajah setiap orang yang datang itu. Namun, aku tak tahu pasti bilakah mereka sudah mengerti isi hatiku. Ku lihat pendeta menelan ludah. Seorang wanita memperbaiki duduknya. Seorang bapak mengatupkan mulut dengan kencang. Yang lainnya menata lantai.
“Katakan saja pak. Kami siap menerima keluhan dari jemaat. Sudah tugas kami sebagai penatua dan syamas, pelayanan khusus, untuk mendengar suara jemaatnya. Itulah yang diajarkan Kristus,” kata pendeta memecah keheningan.
“Saya sudah memutuskan untuk tidak akan bergereja lagi,” mendadak semua kepala pendengar terangkat, mencari kepastian yang barusan mereka dengar, “Saya bahkan sudah tak ingin beragama lagi. Buat saya agama hanyalah jembatan untuk dekat dengan sang pencipta. Gereja sekarang kini adalah jembatan yang rapuh. Dan, menurutku, agama bukanlah satu-satunya jembatan untuk dekat dengan Tuhan. Sudah puluhan tahun saya bergereja. Sudah puluhan saya mempelajari sejarah gereja. Yang kutemukan hanya kegagalan gereja. Kalaupun ada keberhasilanya, hal itu pun bisa dilakukan tanpa harus bergereja. Lagipula, Yesus datang kedunia tidak membawa agama. Dia membawa damai. Bukan menganjurkan membentuk organisasi besar dunia yang berkuasa dan mengatur untuk kepengatan golongan penguasa. Pimpinan gereja mengira bahwa mendirikan organisasi gereja yang besar sama dengan membangun kerajaan Allah. Pemuka agama kita telah salah memaknai kerajaan Allah yang Yesus pernah ucapkan. Gereja bukanlah kekuasaan, melainkan pelayanan. Pelayanan adalah pelayanan. Bukan kekuasaan. Karena kekuasaan adalah kekuasaan.”


- dan berarti alfa dan omega. Simbol itu melambangkan Yesus Kristus sang pembawa damai.
- Penulis adalah guru bahasa Inggris di SMP Kristen Tondei. Juga sebagai dosen di Universitas Kristen Indonesia di Sulawesi Utara.

SEBUAH CERPEN: BUYUT


BUYUT
Oleh Iswan Sual, S.S

Sinar mentari perlahan merayap masuk melalui celah-celah jendela yang masih tertutup di kos Chintia. Gadis kuliahan semester lima yang punya tubuh sintal dan dikaruniakan Tuhan rambut dan kulit terang sibuk menempatkan piring dan sendok di atas meja untuk dikeringkan. Peralatan makan itu baru saja selesai dicucinya. Sedangkan Valeri pacarnya dengan belek besar di sudut mata sedang asyik pula dengan aktifitasnya. Bunyi tik tak tik berirama seakan sengaja diduetkan dengan bunyi piring dan sendok yang diletakkan satu per satu. Pagi yang lengang menjadi riuh menganggu para mahasiswa lain yang masih ngorok di kamar masing-masing.
Sudah dua tahun terakhir mereka menjadi pasangan kumpul kebo di kos-kosan Tataaran. Aktifitas keseharian mereka adalah kuliah di Universitas Negeri Manado. Mereka berdua termasuk mahasiswa panutan. Kartu Hasil Studi selalui dibanjiri nilai A dan B. Secara akademis, mereka tak mengecewakan orang tua. Namun yang pasti kebersamaan intim dengan status belum nikah adalah pengecualiannya. Itupun kalau ada teman sekampung punya mulut yang bocor membeberkan kehidupan bebas ala  Perancis sampai di telinga orang tua mereka.
“Apa kakak saya ada?” terdengar suara di depan pintu setelah Chintia membuka pintu yang baru saja diketuk pelan.
Sedikit Valeri mendongak memastikan siapa yang mencarinya. Rupanya Kandar adiknya. Dia seorang mahasiswa Jurusan Psikologi yang sangat menentang teori-teori Karl Jung murid Sigmund Freud pencetus teori Psikoanalisa. Pernah dia bilang bahwa pemikirannya lebih tajam daripada pemikiran Jung. Beberapa kali paper dan artikel yang telah dimuat di koran lokal dan nasional dipamerkan ke Valeri. Karena ketidakpahaman dan ketidaktertarikan, Valeri tampak bingung dan hanya mengangguk-angguk bak orang bijak baru saja membuat kesimpulan setelah proses perenungan sesuatu hal.
Kandar lain dari biasanya. Pakaiannya serba hitam. Raut wajah kusut dan lesu. Tak bertenaga. Bagai bunga kehilangan asa ketika tercerabut dari tanah.
“Kamu punya uang tidak?” tanpa dipersilahkan, dia duduk, “Saya mau beli pulsa untuk nelpon. Sepuluh ribu saja.”
Lebih dari dua kali Valeri menyebut kata “tidak punya”. Berbagai alasan meluncur dari mulut yang belum dibasuh. Bau nafas tersebar ke segala penjuru ruangan. Asam lambung Kandar meningkat. Sakit mag kambuh.
“Eh, Buyut sudah meninggal. Semalam dia ditembak Brimob,” suara yang sebenarnya ditahan-tahan keluar juga. Telah diusahakannya agar kalimat itu jangan terciprat agar kakaknya tak salah sangkah dengannya. Dia tak menginginkan kematian temannya menjadi alasan memalak secara halus kakaknya. Tapi, terpaksa harus. Pagi ini Kandar memang betul-betul tak memiliki sepeserpun. Padahal dia harus menghubungi teman-teman kelasnya dulu untuk memberitahukan kematian Buyut. Teman SMU-nya itu ditembak polisi jam 02.04 dekat poskamling pertigaan lorong inpres Tataaran.
Kandar menuturkan kronologi sambil menunduk tak berani menatap Valeri. Wajah masam nun gundah dirasa tak perlu dipertontonkan kepada kakaknya. Tak ada hubungan, pikirnya. Bagi orang yang tak kenal dekat, orang akan langsung menyimpulkan Buyut sebagai seorang preman yang suka mengganggu orang dan kerjaannya hanya mabuk melulu tanpa sedikitpun memikirkan masa depan. Tetapi bagi Kandar dia adalah penyelamat. Bukan hanya sekali Kandar dibantunya saat dompetnya kosong melompong. Berhari-hari makan di rumahnya. Berteman dengan seorang anak Tataaran adalah sebuah keuntungan. Jiwa sosial Buyut melebihi khotbah-khotbah pendeta di atas mimbar. Dia lebih banyak mempraktekan kasih. Sedangkan pendeta lebih suka menghipnotis jemaat dengan khotbah yang ujung-ujungnya meyakinkan jemaat bahwa mereka sebagai pendeta berhak menerima bagian sebagai golongan Lewi. Padahal jelas diuraikan oleh Alkitab bahwa golongan Lewi perlu diberi karena mereka tak mendapatkan warisan di antara anak-anak Yakub yang lain. Apakah pendeta orang Lewi? Apa mereka tidak mendapat warisan dari orangtua mereka?
Setelah memberi uang Rp 10.000 Valeri mulai berkemas. Chintia turut membantu memasukkan pakaian ke dalam tas. Juga dua buah kamus Inggris-Indonesia yang disusun John Echols dan Hassan Shaddily dititip untuk diberikan kepada dua adiknya yang baru saja masuk Sekolah Menengah Pertama di kampung. Ada sedikit rasa bersalah timbul di lubuk hati  Valeri karena sudah agak kikir pada adiknya yang hendak membantu keluarga Buyut yang dirundung duka nestapa. Bagaimana tak berduka? Buyut adalah anak satu-satunya. Pekerjaannya sebagai supir sudah menopang ibunya 10 tahun terakhir.
“Aku jalan dulu ya,” kata Valeri tanpa disahut oleh satu orangpun dalam kamar kos bercat biru laut itu. Warna biru ikut-ikutan memperkuat simbol duka semua orang dalam kamar. Hanya anggukan yang diterima Valeri. Kandar keluar kamar lebih dahulu. Sementara Chintia berupaya menahannya sebentar agar mendapat kecupan dan dekapan mesra sang pujaan hati.
Rasa gembira pulang kampung tak memacuh langkah Valeri. Biasanya pulang kampung selalu menjadi sebuah episode hidup yang menyenangkan. Kini, Valeri telah berada di jalanan. Kendaraan serasa mau menyenggol tapi diabaikannya. Valeri berjalan dengan perhatian buyar. Rasa bersalah pada Kandar. Rasa bersalah pada Buyut. Sentuhan kasih Buyut semasa dia hidup pernah dirasakannya. Bukan hanya pernah. Beberapa kali malah. Dan selalu terjadi ketika dia turun dari mikro. Biaya ongkos angkutan selalu saja dibebaskan Buyut. Sampai-sampai Valeri enggan lagi menumpang di mikro yang dikendarai Buyut. Buyut…Buyut. Tampangnya saja yang serem. Tapi dia begitu dermawan. Valeri bergumam.
Sekarang ini Valeri telah berada di atas bus menuju kota Manado. Dia akan menempuh rute yang panjang hari ini. Tataaran-Karombasan-Pasar 45 (untuk beli buku di toko buku Gramedia)-Malalayang-Amurang-Tondei-Pelita. Keempat roda bus laju melunjur menanjak melewati bukit Kasuang. Tiba-tiba bus terhenti. Kerumunan orang dengan sepada motor, jumlahnya kurang lebih 300an nampak standby di depan kantor PLN Kaaten Tomohon. Beberapa orang terdengar mengeluarkan keluhan. Bahkan disertai makian. Kutempelkan mataku ke kaca jendela. Melihat-lihat apa yang sebenarya berlangsung. Mengapa begitu banyak orang berkerumun? Seperti ada kampanye. Begitu bus maju dua langkah, aku membaca spanduk putih dengan tulisan, “Buyut, kami siap sedia menggiringmu ke surga.”
Air mata sontak tumpah. Tak lagi dapat kubendung. Dalam diam tertahan Valeri sesenggukan. Dia dikuasai emosi. Ratapan seakan mau pecah. Terucap doa, “Ya Tuhan, terimalah anakMu Buyut. Ampunilah dia yang memukuli polisi kala dia tengah mabuk. Dia bukan orang jahat. Dia hanya sedikit nakal. Maklum anak muda. Ampunilah pula polisi yang menembaknya. Dia juga masih mudah. Masih berdarah panas. Tak dapat menahan emosi. Ampunilah . Mereka hanyalah manusia biasa. Yang tak lepas dari salah. Amin.

28 Juli 2012

SEBUAH CERPEN: SENDE'U KIABA


SENDE’U KIABA
Oleh Iswan Sual

Ada seorang pemuda bernama Pret Sual. Dia terkenal sebagai seorang lucu dan rajin berdagang. Cakupan kegiatan dagangnya sampai ke tanah Bolaang Mongondow. Dimana-mana dia pergi kelakar dan kelucuannya selalu ikutserta. Perawakannya yang kecil serta kulitnya yang agak gelap menyamarkan keasliannya sebagai orang Minahasa. Jadi, ketika dia mengaku-ngaku sebagai orang dari satu tempat dan dengan nama tertentu orangpun percaya. Mereka takkan menyangka bahwa dia sebetulnya orang Minahasa. Dia pernah menyamar dengan nama Sende’u Kiaba. Temannya yang menemaninya pergi berdagang ke segala penjuru menyaksikan hal itu. Dia selalu saja hampir dibuat mampus oleh kejenakaan Pret. Maka, diapun dia dipanggil Sende’u Kiaba sampai ketika dia pulang ke kampungnya. Temannya itu yang mempopulerkan nama itu.
Ketika batibo gula sudah tidak cukup memberikan penghasilan bagi Pret, dia memutuskan untuk berganti profesi. Karena bertepatan lagi musim pemetikan cengkeh dia memutuskan untuk menjadi pemetik cengkeh. Suatu pagi dia berteriak historis di tengah perkebunan. Para pemetik cengkih yang lain kaget dan keheranan.
“Tolong! Tolong! Tolong!” teriak Pret.
Awalnya para pemetik hanya mengacuhkan saja. Sebab mereka tahu bahwa itu suara Pret. Dan mereka selalu percaya Pret akan berbuat usil.
“Tolong saya! Tolong saya! Tolong!!” teriak Pret semakin melengking.
Prêt berseru sangat keras namun lama kelamaan dia teriakkannya semakin melemah. Para pemetik yang tengah sibuk memetik demi mencapai target memetik seratus liter. Mereka memikirkan bonus yang diberikan oleh majikan. Bonus yang tak tanggung-tanggung akan sangat membuat mereka gembira dan senang bukan kepalang. Satu kerat botol bir dan beberapa bungkus rokok.
“Tolong!” teriakkan terakhir sangat mencurigakan.
Para pemetik lain di sekitar menunggu teriakkan lain tapi tak ada. Mereka berpikir dan merenung sejenak. Tak sampak lima detik semua pemetik yang berada di lalako teratas tangga bergegas turun. Seolah tak peduli mereka akan terjatuh. Semua teman-teman pemetik  Pret akhirnya punya pikiran yang sama tentang Pret. “Pasti telah terjadi sesuatu yang buruk pada Pret. Kali ini pasti dia sungguh-sungguh minta tolong.”
Merekapun berlari seperti dikejar-kejar hantu menyusuri bidang tanah yang miring. Mereka terpelanting-pelantung karena lebatnya rerumputan. Semua panik tak menentu. Pret tergeletak tak berdaya di samping tangga yang juga tergeletak. Mereka kebingungan mencari-cari tahu keadaan Pret. Pelan-pelan Pret bergerak. Seolah baru tersadar dari pingsan.
“Tolong kitia. Tolong se badiri akang kitia pe tangga. Dari tadi kita mo sandar ini cingkeh mar berat skali. Nda mo ta angka. Ne, blum ada kita da pete,” kata Pret nyaris tertawa.
Teman-temannya yang tadinya mengira bahwa Pret kecelakaan, akhirnya terpaksa membantu Pret dengan berat hati.