Iswan Sual
Masih
kuingat saatku masih kecil dulu. Waktu itu Sinonsayang dan Lolombulan masih
hijau dan rimbun. Jalanan masih berlubang-lubang dan penuh bejek bila musim
hujan. Yang kutahu dunia hanya selebar perkebunan Suka hingga perkebunan Mesel.
Kemana ayahku pergi, aku ikut membuntutinya. Bila dia punya parang, saya juga
punya. Walau ukurannya berbeda. Rerumputan masih lebih tinggi dari badanku.
Saya senang sekali bersama ayah. Saya menirukan gerakan-gerakannya saat menebas
rerumputan di bawah pohon cengkih dan kelapa. Saya juga gembira bila ayah bersiul
sambil memikul kayu bakar di saat kami pulang ke rumah dari kebun. Saya ingin
selalu bersama ayah. Sampai-sampai aku menangis bila tak bisa melihat ayah saat
aku pulang dari sekolah. Lucu! Saya lebih senang bersama ayah di kebun
ketimbang di rumah bersama ibu dan adik kecilku.
Tiba-tiba,
segalanya berubah tatkalah aku mulai sekolah. Rasa kagum saya pada ayah berpindah kepada guru-guru saya. Bahkan sampai
mengidolakan mereka. Aku diajarkan tentang perilaku baik: kejujuran, keberanian,
tenggang rasa, kerja keras dan keadilan. Juga diajarkan berhitung, berbahasa
Indonesia, alam sekitar dan lingkungan sosial. Kehidupan sekolah menjadi lebih
menarik bagiku. Para guru-guru menaburi hariku dengan mimpi-mimpi indah. Aku
jatuh hati pada semua itu. Dulu karena ayah aku ingin jadi petani. Kini karena
guru-guru aku ingin menjadi seorang guru.
Seiring
waktu dan pindah dari satu kelas ke kelas yang lain, tiap hari cita-citaku pun berubah.
Itu karena tiap hari aku belajar hal baru. Hingga suatu waktu aku memutuskan
bahwa cita-citaku adalah menjadi seorang kepala desa. Pikirku, menjadi kepala
desa adalah pekerjaan mulia. Bisa langsung membantu masyarakat merencanakan,
melaksanakan dan melestarikan pembangunan. Aku memutuskan waktu itu; setinggi
apapun pendidikanku, aku akan pulang ke desa dan mencalonkan diri sebagai
kepala desa. Lagipula pikirku, menjadi kepala desa itu mudah. Cukup siapkan
diri dengan bekal ilmu dan kehendak untuk bertanggungjawab. Tak perlu membayar
dan bermain curang-curangan. Aku yakin bahwa desaku belum tercemar dengan
perilaku intrik kotor dan tidak benar. Tak berkampanye bohong seperti
anggota-anggota DPR dan pejabat-pejabat.
Tekad yang
bulat turut membantu saya di setiap tingkatan sekolah. Sehingga tak pelak saya
selalu juara kelas hingga di bangku kuliah. Setelah lulus sarjana sayapun
pulang untuk memenuhi panggilan sosial. Bertepatan waktu itu sedang dibukanya
pendaftaran untuk menjadi Hukum Tua. Begitu orang tahu saya pulang, mereka
menyambut dengan sukaria. Mereka pun berbondaong-bondong memberi dorongan. Tak
tergambarkan rasa senang saya. Aku siap turut serta dalam pencalonan.
Berkas-berkas saya penuhi. Semuanya tak ada yang terkecuali. Sesudah dua kali
14 hari saya dan beberapa warga lainnya ditetapkan sebagai calon Hukum Tua.
Tapi harapanku mendadak pupus dan hilang pada hari penetapan itu. Ternyata
desaku sudah berubah. Sudah tak seperti dulu lagi. Tak sama dengan ketikaku
masih bocah dulu. Tak ada istilah miskin atau kaya. Cuma mampu, mau dan sedia.
Waktu itu ukuran menjadi pemimpin adalah ketulusan dan tekad membangun desa
dengan sekuat tenaga dan segenap jiwa. Tapi ternyata kini orang sepertiku tak
boleh lagi menjadi kepala desa. Ada satu syarat yang tak bisa saya penuhi. Saya
tak bisa memenuhi ketentuan membayar Rp. 3.0000.000. mereka berdalih bahwa jika
saya tak mampu membayar berarti saya tak mau berkorban. Padahal itu sama saja
dengan sogok. Orang-orang sekampung telah mereka hasut. Mereka bahkan menyebar
fitna bahwa bila saja jadi kepala desa, maka saya akan membebani masyarakat
dengan pungutan. Dengan kepala tertunduk aku pulang karena malu. Aku memaki
diriku yang miskin. Aku memaki keadaanku dan nasibku. Aku pun sadar bahwa desa
saya tidak membutuhkan orang yang berilmu tinggi dan bermodal kejujuran serta
ketulusan melainkan orang yang berduit
lebih. Cita-citaku tinggalah cita-cita. Mimpi dan impian tinggal jauh di
langit. Kini, aku sudah berusia lanjut. Anakku berjumlah lima. Semua kularang
sekolah. Semua kucegah mengejar mimpi.
“Ayah,
kenapa kami tidak boleh sekolah?” tanya anakku yang ketiga.
“Kamu tak
perlu sekolah. Desa kita tak butuh orang sekolah. Lebih baik kau jadi pencuri.
Kumpulkan uang yang banyak agar kau bisa jadi kepala desa. Supaya kau bisa
memimpin desa kita menjadi lebih baik.”
“Bukankah
mencuri itu tidak baik, ayah? Begitulah kata guru sekolah mingguku,” jawabnya.
“Kalau
begitu, mulai hari ini kau tak usah lagi ke sekolah minggu nak. Gurumu
berbohong. Jangan kau tertipu. Jangan kau ulangi kegagalan ayah!” aku memalingkan
wajah dan membelakangi anakku. Tatapanku bertengger di puncak Sinonsayang. Dahi
anakku berkerut marah. Dia tak tahu kalau pipiku basah oleh tumpahan air mata.
Tondei, 3
April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar