Oleh Iswan
Sual, S.S
Raungan sepeda motor tiba-tiba
mendekat dan berhenti di halaman rumah kami. Tak biasanya kakakku datang ke
rumah di sore hari begini. Tambah lagi ini hari Jumat. Bukan hari minggu. Yang
anehnya juga adalah dia, suaminya dan kedua anaknya tak semuanya. Jarang-jarang
mereka datang lengkap begini. Biasanya itu hanya terjadi pada hari-hari besar.
Pengucapan, Natal dan Tahun Baru.
Kedatangan merekapun seperti membawa beban dari rumah mereka. Kalaupun mereka
lagi kekurangan makanan di rumah, tanpa basa-basi, mereka langsung membuka
penutup saji dan melahap apa yang ada. Tapi, saat itu tidak.
Namun, seperti biasa, kami yang di
rumah semuanya berkumpul di ruang tamu. Itulah cara kami jika kerabat dekat
datang berkunjung. Cerita mereka selalu ingin kami dengar. Menyadari kehadiran
mereka, aku langsung menghentikan pekerjaanku di kamar dan menyapa mereka satu
per satu. Dan benar, memang ada yang aneh. Lingkanwene, kakak perempuanku,
hanya memberikan senyum tawar ketika kami bersalaman.
“Ibu, sebenarnya siapa ayahku?
Berapa sebetulnya ayahku?” semua anggota terkesima begitu dua kalimat itu
meluncur keluar dari mulut kakakku. Senyuman ramah kami berganti dengan
keheranan. Apalagi ibu.
“Kamu sedang bicara apa, Lingkanwene?”
kata ibu menimpali, “Tentu saja ayahmu si Manuel yang telah meninggal sewaktu
kau masih berumur sebelas tahun. Dan tentu saja ayahmu cuma satu. Kamu pikir
ibu ini wanita apaan di masa dulu?”
Mata ibu berlinang. Tak sanggup dia
menahan sakit hati karena tiba-tiba dituduh sebagai perempuan yang tak benar
oleh anaknya sendiri. Tak pernah dia membayangkan anaknya sendiri yang didik
dengan kasih sayang yang luar biasa menuduhnya seorang perempuan sundal. Tak
pernah dia sangka anaknya akan menyamakan dia dengan dengan perempuan-perempuan
Minahasa lain yang pergi menjual diri ke Kalimanta, Papua, Jawa dan Sumatra
hanya karena ingin di pandang sebagai orang berada di desa.
“Lingkan tak bermaksud begitu, bu.
Lingkan yang terpukul karena semalam seseorang datang mengaku sebagai ayahku.
Dia meminta maaf padaku karena katanya telah meninggalkan aku dan ibu dulu.”
Kulihat ibu menegakkan badan.
Kemudian mengusap air mata yang nyaris mengeras di wajahnya.
“Kenapa kau tak suruh dia kemari
dan bertemu ibu?” kata ibu dengan tatapan serius.
“Aku sendiri memang tidak yakin bu.
Bapak itu mengaku sudah berumur 48 tahun. Sedangkan aku sudah berumur 35 tahun.
Tapi anehnya dia sudah memperlakukan aku seperti anak sendiri. Semalam dia
memberikan Andi dan Lumi seratus seribu per orang. Dia tak tanggung-tanggung
memberikanku 500 ribu. Dia juga sudah janjikan kepada saya dan Roni untuk
membawakan pasir, sirtu serta batu untuk melanjutkan pembangunan rumah kami.
Jadi, saya berpikir, kalau dia tidak yakin aku anaknya, mana dia mau berkorban
sebegitu besarnya. Ibu, maafkan aku, bila yang masih ibu simpan, katakana
padaku. Aku takkan marah pada ibu. Aku janji.”
“Nak, tak ada yang ibu sembunyikan.
Dari kecil ibu senantiasa mengajarkan anak-anak ibu untuk selalu jujur. Karena
ibu ingin kalian juga menjadi orang jujur,” tutur ibu dengan kepala tertunduk.
Dia sangat sedih tak dipercaya oleh anaknya, “Nak, kalau ada orang yang datang
mengakui kamu adalah anaknya, mungkin dia salah orang. Atau bisa saja itu hanya
kedok untuk sesuatu maksud yang lain.
***
Karena penasaran ibu jadi sering
duduk di depan rumah untuk melihat secara langsung supir alat berat yang datang
mengaku-aku sebagai ayah Lingkanwene. Dia memperhatikan dengan teliti tampang supir yang sudah
sebulan bekerja dalam proyek penanganan bencana longsong di desa kami. Tidak
puas dengan dari jarak jauh, hari berikutnya dia mendekati jalan untuk melihat
lelaki itu dari dekat. Tidak ada tanda setitik pun yang bisa membuat ibu kenal
dengan lelaki bertubuh besar itu.
Roni, suami Lingkan, dan kedua
anaknya kini sudah dekat bahkan akrab dengan lelaki itu. Lingkanpun sering
menerimanya di rumahnya. Bahkan memperlakukannya laiknya seorang ayah.
Pekarangan rumah Lingkan dan Roni telah ada dipenuhi gundukan material bangunan
rumah. Kedua anaknya menjadi manja dan mendadak kaya. Makanan ringan yang dapat
menyebabkan berbagai macam penyakit dikonsumsi mereka setiap hari. Mereka tidak
lagi mau disuguhi pisang rebus dan singkong goreng yang diberikan kakek dan nenek mereka.
Kini ibu sakit. Tertekan oleh sikap
anak dan cucu-cucunya. Kemarin, bahkan Lingkan meriaki ibunya dengan kata-kata
kotor ketika ibu datang ke rumahnya agar tak mempercayai lelaki yang tiba-tiba
datang itu.
***
Aku dan ayah terkejut setelah
mendapati banyak orang sedang berbicang-bincang di rumah kami. Seberkas kayu
bakar dan berbagai jenis sayuran kami turunkan dari gerobak. Sejenak ayah
berlalu membawa sepasang lembu ke belangkang rumah untuk memberi mereka makan.
Aku langsung menuju dapur dan mengatur kayu bakar di atas dodika. Tampak
diatasnya nasi sudah matang. Satu per satu kayu yang menyalah aku keluarkan.
Sudah itu aku menuju ruang tamu.
Ayahpun datang tak lama kemudian. Keringat masih bercucuran. Badan belum bisa
disiram dengan air. Bisa-bisa kami sakit, jika kami bersikeras melakukannya.
Aku dan ayah ikut bergabung dengan para tamu. Semua tamu itu kukenal. Kecuali seorang
lelaki yang duduk di antara Roni dan Lingkan.
Terdengar ibu berkata, “Kenal
dengan Meity?” Si lelaki yang tak aku
kenal mengangguk, “Kalau begitu, anak yang bapak cari ada di Manado. Bapak
sedang mencari anak kan? Anak bapak sedang bekerja di sebuah tokoh swalayan
terbesar. Anaknya cantik. Mirip bapak. Dia juga punya tahi lalat yang ditumbuhi
rambut seperti bapak.”
“Oh kalau dia yang bapak cari,
berarti apa yang ibu bilang itu sudah benar. Memang, Meity pernah mengaku
kepada kami bahwa bapak dari putrinya yang bernama Mery berasal dari Boyong.
Memang, ibu mertua namanya Srity. Hanya dipanggil dengan Ti. Wajar kalau bapak
mengira istri saya itu anak bapak. Memang ibu istri saya adalah saudara kandung
dari Meity.”
Si lelaki melempar mukanya ke sisi
lain. Tak jelas apa maknanya. Tampak dia mau menangis.
“Besok saja kita bicara. Kalau
sekarang, aku menangis,” selah si lelaki yang tak ku kenal itu. Suasana jadi
menggantung. Padahal kami berharap semuanya akan menjadi terang malam ini.
***
Malam itu berakhir dengan tanda
tanya. Tapi, aku yakin bahwa ibulah yang benar. Hanya Lingkan yang terus ngotot
bahwa dia percaya dengan perkataan si lelaki yang tak kukenal itu.
Si lelaki itu pulang tanpa permisi.
Roni mengantarnya dengan sepeda motor ke Ongkau. Katanya dia harus pulang ke
Poigar. Keluarga dari istrinya ada yang meninggal.
Dalam perjalanan si lelaki itu
meyakinkan Roni bahwa ibuku telah berbohong. “Harus tes darah. Dengan begitu
akan ketahuan yang sebenarnya, ” katanya. Roni dalam sekejab menjadi percaya
kembali pada si lelaki tak aku kenal itu. Dia kini merasa jijik dengan
mertuanya.
Lingkan tambah yakin setelah Roni
memberitahu perihal itu. Kenyamanan yang mereka rasakan seakan menjadi bukti
tambahan mereka harus percaya pada orang asing itu. Tambah lagi, si Roni sering
sakit-sakitan. Dia jadi jarang bekerja. Roni yang menjadi tumpuan keluarga tak
bisa berbuat banyak. Hidup mereka terselamatkan dengan kemunculuan lelaki yang
tak aku kenal itu.
***
Dua minggu kemudian terdengar
kehebohan di kampung kami. Roni mengobrak-abrik rumahnya. Lingkan sudah
beberapa hari tak pulang rumah setelah diajak oleh si lelaki tak aku kenal itu
pergi rumah sakit. Untuk tes darah. Begitu alasan yang diberikan si lelaki yang
tak ku kenal itu kepada Roni. Ponsel Lingkan dan si lelaki itu tak aktif
kedua-duanya.
Selesai
* Dodika (bah. Manado): tungku
-
Penulis adalah guru bahasa Inggris di SMP Kristen Tondei. Juga sebagai dosen di
Universitas Kristen Indonesia di Sulawesi Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar