Oleh Iswan
Sual, S.S
Matahari
belum terlalu tegak berdirinya. Namun, kami sudah seperti cacing yang
berteriak-teriak minta tolong. Panas! Aku sendiri heran kenapa sang kepala
sekolah mendapat ide gila memuat puluhan siswa di atas sebuah truk. Kami
diperlakukan seperti sapi yang beberapa waktu lagi akan dijagal. Padahal, dana
BOS tidak perlu dihemat dengan cara tidak manusiawi seperti ini. Sialnya, gara-gara aku hanyalah seorang
honor yang masih bujangan, aku dianggap layak untuk dibuat teraniaya. Sementara
para guru lain dengan modal seragam PNSnya bertindak seolah bos-bos yang harus
dihormati. Sialan! Bagusnya hanya pada seragam. Di dalam kelas seperti keledai
saja. Tak mengajar sama sekali.
“Sir,
kenapa cuma sir yang nda gabung ta panas-panas deng torang di sini? Nda adil
dorang kang sir?” ketus salah seorang siswi. Aku hanya senyum kecil.
Sangatlah
tidak pantas bila aku harus menceritakan perasaanku yang sebenarnya pada
seorang gadis yang belum cukup pengertiannya. Lagipula aku tak mau
menjelek-jelekkan guru-guru lain itu di depan para siswa. Walaupun sebenarya
ketidaktahuan mereka mengajar begitu dikenal oleh para murid. Memang, terkadang
guru tidak menyadari bahwa sebenarya siswa lebih banyak tahu dari yang kita
sebagai guru kira.
Sesampai di
ibu kota kecamatan, para guru-guru PNS
dengan pongah memerintah saya supaya mengarahkan para murid ke lapangan
dimana upacara bendera akan dilangsungkan. Aku minta mereka agar sabar dengan
murid karena mereka sedang capek karena kegerahan. Guru-guru itu terus mendesak
gara-gara upacara sudah sementara berlangsung. Ternyata kami datang terlambat.
Dengan langkah diam-diam kami masuk ke barisan. Terpaksa siswa-siswa rombongan
kami harus menyambung di barisan sekolah lain sebab tempat yang disediakan
sudah disabotase sekolah lain. Tentu, akan sangat kentara juga bila kami harus
mencari tempat di depan. Akan lebih mempermalukan lagi sekolah kami. Satu persatu
aku meminta siswa agar masuk dan menutupi barisan. Susah memang mengaturnya.
Dalam situasi begini, seringkali siswa-siswi suka bergelagat. Mereka tahu
sanksi tak mungkin diberlakukan. Aku menggunakan cara yang paling lembut untuk
menenangkan mereka. Sudah itu akup pun mencari tempat di mana aku bisa
berbaris. Yang kupilih adalah di belakang para siswa yang aku antar. Kebetulan
berdekatan dengan barisan guru.
Anehnya,
kini yang paling gaduh justru barisan para guru. Mereka saling bergantian
berseloroh. Paling banter adalah kepala sekolahku sendiri. Leluconnya yang
berbau porno menyihir para guru muda lain untuk larut dalam cerita-cerita itu.
Barisan merekapun seperti ular. Semua memegang koran sebagai penutup wajah dan
kepala. Sedangkan siswa mereka pelototi bila tidak berbaris dengan benar.
“Ironis!”
“Istirahat
di tempat grak!” teriak si pemimpin upacara.
“Ah lega,”
ketus para siswa berbarengan.
Dalam
situasi begini mana ada yang mau mendengar wejangan inspektur upacara. Dia
seenaknya bicara pacang. Dia memang enak. Ada di panggung kehormatan. Terik
matahari tak akan bisa menyengat mereka. Mereka juga bisa duduk. Mereka
mengajarkan tentang perjuangan, mereka sendiri tak memberikan panutan. Mereka
berperilaku persis seperti orang belanda yang suka perintah-perintah, sedangkan
kami, distraf seperti tahanan. Dijemur di bawah panas yang tak punya belas
kasih.
Aku masih
saja berdiri tegak dengan kaki sedikit mengangkang. Kedua tanganku menyilang di
belakang. Seperti diborgol. Aku membayangkan diriku persis seperti Walter
Monginsidi yang siap dieksekusi oleh regu tembak. Peluh mengalir deras dari
kepala. Punggungku sudah basah. Benar-benar basah. Barisan guru-guru semakin
beringas. Tawa semakin melengking. Tiba-tiba seorang siswa perempuan
terombang-ambing di atas tanah.
“Sir! Sir!
Fista pusing, sir!”
Dengan
cepat aku berlari menahan tubuh mungilnya sebelum memukul tanah. Siswa-siswa
dari sekolah lain dengan sontak pun berkerumun.
“Sudah. Jangan dekat-dekat.
Nanti dia tambah kepanasan. Kembali ke barisan!” kataku kepada mereke. Tampak
siswa mulai berhamburan sambil mencari-cari air. Di barisan lain juga siswa
terlihat satu per satu tumbang. Inspektur upacara masih saja terus bicara. Dia
masih menbacakan sambutan tertulis bupati. Belum ada tanda-tanda mau berhenti. Itu
baru sambutan tertulis bupati. Belum lagi sambutan lisan dari inspektur itu
sendiri. Aku heran dengan pejabat di negara ini. Mereka suka sekali
berkata-kata di depan banyak orang. Padahal kinerja mereka nol besar.
Setelah membaringkan siswi
yang pingsan itu. Kulepaskan sepatunya. Dan kuminta siswa perempuan akar
melonggarkan pakaian sehingga dia bisa bernafas bebas. Seketika itu juga
kulihat semua siswa-siswi dari sekolah kami sudah tak ada lagi yang ikut dalam
barisan. Semuanya telah berjalan mencari air. Mereka sudah tak tahan. Akupun
setuju saja. Barisan guru-guru juga sudah bergeser ke bawa pohon untuk
menghindari sengatan matahari.
***
Setelah upacara selesai aku
bertemu dengan seorang guru dari ibu kota kecamatan. Dia lebih dulu yang
menegur. Dari mobil jimmy dengan sok dia memamerkan kendaraannya. Aku dengan
spontan berkata, “Eh so ta bae nga e!”
Dia dengan pongah menjawab,
“Batabung no.”
Sungguh pongah. Mana bisa
dengan gaji seorang PNS yang baru genap setahun sudah bisa memberi mobil
seperti itu? Emang, gajinya berapa?
Aku jadi teringat masa lalu
kami. Kami dulu sama-sama pernah terlibat dalam organisasi kemahasiswaan di
tingkat fakultas. Sewaktu saya menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, dia
adalah ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa. Saya di eksekutif. Dia di
legislatif.
Dia pernah memohon-mohon
padaku agar mendukungnya menjadi ketua. Saya berusaha membantu. Dan akhirnya
dia menjadi ketua MPM.
Suatu waktu saya mendapat
tugas keluar daerah mewakili kampus. Selama saya pergi dia ternyata membuat
kesepakatan diam-diam dengan pimpinan fakultas mengenai pemotongan beasiswa.
Lima juta kantonginya. Itu adalah dana untuk organisasi. Tapi, dengan tamak
dipakainya untuk pribadinya. Karena diuber-uber oleh anggota MPM lainya dia
kembali meminta tolong kepada saya. Dengan tegas saya bilang saya tak bisa
membantu dia. Karena jika demikian, sama saja turut menjadi koruptor seperti
dia.
Jadi, mustahilah kalau dia
sudah kaya sekarang kalau belum sampai setahun dia menjadi PNS. Menabung?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar