Jumat, 03 Mei 2013

MENANG JADI ABU, KALAH JADI ARANG



Oleh Iswan Sual, S.S

Kabut kecil masih hinggap di rambut Lolombulan. Embun masih enggan melompat dari dedaun ke tanah. Burung-burung nampak berkawan, bermain di langit yang agak pekat. Sama-sama sedia menyambut mentari. Tapi masih ada banyak celah terlihat terang. Ada harapan mentari kan datang.
Seorang bertubuh kekar dengan rambut kelimis berjalan tergesah menuju sebuah rumah. Rumah terbesar di desa itu. Ada kegarangan terlukis di wajahnya. Senyum telah lari meninggalkannya kala dia tahu seorang yang bernama Marten menghalangi pekerjaan pembukaan jalan desa. Dia merasa itu merupakan ancaman bagi kepentingannya.
“Jadi bagaimana ini Hukum Tua? Masa anda sebagai kepala desa seperti singa ompong. Apa anda takut pada seorang buta huruf dan yang tak pernah kerja bakti itu?”
Lelaki bertubuh ceking namun tinggi berjalan mondar-mandir. Pikirannya tak menentu. Kedua tangan yang menyilang di belakang dikepal. Dahi mengerut. Usianya terlihat lebih tua dua tahun dibanding tadi pagi sewaktu melayani pelanggannya di kolong rumah yang sudah dialih fungsi menjadi gudang kopra. Kelakar dengan pelanggannya terjadi spontan dan terkesan tulus. Mungkin sebagai salah satu cara menahan agar mereka tak lari ke pembeli kopra lain. Namun, sangat kentara bahwa senyuman dan tutur katanya yang bersahaja dan hangat terlukis tak dibuat-buat.
Kini lainnya ceritanya. Kedatangan seorang pria berbadan tegaplah yang mengusir semua aura positif itu. Pria yang datang dengan beberapa orang itu tak hentinya bicara. Dia mencoba dengan keras meyakinkan sesuatu soal. Sekilas dari jauh tampak lelaki yang banyak bicara itu derajatnya lebih tinggi daripada pria ceking berkulit agak gelap. Nantinya saat dia menggunakan seragam lengkap dengan atribut dan segala tanda heran baru orang tahu bahwa dia bukan rakyat biasa. Melainkan seorang Tonaas. Seorang kepala negara dalam sebuah kampung berpenduduk 4000 orang. Kepala desa. Seorang yang dipilih secara langsung karena dikenal baik oleh masyarakat. Merupakan cerminan demokrasi yang identik dengan yang pernah terjadi di Athena sebelum Masehi.
“Kita harus mengambil tindakan konkrit. Bila tidak, maka kepentingan umum akan kalah oleh kepentingan pribadi. Dan bapak sebagai kepala desa harusnya jangan lengah. Menutup akses jalan adalah kejahatan. Dan kejahatan itu lebih dari perbuatan komunis!”
Kalimat terakhir dirasa sebagai ancaman. Tentu Hukum Tua enggan disebut sebagai pembela komunis. Meskipun, tak ingin dia ikut-ikutan memberi label komunis pada penghalang akses jalan itu. Dia tak mau juga dicap sebagai pemelihara tumbuhnya kekuatan dan pengaruh komunis di desanya. Sadis benar, memang! Melabeli seseorang dengan kata komunis adalah upaya manjur untuk menundukkan orang-orang kampung yang coba membangkang pada pemerintah. Padahal, ada kepentingan pribadi di terbungkus rapih di dalamnya
“Kita harus cepat bertindak. Sebelum terlambat,” kata lelaki berpakaian rapih dengan gaya bicara sok terpelajar itu lagi.
Kurang lebih lima menit Hukum Tua hilang di atas pentas di mana lelaki tadi sedang gencar melangsungkan aktingnya. Kepala Desa muncul tiba-tiba dengan pakaian seragam mirip punyanya Hansip. Bedanya, kepala desa tidak mengenakan sepatu but. Dia hanya beralaskan sandal kulit, kasual. Karena percumalah memakai sepatu bersemir ketika harus turun lapangan mengontrol dan ikut bekerja bersama rakyat.
Memang, hari Senin di kampung kami disebut sebagai hari pemerintah. Istilah yang menakutkan. Istilah yang menonjolkan kekuasaan. Seharusnya sebutannya adalah hari desa. Sebagaimana hari Rabu tak disebut sebagai hari pendeta melainkan hari gereja.
Setelah tampak sudah siap, rombongan kepala desa berjalan dengan langkah panjang-panjang menuju lokasi pekerjaan umum. Sesuai dengan pengumuman di pengeras suara Kerja Umum berlokasi di tengah-tengah kampung. Berhadapan dengan bekas halaman kantor Hukum Tua. Di antara rombongan yang beserta Hukum Tua ada dua anggota Hansip. Satuan pengamanan militeris di tingkat desa atau kelurahan.
Saat rombongan Hukum Tua tiba, terdengar teriakan dari dalam rumah, “Walaupun saya mati, saya tak akan membiarkan sejengkal tanah ini diserahkan.” Suara lelaki dari dalam  rumah terlempar keluar dengan sengaja.
Masyarakat yang telah terkumpul, sebagian besar pria, sontak mengarahkan pandangan ke dalam rumah dari mana suara bersumber. Rombongan Hukum Tua terlibat pembicaraan serius. Si lelaki rapih bicara lantang sambil menuding-nuding ke arah sumber suara dalam rumah.
“Kerja saja. Tak usah dihiraukan. Ini demi kepentingan bersama,” Hukum Tua angkat suara. Akhirnya keberpihakan telah tampak. Rupanya desakan pria berpakaian rapih itu mujarab juga.
Bebunyian berdering yang bersumber dari alat kerja yang mayoritas besi serentak menguasai lokasi tempat kerja. Hanya beberapa orang saja yang tampak hanya berdiri bertopang pada alat yang seharusnya dipakai. Tak tahu kenapa. Mungkin enggan atau takut pada raungan amarah dari dalam rumah. Atau mungkin saja mereka masih menunggu kejelasan siapa yang harus didengar Hukum Tua atau si pemilik tanah.
Tiba-tiba sekeluarga dalam rumah  berhamburan keluar. Situasi menjadi mencekam. Tadinya banyak terdengar guyonan di antara sesama warga masyarakat. Kini pekerjaan mendadak berhenti. Seorang ibu meraung-raung histeris. Dia berusaha menelanjangi dirinya di depan orang banyak. Untung beberapa ibu tetangga berhasil menyerbu dan mencegah agar bagian tubuh yang terlalu pribadi itu tak dipertontonkan ke sejumlah lelaki yang umumnya telah beristri.
“Setan kalian! Mentang-mentang kalian berkuasa seenaknya merampas tanah orang miskin! Semestinya kalian membantu orang seperti kami. Orang yang miskin dan tak berpendidikan cukup. Malah kalian rampasi. Saya tidak takut! Walaupun saya mati, saya takkan mengijinkan kalian mengambilalih tanah saya!”
Beberapa Hansip berlari. Langsung mengerumuni pria yang sudah setengah uzur. Berdiri gagah dia menghalangi orang-orang yang tengah mengobrak-abrik tanah dimana rumahnya berdiri.
“Babi ngoni! Anjing! Pemerintah macam apa ngoni?”
Pria pemilik tanah merontah membabi buta. Beberapa kali tinju Hansip mendarat di wajahnya. Masyarakat yang turut menyaksikan kekerasan fisik yang dilakukan petugas keamanan sontak menghentikan pekerjaan. Geram mereka melihat Hukum Tua dan rombongannya. Masyarakat memperlihatkan muka masam sebagai tanda tak setuju dengan tindakan semena-semena aparat keamanan. Aparat yang seharusnya mengayom.
“Marten, ini demi kepentingan bersama! Kyapa ngana kapala batu.  Dimana ngana pe pemberian for negara?” kata Hukum Tua berusaha menenangkan keliaran pria pemilik tanah.
“Pengorbanan! Pih! Ngoni yang snang. Kita orang kecil jadi korban! Tai babi deng ngoni. Jalang yang sebenarnya bukang di sini. Mar disana. Cuma, karna kita orang kacili, ngoni datang deng rombongan kong injang-injang pa kita deng ta pe bini. Lawut deng ngoni samua! Ngoni pe pemerenta deng pe jabatan di greja kita junjung tinggi. Mar ngoni pe pribadi ta taru di lubang panta! Karna dorang orang orang ada, ngana kapala desa nda brani mo tindaki. Kita bilang satu kali lagi e; jalang yang sebenarnya di sebelah sana. So dari kit ape tete pe tete jalang memang so disitu. Bukan di tanah ini. Pa kita p kintal. Mo kamana lei kita mo taru kita pe ruma? Kalau ini jadi jalang, kita tinggal dimana? Dorang pe tana banya. Kalu mo bacirita pengorbanan, bicara pa dorang yang banya tana. Bukang pa kita!”
Hukum Tua tertunduk malu. Hati nurani telah berbicara. Masyarakat pulang sambil memikul cangkul, linggis, pakowel dan sekop. Tak ada tanda kecewa terlukis di wajah mereka. Malah senang. Walaupun tak turut berjuang bersama Marten, mereka pulang dengan raut wajah kemenangan. Sementara pria berpakaian rapih menunjukkan rasa tidak puas. Beberapa waktu setelah itu dia memaksa pemerintah desa membuat surat laporan kepada pihak yang berwajib dengan isi surat menguraikan bahwa pembuatan jalan umum dihalang-halangi. Tidak lupa juga disentil bahwa itu merupakan tindakan berbau komunis. Dengan terpaksa kepala desa mengiayakan. Dia berusaha tidak mengecewakan pihak manapun. Dia berupaya bertindak lembek ke kedua belah pihak. Namun sikapnya yang plin-plan membuatnya terseret terlalu jauh oleh arus yang diciptkan pria berpakaian rapih itu. Perkara itupun sampai di pengadilan. Baik pihak kepala desa maupun Marten tak ada yang menang. Putusan hakim menyatakan Marten yang benar. Namun, kalau dihitung-hitung, yang menag menjadi abu sedangkan yang kalah menjadi arang. Kedua pihak digerogoti habis oleh mafia hukum: jaksa, pengacara, panitera dan Hakim.
Namun, bagi Marten, itu tetap kemenangan. Setidaknya, walau uang banyak terkuras habis, sampai harus menggadai kwartal-empat bulan panen kelapa, bagaimanapun haknya diakui di depan hukum. Dan orang akan percaya bahwa keadilan masih bisa ditegakkan asalkan diperjuangkan. Sebab, kita masih di dunia. Harus terus berjuang. Beda dengan surga. Di sana tak ada lagi yang perlu diperjuangkan. Semua telah disediakan.


Selesai pada hari Minggu 11 November 2012 di Marore

Tidak ada komentar:

Posting Komentar