Jumat, 03 Mei 2013

Teruna Abadi



Oleh Iswan Sual, S.S

Di kampung kami ada hidup seorang teruna yang sudah agak tua. Yosi namanya. Dia selalu terlihat di pagi dan siang hari setiap kali kami hendak berangkat ke dan pulang dari sekolah. Pakaiannya sungguh membuat aku prihatin. Berjalan dengan celana pendek dan kaos oblong yang dekil karena arang tak jadi soal bagi si teruna ini.  Siswa-siswi yang berpapasan dengannya terkadang melemparkan tawa-tawa mengejek, namun tak pernah dia marah atau tersinggung. Hal-hal itu begitu enteng diterimanya. 
Dia hidup normal dalam rumah sederhananya. Ada tinggal di situ dia, mamanya, dan dua adiknya perempuan yang sudah berkeluarga. Dua adik iparnya minta ampun malasnya. Mereka paling hebat kalau membuat anak. Jadinya, semua tanggungan ada di pundak Yosi.
Sedikit pun dia tak mengeluh. Dia terus saja bekerja tanpa berharap ada orang yang akan membantu. Sungguh tak berperasaan dua saudara iparnya itu. Mamanya yang sudah buta tak pernah menyadari kelakuan jahat dua anak menantunya yang tiap hari kerja mereka hanya nonton dan tidur. Sungguh tak tahu malu!  
Pekerjaan Yosi adalah pekerjaan mayoritas pria di kampung kami. Dia seorang pembuat gula aren. Mereka terus saja membuat gula aren walau harganya naik turun seperti yoyo berkat permain pengusaha-pengusaha kecil di kampung kami.
Dia bekerja mulai subuh hingga malam. Dia terlihat siang di kampung untuk makan siang sekaligus melihat ibunya yang kadang-kadang ditelantarkan oleh orang-orang serumah. Untung, letak tampa gula-nya tak jauh dari rumah.
Orang-orang bisa bertandang ke tampa gula kapan saja. Dia tak merasa rugi bila berkali-kali orang datang meneguk beberapa tempurung saguer dari kuali. Tempat dimana dia bekerja telah banyak kali dijadikan sasaran penelitian mahasiswa. Sampai-sampai pernah ada seorang anak gadis kuliahan tertarik dan jatuh cinta padanya oleh karena terkesima dengan profesianalisme Yosi ketika memaparkan secara ilmiah proses pembuatan gula aren. Walaupun tidak sekolah, karena bertahun-tahun menggelutinya, serasa enteng dia memberi presentasi. Padahal, belum tentu seorang mahasiswa dapat melakukannya. Ya begitulah, banyak mahasiswa yang menjelang sarjana tak tahu menahu soal presentasi ilmiah.
Sayang, kata-kata gadis kuliahan itu dianggapnya lelucon. Waktu si gadis menegaskan keseriusannya, Yosi dengan terus terang menampiknya.  Bukan karena dia setia pada seorang gadis lain. Tapi karena sesuatu yang tak jelas. Aneh. Pria yang tak tampan ini menyia-nyiakan lamaran seorang gadis istana. Padahal banyak pemuda lainnya sekolah tinggi dan berobsesi jadi kaya raya demi mendapatkan seorang gadis cantik barang satu saja.
Ganjil. Barangkali Yosi telah hilang kewarasannya. Si Yuli, pacarnya, kini telah menjadi perawan tua gara-gara sikap Yosi yang tak jelas itu. Dia masih menunggu walau tak pernah diminta Yosi untuk menungguinya.
Yosi masih ke rumah gadis itu namun tak pernah dia berjanji mengantarnya ke pelaminan. Gadis itu hanya berharap. Terus berharap entah sampai kapan. Tabuh bagi dia bertanya mengenai ikhwal itu pada Yosi.
“Yos, umurmu kini telah empat puluh. Kenapa juga tak kau nikahi si Yuli itu? Masihkah kau menanti yang lain? Jangan pilih-pilih Yos. Pili-pili ahirnya dapa langsa busu,” kata Rivon karena kasihan melihat Yosi yang tiap hari bekerja bagai budak. Mungkin Rivon juga ikut menjadi saksi keganasan keadaan yang dialami Yosi. Memang, hak ikhwal Yosi tak lagi menjadi rahasia.
“Untuk apa menikah? Aku sudah bisa memasak, meyuci dan mengerjakan semua yang bisa dilakukan seorang istri?” jawab Yosi dengan sedikit berkelakar. Disertai tanya.
“Ah Yosi, tidakkah kau ingin merasakan nikmatnya tidur bersama seorang wanita. Tak maukah kau dilayani seorang istri? Tak sudikah kau beroleh keturunan? Penerus. Penerus margamu Yos,” tambah Rivon.
Rivon berusaha menyadarkan Yosi tentang pentingnya berkeluarga. Hidup bahagia di hari tua dengan didampingi anak istri dan cucu.  Terus saja dia mengiming-imingi Yosi tentang sesuatu yang sebenarnya tak diyakininya betul.
“Maukah kau korban kebahagiaan kau hanya demi kesedapan di atas ranjang nun singkat itu Von? Kau lihat hidup si Jerry, saban hari bertengkar dengan istrinya gara-gara setiap pulang dari sawah istrinya asik nonton dan karlota dengan teman-temannya. Kau lihat si Eli. Anaknya pas kesebelasan sepak bola jumlahnya. Semua menumpang di rumah menantunya. Kau lihat si Oni, dia ditinggal oleh istrinya setelah bosan dengan kesedapan ranjang hanya dengan satu  lelaki. Tak usahlah kau pikir hidup aku, kawan. Aku bahagia dengan nasibku. Aku telah memilih untuk sendiri bukan karena aku tak mau menikmati tubuh perempuan. Aku memilih begini karena aku tak ingin mewariskan penderitaan pada anak-anakku. Cukuplah aku yang merasakannya. Aku tak mau anak-anak dan cucuku mengutuki aku karena telah menyebabkan mereka lahir ke dunia ,” Rivon terpaku. Dia tertunduk malu.
Selama ini dia mengganggap Yosi adalah orang yang bodoh yang tak memahami hidup. Selama ini dia berpikir bahwa Yosi telah sesat pikir dan sesat tindak. Rivon malu tersipu telah menuduhkan hal-hal yang tak baik pada Yosi.
“Rivon, kenapa kamu ingin menikah? Apa karena kamu yakin kamu bisa membahagiakan anak istrimu? Apa kamu yakin sanggup mendidik anak-anakmu menjadi anak-anak yang berperilaku patut dan tak akan menjadi musuh negara kita?” Rivon masih tertunduk. Tak berani dia mendongak. “Von, kalau kau tak yakin bisa dengan semua itu, bukankah sebaiknya kau mencegah satu langkah agar tak ada langkah-langkah lain yang nanti membawa kau ke jurang sengsara abadi? Hidup itu singkat, kawan. Jangan kau hanya berpikir bagaimana memuaskan keinginanmu semata. Bahagiakan orang lain. Atau paling tidak, cegahlah ketidakbahagiaan itu.”
Rivon tak berani mendongak hingga kini. Yosipun melanjutkan pekerjaan. Sudah waktunya mengambil sareng-sareng yang bergelantungan di atas pohon aren. Lalu, dia masih harus mencari kayu bakar. Tambah lagi dia harus merebus saguer. Rivon pulang tanpa pamit. Sempat dilihat Yosi pria yang sok tahu itu pulang tanpa pamit. Tanpa basa basi. Pulang tetap tertunduk. Dalam hati terus menyalahkan diri sendiri karena telah berprasangkah sangat tak adil kepada Yosi. Teringat oleh Rivon sebaris kalimat goresan Pramoedya Ananta Toer, “Seorang cendekiawan harus bertindak adil sejak dari pikiran.”
23/02/2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar