Oleh Iswan Sual
Sesampai di terminal Karombasan, cepat-cepat aku naik ke bus
dan mencari tempat duduk yang dekat dengan jendela. Karena matahari sangat
terik ku buka sedikit jendela agar udara segar bisa masuk. Walaupun sebenarnya
udara segar itu sudah sedikit tercemar oleh bau pesing dan sisa makanan yang
dibuang secara sembarang di selokan. Beberapa anak dan lelaki dewasa bergantian
menempel di kaca jendela untuk memamerkan jualannya. Diselingi rayuan-rayuan
kecil nan lucu yang sudah usang. Mereka menjual buah kadondong yang telah
dicelup dalam gula selama semalam. Aku paling tidak suka membeli yang
manis-manis di kala matahari penuh dendam membakar. Tak banyak pemandangan
indah bisa dinikmati di terminal ini. Bus yang telah berdempetan seperti ikan
roa menghalangi pandangan mata yang mencari-cari sesuatu yang bisa menyebabkan
kita panjang umur.
Karena panas kian tak tertahan ku cabut koran yang aku
tohokkan di saku samping tas punggungku. Kubalik-balikkan koran mencari berita
yang mampu mengusir kegerahan dalam bus bak oven pemanggang. Kalau waktu dalam
oven ini diperpanjang lagi pasti semua penumpang akan seperti terfufu seperti
ikan cakalang. Koran yang sedang kubaca sesekali kualihfungsikan sebagai kipas.
Kondektur masih terus meneriakkan nama kampung asal Om Sam Ratulangi. Tondano
menjadi begitu murah di terminal karombasan karena diteriakkan berkali-kali
menyaingi sebungkus kacang dari mulut para tunanetra.
“Tondano…Tondano…Tondano,” kata kondektur.
Semua penumpang makin
gelisah. Semua kami menjadi cacing kepanasan yang meliuk-liuk dalam panggangan.
Kesabaran. Yang dibutuhkan dalam keadaan seperti itu hanyalah kesabaran. Sebab
tak mungkinlah kami turun mencari angin terlebih dahulu. Orang lain akan sangat
senang mengganti posisi kami.
“Tondano…Tondano! Satu lei”
Tak sengaja mataku tertuju ke depan. Seorang gadis bertubuh
tinggi dengan rambut terurai berdiri di pintu bus memindai setiap kursi. Akupun
ikut memindai. Beberapa kursi masih kosong. Di sebelahku juga masih kosong. Mata
kami bertemu selama tiga detik. Gadis itu bukan main cantiknya. Dia adalah
representasi gadis Minahasa yang sempurna secara fisik.
Karena tak ingin harga diri jatuh, aku menunduk berpura-pura
melanjutkan membaca. Potret gadis itu tersimpan dalam benak. Dia berkaos merah
dan celana jins panjang hitam. Wajahnya mirip Dian Sastro. Aduhai! Bilamanakah
seorang lelaki kampungan seperti saya bisa mendapat seorang gadis seperti Dian
Sastro Mimpi kali ye!
Tak beberapa lama kemudian seseorang telah duduk di
sampingku. Tak berniat aku menoleh sedikitpun ke samping. Sungguh tak sopan
bila harus bertemu muka dengan jarak yang teramat dekat. Aku bergeser sedikit
ke jendela. Leher yang mulai keram perlu sedikit rileks. Jadi, ku sandarkan
sejenak kepalaku di kaca jendela. Seketika itu sang sopir menghidupkan mesin.
Badan buspun sedikit gemetar sehingga kepalaku terbentur kecil-kecil di kaca
jendela. Lama-lama rasa kantuk mulai datang. Orang yang duduk di sebelahku
rupanya juga mengalami gejalah yang sama. Kepala orang yang duduk di sebelahku
bergerak maju mundur seperti tak terkontrol. Rupanya kantuknya lebih parah
dariku. Saat kesadaranku sedikit menghilang , terasa ada yang menepuk-nepuk
bahu. Awalnya kuanggap tepukan itu dilakukan secara kebetulan. Biasanya orang
yang membuat barang di bagasi atas kepala secara tak sengaja menyangkutkan
barang pada penumpang terdekat. Lama-lama tepukkan itu makin keras dan mulai
agak kasar. Dengan sedikit kesal aku menoleh kea rah yang mengusik itu. Ya
ampun! Dian Sastro rupanya yang menepuk-nepukku. Aku tersentak senang. Ternyata
Dian Sastra mau juga menyentuh seorang lelaki kampungan ini.
“Cowo, bole pinjam bahu?” tiba-tiba Dian Sastro bicara.
Aku kaget setengah mati. Apa aku mimpi di siang bolong? Mana
mungkin Dian Sastro mau meminjam bahuku. Jangankan meminjamkan, memberikan
untuk selamanya pun aku rela.
Kutarik nafas dalam diam-diam. Kupandangi Dian Sastro dengan
sedikit pongah dan kuanggukkan kepada sebagai tanda memberi izin agar bebas
menaruh bahunya di pundakku. Jantungku yang berdebar kutakhlukan agar tak liar.
Badanku yang mulai gemetar segera kukuasai. Dian Sastro akhirnya mendaratkan
pipi kanannya ke pundakku.
Orang yang duduk di kursi belakang dan depan serta samping
pasti takkan percaya bahwa dia bukan kekasihku. Kemesraan ini jangan cepat
berlalu. Aku berharap bus meluncur dengan kecepatan kurang dari 40 km per jam.
Aku juga berharap bus ini mogok di area penginapan Makatembo Tinoor. Pasti
suasana di situ akan menambah keromantisan Dian Sastro dan aku.
Tapi rupanya sopir cemburu dengan kemesraan ini. Lari bus tak
terkendali. Hampir mencapari 80 km per jam. Jalan yang penuh dengan kelok tak
dipedulikannya. Berkali-kali Dian Sastro terhuyung-huyung membentur punggung
kursi depan. Dalam setengah tidur Dian Sastro merapat lebih dekat. Dipeluk erat lenganku. Dalam diam aku salah
tingkah.
Dalam diam aku bertanya-tanya, “Kenapa gadis ini berani
meminjam bahu seseorang yang tak dikenalnya?” Mungkin hal ini adalah sudah
biasa bagi dia. Gadis ini mungkin kecapean karena semalam bekerja sebagai
seorang penari telanjang di suatu tempat hiburan malam di pusat kota.
Barangkali goyangan-goyangan aduhainya begitu menguras tenaga si keke. Atau,
mungkin semalam dia melayani beberapa pelanggan yang tak punya hati, tak
memberinya jedah. Dipakai kala ganti oleh pelanggan yang umumnya
orang-orang penting yang lelah berdebat sepanjang hari untuk memperebutkan
proyek atau jumlah anggaran untuk studi banding mereka ke Bali atau Singapura. Gadis
belia ini mungkin hendak melepas penat di kampungnya dekat danau Tondano. Bus
kini sudah memasuki kota Tomohon. Sejurus kemudian muncul perasaan tak sedap.
Ya Tuhan! Sungguh tak tahu diri. Kenapa aku asyik saja dengan seorang gadis
hingga lupa sama sekali ada seorang gadis lain yang dengan setia menungguku di
kamar kos. Celaka. Aku bisa celaka!
Kupindai lagi kursi-kursi yang telah berpenumpang.
Mencuri-mencuri pandang kalau-kalau ada yang kenal aku. Gawat. Bisa kualat!
Sofli pasti takkan senang tahu aku bermesraan dengan seorang gadis di dalam
bus. Tempat umum.
Perasaanku kini campur aduk. Sentuhan-sentuhan Dian Sastro
kian mengancamku. Tentu Sofli takkan sudi mendengar lagi penjelasan bila aku
tertangkap basah olehnya atau oleh kawan terpercayannya. Makin bus mendekati
Tondano jantungku kian melompat tak karuan. Dinding dada serasa mau jebol. Dian
Sastro tiba-tiba bangun. Diperbaiki wajahnya. Dia memandangiku. Mungkin ingin
tahu betul rupa seorang malaikat yang meminjamkannya sebuah bahu. Aku balas
tersenyum, “puas kau tidur kek,” kataku dalam diam.
Dian Sastro merogoh saku jinsnya. Terdengar suara gemerisik.
“Mau permen?” gadis ini memiliki senyum yang indah. Sungguh
aku takkan menolak bila nanti dia memintaku meminjamkanya bahu.
Hingga kini aku tetap jaim. Tak sedikitpun ku nampakkan bahwa
aku sangat terkesan dengan kelakuan beraninya. Dalam hati aku bersyukur pada
ilahi yang telah mengirim seorang gadis pengusir penat dalam kebisingan raungan
bus sepanjang perjalanan Manado-Tondano.
Ingin sekali aku meminta nomor ponselnya, namun kulempar
jauh-jauh keinginan itu. Tak mau aku keadaan yang tadinya indah akan rusak oleh
kecerobohanku kekanak-kanakkan.
“Muka om!”
Kuturun dari bus tanpa mengucap sepatah kata pun pada gadis
peminjam bahu. Dia juga enggan bicara. Sudah cukup dia menahan malu karena
telah lancang meminjam bahu seorang yang tak dia tahu sudah menikah atau belum.
Hanya nalurilah yang membuat dia yakin bahwa aku masih bujangan. Dalam hal itu
dia tak salah.
Ketika bus sudah menjauh aku tersenyum puas. Dalam diam
kuucapkan, “Selamat jalan Dian Sastro. Semoga kamu tiba dengan selamat sampai
tujuan. Biarlah hal itu menjadi rahasia kita berdua. Perhatian singkat yang aku
beri adalah tulus. Sesekali kunjungilah aku dalam mimpi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar