Oleh Iswan
Sual, S.S
Di kampung
kami ada hidup seorang teruna yang sudah agak tua. Yosi namanya. Dia selalu
terlihat di pagi dan siang hari setiap kali kami hendak berangkat ke dan pulang
dari sekolah. Pakaiannya sungguh membuat aku prihatin. Berjalan dengan celana
pendek dan kaos oblong yang dekil karena arang tak jadi soal bagi si teruna
ini. Siswa-siswi yang berpapasan
dengannya terkadang melemparkan tawa-tawa mengejek, namun tak pernah dia marah
atau tersinggung. Hal-hal itu begitu enteng diterimanya.
Dia hidup
normal dalam rumah sederhananya. Ada tinggal di situ dia, mamanya, dan dua
adiknya perempuan yang sudah berkeluarga. Dua adik iparnya minta ampun
malasnya. Mereka paling hebat kalau membuat anak. Jadinya, semua tanggungan ada
di pundak Yosi.
Sedikit pun
dia tak mengeluh. Dia terus saja bekerja tanpa berharap ada orang yang akan
membantu. Sungguh tak berperasaan dua saudara iparnya itu. Mamanya yang sudah
buta tak pernah menyadari kelakuan jahat dua anak menantunya yang tiap hari
kerja mereka hanya nonton dan tidur. Sungguh tak tahu malu!
Pekerjaan Yosi
adalah pekerjaan mayoritas pria di kampung kami. Dia seorang pembuat gula aren.
Mereka terus saja membuat gula aren walau harganya naik turun seperti yoyo
berkat permain pengusaha-pengusaha kecil di kampung kami.
Dia bekerja
mulai subuh hingga malam. Dia terlihat siang di kampung untuk makan siang
sekaligus melihat ibunya yang kadang-kadang ditelantarkan oleh orang-orang serumah.
Untung, letak tampa gula-nya tak jauh dari rumah.
Orang-orang
bisa bertandang ke tampa gula kapan saja. Dia tak merasa rugi bila
berkali-kali orang datang meneguk beberapa tempurung saguer dari kuali. Tempat
dimana dia bekerja telah banyak kali dijadikan sasaran penelitian mahasiswa. Sampai-sampai
pernah ada seorang anak gadis kuliahan tertarik dan jatuh cinta padanya oleh karena
terkesima dengan profesianalisme Yosi ketika memaparkan secara ilmiah
proses pembuatan gula aren. Walaupun tidak sekolah, karena bertahun-tahun
menggelutinya, serasa enteng dia memberi presentasi. Padahal, belum
tentu seorang mahasiswa dapat melakukannya. Ya begitulah, banyak mahasiswa yang
menjelang sarjana tak tahu menahu soal presentasi ilmiah.
Sayang,
kata-kata gadis kuliahan itu dianggapnya lelucon. Waktu si gadis menegaskan
keseriusannya, Yosi dengan terus terang menampiknya. Bukan karena dia setia pada seorang gadis
lain. Tapi karena sesuatu yang tak jelas. Aneh. Pria yang tak tampan ini menyia-nyiakan
lamaran seorang gadis istana. Padahal banyak pemuda lainnya sekolah tinggi dan
berobsesi jadi kaya raya demi mendapatkan seorang gadis cantik barang satu
saja.
Ganjil. Barangkali
Yosi telah hilang kewarasannya. Si Yuli, pacarnya, kini telah menjadi perawan
tua gara-gara sikap Yosi yang tak jelas itu. Dia masih menunggu walau tak
pernah diminta Yosi untuk menungguinya.
Yosi masih ke
rumah gadis itu namun tak pernah dia berjanji mengantarnya ke pelaminan. Gadis
itu hanya berharap. Terus berharap entah sampai kapan. Tabuh bagi dia bertanya
mengenai ikhwal itu pada Yosi.
“Yos,
umurmu kini telah empat puluh. Kenapa juga tak kau nikahi si Yuli itu? Masihkah
kau menanti yang lain? Jangan pilih-pilih Yos. Pili-pili ahirnya dapa langsa
busu,” kata Rivon karena kasihan melihat Yosi yang tiap hari bekerja bagai
budak. Mungkin Rivon juga ikut menjadi saksi keganasan keadaan yang dialami
Yosi. Memang, hak ikhwal Yosi tak lagi menjadi rahasia.
“Untuk apa
menikah? Aku sudah bisa memasak, meyuci dan mengerjakan semua yang bisa
dilakukan seorang istri?” jawab Yosi dengan sedikit berkelakar. Disertai tanya.
“Ah Yosi,
tidakkah kau ingin merasakan nikmatnya tidur bersama seorang wanita. Tak maukah
kau dilayani seorang istri? Tak sudikah kau beroleh keturunan? Penerus. Penerus
margamu Yos,” tambah Rivon.
Rivon berusaha menyadarkan Yosi
tentang pentingnya berkeluarga. Hidup bahagia di hari tua dengan didampingi
anak istri dan cucu. Terus saja dia
mengiming-imingi Yosi tentang sesuatu yang sebenarnya tak diyakininya betul.
“Maukah kau
korban kebahagiaan kau hanya demi kesedapan di atas ranjang nun singkat itu
Von? Kau lihat hidup si Jerry, saban hari bertengkar dengan istrinya gara-gara
setiap pulang dari sawah istrinya asik nonton dan karlota dengan
teman-temannya. Kau lihat si Eli. Anaknya pas kesebelasan sepak bola jumlahnya.
Semua menumpang di rumah menantunya. Kau lihat si Oni, dia ditinggal oleh
istrinya setelah bosan dengan kesedapan ranjang hanya dengan satu lelaki. Tak usahlah kau pikir hidup aku,
kawan. Aku bahagia dengan nasibku. Aku telah memilih untuk sendiri bukan karena
aku tak mau menikmati tubuh perempuan. Aku memilih begini karena aku tak ingin
mewariskan penderitaan pada anak-anakku. Cukuplah aku yang merasakannya. Aku
tak mau anak-anak dan cucuku mengutuki aku karena telah menyebabkan mereka
lahir ke dunia ,” Rivon terpaku. Dia tertunduk malu.
Selama ini dia mengganggap Yosi
adalah orang yang bodoh yang tak memahami hidup. Selama ini dia berpikir bahwa
Yosi telah sesat pikir dan sesat tindak. Rivon malu tersipu telah menuduhkan
hal-hal yang tak baik pada Yosi.
“Rivon, kenapa kamu ingin menikah?
Apa karena kamu yakin kamu bisa membahagiakan anak istrimu? Apa kamu yakin
sanggup mendidik anak-anakmu menjadi anak-anak yang berperilaku patut dan tak
akan menjadi musuh negara kita?” Rivon masih tertunduk. Tak berani dia
mendongak. “Von, kalau kau tak yakin bisa dengan semua itu, bukankah sebaiknya
kau mencegah satu langkah agar tak ada langkah-langkah lain yang nanti membawa
kau ke jurang sengsara abadi? Hidup itu singkat, kawan. Jangan kau hanya
berpikir bagaimana memuaskan keinginanmu semata. Bahagiakan orang lain. Atau
paling tidak, cegahlah ketidakbahagiaan itu.”
Rivon tak berani mendongak hingga
kini. Yosipun melanjutkan pekerjaan. Sudah waktunya mengambil sareng-sareng
yang bergelantungan di atas pohon aren. Lalu, dia masih harus mencari kayu
bakar. Tambah lagi dia harus merebus saguer. Rivon pulang tanpa pamit. Sempat
dilihat Yosi pria yang sok tahu itu pulang tanpa pamit. Tanpa basa basi. Pulang
tetap tertunduk. Dalam hati terus menyalahkan diri sendiri karena telah
berprasangkah sangat tak adil kepada Yosi. Teringat oleh Rivon sebaris kalimat
goresan Pramoedya Ananta Toer, “Seorang cendekiawan harus bertindak adil sejak
dari pikiran.”
23/02/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar