Oleh
Iswan Sual
Semua orang terkesima. Di
media elektronik, seorang pejabat muda di posisi puncak dan terkenal
bermartabat diciduk oleh aparat hukum secara mendadak tadi pagi. Tepat saat dia
akan berangkat ke kantornya. Usianya masih sebaya denganku. Bukan hanya itu
saja. Dia bahkan masih sedarah denganku. Kebanggaan orang desa karena ada orang
sekampung bertengger di tingkat nasional tiba-tiba sirna. Misi untuk merubah
negeri kandas oleh tawar menawar jabatan dan kekuasaan. Dan dia hanyut oleh
arus politik negeri yang begitu deras. Penuh intrik dan tipu muslihat. Dia yang
bersih, ujung-ujung ikut bermain kotor karena dituntut oleh keadaan. “Katakan
tidak pada korupsi,” pekiknya sewaktu berdiri di podium lima tahun lampau. Selang
beberapa bulan, dia bilang, “kalau aku terbukti korupsi, gantung aku di Monas.”
Dulu sudah kuperingatkan.
Sewaktu dia masih melakukan kesalahan kecil. Ikut-ikutan terseret oleh
permainan mentornya. Orang yang dia puja karena memberikan kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Orang yang mengajarkan bahwa penghalalan cara diterima
asalkan untuk orang banyak. Lalu, berangsur-angsur dia pun ketagihan dan terus
menerus menghalalkan segala cara.
Tapi aku tetap terpukul
karena menyaksikan aib saudaraku berulang-ulang disiarkan di media masa. Jutaan
rakyat yang dulu mengaguminya kini menyumpahinya. Hanya orang-orang sekampung yang masih merasa ibah. Sungguh
kasihan! Pemuda yang begitu lugu, luluh dimakan zaman. Tergiur oleh tawaran
dunia yang nampak menjanjikan.
***
“Semua ini salahmu!”
“Apa katamu? Aku yang
salah?”
“Iya! Kalau bukan kamu,
siapa lagi, hah? Sudah kubilang jangan pernah membuat perjanjian dengan setan!”
“Apa kamu bilang? Kamu
bilang mereka setan? Tidak tahu balas budi kamu ya! Apa kamu lupa kita jadi
sejahtera begini adalah karena mereka berbagi kasih dengan kita? Kamu masih
ingat tidak keadaan kita dulu? Apalagi yang kurang sekarang? Kita punya rumah
megah, tabungan di bank yang berlimpah, mobil mewah semua anak kita sukses dan
hidup kaya.”
“Kamu barangkali bersyukur
dengan hidup kita ini. Tetapi aku tidak. Kehidupan yang penuh kemudahan dan
kemewahan ini adalah semu. Batinku tidak pernah tenang. Aku muak dengan semua
ini!”
“Hei perempuan! Kamu tak tahu
diuntung. Kamu tak tahu bersyukur!”
“Hentikan! Hentikan semua
kebohongan ini! Kamu kira aku tak tahu semua. Semua kekayaan ini diperoleh
dengan curang. Kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu juga punya simpanan.
Hentikan semua ini! Anak kita telah menjadi tumbal kerakusan kita.” si lelaki
terdiam seribu bahasa. Muka menghadap tanah.
“…kalau saja kita mulai
dengan jujur…tentu tidak akan begini.”
Sofa, lantai berubin
mahal, permadani dan lemari antik yang besar beserta semua peralatan elektronik
canggih dalam ruangan itu membisu. Begitu juga foto keluarga penuh senyum yang
megah yang tergantung di tembok. Tangis tak lagi terdengar. Tangis hanya
membahana dalam dinding dada mereka berdua. Ingatan akan masa lalu membayang. Dimulai
ketika anak pertama mereka lahir. Kemudian disekolahkan. Mulai saat itu mereka
menghambakan diri pada seorang tuan besar. Seorang yang kaya dan berpendidikan
tinggi. Terlalu hormat mereka pada orang itu. Sehingga semua sabda dan tingkahnya
pun dianggap benar oleh mereka. Semua itu diterima saja. Bahkan dianggap
sebagai kebenaran. Semua dilandasi oleh kehendak untuk hidup “lebih baik”.
Waktu itu banyak orang
menegur. Tapi itu dianggap sebagai angin lalu. Maklum, teguran yang datang dari
orang yang tak berada dan tak berhikmat tinggi. Tak memiliki jabatan dan nyaris
seperti gembel. Apalagi teguran dariku. Beberapa kali aku datang mengingatkan
tapi kata-kata itu dianggap telah usang.
“Paman, masih ingatkah
sebuah pesan leluhur yang kita pegang selama ini? Tumete am pa’teteang ni teteang i tete’...,” kataku.
“Kamu benar. Tapi ingat,
kita masih di dunia! Wo’bas pe’ ko. Keliang pe’ sangkumnu[2].”
Aku pun kehabisan kata. Dan
nyaris kehabisan asa untuk mengingatkan agar pamanku meninggalkan cara-cara
yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan warisan leluhur. Tapi rasa
perduli memaksa aku untuk terus bicara. Mencegah saudara-saudaraku jatuh ke
dalam ngarai yang lebar menganga. Namun, lama-lama aku kian terdesak untuk
segera angkat kaki dan menjauh. Wajah tak senangnya yang memaksaku…
“Baiklah kalau begitu.
Simpan kebaikan paman sekarang dan tunaikan itu saat telah berada di surga
kelak. Semoga itu akan berguna. Tapi sebelum aku pergi. Kutinggalkan surat ini.
Bacalah sesegera mungkin. ”
***
Seorang lelaki berjalan
terhuyung-huyung menuju kamarnya. Tatapannya nanar karena telah seharian
menangis dengan perut tak berisi. Dia teringat sebuah surat yang diberi oleh
seorang pemuda sepuluh tahun yang lalu. Kini dia tak yakin dimana letak surat
itu. Namun, dia harus menemukan itu sekarang. Barangkali ada jawaban. Mungkin
ada penghiburan. Diantara tumpukan berkas-berkas lama dia akhirnya menemukan
yang dia cari. Selembar kertas terlipat dua. Kertas yang sudah berubah warna.
Kekuningkuningan. Ditulis dengan tangan. Dia mulai membacanya…
Paman yang baik,
Ini sebenarnya bukan surat yang aku
tulis sendiri. Ini hanya surat dari orang lain yang bernama Yohanes. Tentu
Paman mengenalnya. Karena paman adalah seorang diaken. Telah lama ingin
kuteruskan kepada Paman. Bacalah sampai selesai.
[Aku menulis kepada kamu, hai
anak-anak, karena kamu mengenal Bapa. Aku menulis kepada kamu, hai bapa-bapa,
karena kamu mengenal Dia, yang ada dari mulanya.... Janganlah kamu mengasihi
dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih
akan Bapa tidak ada di dalam orang itu. Sebab semua yang ada di dalam dunia,
yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah
berasal dari Bapa, melainkan dari dunia. Dan dunia ini sedang lenyap dengan
keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup
selama-lamanya.
Anak-anakku, waktu ini adalah waktu
yang terakhir, dan seperti yang telah kamu dengar, seorang antikristus akan
datang, sekarang telah bangkit banyak antikristus. Itulah tandanya, bahwa waktu
ini benar-benar adalah waktu yang terakhir.
Memang mereka berasal dari antara kita,
tetapi mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita; sebab jika mereka
sungguh-sungguh termasuk pada kita, niscaya mereka tetap bersama-sama dengan
kita. Tetapi hal itu terjadi, supaya menjadi nyata, bahwa tidak semua mereka
sungguh-sungguh termasuk pada kita.
Tetapi kamu telah beroleh pengurapan
dari Yang Kudus, dan dengan demikian kamu semua mengetahuinya.
Aku menulis kepadamu, bukan karena kamu
tidak mengetahui kebenaran, tetapi justru karena kamu mengetahuinya dan karena
kamu juga mengetahui, bahwa tidak ada dusta yang berasal dari kebenaran[3].]
Lega sudah ketika surat ini telah paman baca.
Peluk
dan sayang dari,
Lenas
NB:
Paulus juga titip pesan. Katanya,
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh
pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa
yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna[4].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar