Oleh Iswan
Sual
Herdi tak pulang-pulang rumah sejak
siang setelah kembali dari sekolah. Memang, dia sempat pamit pada ibunya untuk
bermain dengan kawan-kawannya, anak-anak tetangga. Biasanya dia sudah pulang.
Dan seharusnya begitu. Teman-temannya juga kini sudah asyik berkelakar dengan
orang tua mereka di rumah. Jelas kedengaran dari rumah Herdi. Matahari sudah
lama bersembunyi di balik samudra luas.
Agar keresahan tak semakin menggunung
tak pasti, ibu Herdi mengunjungi rumah tetangganya satu per satu. Sambil
bertanya dan melihat-lihat anaknya kalau-kalau ada di sana. Seolah ada bisikan
sesuatu telah menimpah anaknya. Naluri seorang ibu begitu kuat. Dia yakin akan
hal itu.
“Herdi dengang torang tadi. Da main
sama-sama di belakang. Torang da bayoya di pohong-pohong kopi. Torang
pangge-pangge pulang tadi mar dia nimau. Cuma bayoya trus,” ujar teman Herdi
terbata-bata. Gugup karena merasa diinterogasi.
Satu jam telah berlalu. Kini ayah
Herdi juga ikut mencari. Padahal dia baru pulang dari kebun. Profesinya sebagai
Ma’gula dengan kerja yang amat berat sebenarya bisa menjadi alasan untuk tidak
langsung turun tangan mencari anaknya. Kalian mungkin tahu bagaimana beratnya
menjadi seorang Ma’gula. Pagi-pagi
sekali, kira-kira jam lima, dia bangun lalu berjalan kaki sejauh tiga kilo
meter. Rerumputan yang masih basah oleh embun turut menyumbang rasa dingin ke
tubuh lelaki itu. Menusuk tulang. Ngilu bukan main. Sasampai di sana satu per
satu pohon enau dipanjatnya, turunkan sareng berisi air nira dengan
menggunakan tali. Berikutnya mengiris pusu’ yang mengeluarkan nira itu.
Setelah semua pohon aren penghasil
nira dipanjat, kurang lebih sepuluh, tiba waktunya menghidupkan api untuk
merebus air nira. Sambil menunggu air susut, dia pun harus mencari kayu bakar
di hutan yang agak jauh dari sabuah, pabrik tradisional dimana dia
memasak gula. Saat penyusutan sudah mencapai tahap paling, air nira yang sudah
menjadi kental dituangkan ke tempurung. Di ujung sore sekali lagi pohon aren
dipanjat untuk diambil niranya kemudian direbus. Wah, pekerjaan yang
membutuhkan tenaga dan kesabaran luar biasa.
Jam dinding bermerk Sonny terpatri
di dinding menunjukkan kini sudah pukul 21.00. Ayah Herdi sudah melaporkan ke Hukum
Tua bahwa anaknya, satu-satunya tak pulang rumah sejak keluar pukul 10 tadi
pagi. Pengeras suara yang diletakkan di ujung pohon tertinggi di tengah kampung
berkoar-koar menghimbau seluruh warga menyiapkan alat penerang dan kelengkapan
lainnya untuk menemani mereka mencari anak sembilan tahun yang hilang.
***
Jam 06.00 sore (sebelum dinyatakan
hilang)
Tanaman kopi rimat
berhimpitan membuat gelap lahan luas di belakang hunian penduduk berjarak 200 m
dari rumah Herdi. Di tengah-tengah, terdapat beberapa tanaman dengan batang
sebesar kaki orang dewasa. Tanaman itu condong nyaris merayap di atas tanah.
Gerombolan anak tahun terakhir SD di kampung itu suka sekali datang bermain
monyet-monyetan. Mereka doyan berayun berjam-jam sambil menirukan Tarzan atau
bintang film silat Cina yang lagi populer di desa. Ayunan alamiah yang
disuguhkan oleh tanaman kopi yang berjejer itu sangat memanjakan anak-anak.
Mereka merindukan ayunan saat masih bayi sebelum disapih.
“Di, marjo pulang. So ja barinte.
Kalu balama disini torang mo basa. Mo dapa mara eta’ ya!”
Bukanya menoleh pada temannya,
Herdi malah sibuk berbincang sendiri. Begitulah anak-anak. Berbicara sendiri
tanpa lawan bicara adalah hal lumrah. Mereka mampu mementaskan sesuatu secara
monolog di atas panggung nirpenonton. Monolog itu bukan hanya bakat melainkan
berkat lahir yang akan berangsur-angsur punah seiring dengan bertambahnya usia
anak-anak.
“Herdi…Di…Herdi!”
Gerimis yang datang beriringan
dengan kepergian matahari ke ufuk barat memaksa kawanan anak cepat-cepat pulang
ke rumah mereka masing-masing. Herdi semakin serius dengan monolognya. Bukan
monolog. Ternyata dia berdialog. Dengan
seorang-orang yang hanya bisa dilihat oleh dia sendiri. Mahkluk itu meminta
Herdi akan terus bermain ayunan. Herdi pun merasa ibah dengan permintaan orang
bertubuh kecil. Tiga kali lipat lebih kecil.
Mata Herdi merem. Dia serasa akan
hanyut berlayar ke pulau kapuk. Tapi dia tak mau tidur. Dia ingin bermain
ayunan di pohon kopi lagi.
“Ayo kita bermain lagi.”
Manusia bertubuh kecil itu terus
mendesak. Wajah elok mereka menambah ketertarikan Herdi larut dalam permmeainan
berayun dengan bergayut pada cabang-cabang pohon.
“Ayo ikut kami.”
“Kemana?”
“Ke tempat kami.”
Herdi pun turut dengan manusia
kecil. Dan kini jumlah mereka meningkat. Bergerumbul mereka berjalan menuruni
bukit. Kian jauh dari perkampungan. Akhirnya mereka tiba di pancuran. Tempat
mereka biasa mandi. Banyak bebatuan berjejer dan bertumpuk.
“Masuk yuk!”
Dahi Herdi mengerut. Dalam keadaan
setengah sadar muncul curiga dalam benaknya. Mengapa aku harus masuk ke
celah batu. Mana bisa masuk. Gumamnya. Mahkluk-mahkluk kecil satu persatu
masuk melalui celah. Ini tak masuk akal. Walaupun aku masih anak-anak, tapi ini
benar-benar di luar jangkauan berpikirku. Kata Herdi dalam hati.
“Kita pulang saja yuk,” ajak Herdi
pada mahkluk kecil yang paling banyak berkomunikasi dengannya semenjak sore
tadi. Berkali-kali mahkluk mengajar menembus celah batu, namun Herdi tetap
menolak.
Mereka pun kembali menelusuri jalan
yang mereka lewati sebelumnya. Yang mengherankan, hari sudah malam namun jalan
dimana mereka melangkahkan kaki terang benderang seperti mendapat cahaya lampu
sorot.
“Ayo kita berayun lagi.”
Kini Herdi lupa untuk pulang. Namun
hatinya resah. Dia melihat orang jumlah besar dengan obor dan lampu petromaks
menuruni bukit menuju pancuran dari mana dia dan kawan kecilnya datang. Orang
betulan. Bukan mahkluk kecil. Dipanggilnya ayahnya yang lewat. Tak ada sahutan.
Dilihat pun tidak. Herdi diliputi ketakutan. Dengan susah payah dia melangkah
pulang ke rumah. Di halaman rumah dilihatnya banyak wanita dewasa dan anak
bergunjing tetang sesuatu hal. Tentang seorang anak yang hilang. Dia menyapa
orang-orang itu. Tapi mereka tak sedikit pun ambil pusing. Herdi menjerit tak
bersuara.
“Herdi! Herdi! Oh Tuhan, napa tu
Herdi, “ seorang wanita berteriak Histeris. Di kuping terdengar dengungan
memekak. Orang-orang berkerumun. Menangis. Herdi pun histeris. Menangis ketika
kerumunan secara bergantian menyentuhnya. Seperti hilang kekuatanya. Seorang
wanita memeluknya dan mengguncang-guncangnya. Herdi terbangun dari setengah
tidurnya. Kini tak ada lagi rasa takut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar