Jumat, 03 Mei 2013

MIMPI ANAK DESA


Iswan Sual

Masih kuingat saatku masih kecil dulu. Waktu itu Sinonsayang dan Lolombulan masih hijau dan rimbun. Jalanan masih berlubang-lubang dan penuh bejek bila musim hujan. Yang kutahu dunia hanya selebar perkebunan Suka hingga perkebunan Mesel. Kemana ayahku pergi, aku ikut membuntutinya. Bila dia punya parang, saya juga punya. Walau ukurannya berbeda. Rerumputan masih lebih tinggi dari badanku. Saya senang sekali bersama ayah. Saya menirukan gerakan-gerakannya saat menebas rerumputan di bawah pohon cengkih dan kelapa. Saya juga gembira bila ayah bersiul sambil memikul kayu bakar di saat kami pulang ke rumah dari kebun. Saya ingin selalu bersama ayah. Sampai-sampai aku menangis bila tak bisa melihat ayah saat aku pulang dari sekolah. Lucu! Saya lebih senang bersama ayah di kebun ketimbang di rumah bersama ibu dan adik kecilku.
Tiba-tiba, segalanya berubah tatkalah aku mulai sekolah. Rasa kagum saya pada ayah  berpindah kepada guru-guru saya. Bahkan sampai mengidolakan mereka. Aku diajarkan tentang perilaku baik: kejujuran, keberanian, tenggang rasa, kerja keras dan keadilan. Juga diajarkan berhitung, berbahasa Indonesia, alam sekitar dan lingkungan sosial. Kehidupan sekolah menjadi lebih menarik bagiku. Para guru-guru menaburi hariku dengan mimpi-mimpi indah. Aku jatuh hati pada semua itu. Dulu karena ayah aku ingin jadi petani. Kini karena guru-guru aku ingin menjadi seorang guru.
Seiring waktu dan pindah dari satu kelas ke kelas yang lain, tiap hari cita-citaku pun berubah. Itu karena tiap hari aku belajar hal baru. Hingga suatu waktu aku memutuskan bahwa cita-citaku adalah menjadi seorang kepala desa. Pikirku, menjadi kepala desa adalah pekerjaan mulia. Bisa langsung membantu masyarakat merencanakan, melaksanakan dan melestarikan pembangunan. Aku memutuskan waktu itu; setinggi apapun pendidikanku, aku akan pulang ke desa dan mencalonkan diri sebagai kepala desa. Lagipula pikirku, menjadi kepala desa itu mudah. Cukup siapkan diri dengan bekal ilmu dan kehendak untuk bertanggungjawab. Tak perlu membayar dan bermain curang-curangan. Aku yakin bahwa desaku belum tercemar dengan perilaku intrik kotor dan tidak benar. Tak berkampanye bohong seperti anggota-anggota DPR dan pejabat-pejabat.
Tekad yang bulat turut membantu saya di setiap tingkatan sekolah. Sehingga tak pelak saya selalu juara kelas hingga di bangku kuliah. Setelah lulus sarjana sayapun pulang untuk memenuhi panggilan sosial. Bertepatan waktu itu sedang dibukanya pendaftaran untuk menjadi Hukum Tua. Begitu orang tahu saya pulang, mereka menyambut dengan sukaria. Mereka pun berbondaong-bondong memberi dorongan. Tak tergambarkan rasa senang saya. Aku siap turut serta dalam pencalonan. Berkas-berkas saya penuhi. Semuanya tak ada yang terkecuali. Sesudah dua kali 14 hari saya dan beberapa warga lainnya ditetapkan sebagai calon Hukum Tua. Tapi harapanku mendadak pupus dan hilang pada hari penetapan itu. Ternyata desaku sudah berubah. Sudah tak seperti dulu lagi. Tak sama dengan ketikaku masih bocah dulu. Tak ada istilah miskin atau kaya. Cuma mampu, mau dan sedia. Waktu itu ukuran menjadi pemimpin adalah ketulusan dan tekad membangun desa dengan sekuat tenaga dan segenap jiwa. Tapi ternyata kini orang sepertiku tak boleh lagi menjadi kepala desa. Ada satu syarat yang tak bisa saya penuhi. Saya tak bisa memenuhi ketentuan membayar Rp. 3.0000.000. mereka berdalih bahwa jika saya tak mampu membayar berarti saya tak mau berkorban. Padahal itu sama saja dengan sogok. Orang-orang sekampung telah mereka hasut. Mereka bahkan menyebar fitna bahwa bila saja jadi kepala desa, maka saya akan membebani masyarakat dengan pungutan. Dengan kepala tertunduk aku pulang karena malu. Aku memaki diriku yang miskin. Aku memaki keadaanku dan nasibku. Aku pun sadar bahwa desa saya tidak membutuhkan orang yang berilmu tinggi dan bermodal kejujuran serta ketulusan  melainkan orang yang berduit lebih. Cita-citaku tinggalah cita-cita. Mimpi dan impian tinggal jauh di langit. Kini, aku sudah berusia lanjut. Anakku berjumlah lima. Semua kularang sekolah. Semua kucegah mengejar mimpi.
“Ayah, kenapa kami tidak boleh sekolah?” tanya anakku yang ketiga.
“Kamu tak perlu sekolah. Desa kita tak butuh orang sekolah. Lebih baik kau jadi pencuri. Kumpulkan uang yang banyak agar kau bisa jadi kepala desa. Supaya kau bisa memimpin desa kita menjadi lebih baik.”
“Bukankah mencuri itu tidak baik, ayah? Begitulah kata guru sekolah mingguku,” jawabnya.
“Kalau begitu, mulai hari ini kau tak usah lagi ke sekolah minggu nak. Gurumu berbohong. Jangan kau tertipu. Jangan kau ulangi kegagalan ayah!” aku memalingkan wajah dan membelakangi anakku. Tatapanku bertengger di puncak Sinonsayang. Dahi anakku berkerut marah. Dia tak tahu kalau pipiku basah oleh tumpahan air mata.

Tondei, 3 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar