Oleh Iswan Sual
Sepulang sekolah Filip langsung
tidur-tiduran di kamarnya. Melepas kepenatan oleh degungan sisa-sisa gaduh
murid-muridnya yang susah diatur di sekolah. Filip adalah seorang guru honor
yang telah tiga tahun mengabdi di kampungnya. Sewaktu menawarkan diri untuk
mengajar di sebuah SD dan SMP di kampungya, dia urung membicarakan soal gaji.
Yang ada di benaknya adalah bagaimana agar bisa mengajar anak-anak kampung.
Seolah dia punya nasar bahwa tiga tahun dia akan mengajar di bekas sekolahnya
itu. Katanya, dia ingin bertemu guru-guru yang pernah mengajarinya, terlebih
bertemu dengan guru yang sudah meninggal tiga tahun lalu−Herdi Bella. Guru
Bahasa Inggris dan Pendidikan Pancasilanya. Aneh, sudah meninggal tapi ingin
ditemui. Lebih aneh lagi kenapa ke sekolah bukan kuburnya? Aku sendiri tak
mengerti dengan jalan pikiran kakakku itu. Dia suka mengajar tapi tak ingin
menjadi guru PNS. “Kalu torang so jadi PNS, so nyanda tulus torang mengajar.
Yang torang pikir korang gaji. So nyanda bisa kreatif. Karena kreatifitas nda
ja perlu di lembaga yang talalu strukturalis bagitu. Jabatan adalah segalanya.
Profesionalitas cuma slogan. Kepatuhan, yes
bos, itu yang lembaga itu perlu. Kalu ngana PNS itu harga mati. Beda to
kalu ngana cama guru honor?” Kata Filip sewaktu aku coba-coba mengorek soal
itu di suatu sore.
Tapi yang kulihat dia sangat
menikmati pekerjaannya. Dengan gaji yang jauh di bawah Upah Minimum Propinsi
tak menghalanginya untuk berbagi. Tidak jarang aku diberi uang. Bahkan
murid-muridnya, yang tak punya alat tulis menulis atau kamus, dibelikannya.
Orang lain tunggu kaya dulu baru memberi. Dia justru dengan gaji empat ratus
ribu sering memberi. Presiden sudah gaji
besar ditambah tunjangan tak terbilang pula, masih saja melobi ke DPR agar
minta dinaikan gajinya. Presiden mesti belajar dari kakakku Filip tentang apa
itu pelayanan kepada rakyat!
Aku bangga punya kakak seperti Filip.
Orang yang terus memberi meski dari kekurangannya. Andai saja petinggi di
negeri ini seperti dia, barangkali sudah hampir setengah abad ini tak ada yang
miskin di Indonesia.
“Nawsi, mulai sekarang, ngana yang
jemput papa di kobong kalu so pulang skola,” kata Filip di kala aku baru bangun
dari tidur di suatu pagi.
Dahiku penuh kernyitan ketika
mendengar kalimat pendek nan padat itu. Dia pun terus menerus memandangi aku
yang berbalut seragam putih abu-abu. Tatapan bangga dan penuh harap. Padahal di
sekolah begitu urak-urakan dan belum sedikitpun kutahu apa batasan masa depan
yang selalu Filip bilang.
“Apa penghalangnya hingga dia takkan
lagi menjemput ayah setiap sore di kebun?
Apakah dia sedang sakit? “ tanyaku dalam hati dengan penasaran.
Ah entahlah. Enggan aku bertanya. Tak
ingin aku mendengar kalimat-kalimat lain yang sarat makna dan nasihat keluar
dari mulutnya. Bukan karena aku meremehkan semua itu. Otakku saja yang tak bisa
mencerna. Rasanya sudah cukup semua petuah yang diucapnya. Yang perlu dilakukan
aku sekarang adalah menunaikannya. Just do it!
Tambah lagi, kedalaman berpikir kakakku
terlampau di luar jangkauanku. Mungkin buku-buku yang terpajang di lemari telah
merubah dia menjadi orang yang berkepribadian lain. Seorang yang terlampau
intelek di udik yang terisolasi ini. Bak Swami Vivekananda atau Rabindranath
Tagore di India.
Dulu sewaktu masih kecil-kecil di
antara kami tiada batas. Kami bermain bersama. Lama sudah itu segalanya
berubah. Dia tak lagi suka bermain. Lebih tertarik bercokol dengan kitab-kitab
tebal. Tinggal senyum ramah dan kata-kata penyemangat yang belum pergi dari
dirinya. Dia tetap hangat dan bersahabat. Hanya…
“Besok, kita berangkat ke Makassar.
Pra-tugas sebagai Fasilitator Program Pemberdayaan Masyarakat,” penjelasannya
menambah kebingunganku. Deretan kata-kata di kalimat terakhir terasa asing.
Hanya dia yang paham. Mulutku yang terbuka ditemani mata melotot berpura-pura
menunjukkan pengertian dan pemahaman. Tidak tahunya aku seperti seorang
wisatawan asing yang buta trein sama sekali. Mudah dibodohi oleh
orang-orang setempat yang suka iseng.
***
Sekarang Filip telah berada jauh dari
kami. Karena pekerjaan dia dan kami terpisah oleh samudera yang luas. Setelah
kepergiannya pada hari minggu, kini aku sadar. Tanggungjawabnya telah beralih
padaku. Kemangkirannya menjadikan aku anak tertua di keluarga ini. Kini aku
insyaf seperti apa menjadi seorang kakak dalam keluarga. Beban dan
tanggungjawab dipikulnya sendiri. Aku
juga sadar selama ini aku menjadi beban baginya. Tapi tak dikeluhkannya. Filip
kakakku, aku merindukanmu. Meski di sana, ingatlah aku selalu bangga padamu.
Kaulah suri teladanku.
Marore, 10 Oktober 2012
Pukul 19.57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar