Oleh Iswan
Sual
Terlalu
banyak disuguhi materi membuat kepala kami pusing. Sejak jam delapan pagi
hingga jam lima sore pembicara tak henti-hentinya menjejali kami dengan materi
bagaimana cara menfasilitasi masyarakat di desa-desa terpencil. Maklum, setelah
ini kami akan turun ke lapangan yang punya budaya dan cara hidup yang sama
sekali berbeda dengan kami. Barangkali itulah yang kami secara kompak jadikan
alasan untuk keluar dan meninggalkan kamar hotel mewah kami malam ini. Padahal
di rumah kami masing-masing kemudahan itu taklah tersedia. Begitulah manusia, meski
sudah hidup dalam keserbaadaan, masih juga menuntut yang lebih! Manusia memang
tak pernah puas.
Setelah mandi kami bertemu di lobi hotel.
Taksi berwarna hitam sudah menanti lama kami berempat. Tujuan kami adalah Mall
Panakukang. Salah satu mall termegah di kota terbesar Indonesia timur.
Sepanjang perjalanan kami bercandaria dengan logat Manado. Dahi sang sopir
sedikit berkerut karena berusaha memahami kata demi kata dari tiga lelaki
bermulut besar. Walau dibekali banyak kosakata yang didapatnya dari lagu-lagu
pop Manado, masih terlalu sulit untuk memahami perbincangan ketiga temanku yang
cepat dan bersusun-susun. Aku hanya diam. Menikmati kerlap-kerlip lampu. Juga
jalanan yang macet dan bercabang-cabang. Dalam hati muncul rasa kagum terhadap
kota yang kian hari kian sibuk. Pasti sangat jauh berbeda ketika Om Sam masih
menjadi gubernur se Sulawesi dulu. Dulu namanya Ujungpandang. Kemudian berubah
menjadi Makassar.
Tepat di bawah
jalan layang kami diturunkan. Masih butuh banyak langkah untuk bisa tiba di
dalam mall. Ada sedikit gerutu tergambar di raut wajah kami tapi langsung
lenyap begitu melihat span-span[1]
yang lalu lalang. Kami pun saling melirik nakal. Semakin ke dalam semakin
berlimpah gadis-gadis muncul di depan wajah.
“Wei!
Tunggu! Mo kamana ngoni!” teriakku. Sedikit pun tak ada rasa enggan dengan
kalancanganku. Dalam hati kupegang sebuah perkataan, pembeli adalah raja. Jadi
biarpun kami bertingkah sedikit kurangajar, tetap saja kami akan dihormati
sebagai pembeli. Sebab kami ada sumber rupiah pengusaha-pengusaha yang bercokol
di gedung yang disebut sebagai pasar modern ini.
“Sini! Laju!
Pe plang ngana bajalang e.”
“Kita
memang sangaja babrenti. Sini kwa…,” bujukku. Gerakan ibu jari diikut pandangan
mata ketiga lelaki yang kesemuanya menggunakan celana pendek. “Ada artis.
Torang pangge bafoto. Manjo! Pegang ni hape. Tindis di tenga e. nanti baku
ganti.”
Gelagat
kami yang memalukan mengundang perhatian orang di sekitar. Tertawa karena
kelucuan kami sendiri membahana dan mempengaruhi pengunjung lain. Dari
peristiwa inilah aku tahu ternyata Drisan adalah orang yang begitu egois. Foto
yang dihasilkan kamera ponselku yang begitu buruk tidak dipedulikannya. Gara-gara
ingin buru-buru difoto juga. Tapi itu tak aku persoalkan lebih jauh. Biarlah
urusan di mall itu sampai di situ saja. Lagipula, kami datang ke mall dengan
tujuan lain. Bukan untuk foto-foto dengan artis wanita yang mengenakan pakaian
yang aduhai. Kaos di atas pusar dipasangkan dengan celana pendek sejengkal di
atas lutut. Sampai-sampai burungku sempat bangun karena kegenitan busanannya.
Setelah
tiba di lantai dua kami secara serentak berhenti di toko buku. Aku paling tidak
tahan bila sudah bertemu dengan buku. Nyaris semua buku yang nampak hebat
kusentuh dan kucium baunya. Langkah perlahan dari lemari ke lemari diikuti
ketiga temanku. Tapi lama kelamaan mereka tak tahan dan berlalu. Berkali-kali
aku memandangi dompetku. Membandingkan dengan total harga tiga buku yang telah
kupilih. Karena isi dompetku sudah terlalu tipis keputusan membeliku jatuh pada
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama.
Memang sudah lama aku impikan membeli kamus itu. Kata orang, kalau mau jadi
sastrawan kamus itu wajib dibeli. Dua buku lain kutinggalkan di lemari dengan
sedikit tak rela. Padahal kedua buku itu sudah begitu akrab denganku hampir
setengah jam.
“Bli apa ngana?” tanya Drisan sinis saat aku
sudah berada di depan toko.
“Cuma ini.”
“Ih kyapa
le ngana bli kamus. For apa le? Ngana mo lanjut S2? Pantas ngana so bota
bagitu. Talalu banya basusa-susa babaca. Lebe bae ngana jadi dosen bukang jadi
fasilitator di program torang!” semua pertanyaannya kujawab dengan gelengan
kepala. Pernyataannya terasa pahit untuk ditelan tapi tetap juga kutelan demi
menghindari pertengkaran. Kami kembali ke mobil dengan sedikit kata-kata. Kegaduhan
beranjak jauh entah kemana. Sesekali kutangkap di cermin sopir yang bingung.
Mungkin dia berharap akan mendengar kami bercakap lalu dapat kursus gratis
bahasa Manado lagi. Dia mungkin bahkan sudah mempersiapkan beberapa kalimat
bahasa Manado untuk sekedar berbasa-basi dengan kami.
“Apakah
kita langsung pulang atau mau melihat-lihat dulu, bang?” kata sopir memecah
kesunyian.
“Ada tampa
yang bagus for mo dapa cewe?” kata Drisan blak-blakan, “antar kwa bang. Mo cari
hiburan dulu. Hiburan yang butul-butul hiburan. Bukan sama deng tadi. Bukang
ilang stres. Cuma tatamba tre.”
Aku tahu
dia sedang menyindirku. Tapi biarlah. Dalam banyak hal kompromi itu perlu. Demi
kedamaian.
“Kalau mau
ada di jalan Nusantara bang.”
“Antar
kasana jo dang bang.”
“Ah gila
ngana! Nda usa bang!” tampik Ando. Reaksinya tampak begitu keras. Hingga
membuat aku dan Lexy terhenyak.
“Ah ngana.
Nda usa kwa talalu setia! Torang ini laki-laki. So itu depe kalebean. Kalu di
ruma torang ada bini. Mar, kalu so jao bagini brarti torang masi bujangan.
Torang lei kwa cuma mo balia. Nyanda mo main,” urai Drisan berkelit.
Begitu
mobil berhenti, walau dengan sedikit ragu-ragu, aku turun mengikuti Drisan sang
playboy. Ando dan Lexy kuajak juga.
Dengan tingkah yang dibuat-buat seperti orang yang sudah pengalaman kami pun
masuk ke dalam gedung yang di luar nampak lengang. Begitu kami diterkam mulut
pub mataku terbelalak. Dalam ruang remang-remang dengan kepulan asap beberapa
gadis menari nakal di atas panggung. Para lelaki bersorak. Sejurus kemudian beberapa
pria berbadan kekar menyongsong kami. Sontak, aku keluar dari tempat itu.
Berpura-pura menerima telpon dari seseorang.
“Jalan
bang! Ayo!”
Secepat
kilat kami telah berada kembali di dalam taksi. Tiga orang lelaki berjaket
hitam tertinggal di belakang mengeluarkan sumpah serapah sambil mengacungkan
pisau lipat ke arah kami.
“Amper.
Kita kwa so bilang jangang. Bapaksa!” kataku dengan nafas terengah-engah.
“Ah! Ngana
talalu panako! Bang, ada nda tampa lebe bagus. So tua-tua no. ada yang lebe
muda dari tadi. So pece dorang no!”
“Di lorong
depan ada yang masih SMP,” jawab sopir dengan tenang.
Kegembiraan
tergambar di wajah Drisan. Sedang aku mulai dilanda kegugupan. Ando masih
menggerutu dan marah. Drisan trus mengeluarkan kalimat-kalimat yang intinya
mencelah kami karena tidak bersikap jantan.
Tiba-tiba
mobil menepi. Kubalikkan badan menghadap ke depan. Drisan yang duduk di
belakangku langsung menurunkan kaca mobil. Tampak sekitar lima orang gadis
berkeliaran. Dua di antaranya sedang bercakap-cakap serius dengan dua orang
pria yang masih di atas sepeda motor. Seorang gadis lain yang bertubuh sintal
dan berkulit terang dengan mata tajam mengundang datang mendekat.
Diketuk-ketuknya kaca mobil. Tetap saja kubiarkan tertutup rapat. Berkali-kali
gadis itu berusaha menawarkan transaksi tapi aku hanya membalas dengan senyum
sebagai tanda penolakan halus. Sementara Drisan terus saja tawar menawar dengan
dua gadis yang cantiknya masih alami. Umur mereka sekitar lima belas tahun. Beberapa
kali mereka tersandung dalam percakapan. Hanya karena kurang memahami bahasa
Manado. Tiba-tiba dan tak disangkah-sangkah dua mobil polisi berhenti di depan
taksi yang kami tumpangi. Semua gadis berhamburan hendak melarikan diri. Tapi
semua ditangkap termasuk kami berempat dan si sopir. Saat diinterogasi kami
mengakui kesalahan kami. Hanya saja Drisan terkurung satu hari lebih lama di
sel karena interogasi tak tuntas. Polisi tak mengerti saat dia bicara. Drisan kesulitannya
berbahasa Indonesia. Keesokan harinya kami menjenguk dia.
“San, mungkin
ngana lei so musti bli kamus seblum pulang ke Menado. Supaya kalu torang bale
ulang kamari, nda mo jadi bagini,” anjurku. Perut nyaris meledak menahan gelak.
Dua temanku yang lain berjalan menjauh sambil terkikik-kikik.
Drisan
memandangku kesal bercampur malu. Terpaksa kami berdusta kepada panitia tentang
keadaan Drisan. Kami katakana bahwa dia sedang sakit agar panitia tidak curiga dan
tidak memberikan surat pemutusan hubungan kerja.
[1]
Span-span (Manado) berarti ketat. Namun kata ini telah mengalami perluasan
makna. Kata ini juga berarti gadis atau wanita muda. Istilah ini lahir ketika
para gadis dan wanita muda sedang suka berbusana ketat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar