Oleh Iswan
Sual, S.S
Sinar
mentari perlahan merayap masuk melalui celah-celah jendela yang masih tertutup
di kos Chintia. Gadis kuliahan semester lima yang punya tubuh sintal dan
dikaruniakan Tuhan rambut dan kulit terang sibuk menempatkan piring dan sendok
di atas meja untuk dikeringkan. Peralatan makan itu baru saja selesai
dicucinya. Sedangkan Valeri pacarnya dengan belek besar di sudut mata sedang
asyik pula dengan aktifitasnya. Bunyi tik tak tik berirama seakan sengaja
diduetkan dengan bunyi piring dan sendok yang diletakkan satu per satu. Pagi
yang lengang menjadi riuh menganggu para mahasiswa lain yang masih ngorok di
kamar masing-masing.
Sudah dua tahun
terakhir mereka menjadi pasangan kumpul kebo di kos-kosan Tataaran. Aktifitas
keseharian mereka adalah kuliah di Universitas Negeri Manado. Mereka berdua
termasuk mahasiswa panutan. Kartu Hasil Studi selalu dibanjiri nilai A dan B.
Secara akademis, mereka tak mengecewakan orang tua. Namun yang pasti
kebersamaan intim dengan status belum nikah adalah pengecualiannya. Itupun
kalau ada teman sekampung punya mulut yang bocor membeberkan kehidupan bebas
ala Perancis sampai di telinga orang tua
mereka.
“Apa kakak
saya ada?” terdengar suara di depan pintu setelah Chintia membuka pintu yang
baru saja diketuk pelan.
Sedikit
Valeri mendongak memastikan siapa yang mencarinya. Rupanya Kandar adiknya. Dia
seorang mahasiswa Jurusan Psikologi yang sangat menentang teori-teori Karl Jung
murid Sigmund Freud pencetus teori Psikoanalisa. Pernah dia bilang bahwa pemikirannya
lebih tajam daripada pemikiran Jung. Beberapa kali paper dan artikel
yang telah dimuat di koran lokal dan nasional dipamerkan ke Valeri. Karena
ketidakpahaman dan ketidaktertarikan, Valeri tampak bingung dan hanya
mengangguk-angguk bak orang bijak baru saja membuat kesimpulan setelah proses
perenungan sesuatu hal.
Kandar lain
dari biasanya. Pakaiannya serba hitam. Raut wajah kusut dan lesu. Tak
bertenaga. Bagai bunga kehilangan asa ketika tercerabut dari tanah.
“Kamu punya
uang tidak?” tanpa dipersilahkan, dia duduk, “Saya mau beli pulsa untuk nelpon.
Sepuluh ribu saja.”
Lebih dari
dua kali Valeri menyebut kata “tidak punya”. Berbagai alasan meluncur dari
mulut yang belum dibasuh. Bau nafas tersebar ke segala penjuru ruangan. Asam
lambung Kandar meningkat. Sakit mag kambuh.
“Eh, Buyut
sudah meninggal. Semalam dia ditembak Brimob,” suara yang sebenarnya
ditahan-tahan keluar juga. Telah diusahakannya agar kalimat itu jangan
terciprat agar kakaknya tak salah sangkah dengannya. Dia tak menginginkan
kematian temannya menjadi alasan memalak secara halus kakaknya. Tapi, terpaksa
harus. Pagi ini Kandar memang betul-betul tak memiliki sepeserpun. Padahal dia
harus menghubungi teman-teman kelasnya dulu untuk memberitahukan kematian
Buyut. Teman SMU-nya itu ditembak polisi jam 02.04 dekat poskamling pertigaan
lorong Inpres Tataaran.
Kandar
menuturkan kronologi sambil menunduk tak berani menatap Valeri. Wajah masam nun
gundah dirasa tak perlu dipertontonkan kepada kakaknya. Tak ada hubungan,
pikirnya. Bagi orang yang tak kenal dekat, orang akan langsung menyimpulkan
Buyut sebagai seorang preman yang suka mengganggu orang dan kerjaannya hanya
mabuk melulu tanpa sedikitpun memikirkan masa depan. Tetapi bagi Kandar dia
adalah penyelamat. Bukan hanya sekali Kandar dibantunya saat dompetnya kosong
melompong. Berhari-hari makan di rumahnya. Berteman dengan seorang anak
Tataaran adalah sebuah keuntungan. Jiwa sosial Buyut melebihi khotbah-khotbah
pendeta di atas mimbar. Dia lebih banyak mempraktekan kasih. Sedangkan pendeta
lebih suka menghipnotis jemaat dengan khotbah yang ujung-ujungnya meyakinkan
jemaat bahwa mereka sebagai pendeta berhak menerima bagian sebagai golongan Lewi.
Padahal jelas diuraikan oleh Alkitab bahwa golongan Lewi perlu diberi karena mereka
tak mendapatkan warisan di antara anak-anak Yakub yang lain. Apakah pendeta
orang Lewi? Apa mereka tidak mendapat warisan dari orangtua mereka?
Setelah
memberi uang Rp 10.000 Valeri mulai berkemas. Chintia turut membantu memasukkan
pakaian ke dalam tas. Juga dua buah kamus Inggris-Indonesia yang disusun John
Echols dan Hassan Shaddily dititip untuk diberikan kepada dua adiknya yang baru
saja masuk Sekolah Menengah Pertama di kampung. Ada sedikit rasa bersalah
timbul di lubuk hati Valeri karena sudah
agak kikir pada adiknya yang hendak membantu keluarga Buyut yang dirundung duka
nestapa. Bagaimana tak berduka? Buyut adalah anak satu-satunya. Pekerjaannya
sebagai supir sudah menopang ibunya 10 tahun terakhir.
“Aku jalan
dulu ya,” kata Valeri tanpa disahut oleh satu orangpun dalam kamar kos bercat
biru laut itu. Warna biru ikut-ikutan memperkuat simbol duka semua orang dalam
kamar. Hanya anggukan yang diterima Valeri. Kandar keluar kamar lebih dahulu.
Sementara Chintia berupaya menahannya sebentar agar mendapat kecupan dan
dekapan mesra sang pujaan hati.
Rasa
gembira pulang kampung tak memacuh langkah Valeri. Biasanya pulang kampung
selalu menjadi sebuah episode hidup yang menyenangkan. Kini, Valeri telah
berada di jalanan. Kendaraan serasa mau menyenggol tapi diabaikannya. Valeri
berjalan dengan perhatian buyar. Rasa bersalah pada Kandar. Rasa bersalah pada
Buyut. Sentuhan kasih Buyut semasa dia hidup pernah dirasakannya. Bukan hanya
pernah. Beberapa kali malah. Dan selalu terjadi ketika dia turun dari mikro. Biaya
ongkos angkutan selalu saja dibebaskan Buyut. Sampai-sampai Valeri enggan lagi
menumpang di mikro yang dikendarai Buyut. Buyut…Buyut. Tampangnya saja yang
serem. Tapi dia begitu dermawan. Valeri bergumam.
Sekarang
ini Valeri telah berada di atas bus menuju kota Manado. Dia akan menempuh rute
yang panjang hari ini. Tataaran-Karombasan-Pasar 45 (untuk beli buku di toko
buku Gramedia)-Malalayang-Amurang-Tondei-Pelita. Keempat roda bus laju meluncur
menanjak melewati bukit Kasuang. Tiba-tiba bus terhenti. Kerumunan orang dengan
sepada motor, jumlahnya kurang lebih 300an nampak standby di depan
kantor PLN Kaaten Tomohon. Beberapa orang terdengar mengeluarkan keluhan.
Bahkan disertai makian. Kutempelkan mataku ke kaca jendela. Melihat-lihat apa
yang sebenarya berlangsung. Mengapa begitu banyak orang berkerumun? Seperti ada
kampanye. Begitu bus maju dua langkah, aku membaca spanduk putih dengan
tulisan, “Buyut, kami siap sedia menggiringmu ke surga.”
Air mata
sontak tumpah. Tak lagi dapat dibendung. Dalam diam tertahan Valeri
sesenggukan. Dia dikuasai emosi. Ratapan seakan mau pecah. Terucap doa, “Ya
Tuhan, terimalah anakMu Buyut. Ampunilah dia yang memukuli polisi kala dia
tengah mabuk. Dia bukan orang jahat. Dia hanya sedikit nakal. Maklum anak muda.
Ampunilah pula polisi yang menembaknya. Dia juga masih mudah. Masih berdarah
panas. Tak dapat menahan emosi. Ampunilah . Mereka hanyalah manusia biasa. Yang
tak lepas dari salah. Amin.
Tataaran, 28
Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar