Oleh Iswan
Sual, S.S
Kabut kecil
masih hinggap di rambut Lolombulan. Embun masih enggan melompat dari dedaun ke
tanah. Burung-burung nampak berkawan, bermain di langit yang agak pekat.
Sama-sama sedia menyambut mentari. Tapi masih ada banyak celah terlihat terang.
Ada harapan mentari kan datang.
Seorang
bertubuh kekar dengan rambut kelimis berjalan tergesah menuju sebuah rumah.
Rumah terbesar di desa itu. Ada kegarangan terlukis di wajahnya. Senyum telah
lari meninggalkannya kala dia tahu seorang yang bernama Marten menghalangi
pekerjaan pembukaan jalan desa. Dia merasa itu merupakan ancaman bagi
kepentingannya.
“Jadi
bagaimana ini Hukum Tua? Masa anda sebagai kepala desa seperti singa ompong.
Apa anda takut pada seorang buta huruf dan yang tak pernah kerja bakti itu?”
Lelaki
bertubuh ceking namun tinggi berjalan mondar-mandir. Pikirannya tak menentu.
Kedua tangan yang menyilang di belakang dikepal. Dahi mengerut. Usianya terlihat
lebih tua dua tahun dibanding tadi pagi sewaktu melayani pelanggannya di kolong
rumah yang sudah dialih fungsi menjadi gudang kopra. Kelakar dengan
pelanggannya terjadi spontan dan terkesan tulus. Mungkin sebagai salah satu
cara menahan agar mereka tak lari ke pembeli kopra lain. Namun, sangat kentara
bahwa senyuman dan tutur katanya yang bersahaja dan hangat terlukis tak
dibuat-buat.
Kini
lainnya ceritanya. Kedatangan seorang pria berbadan tegaplah yang mengusir
semua aura positif itu. Pria yang datang dengan beberapa orang itu tak hentinya
bicara. Dia mencoba dengan keras meyakinkan sesuatu soal. Sekilas dari jauh
tampak lelaki yang banyak bicara itu derajatnya lebih tinggi daripada pria
ceking berkulit agak gelap. Nantinya saat dia menggunakan seragam lengkap
dengan atribut dan segala tanda heran baru orang tahu bahwa dia bukan rakyat
biasa. Melainkan seorang Tonaas. Seorang kepala negara dalam sebuah kampung
berpenduduk 4000 orang. Kepala desa. Seorang yang dipilih secara langsung
karena dikenal baik oleh masyarakat. Merupakan cerminan demokrasi yang identik
dengan yang pernah terjadi di Athena sebelum Masehi.
“Kita harus
mengambil tindakan konkrit. Bila tidak, maka kepentingan umum akan kalah oleh
kepentingan pribadi. Dan bapak sebagai kepala desa harusnya jangan lengah.
Menutup akses jalan adalah kejahatan. Dan kejahatan itu lebih dari perbuatan
komunis!”
Kalimat
terakhir dirasa sebagai ancaman. Tentu Hukum Tua enggan disebut sebagai pembela
komunis. Meskipun, tak ingin dia ikut-ikutan memberi label komunis pada
penghalang akses jalan itu. Dia tak mau juga dicap sebagai pemelihara tumbuhnya
kekuatan dan pengaruh komunis di desanya. Sadis benar, memang! Melabeli
seseorang dengan kata komunis adalah upaya manjur untuk menundukkan orang-orang
kampung yang coba membangkang pada pemerintah. Padahal, ada kepentingan pribadi
di terbungkus rapih di dalamnya
“Kita harus
cepat bertindak. Sebelum terlambat,” kata lelaki berpakaian rapih dengan gaya
bicara sok terpelajar itu lagi.
Kurang
lebih lima menit Hukum Tua hilang di atas pentas di mana lelaki tadi sedang
gencar melangsungkan aktingnya. Kepala Desa muncul tiba-tiba dengan pakaian
seragam mirip punyanya Hansip. Bedanya, kepala desa tidak mengenakan sepatu
but. Dia hanya beralaskan sandal kulit, kasual. Karena percumalah memakai
sepatu bersemir ketika harus turun lapangan mengontrol dan ikut bekerja bersama
rakyat.
Memang, hari
Senin di kampung kami disebut sebagai hari pemerintah. Istilah yang menakutkan.
Istilah yang menonjolkan kekuasaan. Seharusnya sebutannya adalah hari desa.
Sebagaimana hari Rabu tak disebut sebagai hari pendeta melainkan hari gereja.
Setelah
tampak sudah siap, rombongan kepala desa berjalan dengan langkah
panjang-panjang menuju lokasi pekerjaan umum. Sesuai dengan pengumuman di
pengeras suara Kerja Umum berlokasi di tengah-tengah kampung. Berhadapan dengan
bekas halaman kantor Hukum Tua. Di antara rombongan yang beserta Hukum Tua ada
dua anggota Hansip. Satuan pengamanan militeris di tingkat desa atau kelurahan.
Saat
rombongan Hukum Tua tiba, terdengar teriakan dari dalam rumah, “Walaupun saya
mati, saya tak akan membiarkan sejengkal tanah ini diserahkan.” Suara lelaki
dari dalam rumah terlempar keluar dengan
sengaja.
Masyarakat
yang telah terkumpul, sebagian besar pria, sontak mengarahkan pandangan ke
dalam rumah dari mana suara bersumber. Rombongan Hukum Tua terlibat pembicaraan
serius. Si lelaki rapih bicara lantang sambil menuding-nuding ke arah sumber
suara dalam rumah.
“Kerja
saja. Tak usah dihiraukan. Ini demi kepentingan bersama,” Hukum Tua angkat
suara. Akhirnya keberpihakan telah tampak. Rupanya desakan pria berpakaian
rapih itu mujarab juga.
Bebunyian
berdering yang bersumber dari alat kerja yang mayoritas besi serentak menguasai
lokasi tempat kerja. Hanya beberapa orang saja yang tampak hanya berdiri
bertopang pada alat yang seharusnya dipakai. Tak tahu kenapa. Mungkin enggan
atau takut pada raungan amarah dari dalam rumah. Atau mungkin saja mereka masih
menunggu kejelasan siapa yang harus didengar Hukum Tua atau si pemilik tanah.
Tiba-tiba
sekeluarga dalam rumah berhamburan
keluar. Situasi menjadi mencekam. Tadinya banyak terdengar guyonan di antara
sesama warga masyarakat. Kini pekerjaan mendadak berhenti. Seorang ibu
meraung-raung histeris. Dia berusaha menelanjangi dirinya di depan orang
banyak. Untung beberapa ibu tetangga berhasil menyerbu dan mencegah agar bagian
tubuh yang terlalu pribadi itu tak dipertontonkan ke sejumlah lelaki yang
umumnya telah beristri.
“Setan
kalian! Mentang-mentang kalian berkuasa seenaknya merampas tanah orang miskin!
Semestinya kalian membantu orang seperti kami. Orang yang miskin dan tak
berpendidikan cukup. Malah kalian rampasi. Saya tidak takut! Walaupun saya
mati, saya takkan mengijinkan kalian mengambilalih tanah saya!”
Beberapa
Hansip berlari. Langsung mengerumuni pria yang sudah setengah uzur. Berdiri gagah
dia menghalangi orang-orang yang tengah mengobrak-abrik tanah dimana rumahnya
berdiri.
“Babi ngoni!
Anjing! Pemerintah macam apa ngoni?”
Pria
pemilik tanah merontah membabi buta. Beberapa kali tinju Hansip mendarat di
wajahnya. Masyarakat yang turut menyaksikan kekerasan fisik yang dilakukan
petugas keamanan sontak menghentikan pekerjaan. Geram mereka melihat Hukum Tua
dan rombongannya. Masyarakat memperlihatkan muka masam sebagai tanda tak setuju
dengan tindakan semena-semena aparat keamanan. Aparat yang seharusnya mengayom.
“Marten, ini
demi kepentingan bersama! Kyapa ngana kapala batu. Dimana ngana pe pemberian for negara?” kata
Hukum Tua berusaha menenangkan keliaran pria pemilik tanah.
“Pengorbanan!
Pih! Ngoni yang snang. Kita orang kecil jadi korban! Tai babi deng ngoni. Jalang
yang sebenarnya bukang di sini. Mar disana. Cuma, karna kita orang kacili,
ngoni datang deng rombongan kong injang-injang pa kita deng ta pe bini. Lawut
deng ngoni samua! Ngoni pe pemerenta deng pe jabatan di greja kita junjung
tinggi. Mar ngoni pe pribadi ta taru di lubang panta! Karna dorang orang orang
ada, ngana kapala desa nda brani mo tindaki. Kita bilang satu kali lagi e;
jalang yang sebenarnya di sebelah sana. So dari kit ape tete pe tete jalang memang
so disitu. Bukan di tanah ini. Pa kita p kintal. Mo kamana lei kita mo taru
kita pe ruma? Kalau ini jadi jalang, kita tinggal dimana? Dorang pe tana banya.
Kalu mo bacirita pengorbanan, bicara pa dorang yang banya tana. Bukang pa kita!”
Hukum Tua
tertunduk malu. Hati nurani telah berbicara. Masyarakat pulang sambil memikul
cangkul, linggis, pakowel dan sekop. Tak ada tanda kecewa terlukis di
wajah mereka. Malah senang. Walaupun tak turut berjuang bersama Marten, mereka
pulang dengan raut wajah kemenangan. Sementara pria berpakaian rapih
menunjukkan rasa tidak puas. Beberapa waktu setelah itu dia memaksa pemerintah
desa membuat surat laporan kepada pihak yang berwajib dengan isi surat
menguraikan bahwa pembuatan jalan umum dihalang-halangi. Tidak lupa juga disentil
bahwa itu merupakan tindakan berbau komunis. Dengan terpaksa kepala desa
mengiayakan. Dia berusaha tidak mengecewakan pihak manapun. Dia berupaya
bertindak lembek ke kedua belah pihak. Namun sikapnya yang plin-plan membuatnya
terseret terlalu jauh oleh arus yang diciptkan pria berpakaian rapih itu. Perkara
itupun sampai di pengadilan. Baik pihak kepala desa maupun Marten tak ada yang
menang. Putusan hakim menyatakan Marten yang benar. Namun, kalau
dihitung-hitung, yang menag menjadi abu sedangkan yang kalah menjadi arang.
Kedua pihak digerogoti habis oleh mafia hukum: jaksa, pengacara, panitera dan
Hakim.
Namun, bagi
Marten, itu tetap kemenangan. Setidaknya, walau uang banyak terkuras habis, sampai
harus menggadai kwartal-empat bulan panen kelapa, bagaimanapun haknya
diakui di depan hukum. Dan orang akan percaya bahwa keadilan masih bisa ditegakkan
asalkan diperjuangkan. Sebab, kita masih di dunia. Harus terus berjuang. Beda
dengan surga. Di sana tak ada lagi yang perlu diperjuangkan. Semua telah
disediakan.
Selesai
pada hari Minggu 11 November 2012 di Marore
Tidak ada komentar:
Posting Komentar