Oleh Iswan Sual
Hingga kini aku masih merasa bersalah. Rasa bersalah ini
muncul ketika aku sedang banyak masalah. Inilah mungkin yang disebut hukum
karma. Yang dulu itu tak ku percaya. Aku tak pernah percaya dengan hukum tabur
tuai yang pernah disabdakan oleh seorang bujang yang terus melajang hingga
digantung hingga mati oleh
saudara-saudaranya sendiri- orang Yahudi.
Aku masih teringat gadis yang bernama Desi. Gadis yang begitu
lugu. Malu-malu. Sedikit misterius namun ternyata bercita-cita mencintaiku
dengan serius. Aku yang tahu dengan perasaannya tak sedikit pun peduli. Tapi
tak sedikit pun aku menampakkan ketidaksukaanku padanya. Aku senang gadis-gadis
tergila-gila padaku. Kubiarkan mereka mengejar. Aku membuat segalanya
menggantung. Hingga suatu saat aku sendiri yang kena batunya.
***
Di tahun 2008 aku mendapat beasiswa 3 bulan untuk belajar
kebudayaan dan teknologi serta hal-hal lain di Australia. Sebelum berangkat aku
sempat bertemu dengan seorang gadis berdarah China bernama Meisyi. Semula aku
membuatnya menggantung. Lama-lama aku yang menggantung. Barangkali, karena aku
tak bisa menampik rayuan kulit putih dan tubuhnya yang seksi. Suaranya yang
mengundang itu sulit kulupakan. Akhirnya kunekatkan diri. Aku mengajaknya
bertemu beberapa jam sebelum aku berangkat ke Australia. Awalnya, aku bermaksud
menyampaikan isi hatiku setelah aku pulang dari negeri kangguru itu. Tapi
Meisyi tak bisa tersiksa oleh karena penasaran. Dia merengek-rengek supaya aku
merubah keputusan sepihak yang telah aku ambil.
“Jangan begitulah, Kamang. Jangan buat aku tersiksa menunggu
sesuatu yang tak jelas.”
Melalui telpon dia terus membujukku. Dia memberi tanda bahwa
dia sebenarnya sudah tahu. Namun, dia tak ingin aku menahan perasaan. Seolah
dia pun siap mengiyakan apa yang belum aku ungkapkan.
“Baiklah. Mari kita bertemu dua jam lagi.”
Dia berulang kali mengungkapkan bahwa dia tidak percaya
dengan kepergianku ke Australia. Dia tahu itu hanya akal-akalanku saja agar
suasana serupa dengan film-film remaja Indonesia yang romantis kampungan itu.
Dia mengejekku karena menggunakan cara-cara yang kuno di jaman yang sudah
demikian maju. Aku tertantang dengan semua ocehannya.
“Terserah kamu. Yang penting aku sudah berusaha jujur
padamu.”
Agak sedikit kesal sebenarnya. Belum tentu kami akan menjadi
sepasang kekasih. Tapi, hubungan yang tak pasti ini telah dimulai oleh
ketidakpercayaan darinya.
Dengan sepeda motor
aku melaju ke kota Manado. Tukang ojeknya beberapa kali aku peringatkan supaya
menambah kecepatan. Dia bilang motor sudah melaju pada batas kecepatan
maksimal. Ini gila! Demi bertemu dengan seorang gadis aku memaksa tukang ojek
untuk secara tak langsung membunuh kami berdua di perjalanan. Benar-benar
sesuai dengan teori-teori psikoanalisanya Sigmund Freud. Seks menjadi alasan
orang untuk sukses. Seks menjadi alasan orang untuk kaya. Seks menjadi alasan
orang untuk menjadi orang terhormat.
Perjalanan ditempuh tak sampai satu jam. Dengan langkah cepat
aku turun dari ojek. Kuminta tukang ojek menunggu. Dari jauh kulihat Meisy
dengan seragam putih hitamnya. Seperti pegawai koperasi. Tapi seragam itu
begitu serasi dengan tubuhnya yang putih. Setelah setahun lebih kami tak
bertemu, dia menjadi lebih Tionghoa. Aku merasa jadi tak pantas menjadi
kekasihnya. Kulitku yang gelap, jika disanding dengannya pasti anak kami akan
menjadi kopi susu.
“Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan, Kamang? Kalau kamu
memang ingin membuat aku penasaran, kamu berhasil. Aku kalah. Kamu yang
menang.”
Kupandangi terus wajahnya yang menawarkan sejuta keindahan.
Tubuh rampingan yang molek serasa melarangku terbang ke negeri kangguru.
Gadis-gadis putih di sana taklah sebanding dengan gadis yang ada di depan mata.
“Kamang, ayo katakan. Atau, haruskah kita mencari tempat lain
agar semakin romantis?” kata Meysi dengan sedikit mengejek.
Aku menarik tangannya dan kami menuju ke tempat yang agak
sunyi. Tepat di depan tokoh yang belum dibuka. Yang kuingat toko itu berwarna
merah. Ada tulisan berbagai jenis merek ponsel. Meysi tidak sedikitpun merasa
risih aku membawanya kesitu. Malahan, dia menatapku dengan pandangan menantang.
Tak kusangkah gadis yang beberapa tahun lalu masih menggunakan seragam SMP ini
sudah siap-siap ikut perpeloncoan sebagai mahasiswa baru. Sedari masih di
kampung dia tak pernah terhindarkan oleh tatapan mataku jika melirik. Selalu
saja dia menjadi tujuan dua mata keranjangku.
“Apa sih yang ingin kamu bilang, kamang?”
“Aku tak mau berbasa-basi sekarang. Aku suka kamu. Aku tak
peduli kalau kamu mempunyai perasaan yang sama denganku. Aku aku puas kalau
sudah bisa mengatakan isi hatiku yang telah lama dipendam.”
Dengan gerakan tak terduga kini aku sudah ada dalam
dekapannya. Beberapa kali bibirnya yang selalu basah itu mendarat tepat di
wajahku yang berkeringat karena matahari mulai garang memanggang. Aku mendapat
tiga kali kecupan berturut. Satu di dahi. Satu di pipi dan satu lagi dibibir.
“Sebenarnya kamu mau kemana?”
“Aku akan ke negeri yang dibangun oleh orang narapidana yang
dibuang. Aku akan ke Australia. Kutunggu aku kembali. Segera setelah aku tiba
di Manado, aku akan langsung menemuimu.”
Meysi terdiam. Dia kini percaya. Dia mulai merasa kehilangan.
Sesuatu yang baru didapatnya kini harus dipisahkan oleh samudra yang luas. Kini
lamunannya melampung ke negeri kangguru. Kepalanya mulai menghitung lamanya
tiga bulan itu. Padahal bagi orang yang dimabuk cinta. Satu hari itu sama
dengan satu tahun.
“Aku harus pergi sekarang. Kalau tidak, nanti ketinggalan
pesawat.”
Meysi kelihatan lunglai. Tak sepatah kata meluncur dari
mulutnya. Aku melompat ke punggung sepeda motor. Dan memberi isyarat agar
dengan kecepatan penuh menuju ke bandara. Meysi tampak belum siap dengan
kepergianku. Dia memikirkan tindakan terakhirku yang menghindari ketika ia akan
sekali lagi mendekapku. Aku tak lagi berpaling padanya. Tapi aku tahu dia terus
memandangi punggungku sampai menghilang di tikungan.
***
Tiga bulan kemudian, sebelum pulang ke Manado aku dan
rekan-rekan peserta penerima beasiswa dari daerah lain harus tinggal seminggu
di Jakarta. Program yang menghabiskan uang negara yang banyak itu harus dievaluasi. Aku maunya
itu ditiadakan saja. Berbargai alasan kubuat sendiri untuk membenarkan bahwa argumentasiku
bisa dibenarkan. Jadinya, selama seminggu itu aku tak fokus sehingga aku tak
sanggup menyusun laporanku. Supervisor memberikan teguran pedas. Aku tak
menunjukkan sedikitpun peduli. Sudah berani karena telah kembali dari menikmati
semua kegiatan dengan gratis yang
fasilitasnya mungkin nanti akan dirasakan oleh negara Indonesia seratus tahun
lagi. Setelah tiga bulan ponselku tak pernah aktif, kuputuskan untuk mengeledah
travel bagku untuk menemukan benda mungil itu. Sony ericson mereknya. Kuisi
listrik sebentar. Lalu aku mengirimkan sms ke nomornya Meysi. Tak ada balasan.
Laporan smsnya gagal. Kucoba telpon. Tapi tak ada sahutan. Hanya suara mailbox
yang beberapa kali mengingatkan bahwa nomor itu tak lagi aktif. Bagaimana bisa?
Aku mengirim sms ke nomor lain. Nomor temanku yang bernama
Fredi. Dibalas. Dia bahkan memberikan nomor barunya Meysi. Malamnya, aku
mengirimkan Meysi sms. Dia menelponku. Tak puas dengan itu, kami juga saling
menelpon. Hari-hari selanjutnya juga begitu.
Tiga hari sebelum kepulanganku ke Manado, tiba-tiba Meysi mengirimkan
sms aneh. “Mang, jangan kirimi aku sms ya. Jangan juga telpon aku. Aku saja
yang sms atau telpon kamu. Janji ya. Aku cinta kamu.” Karena tak ingin
mengecewakan sang kekasih, aku melakukan seperti yang dia minta.
***
Aku tiba di
bandara Sam Ratulangi sore. Kira-kira pukul empat. Aku langsung ke Tomohon
menaruh barang-barang. Semenjak pagi tak ada sms lagi yang Meysi kirim untukku.
Ingin sekali aku memberitahu kepulanganku. Tapi aku tak boleh mengirimnya sms
ataupun menelponnya.
“Sms tak
boleh. Telpon juga tak boleh. Ah, berarti miskol boleh. Aku miskol ah.”
Mungkin
Meysi akan marah juga dengan tindakanku ini. Namun, tentu kerinduannya bertemu
pasti lebih besar dari marahnya bila aku nekat miskol. Lagipula aku tak
melakukan serong. Justru ini adalah bukti bahwa aku sayang sama dia. Tiba-tiba
ponselku berteriak. Volume nada deringya diatur maksimal.
“Jangan lagi
ganggu Meysi. Dia sudah akan menikah. Aku Lee Kwan, pacarnya.”
Pasti ini
lelucon. Dia tentu akan membuat kejutan sebagai counter kejutanku. Dasar!
Ternyata Meysi juga orangnya suka menghidupkan suasana. Dia memang suka memberi
tantangan. Ku ketik.
“Oh begitu.
Aku teman sekampungnya. Aku hanya akan bicara sebentar berkenaan dengan program
organisasi pelajar kami.”
Harapanku
kata-kataku itu akan membuat permainan akan semakin mengasyikan. Kalau dia
hendak bercanda, baiklah. Aku juga bisa bercanda.
“Kamu Kamang
kan? Aku sudah tahu siapa kamu. Meysi sudah menceritakannya. Kamu tak usah lagi
menelpon dia. Kami akan segera menikah bulan depan. Tolong, pahami dan
maklumi.”
Mataku
tiba-tiba berhenti berfungsi. Aku hanya bisa melihat satu warna. Gelap. Tubuhku
memberat. Nafasku tersengal-sengal. Seperti mendaki puncak gunung Kalabat. Yang
ku baca barusan bukan lagi untuk kepentingan kejutan. Itu adalah
keterusterangan yang kejam. Itulah merupakan penyingkapan penghianatan. Sesuatu
yang dalam menghujam dan merobek hati tanpa ampun. Pukulan telak yang membuatku
tak sanggup lagi bangkit.
***
“Halo Desi.
Masih ingat aku? Tak tahu mengapa aku jadi kangen sama kamu.”
Sepenggal
sms telah melesat cepat masuk ke inbox ponsel seorang gadis lugu dan malu-malu.
“Hei…halo
kakakku yang ganteng. Sudah pulang ya? Tumben, mau mengirimi aku sms.”
Rasa dendam
kepada gadis bermata sipit itu tak tertahankan. Rasanya ingin menangis. Namun,
ihktiar itu kubuang jauh-jauh agar tak memperalukan bangsaku. Kaum lelaki.
“Datanglah
ke tempatku. Boleh? Aku berbincang sebentar.”
Aku sangat
yakin gadis lugu itu tak akan menolak tawaran dari cowok idamannya. Mereka
adalah tipe gadis yang mau mengorbankan apa saja demi sang pujaan hati.
“Apa? Masa aku
yang kesana? Kakak dong yang kesini.”
Kalimat itu
hanyalah basa-basi. Kalimat itu sebenarnya berarti sebaliknya.
“Aku masih
capek. Mabuk perjalanan. Kalau kamu tak bisa. Aku tak memaksa. Selamat malam.
Hopefully, I could see you tomorrow.”
Serasa mau pecah
kepalaku. Tak sanggup aku menerima kenyataan dipermainkan oleh kekasih yang aku
anggap setia. Dia tak ada bedanya dengan leluhurnya yang suka ingkar ketika
berniaga dengan penduduk nusantara yang baru belajar berdagang. Jendela kamar
ku biarkan terbuka agar aku bisa melihat bintang gemintang di langit. Aku
melihatnya. Tapi semua menertawakanku. Tak sedikitpun bintang-bintang itu
berempati. Seoleh mereka mau mengajariku menerima hukum romantika: bersiaplah
untuk menderita jika hendak menyinta.
“Aku akan
kesana! Tunggu ya kakakku yang ganteng.”
Tersungging
senyuman di sudut bibirku. Tanda kemenangan. Aku mengejek diriku yang setengah.
Dia tampak bersedih setelah ditipu. Sementara diriku yang setengah terus
bersikap positif. Dia memang satu prinsip: Kalau satu pintu tertutup maka pintu
lainnya akan terbuka lebar. Untuk apa menangis ditingalkan seorang gadis,
sementara gadis lain tergila-gila menunggu untuk dinikmati.
“Aku sudah
di depan.”
Dengan
langkah kemenangan aku menuju depan rumah kosku. Menjemput gadis yang siap
berkorban apa saja untuk mendapatkanku. Gadis yang matipun rela asal mendapat
perhatian dan kasih sayang.
Aku
terkejut. Tak percaya apa yang kulihat. Gadis lugu yang kutunggu mengenakkan
kain penutup kepala. Bukan kain biasa. Dia mengenakkan kain untuk melindungi
kesucian. Kain yang kontras dengan keinginan liarku saat ini. Tapi, apa boleh
buat. Biarlah semua mengalir seperti air.
“Ayo…kita
duduk saja di sini. Kita duduki anak tangga itu sambil memandangi langit yang
penuh bintang. Bagaimana kabarmu. Kamu lain sekarang. Tiga bulan banyak merubah
lingkungan di sini. Termasuk kamu. Termasuk lainnya yang sebenarnya tak aku
inginkan berubah.”
Gadis lugu
hanya diam. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya di balik kerudung putihnya.
Kini dia menjadi pendiam. Berbeda dengan komunikasi via sms.
“Kamu mau
menjadi pacarku?”
Desi tak
bergerak. Kata-kata yang tak diharap tiba-tiba muncrat keluar dari mulut gombal
lelaki yang baru saja menjadi korban keberingasan gadis Tionghoa. Aku tak
membutuhkan jawaban. Kalimat itu sudah cukup menjadi tiket agar aku bisa
berbuat apa saja dengan dia. Demikian pikiran pongah liarku. Seiring malam
semakin dingin karena kian larut kurapatkan badanku ke tubuh Desi. Awalnya dia
tampak canggung. Apalagi aku berusaha menciumnya dengan membabibuta. Dia
berusaha menghindar. Saat bibirku melumat bibir miliknya, kami seperti
tersengat listrik. Bergantian tubuh kami saling menindih di atas lantai berubin
putih. Baru saja diajari tapi dia cepat menjadi mahir.
“Kakak sudah
biasa ya melakukan ini dengan gadis lain.”
Kesibukkanku
mengerayanginya tak sanggup dihentikan dengan kalimat itu. Malahan semakin
terpacu untuk mencapai puncak paling tinggi. Kami lepas kendali. Pertahanan
Desi bobol menjelang subuh.
***
Hari-hari
selanjutnya aku lewati tanpa Desi. Dia telah menjadi gadis di urutan di atas
sepuluh. Dia adalah gadis pertama yang
menerima proyek balas dendamku yang seharusnya tidak perlu. Sangatlah tidak
adil bila Desi dan gadis lainnya yang menjadi korban. Namun, nasi telah menjadi
bubur. Kini aku sudah dengan Windy. Gadis yang akan menjadi korban urutan ke
empat belas.
Yang
berbekas dari sekian banyak korban itu hanyalah Desi. Dia satu-satunya yang
masih suci yang sia-siakan. Kami putus di saat cinta-cintanya sedang bersemi
untuk pertama kali. Dia berharap kami menjalin cinta hingga ke pelaminan. Dia
telah merencanakan segala hal yang baik untuk kami. Termasuk acara HUTku.
Pernah sewaktu saya sakit, dia menjagaku berhari-hari. Dia berbuat laiknya
seorang istri yang rela mati demi suami. Hubungan kami berakhir saat umurnya
mencapai tiga hari. Sempat dia mengacam untuk bunuh diri ketika mendengar aku
tak mau lagi. Karena rasa cintanya yang sucilah, dia akhirnya merelakanku
menjauh darinya. Waktu itu aku begitu gagah. Tampan dan menjadi sasaran
kekaguman orang-orang. Kini, setelah lulus kuliah. Aku bukan lagi apa-apa. Pria
yang tak punya apa-apa yang tinggal di desa. Desi kini telah menjadi seorang
pramugari. Dia meraih apa yang selalu diimpikannya. Berulang-ulang dia
memberitahuku. Tapi aku tak sedikit memperhatikan. Setiap kali pesawat melewati
desaku, aku menunduk malu. Malu, jangan-jangan Desi sedang melihatku dari atas.
Malu karena aku kini lusuh. Setiap hari menyalahkan diri sendiri. Bagaimana aku
sudah begitu sangat dungu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar