Oleh Iswan Sual
Wany sampai di rumahnya saat hari
belum gelap. Begitu lega dia saat mencium aroma rumah. Dia senang karena sempat
memberi tumpangan kepada seorang ibu dan anaknya sewaktu dalam perjalanan tadi.
Kebanggan membantu orang itu nampak pada wajahnya yang berseri-seri.
Sementara karena tak muat, sang suami
dan bapak itu ditinggal saja. Dia harus membetulkan rantai sepeda motornya yang
putus. Tadi, sewaktu melihat motor mogok, Wany menepi dan menegur sekeluarga
itu. Tampak seorang wanita dengan seorang anak lelaki yang masih kecil duduk
pada batu-batu timbul yang besar. Menunggu. Si suami yang bernama Yohanes
begitu Kuat konsentrasinya. Hanya sekali
saja dia menoleh pada Wany. Rantai yang putus berusaha diperbaikinya dengan
hanya menggunakan tang dan obeng. Dia
memiliki keyakinan pasti sanggup memperbaikinya sebelum hari menjadi malam. Mungkin
sudah sering dia mengalaminya.
Wany memang tak tahan melihat
orang dalam kesusahan. Dia berupaya memberi bantuan selama itu bisa dilakukannya.
“Dimana jo ngana, jangan lupa tolong orang laeng yang susa,” itulah didikan
orang tua dan gurunya yang senantiasa dia ingat sampai sekarang.
“Kyapa?” sapa Wany dengan bahasa
Melayu Manado pegununungan yang berarti ‘kenapa’ sambil mendorong kaca helem keatas
untuk menyingkap wajahnya agar gampang dikenali.
“Putus tu rante no,” jawab
Yohanes sambil terus bekerja.
“Kalu kita, ta so nda tahu mo
beking bagimana itu,” Wany memberikan komentar merendah diri yang juga sebagai
kata lain bahwa dia tak bisa bantu
apa-apa.
Bulan lalu, sewaktu sepeda motor Wany
mendadak mati, si Yohaneslah yang
membantu menariknya dengan menggunakan tali rafia hingga mencapai rumah. Kalau
tidak ditolongnya, tentu waktu itu Wany harus mendorong sepeda motornya
sepanjang 3 km. Dan pasti itu akan sangat melelahkan. Jalan Tondei yang rusak
dan bertanjakkan jauh akan menyukari Wany yang tak biasa. Mungkin ia akan tiba di
rumah ketika sudah jauh tengah malam.
“Nintau lai kyapa ona ini motor korang
putus-putus rante. Padahal baru ki’i ganti gir deng rante minggu lalu. Dorang
bilang kata gir so tajam. Baru ganti no,” keluhan sang istri tampak begitu
dalam. Menyiratkan kerisauan tak terselam.
Yohanes memang seorang suami yang
rajin. Namun pendapatan mereka kadang tidak cukup untuk mengongkosi kehidupan
mereka sehari-hari. Anggaran rumah tangga lebih banyak beralih kepada sepeda
motor yang sudah menjadi seperti anggota keluarga bagi mereka.
Walaupun keadaannya kini
memprihatinkan, tapi Yohanes tak berani sedikitpun meremehkan bantuan yang
telah roda dua itu lakukan. Meskipun sering mogok, perjalanan jauh setiap hari
menjadi ringan sejak kehadirannya. Sebagai imbalannya dia harus terus diberi
perawatan yang tak murah.
Wany ingin memberikan tumpangan
bagi mereka. Terutama kepada si wanita
dan anak yang masih berumur jagung itu. Tapi dia sedikit ragu. Bukan karena dia
pelit. Cuma, dia tak mau saja disangka maniso. Istri Yohanes memang
sungguh elok. Namanya Syuli. Kalau tak kenal, pasti dia akan disangka sebagai
seorang gadis. Kulitnya yang putih dan bodinya yang
aduhai menyimpan kenyataan bahwa dia telah menikah dan memiliki dua orang anak.
Wany tak mau saja dianggap
berusaha menolong karena ingin bersentuh-sentuhan dengan Syuli. Apalagi
akhir-akhir ini ada beberapa kasus perselingkuhan di kampungnya. Dia tak mau
masuk dalam daftar orang-orang yang akan terusir dari kampung.
“kita smo kamuka dang ne,” kata
Wany. Menunggu dan berharap mereka
memintanya bantuan.
Secepat kilat Yohanes memalingkan
wajah ke istrinya yang sedang duduk pada bebatuan timbul di pinggir jalan.
Istrinya nampak lelah. Penuh keringat. Seumpama gembel perawakannya.
“Ato ngana nae jo motor deng Wany,”
kata Yohanes kepada istrinya sambil menghentikan pekerjaannya sejenak.
Tangannya yang penuh oli tanpa sadar menyeka wajahnya. Wajahnya kini belepotan.
Terlihat dia mempercayai Wany. Mungkin pikirnya, “Tak mungkinlah seorang
pelayanan Tuhan melakukan yang macam-macam pada istrinya.” Padahal, yang paling
sering berselingkuh bahkan korupsi di negara ini justru mereka yang menyebut
diri sebagai hamba Tuhan dan pelayan rakyat.
Wany juga tak menyangka dia
hendak membiarkan tubuh istrinya bersentuhan dengan tubuh Wany. Sungguh tak
akan Wany lakukan bila Wany beristri
nanti. Tubuh muda istri Wany tak akan pernah bersentuhan dengan tubuh orang
lain. Jalan Ongkau ke Tondei yang sarat dengan lubang dan batu besar timbul,
tak mungkin dapat menghindarkan mereka dari persentuhan. Tentu guncangan-guncangan
akan membuat mereka bersentuhan. Jarak 9 km cukup lama untuk Syuli memasrakan
hidupnya pada Wany. Saat sepeda motor Wany rem dia akan mendekat. Saat Wany kencangkan,
dia juga akan mendekat. Jadilah mereka seperti sepasang remaja yang sedang
pacaran di atas sepeda motor. Suasana akan begitu romantis ketika mereka melihat
pemandangan sekitar yang begitu indah. Deretan pohon nyiur dan cengkih begitu
menggiur. Gunung Lolombulan dan Sinonsayang kehijau-hijauan akan menghadirkan
suasana tenang hingga Wany akan tersihir untuk melambatkan sepeda motor supaya
kebersamaan dan sentuhan boleh berlangsung lama.
“Sudah?” tanya Wany pelan. Sepeda
motor bergerak. Mesin mulai berteriak-teriak menginjak-injak kerikil tajam dan
batu-batu timbul.
“Sudah,” jawab Syuli terlambat.
Suara dengan nada datar, terdengar begitu ringan sampai memabukkan teling Wany.
Sungguh suara yang lembut. Oh Syuli nama yang elok bak Yuli kekasih hati Romeo.
Sewaktu Syuli menaiki sepeda
motor tubuh Wany gemetar kecil. Wany penasaran dengan lembutnya tubuh seorang
wanita bersuami dan beranak satu itu. Wanita dengan pengalaman-pengalaman biologis
yang cukup lama. Wany sendiri, kalau dia mau jujur, belum pernah merasakan hal
yang demikian. Paling-paling dia hanya pernah menyaksikan dalam adegan-adegan
film biru yang disuguhkan secara paksa oleh teman-temannya sewaktu masih
bersekolah di SMU Tombasian. Berbagai jenis gaya dan aliran sudah dia lahap
semua. Itu nanti akan jadi rujukan ketika menikah nanti. Di umurnya yang sudah
hampir tiga puluh dia bukan makin tambah bijak namun libidonya semakin
mendesak. Kadang dia merasa sulit menahan desak-desakan badani itu. Kadang
terpikir untuk segera menikah supaya dia bisa menyalurkan segala nafsu alamiah
itu. Tapi, dia tak ingin menjadikan itu sebagai alasan utama untuk masuk dalam
rumah tangga. Dia tahu, tidak sedikit pernikahan yang hancur karena hubungan
kelamin yang diutamakan daripada keterkaitan batin. Kalau pernikahan sinonim
dengan hubungan badan, berarti kita tak beda jauh dengan hewan. Pikirnya.
Seperti yang ia duga. Semakin jauh
roda sepeda motor berlari, pegangan Syuli kian erat. Tangan Syuli membuat Wany
membagi konsentrasinya. Mengemudi dan menahan gidik dan geli.
Wany memang seorang yang kolot. Waktu yang diberikan Tuhan lebih banyak dia
habiskan dengan membaca. Otaknya penuh dengan teori tapi semua itu sulit baginya
dibuat jadi. Dalam hal wanita dia selalu angkat tangan. Tak punya waktulah. Ada
yang lebih diutamakanlah. Pokoknya, tak pernah dia kehabisan jawaban ketika
ditanyai perihal wanita. Faint heart never wo fair lady. Orang yang penakut takkan
mendapat seorang gadis yang cantik. Itulah pepatah Inggris yang menggambarkan
Wany. Bagi dia, buku adalah teman sejati. Kemana-mana buku selalu
membuntutinya. Tapi bagi orang lain, bukulah yang menghantuinya. Sungguh
kasihan. Rugi kalau dia tak punya keturunan. Wany seharusnya mengabadikan
dirinya. Dia harus menyambung turunan. Hidungnya yang mancung, otaknya yang
cerdas, sifatnya moralis adalah tipe manusia surga. Dia termasuk dalam golongan
orang suci. Ya dia pantas diberi gelar santo. Dia juga adalah manusia pilihan.
Dalam hal wanita dia kalah. Tapi bukan berarti sifat itu membatalkan dia untuk
masuk dalam kategori santo atau orang pilihan. Tentu di jaman modern tidaklah
sulit mendapatkan keturunan dari dia. Kloning adalah jalan keluar bagi jenis
manusia individual.
Kini misi menyelesaikan 9 km
hampir selesai. Sedikit lagi Syuli turun. Selama perjalanan Syuli tak sedikitpun
bicara. Walau hanya sekedar basa-basi. Saat dia menapakan kaki ke pijakan
sepeda motor seperti dia langsung di nontaktifkan oleh suaminya. Ini untuk
mencegah supaya tidak terjadi sesuatu yang buruk di antara kami. Jadinya Wany
seperti menggonceng kayu. Benda tak bernyawa. Wany sedikit kesal sekaligus bersyukur.
Kesal, karena sebagai manusia dia yang diposisikan hanya sebagai tukang ojek.
Syukur karena niatan buruk akhirnya tak menjadi kenyataan. Wany tentu bahagia.
Dia lolos lagi dari satu ujian hidup.
Wany mengantarkan Syuli dan anaknya
sampai depan rumah mereka. Begitu kendaraan beroda dua itu berhenti, Syuli
diaktifkan oleh suaminya dari jarak jauh. Mereka ternyata memiliki telepati
yang terlampau kuat. Banyak rumah tangga
yang berantakan akhir-akhir ini sebab mereka (pasangan suami istri) tak
memiliki telepati. Saat bersama orang lain seringkali mereka lupa diri. Lupa
anak bini. Lupa anak dan suami.
“Singgah kwa e,” kata Syuli saat
kedua kakinya dan anaknya menginjak tanah. Senyuman Syuli begitu mesra. Pasti
suaminya bahagia punya istri seperti Syuli. Dia rela tubuhnya lelah, lecet dan
tergores karena menopang suami di kebun. Tak banyak lagi perempuan seperti Syuli
di jaman sekarang. Kebanyakan sesamanya lebih banyak sibuk dengan urusan
rambut: cat warna, rebonding, keriting,
keramas, busana, bedak dan segala tetekbengek yang sebetulnya tak
penting itu. Wanita masa kini suka sekali dimanja suami. Mereka jadi bergantung
dan tak lagi mandiri. Tak heran mereka banyak menjadi korban keganasan pria.
Banyak suami meninggalkan istri karena mereka tak menjalankan tugas sebagai
penolong yang sepadan. Mereka menjadi beban. Ketika suami tak mampu lagi
membeli mereka pakaian yang bagus, bedak, cat kuku, lipstik, pewarna rambut,
sepatu berhak tinggi, dan rupa-rupa barang lain, maka menuding suami tak lagi
sayang. Harta dan materi telah menjadi ukuran sayang dan cinta bagi mereka.
Syuli sangatlah berbeda. Dia tak
suka berias, kecuali saat ke pesta. Dia tak suka ikut-ikutan mengecat rambut. Karena
itu hanyalah pemborosan. Wany terpesona dengan Syuli. Walaupun Wany sendiri tak
tahu pasti apa Syuli menjalani hidup itu karena panggilan atau karena tak ada
pilihan.
Hidup ini sangat sulit
dimengerti. Kita tak boleh menilai hanya dari kulitnya saja.
Namun, paling tidak, meskipun tak
tahu pasti, Syuli adalah salah satu panutan di antara para wanita masa kini.
“Smo langsung pigi ini. Banya
kerja lai,” Wany menjawab cepat. Kalau Syuli pintar, pasti dia memahami
kegalauan hati Wany. Dia sedang bergulat dengan dirinya sendiri.
Sesampai di rumah Wany melepaskan
satu per satu pakaiannya. Jaket dua lapis membuatnya kepanasan. Dia kini harus
membuang ingatan tentang Syuli. Tak baik memikirkan istri orang terus.
Lama-lama Wany bisa menginginkannya. “Janganlah kamu mengingini kepunyaan orang,”
itu adalah satu satu hokum yang ditetapkan Tuhan. Wany hafal betul ayat itu.
Dia menuju pintu dan membukanya.
Ibu Wany tak bersuara melihat
kedatangannya. Padahal selama tiga hari belakangan dia tak berada di rumah.
Wany juga tak ingin tergesa-gesa menyimpulkan bahwa orang tuanya tak peduli.
Hanya senyum kecil yang nampak dari wajah Ibunya.
Teringat di kantong ada amplop
putih pemberian orang. Wany kembali tersenyum lebar. Dia tahu ada uang sejumlah
besar dalam kantong jaketnya. Selesai memberi kuliah tadi dia diberi amplop putih. Biaya
transpor. Para mahasiswa memberi tanpa diminta. Mungkin mereka iba melihat dosen
mereka yang tak seperti dosen lainnya yang datang dengan mobil mewah tapi
selalu memeras mereka dengan biaya diktat dan lain sebagainya. Rencananya uang
Rp. 200.000 itu akan dia gunakan membayar cicilan laptop yang baru diambilnya
dari teman. Wany sudah lama mengimpikan
punya laptop. Bakat terpendamnya, menulis, bisa tersalurkan lewat benda itu.
Muncul perasaan bangga. Jerih
payahnya tidak sia-sia. Tak rugi dia giat belajar sewaktu kuliah. Semua itu
sangat berarti. Dia so pasti berhak menikmati. Senyum di wajahnya kian
mengembang.
Tak sabar melihat uang itu,
diapun merogoh sakunya.
“Apa?! Tidak mungkin!” detak
jantung berhenti mendadak. Dia coba memastikan lagi. Tak ada amplop di kantong
jaket birunya. Dilihatnya dengan seksama tapi tak ditemukan. Wany terduduk
lemas. Pikirannya berjalan jauh ke belakang. Kembali menyusuri perjalanan
jauhnya.
“Tidak mungkin!” keluhnya sedih.
Kali ini dia mencurahkan semua
barang dalam tas punggung. Semua kantong pakaian digeledanya. Tapi tak ada.
“Pasti sudah hilang,” keluhnya
putus asah.
Dia merenung.
“Mungkin ini adalah akibat karena
pikiran mesum sewaktu menggonceng Syuli,” Si Wany lain mulai mempersalahkan
diri.
Tak tahan dengan perasaan
kehilangan itu, Wany bercerita ke orang tuanya.
“Terima jo kenyataan. Anggap jo
tu doi itu pengganti soe-soe yang mungkin ngana da alami di perjalanan tadi,”
kata ayah Wany.
Wany heran dengan komentar
ayahnya itu. Itu pandangan yang sangat tak kristiani.
“Ada kore’e doi cuma asal taru.
Nda guna re’e ada dompet,” sembur ibu menyalahkan.
Ibu Wany memberikan koreksi
pedas. Tak satupun dari orangtuanya yang paham perasaannya. Dia tak mendapat
penguatan. Dua-duanya sesat menyalahkan.
Wany masuk kamar dan dia berdoa.
Dia berpikir dengan berdoa dia akan memperoleh ketenangan.
“Tuhan, kita perlu doi. Mar
kalu doi itu nda ciri di Tondei, muda-mudahan orang dapa supaya doi itu berguna
for dorang. Kalu ada yang sengaja ambe dari kita pe popoji, beking tu doi itu
tabale pakita spaya dia nda jadi papancuri.
Walaupun tak langsung hilang,
kegalauan dan rasa kehilangannya berangsur-angsur meninggalkan Wany usai dia
berhubungan dengan Tuhan. Sekian.
Selesai Pukul 16.00
Minggu, 16 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar