Jumat, 03 Mei 2013

Rindu kepada Filip




Oleh Iswan Sual

Sepulang sekolah Filip langsung tidur-tiduran di kamarnya. Melepas kepenatan oleh degungan sisa-sisa gaduh murid-muridnya yang susah diatur di sekolah. Filip adalah seorang guru honor yang telah tiga tahun mengabdi di kampungnya. Sewaktu menawarkan diri untuk mengajar di sebuah SD dan SMP di kampungya, dia urung membicarakan soal gaji. Yang ada di benaknya adalah bagaimana agar bisa mengajar anak-anak kampung. Seolah dia punya nasar bahwa tiga tahun dia akan mengajar di bekas sekolahnya itu. Katanya, dia ingin bertemu guru-guru yang pernah mengajarinya, terlebih bertemu dengan guru yang sudah meninggal tiga tahun lalu−Herdi Bella. Guru Bahasa Inggris dan Pendidikan Pancasilanya. Aneh, sudah meninggal tapi ingin ditemui. Lebih aneh lagi kenapa ke sekolah bukan kuburnya? Aku sendiri tak mengerti dengan jalan pikiran kakakku itu. Dia suka mengajar tapi tak ingin menjadi guru PNS. “Kalu torang so jadi PNS, so nyanda tulus torang mengajar. Yang torang pikir korang gaji. So nyanda bisa kreatif. Karena kreatifitas nda ja perlu di lembaga yang talalu strukturalis bagitu. Jabatan adalah segalanya. Profesionalitas cuma slogan.  Kepatuhan, yes bos, itu yang lembaga itu perlu. Kalu ngana PNS itu harga mati. Beda to kalu ngana cama guru honor?Kata Filip sewaktu aku coba-coba mengorek soal itu di suatu sore.
Tapi yang kulihat dia sangat menikmati pekerjaannya. Dengan gaji yang jauh di bawah Upah Minimum Propinsi tak menghalanginya untuk berbagi. Tidak jarang aku diberi uang. Bahkan murid-muridnya, yang tak punya alat tulis menulis atau kamus, dibelikannya. Orang lain tunggu kaya dulu baru memberi. Dia justru dengan gaji empat ratus ribu sering memberi. Presiden sudah  gaji besar ditambah tunjangan tak terbilang pula, masih saja melobi ke DPR agar minta dinaikan gajinya. Presiden mesti belajar dari kakakku Filip tentang apa itu pelayanan kepada rakyat!
Aku bangga punya kakak seperti Filip. Orang yang terus memberi meski dari kekurangannya. Andai saja petinggi di negeri ini seperti dia, barangkali sudah hampir setengah abad ini tak ada yang miskin di Indonesia.
“Nawsi, mulai sekarang, ngana yang jemput papa di kobong kalu so pulang skola,” kata Filip di kala aku baru bangun dari tidur di suatu pagi.
Dahiku penuh kernyitan ketika mendengar kalimat pendek nan padat itu. Dia pun terus menerus memandangi aku yang berbalut seragam putih abu-abu. Tatapan bangga dan penuh harap. Padahal di sekolah begitu urak-urakan dan belum sedikitpun kutahu apa batasan masa depan yang selalu Filip bilang.
“Apa penghalangnya hingga dia takkan lagi menjemput ayah setiap sore di kebun?  Apakah dia sedang sakit? “ tanyaku dalam hati dengan penasaran.
Ah entahlah. Enggan aku bertanya. Tak ingin aku mendengar kalimat-kalimat lain yang sarat makna dan nasihat keluar dari mulutnya. Bukan karena aku meremehkan semua itu. Otakku saja yang tak bisa mencerna. Rasanya sudah cukup semua petuah yang diucapnya. Yang perlu dilakukan aku sekarang adalah menunaikannya. Just do it!
Tambah lagi, kedalaman berpikir kakakku terlampau di luar jangkauanku. Mungkin buku-buku yang terpajang di lemari telah merubah dia menjadi orang yang berkepribadian lain. Seorang yang terlampau intelek di udik yang terisolasi ini. Bak Swami Vivekananda atau Rabindranath Tagore di India.
Dulu sewaktu masih kecil-kecil di antara kami tiada batas. Kami bermain bersama. Lama sudah itu segalanya berubah. Dia tak lagi suka bermain. Lebih tertarik bercokol dengan kitab-kitab tebal. Tinggal senyum ramah dan kata-kata penyemangat yang belum pergi dari dirinya. Dia tetap hangat dan bersahabat. Hanya…
“Besok, kita berangkat ke Makassar. Pra-tugas sebagai Fasilitator Program Pemberdayaan Masyarakat,” penjelasannya menambah kebingunganku. Deretan kata-kata di kalimat terakhir terasa asing. Hanya dia yang paham. Mulutku yang terbuka ditemani mata melotot berpura-pura menunjukkan pengertian dan pemahaman. Tidak tahunya aku seperti seorang wisatawan asing yang buta trein sama sekali. Mudah dibodohi oleh orang-orang setempat yang suka iseng.
***
Sekarang Filip telah berada jauh dari kami. Karena pekerjaan dia dan kami terpisah oleh samudera yang luas. Setelah kepergiannya pada hari minggu, kini aku sadar. Tanggungjawabnya telah beralih padaku. Kemangkirannya menjadikan aku anak tertua di keluarga ini. Kini aku insyaf seperti apa menjadi seorang kakak dalam keluarga. Beban dan tanggungjawab dipikulnya sendiri.  Aku juga sadar selama ini aku menjadi beban baginya. Tapi tak dikeluhkannya. Filip kakakku, aku merindukanmu. Meski di sana, ingatlah aku selalu bangga padamu. Kaulah suri teladanku.

Marore, 10 Oktober 2012
Pukul  19.57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar