Jumat, 03 Mei 2013

TUMANI[1]


Iswan Sual



Musim panas Agustus 1906

Cahaya rembulan memendar melebar seluas jangkauan sayap langit. Tanah dimana terung[2] kami berdiri terkena pula tempiasnya. Meski pohon mangga yang rindang membentang ranting untuk menghalang. Dua obor yang bergelayut pada tiang perteduhan dirampas tugasnya. Sehingga faedahnya seolah tak ada sama sekali. Semua kami berdiam diri di luar menanti bunyi burung yang kerap jadi pembawa pesan Opo Kasuruang Wangko.[3]. Jangkrik tak satu pun berderit. Nyamuk enggan bertengger di tubuh kami. Walau hanya sekedar mencium darahnya. Seolah ingin pula menjadi saksi sejarah cikal bakal awal cerita berdirinya sebuah wanua[4] di lembah antara gunung Lolombulan dan Sinonsayang. Sudah beberapa hari kami di sini. Namun jawaban yang ditunggu tak kunjung mendekat. Untuk menjawab harap yang telah memanjat menembus angkasa.
Kami semakin resah. Bukan karena dofoma[5] kian berkurang. Itu bukan persoalan sama sekali. Area dimana kami menapakkan kedua kaki, menjamu kami dengan berkat melimpah. Yang membuat gelisah adalah bunyi sembilan kali yang dinanti dari wala[6] belum terdengar. Kami bingung. Di Mawale, dimana kawok[7] dan kalowatang[8] berkerumun pun tak diiyakan.  Seminggu kami menunggu disana. Sulit memahami pikiran si Yang Maha Kuasa. Tempat-tempat yang kami anggap layak untuk pemukiman seolah ditolak menta-menta. Padahal dekat dengan sumber air, tanahnya datar, subur dan kaya akan binatang buruan. Mengapa? Apakah karena ini tanah adalah punya orang-orang Mongondo sehingga kami dihalang menetap di sini? Bukankah Tuhan juga menjadi saksi bahwa tanah yang membentang dari sungai Ranoiapo hingga sungai Poigar telah dijadikan mahar raja Loloda Mokoagow ketika dia meminang putri Tontemboan dari Tombasian? Atau karena tanah ini telah digariskan untuk tidak dimukimi sehingga dua ratus tahun lalu ditinggalkan oleh leluhur kami? Apakah upaya tumondei[9] kami tak direstui karena Tuhan mendengar keluhan orang-orang Mongondo? Atau kami sedang diajar Tuhan tentang kesabaran...
***

Satu hari sebelumnya…


“Sia ke’[10] ,” kata Timporok kepada dua rekannya yang lain, “sa sia, cawana em painde’ na[11].”
Muntuuntu dan Wongkar tak begitu setuju. Kendati begitu mereka berdua dapat diyakinkan. Sebab riwayat sisilah keluarga telah diuraikan secara gamblang. Tambah lagi Mogogibung memang siap dijadikan rages, tumbal. Sebab baginya kematiannya adalah kehidupan bagi banyak orang. Baginya, bila pengorbanan diperlukan, maka biarlah dia orang yang pertama yang menjadi sukarelawan. Sebenarnya Timporok tak tega juga bila orang yang sedarah dengan dia disembelih di atas mesbah di depan matanya sendiri. Benak dan nuraninya bergejolak. Mengapa Opo si nimema en tana’ wo langit[12] memberikan permintaan yang tak masuk akal? Apakah tak ada cara lain untuk menguji iman dan kesetiaan kami? Kami tak habis pikir dengan tingkah laku Opo Wananatas[13]. Tapi apa boleh buat. Kami hanyalah ciptaan. Mendengar dan melakukan adalah tugas kami. Bila nuwu[14] sudah terucap, tiada lain selain taat.
***

Seminggu kemudian…
Satu malam sebelum upacara tumani pada Agustus 1906…

Mogogibung seorang diri duduk diatas sebatang kayu. Doa-doa ungkapan ketaatan telah dipanjatkan. Dia kian yakin dengan keputusannya. Matanya tak bergeser dari perapian di depannya.  Hangat rembesan api memberinya ketenangan sukma yang tak terselami. Malam ini akan jadi malam terakhir dia dan para tonaas semeja makan. Malam ini akan jadi malam terakhir ia mencium bau saguer[15], nasi dan daging tikus yang punya aroma mistis. Akhirnya waktu telah tiba. Waktu untuk membuktikan ketulusan, menjawab panggilan kemanusiaan dan awal perjalanan menuju kasendukan[16] dimana para leluhur yang berbuat baik semasa hidupnya bersemayam dan melantunkan madah memuji kebesaran Opo Kasuruang.
Di kejauhan nampak cahaya mendekat bersamaan dengan suara ramai orang berbincang riang. Mogogibung tetap berusaha tenang. Meski kedatangan mereka bermakna maut bagi dia. Dia tahu bahwa rombongan datang membawa kabar baik. Kabar tentang dimana lokasi pelaksanaan upacara tumani akan digelar dan dimana proses sumoring[17] hendak dilaksanakan. Dia pun membayangkan jalannya upacara yang penuh khidmat dan khusyuk diselenggarakan. Tembang-tembang puitis Minahasa tua diiringi melodi seruling dilantunkan. Silsilah keluarga sedari masa makarua siow, makatelu pitu, pasiowan telu[18] dilisankan. Pidato-pidato nubuatan tonaas[19] dan waliang[20] dituturkan. Tarian-tarian mistis dipertunjukkan. Dan rencana-rencana masa depan dikumandangkan. Dan bunyi manguni diperdengarkan bersamaan dengan siow lentu’[21] diisi ke dalam kurek[22]. O betapa elok dan rancak suasana itu. Alangkah syahdunya peristiwa itu. Sungguh beruntung mereka yang dapat langsung menyaksikannya!
Makanan dan minuman yang dibuatnya ditengoknya sekali lagi. Uap masih menjulang naik menembus daun pisang yang dipakai sebagai penutup. Semua telah tersaji di atas meja bambu.
“E tuama. Remepet mi’i. Tulungeng kami mangkai si anio[23],” teriak Wongkar dari kejauhan.
Mogogibung bingung. Adakah yang sakit? Atau adakah yang celaka? Benda berat apa yang sedang mereka bawa? O Amang Kasuruang copus mi’i kami[24]. Gumannya dalam hati.
“E tuama. Morakem. Co weta’ wo’o e[25].” Ini semakin membuat Mogogibung bingung. Apa yang mereka bicarakan? Segala menjadi jelas begitu seekor piton sebesar batang pohon kelapa dibentangkan di depan Sabua. Ternyata ular yang lebih dikenal dengan sebutan patola itu telah dikirim oleh Opo Kasuruang menggantikan Mogogibung. Itu adalah wujud cinta dan sayang-Nya. Sebagai imbalan dari ketulusan dan kerelaan serta kebersihan hati setiap mereka.
***

Upacara tumani pada Agustus 1906…

“O Amang Kasuruang Wangko si nemema en tana’ wo langit. Turu’an mi’i eng lalang rondor. Kengsya eng kalambot,  eng kawangker, eng kakemel en ule’ anio’, keleistyu eng kamang an do’ong anio’. Keleistyu en tou ma’awes. Keling-keling eng kamang wo itayangange eng kawenduan. O Empung…O royor[26].”
Matahari bersinar cerah. Namun kulit tak tersengat. Hanya pelu-pelu yang nampak menetes dari dahi sang waliang. Sambil memegang tawaang[27] dan kendem[28] dia bersabda. Acara berlangsung lama namun tak satupun kami jenuh. Makan minum bersama menjadi ujung dari upacara. Semenjak itu orang-orang ber-mapalus[29] merombak hutan untuk membuka lahan perkebunan. Berhari-hari, berminggu-minggu dan bertahun-tahun. Hingga akhirnya nyaris tak tersisa lagi area hutan untuk dibuka oleh generasi berikutnya. Dan wanua kami pun diberkati secara melimpah seperti termaktub dalam nuwu para tonaas. Dan kami sepakat menamai udik kami dengan Tinondeian[30]. Jusof Wongkar pun ditunjuk menjadi perewis[31].
***


[Ditulis 27 April 2013. Terinspirasi oleh  cerita yang dituturkan bapak Reine Mogogibung. Tapi cerita ini dikategorikan sebagai fiksi karena telah mendapat sentuhan rekaya imaginasi penulis]


[1] Upaya mendirikan sebuah perkampungan. (Bhs Tontemboan)
[2] Gubuk. Kata ini digunakan secara bergantian dengan kata sabua. (Bhs Tontemboan)
[3] Tuhan Maha Kuasa (Bhs Tontemboan)
[4] Kampung. Kata ini dipakai secara bergantian dengan kata ro’ong. (Bhs Tontemboan)
[5] Bekal, persediaan makan
[6] Sejenis burung. Sering dipakai secara bergantian dengan kata manguni. Burung ini diyakini oleh orang Minahasa sebagai perantara Tuhan dan manusia - pembawa pesan dari Tuhan. Itulah yang melandasi sehingga GMIM menggunakannya sebagai lambang gereja. (Bhs Tontemboan)
[7] Tikus (Bhs Tontemboan)
[8] Babi hutan (Bhs Tontemboan)
[9] Mencari kembali. Dari kata inilah nama desa Tondei. (Bhs Tontemboan)
[10] “Dia saja”. (Bhs Tontemboan)
[11]  “Kalau dia berani”. (Bhs Tontemboan)
[12]  Tuhan yang menciptakan bumi dan langit. (Bhs Tontemboan)
[13]  Tuhan. (Bhs Tontemboan)
[14]  Sabda/firman. (Bhs Tontemboan)
[15]  Tuak. Air nira. (Bhs Tontemboan)
[16]  Surga. (Bhs Tontemboan)
[17] Meniup suling. (Bhs Tontemboan)
[18] Nama rumpun keturunan Toar Lumimuut. (Bhs Tontemboan)
[19] Pemimpin. Secara harafiah berarti orang berotak (Tou nga’asan) atau orang yang memiliki pendirian yang keras dan keunggulan dalam pengetahuan tentang cara membuka lahan perkebunan, pandai mendengar bunyi burung dan mengartikan tanda-tanda, memiliki jimat yang sakti dan lain-lain. Biasanya tonaas adalah orang yang dituakan dan dapat dijadikan teladan dalam perilaku, prinsip, iman dan tutur kata serta dalam menjaga warisan dan menerapkan nilai-nilai yang telah diajarkan leluhur. (Bhs Tontemboan)
[20] Memiliki kemampuan seperti tonaas. Namun biasanya lebih mahir dalam memimpin upacara adat dan ilmu pengobatan. (Bhs Tontemboan)
[21] Sembilan patahan lidi. (Bhs Tontemboan)
[22]  Sejenis belanga yang terbuat dari tanah. (Bhs Tontemboan)
[23]  “Hai lelaki. Bergegaslah. Tolong kami untuk mengangkat ini. (Bhs Tontemboan)
[24]   Oh Tuhan kasihanilah kami. (Bhs Tontemboan)
[25]  “Hai lelaki. Cepatlah. Sebenarnya kamulah.”
[26] “Oh Bapa, Tuhan yang besar yang menciptakan bumi dan langit. Tunjukkanlah jalan yang benar. Sebagaimana panjang, besar, dan gemuknya ular ini, begitulah kiranya berkat untuk kampung ini. Begitulah kiranya banyaknya orang yang bertambah di kampung ini. Limpahkanlah berkat dan jauhkanlah kesukaran. O Tuhan…” (Bhs. Tontemboan)
[27] Sejenis tumbuhan. (Bhs. Tontemboan)
[28] Sejenis tumbuhan. (Bhs. Tontemboan)
[29] Bergotongroyong. (Bhs. Tontemboan)
[30]  Dicari kembali. Nama ini hanya bertahan selama dua tahun. Pada 1908 Tumondei diakui sebagai dusun jauh dari Raanan Baru. Dan namanya berubah menjadi Tondei. (Bhs. Tontemboan)
[31]  Wakil Ukung Tua. Pada 1914 desa Tondei berdiri sendiri sebaga satu desa. Setahun kemudian dipilihlah seorang pemuda (belum menikah) yang bernama Demas Kawengian menjadi seorang Ukung Tua. (Bhs. Tontemboan)

TUMETE AM PA’TETEANG NI TETEANG I TETE’[1]


Oleh Iswan Sual

Semua orang terkesima. Di media elektronik, seorang pejabat muda di posisi puncak dan terkenal bermartabat diciduk oleh aparat hukum secara mendadak tadi pagi. Tepat saat dia akan berangkat ke kantornya. Usianya masih sebaya denganku. Bukan hanya itu saja. Dia bahkan masih sedarah denganku. Kebanggaan orang desa karena ada orang sekampung bertengger di tingkat nasional tiba-tiba sirna. Misi untuk merubah negeri kandas oleh tawar menawar jabatan dan kekuasaan. Dan dia hanyut oleh arus politik negeri yang begitu deras. Penuh intrik dan tipu muslihat. Dia yang bersih, ujung-ujung ikut bermain kotor karena dituntut oleh keadaan. “Katakan tidak pada korupsi,” pekiknya sewaktu berdiri di podium lima tahun lampau. Selang beberapa bulan, dia bilang, “kalau aku terbukti korupsi, gantung aku di Monas.”
Dulu sudah kuperingatkan. Sewaktu dia masih melakukan kesalahan kecil. Ikut-ikutan terseret oleh permainan mentornya. Orang yang dia puja karena memberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.  Orang yang mengajarkan bahwa penghalalan cara diterima asalkan untuk orang banyak. Lalu, berangsur-angsur dia pun ketagihan dan terus menerus menghalalkan segala cara.
Tapi aku tetap terpukul karena menyaksikan aib saudaraku berulang-ulang disiarkan di media masa. Jutaan rakyat yang dulu mengaguminya kini menyumpahinya. Hanya orang-orang  sekampung yang masih merasa ibah. Sungguh kasihan! Pemuda yang begitu lugu, luluh dimakan zaman. Tergiur oleh tawaran dunia yang nampak menjanjikan.
***
“Semua ini salahmu!”
“Apa katamu? Aku yang salah?”
“Iya! Kalau bukan kamu, siapa lagi, hah? Sudah kubilang jangan pernah membuat perjanjian dengan setan!”
“Apa kamu bilang? Kamu bilang mereka setan? Tidak tahu balas budi kamu ya! Apa kamu lupa kita jadi sejahtera begini adalah karena mereka berbagi kasih dengan kita? Kamu masih ingat tidak keadaan kita dulu? Apalagi yang kurang sekarang? Kita punya rumah megah, tabungan di bank yang berlimpah, mobil mewah semua anak kita sukses dan hidup kaya.”
“Kamu barangkali bersyukur dengan hidup kita ini. Tetapi aku tidak. Kehidupan yang penuh kemudahan dan kemewahan ini adalah semu. Batinku tidak pernah tenang. Aku muak dengan semua ini!”
“Hei perempuan! Kamu tak tahu diuntung. Kamu tak tahu bersyukur!”
“Hentikan! Hentikan semua kebohongan ini! Kamu kira aku tak tahu semua. Semua kekayaan ini diperoleh dengan curang. Kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu juga punya simpanan. Hentikan semua ini! Anak kita telah menjadi tumbal kerakusan kita.” si lelaki terdiam seribu bahasa. Muka menghadap tanah.
“…kalau saja kita mulai dengan jujur…tentu tidak akan begini.”
Sofa, lantai berubin mahal, permadani dan lemari antik yang besar beserta semua peralatan elektronik canggih dalam ruangan itu membisu. Begitu juga foto keluarga penuh senyum yang megah yang tergantung di tembok. Tangis tak lagi terdengar. Tangis hanya membahana dalam dinding dada mereka berdua. Ingatan akan masa lalu membayang. Dimulai ketika anak pertama mereka lahir. Kemudian disekolahkan. Mulai saat itu mereka menghambakan diri pada seorang tuan besar. Seorang yang kaya dan berpendidikan tinggi. Terlalu hormat mereka pada orang itu. Sehingga semua sabda dan tingkahnya pun dianggap benar oleh mereka. Semua itu diterima saja. Bahkan dianggap sebagai kebenaran. Semua dilandasi oleh kehendak untuk hidup “lebih baik”.
Waktu itu banyak orang menegur. Tapi itu dianggap sebagai angin lalu. Maklum, teguran yang datang dari orang yang tak berada dan tak berhikmat tinggi. Tak memiliki jabatan dan nyaris seperti gembel. Apalagi teguran dariku. Beberapa kali aku datang mengingatkan tapi kata-kata itu dianggap telah usang.
“Paman, masih ingatkah sebuah pesan leluhur yang kita pegang selama ini? Tumete am pa’teteang ni teteang i tete’...,” kataku.
“Kamu benar. Tapi ingat, kita masih di dunia! Wo’bas pe’ ko. Keliang pe’ sangkumnu[2].
Aku pun kehabisan kata. Dan nyaris kehabisan asa untuk mengingatkan agar pamanku meninggalkan cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan warisan leluhur. Tapi rasa perduli memaksa aku untuk terus bicara. Mencegah saudara-saudaraku jatuh ke dalam ngarai yang lebar menganga. Namun, lama-lama aku kian terdesak untuk segera angkat kaki dan menjauh. Wajah tak senangnya yang memaksaku…
“Baiklah kalau begitu. Simpan kebaikan paman sekarang dan tunaikan itu saat telah berada di surga kelak. Semoga itu akan berguna. Tapi sebelum aku pergi. Kutinggalkan surat ini. Bacalah sesegera mungkin. ”
***
Seorang lelaki berjalan terhuyung-huyung menuju kamarnya. Tatapannya nanar karena telah seharian menangis dengan perut tak berisi. Dia teringat sebuah surat yang diberi oleh seorang pemuda sepuluh tahun yang lalu. Kini dia tak yakin dimana letak surat itu. Namun, dia harus menemukan itu sekarang. Barangkali ada jawaban. Mungkin ada penghiburan. Diantara tumpukan berkas-berkas lama dia akhirnya menemukan yang dia cari. Selembar kertas terlipat dua. Kertas yang sudah berubah warna. Kekuningkuningan. Ditulis dengan tangan. Dia mulai membacanya…
Paman yang baik,

Ini sebenarnya bukan surat yang aku tulis sendiri. Ini hanya surat dari orang lain yang bernama Yohanes. Tentu Paman mengenalnya. Karena paman adalah seorang diaken. Telah lama ingin kuteruskan kepada Paman. Bacalah sampai selesai.

[Aku menulis kepada kamu, hai anak-anak, karena kamu mengenal Bapa. Aku menulis kepada kamu, hai bapa-bapa, karena kamu mengenal Dia, yang ada dari mulanya.... Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu. Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia. Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya.
Anak-anakku, waktu ini adalah waktu yang terakhir, dan seperti yang telah kamu dengar, seorang antikristus akan datang, sekarang telah bangkit banyak antikristus. Itulah tandanya, bahwa waktu ini benar-benar adalah waktu yang terakhir.
Memang mereka berasal dari antara kita, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita; sebab jika mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita, niscaya mereka tetap bersama-sama dengan kita. Tetapi hal itu terjadi, supaya menjadi nyata, bahwa tidak semua mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita.
Tetapi kamu telah beroleh pengurapan dari Yang Kudus, dan dengan demikian kamu semua mengetahuinya.
Aku menulis kepadamu, bukan karena kamu tidak mengetahui kebenaran, tetapi justru karena kamu mengetahuinya dan karena kamu juga mengetahui, bahwa tidak ada dusta yang berasal dari kebenaran[3].]

Lega sudah ketika surat ini telah paman baca.


Peluk dan sayang dari,




            Lenas


NB: Paulus juga titip pesan. Katanya, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna[4].



[1] Berjalan pada jalan yang benar. Secara harafiah berarti meniti pada titian yang dititi oleh si kakek. (Bhs. Tontemboan)
[2] Kamu masih muda. Masih banyak yang akan kami hadapi. (Bhs. Tontemboan)
[3] Kutipan dari 1 Yohanes 2:14-21
[4] Kutipan dari Roma 12:2