Jumat, 03 Mei 2013

BUYUT



Oleh Iswan Sual, S.S

Sinar mentari perlahan merayap masuk melalui celah-celah jendela yang masih tertutup di kos Chintia. Gadis kuliahan semester lima yang punya tubuh sintal dan dikaruniakan Tuhan rambut dan kulit terang sibuk menempatkan piring dan sendok di atas meja untuk dikeringkan. Peralatan makan itu baru saja selesai dicucinya. Sedangkan Valeri pacarnya dengan belek besar di sudut mata sedang asyik pula dengan aktifitasnya. Bunyi tik tak tik berirama seakan sengaja diduetkan dengan bunyi piring dan sendok yang diletakkan satu per satu. Pagi yang lengang menjadi riuh menganggu para mahasiswa lain yang masih ngorok di kamar masing-masing.
Sudah dua tahun terakhir mereka menjadi pasangan kumpul kebo di kos-kosan Tataaran. Aktifitas keseharian mereka adalah kuliah di Universitas Negeri Manado. Mereka berdua termasuk mahasiswa panutan. Kartu Hasil Studi selalu dibanjiri nilai A dan B. Secara akademis, mereka tak mengecewakan orang tua. Namun yang pasti kebersamaan intim dengan status belum nikah adalah pengecualiannya. Itupun kalau ada teman sekampung punya mulut yang bocor membeberkan kehidupan bebas ala  Perancis sampai di telinga orang tua mereka.
“Apa kakak saya ada?” terdengar suara di depan pintu setelah Chintia membuka pintu yang baru saja diketuk pelan.
Sedikit Valeri mendongak memastikan siapa yang mencarinya. Rupanya Kandar adiknya. Dia seorang mahasiswa Jurusan Psikologi yang sangat menentang teori-teori Karl Jung murid Sigmund Freud pencetus teori Psikoanalisa. Pernah dia bilang bahwa pemikirannya lebih tajam daripada pemikiran Jung. Beberapa kali paper dan artikel yang telah dimuat di koran lokal dan nasional dipamerkan ke Valeri. Karena ketidakpahaman dan ketidaktertarikan, Valeri tampak bingung dan hanya mengangguk-angguk bak orang bijak baru saja membuat kesimpulan setelah proses perenungan sesuatu hal.
Kandar lain dari biasanya. Pakaiannya serba hitam. Raut wajah kusut dan lesu. Tak bertenaga. Bagai bunga kehilangan asa ketika tercerabut dari tanah.
“Kamu punya uang tidak?” tanpa dipersilahkan, dia duduk, “Saya mau beli pulsa untuk nelpon. Sepuluh ribu saja.”
Lebih dari dua kali Valeri menyebut kata “tidak punya”. Berbagai alasan meluncur dari mulut yang belum dibasuh. Bau nafas tersebar ke segala penjuru ruangan. Asam lambung Kandar meningkat. Sakit mag kambuh.
“Eh, Buyut sudah meninggal. Semalam dia ditembak Brimob,” suara yang sebenarnya ditahan-tahan keluar juga. Telah diusahakannya agar kalimat itu jangan terciprat agar kakaknya tak salah sangkah dengannya. Dia tak menginginkan kematian temannya menjadi alasan memalak secara halus kakaknya. Tapi, terpaksa harus. Pagi ini Kandar memang betul-betul tak memiliki sepeserpun. Padahal dia harus menghubungi teman-teman kelasnya dulu untuk memberitahukan kematian Buyut. Teman SMU-nya itu ditembak polisi jam 02.04 dekat poskamling pertigaan lorong Inpres Tataaran.
Kandar menuturkan kronologi sambil menunduk tak berani menatap Valeri. Wajah masam nun gundah dirasa tak perlu dipertontonkan kepada kakaknya. Tak ada hubungan, pikirnya. Bagi orang yang tak kenal dekat, orang akan langsung menyimpulkan Buyut sebagai seorang preman yang suka mengganggu orang dan kerjaannya hanya mabuk melulu tanpa sedikitpun memikirkan masa depan. Tetapi bagi Kandar dia adalah penyelamat. Bukan hanya sekali Kandar dibantunya saat dompetnya kosong melompong. Berhari-hari makan di rumahnya. Berteman dengan seorang anak Tataaran adalah sebuah keuntungan. Jiwa sosial Buyut melebihi khotbah-khotbah pendeta di atas mimbar. Dia lebih banyak mempraktekan kasih. Sedangkan pendeta lebih suka menghipnotis jemaat dengan khotbah yang ujung-ujungnya meyakinkan jemaat bahwa mereka sebagai pendeta berhak menerima bagian sebagai golongan Lewi. Padahal jelas diuraikan oleh Alkitab bahwa golongan Lewi perlu diberi karena mereka tak mendapatkan warisan di antara anak-anak Yakub yang lain. Apakah pendeta orang Lewi? Apa mereka tidak mendapat warisan dari orangtua mereka?
Setelah memberi uang Rp 10.000 Valeri mulai berkemas. Chintia turut membantu memasukkan pakaian ke dalam tas. Juga dua buah kamus Inggris-Indonesia yang disusun John Echols dan Hassan Shaddily dititip untuk diberikan kepada dua adiknya yang baru saja masuk Sekolah Menengah Pertama di kampung. Ada sedikit rasa bersalah timbul di lubuk hati  Valeri karena sudah agak kikir pada adiknya yang hendak membantu keluarga Buyut yang dirundung duka nestapa. Bagaimana tak berduka? Buyut adalah anak satu-satunya. Pekerjaannya sebagai supir sudah menopang ibunya 10 tahun terakhir.
“Aku jalan dulu ya,” kata Valeri tanpa disahut oleh satu orangpun dalam kamar kos bercat biru laut itu. Warna biru ikut-ikutan memperkuat simbol duka semua orang dalam kamar. Hanya anggukan yang diterima Valeri. Kandar keluar kamar lebih dahulu. Sementara Chintia berupaya menahannya sebentar agar mendapat kecupan dan dekapan mesra sang pujaan hati.
Rasa gembira pulang kampung tak memacuh langkah Valeri. Biasanya pulang kampung selalu menjadi sebuah episode hidup yang menyenangkan. Kini, Valeri telah berada di jalanan. Kendaraan serasa mau menyenggol tapi diabaikannya. Valeri berjalan dengan perhatian buyar. Rasa bersalah pada Kandar. Rasa bersalah pada Buyut. Sentuhan kasih Buyut semasa dia hidup pernah dirasakannya. Bukan hanya pernah. Beberapa kali malah. Dan selalu terjadi ketika dia turun dari mikro. Biaya ongkos angkutan selalu saja dibebaskan Buyut. Sampai-sampai Valeri enggan lagi menumpang di mikro yang dikendarai Buyut. Buyut…Buyut. Tampangnya saja yang serem. Tapi dia begitu dermawan. Valeri bergumam.
Sekarang ini Valeri telah berada di atas bus menuju kota Manado. Dia akan menempuh rute yang panjang hari ini. Tataaran-Karombasan-Pasar 45 (untuk beli buku di toko buku Gramedia)-Malalayang-Amurang-Tondei-Pelita. Keempat roda bus laju meluncur menanjak melewati bukit Kasuang. Tiba-tiba bus terhenti. Kerumunan orang dengan sepada motor, jumlahnya kurang lebih 300an nampak standby di depan kantor PLN Kaaten Tomohon. Beberapa orang terdengar mengeluarkan keluhan. Bahkan disertai makian. Kutempelkan mataku ke kaca jendela. Melihat-lihat apa yang sebenarya berlangsung. Mengapa begitu banyak orang berkerumun? Seperti ada kampanye. Begitu bus maju dua langkah, aku membaca spanduk putih dengan tulisan, “Buyut, kami siap sedia menggiringmu ke surga.”
Air mata sontak tumpah. Tak lagi dapat dibendung. Dalam diam tertahan Valeri sesenggukan. Dia dikuasai emosi. Ratapan seakan mau pecah. Terucap doa, “Ya Tuhan, terimalah anakMu Buyut. Ampunilah dia yang memukuli polisi kala dia tengah mabuk. Dia bukan orang jahat. Dia hanya sedikit nakal. Maklum anak muda. Ampunilah pula polisi yang menembaknya. Dia juga masih mudah. Masih berdarah panas. Tak dapat menahan emosi. Ampunilah . Mereka hanyalah manusia biasa. Yang tak lepas dari salah. Amin.

Tataaran, 28 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar