Jumat, 03 Mei 2013

Desi, Aku Sungguh Menyesal



Oleh Iswan Sual

Hingga kini aku masih merasa bersalah. Rasa bersalah ini muncul ketika aku sedang banyak masalah. Inilah mungkin yang disebut hukum karma. Yang dulu itu tak ku percaya. Aku tak pernah percaya dengan hukum tabur tuai yang pernah disabdakan oleh seorang bujang yang terus melajang hingga digantung  hingga mati oleh saudara-saudaranya sendiri- orang Yahudi.
Aku masih teringat gadis yang bernama Desi. Gadis yang begitu lugu. Malu-malu. Sedikit misterius namun ternyata bercita-cita mencintaiku dengan serius. Aku yang tahu dengan perasaannya tak sedikit pun peduli. Tapi tak sedikit pun aku menampakkan ketidaksukaanku padanya. Aku senang gadis-gadis tergila-gila padaku. Kubiarkan mereka mengejar. Aku membuat segalanya menggantung. Hingga suatu saat aku sendiri yang kena batunya.

***
Di tahun 2008 aku mendapat beasiswa 3 bulan untuk belajar kebudayaan dan teknologi serta hal-hal lain di Australia. Sebelum berangkat aku sempat bertemu dengan seorang gadis berdarah China bernama Meisyi. Semula aku membuatnya menggantung. Lama-lama aku yang menggantung. Barangkali, karena aku tak bisa menampik rayuan kulit putih dan tubuhnya yang seksi. Suaranya yang mengundang itu sulit kulupakan. Akhirnya kunekatkan diri. Aku mengajaknya bertemu beberapa jam sebelum aku berangkat ke Australia. Awalnya, aku bermaksud menyampaikan isi hatiku setelah aku pulang dari negeri kangguru itu. Tapi Meisyi tak bisa tersiksa oleh karena penasaran. Dia merengek-rengek supaya aku merubah keputusan sepihak yang telah aku ambil.
“Jangan begitulah, Kamang. Jangan buat aku tersiksa menunggu sesuatu yang tak jelas.”
Melalui telpon dia terus membujukku. Dia memberi tanda bahwa dia sebenarnya sudah tahu. Namun, dia tak ingin aku menahan perasaan. Seolah dia pun siap mengiyakan apa yang belum aku ungkapkan.
“Baiklah. Mari kita bertemu dua jam lagi.”
Dia berulang kali mengungkapkan bahwa dia tidak percaya dengan kepergianku ke Australia. Dia tahu itu hanya akal-akalanku saja agar suasana serupa dengan film-film remaja Indonesia yang romantis kampungan itu. Dia mengejekku karena menggunakan cara-cara yang kuno di jaman yang sudah demikian maju. Aku tertantang dengan semua ocehannya.
“Terserah kamu. Yang penting aku sudah berusaha jujur padamu.”
Agak sedikit kesal sebenarnya. Belum tentu kami akan menjadi sepasang kekasih. Tapi, hubungan yang tak pasti ini telah dimulai oleh ketidakpercayaan darinya.
Dengan  sepeda motor aku melaju ke kota Manado. Tukang ojeknya beberapa kali aku peringatkan supaya menambah kecepatan. Dia bilang motor sudah melaju pada batas kecepatan maksimal. Ini gila! Demi bertemu dengan seorang gadis aku memaksa tukang ojek untuk secara tak langsung membunuh kami berdua di perjalanan. Benar-benar sesuai dengan teori-teori psikoanalisanya Sigmund Freud. Seks menjadi alasan orang untuk sukses. Seks menjadi alasan orang untuk kaya. Seks menjadi alasan orang untuk menjadi orang terhormat.
Perjalanan ditempuh tak sampai satu jam. Dengan langkah cepat aku turun dari ojek. Kuminta tukang ojek menunggu. Dari jauh kulihat Meisy dengan seragam putih hitamnya. Seperti pegawai koperasi. Tapi seragam itu begitu serasi dengan tubuhnya yang putih. Setelah setahun lebih kami tak bertemu, dia menjadi lebih Tionghoa. Aku merasa jadi tak pantas menjadi kekasihnya. Kulitku yang gelap, jika disanding dengannya pasti anak kami akan menjadi kopi susu.
“Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan, Kamang? Kalau kamu memang ingin membuat aku penasaran, kamu berhasil. Aku kalah. Kamu yang menang.”
Kupandangi terus wajahnya yang menawarkan sejuta keindahan. Tubuh rampingan yang molek serasa melarangku terbang ke negeri kangguru. Gadis-gadis putih di sana taklah sebanding dengan gadis yang ada di depan mata.
“Kamang, ayo katakan. Atau, haruskah kita mencari tempat lain agar semakin romantis?” kata Meysi dengan sedikit mengejek.
Aku menarik tangannya dan kami menuju ke tempat yang agak sunyi. Tepat di depan tokoh yang belum dibuka. Yang kuingat toko itu berwarna merah. Ada tulisan berbagai jenis merek ponsel. Meysi tidak sedikitpun merasa risih aku membawanya kesitu. Malahan, dia menatapku dengan pandangan menantang. Tak kusangkah gadis yang beberapa tahun lalu masih menggunakan seragam SMP ini sudah siap-siap ikut perpeloncoan sebagai mahasiswa baru. Sedari masih di kampung dia tak pernah terhindarkan oleh tatapan mataku jika melirik. Selalu saja dia menjadi tujuan dua mata keranjangku.
“Apa sih yang ingin kamu bilang, kamang?”
“Aku tak mau berbasa-basi sekarang. Aku suka kamu. Aku tak peduli kalau kamu mempunyai perasaan yang sama denganku. Aku aku puas kalau sudah bisa mengatakan isi hatiku yang telah lama dipendam.”
Dengan gerakan tak terduga kini aku sudah ada dalam dekapannya. Beberapa kali bibirnya yang selalu basah itu mendarat tepat di wajahku yang berkeringat karena matahari mulai garang memanggang. Aku mendapat tiga kali kecupan berturut. Satu di dahi. Satu di pipi dan satu lagi dibibir.
“Sebenarnya kamu mau kemana?”
“Aku akan ke negeri yang dibangun oleh orang narapidana yang dibuang. Aku akan ke Australia. Kutunggu aku kembali. Segera setelah aku tiba di Manado, aku akan langsung menemuimu.”
Meysi terdiam. Dia kini percaya. Dia mulai merasa kehilangan. Sesuatu yang baru didapatnya kini harus dipisahkan oleh samudra yang luas. Kini lamunannya melampung ke negeri kangguru. Kepalanya mulai menghitung lamanya tiga bulan itu. Padahal bagi orang yang dimabuk cinta. Satu hari itu sama dengan satu tahun.
“Aku harus pergi sekarang. Kalau tidak, nanti ketinggalan pesawat.”
Meysi kelihatan lunglai. Tak sepatah kata meluncur dari mulutnya. Aku melompat ke punggung sepeda motor. Dan memberi isyarat agar dengan kecepatan penuh menuju ke bandara. Meysi tampak belum siap dengan kepergianku. Dia memikirkan tindakan terakhirku yang menghindari ketika ia akan sekali lagi mendekapku. Aku tak lagi berpaling padanya. Tapi aku tahu dia terus memandangi punggungku sampai menghilang di tikungan.

***
Tiga bulan kemudian, sebelum pulang ke Manado aku dan rekan-rekan peserta penerima beasiswa dari daerah lain harus tinggal seminggu di Jakarta. Program yang menghabiskan uang negara  yang banyak itu harus dievaluasi. Aku maunya itu ditiadakan saja. Berbargai alasan kubuat sendiri untuk membenarkan bahwa argumentasiku bisa dibenarkan. Jadinya, selama seminggu itu aku tak fokus sehingga aku tak sanggup menyusun laporanku. Supervisor memberikan teguran pedas. Aku tak menunjukkan sedikitpun peduli. Sudah berani karena telah kembali dari menikmati semua kegiatan  dengan gratis yang fasilitasnya mungkin nanti akan dirasakan oleh negara Indonesia seratus tahun lagi. Setelah tiga bulan ponselku tak pernah aktif, kuputuskan untuk mengeledah travel bagku untuk menemukan benda mungil itu. Sony ericson mereknya. Kuisi listrik sebentar. Lalu aku mengirimkan sms ke nomornya Meysi. Tak ada balasan. Laporan smsnya gagal. Kucoba telpon. Tapi tak ada sahutan. Hanya suara mailbox yang beberapa kali mengingatkan bahwa nomor itu tak lagi aktif. Bagaimana bisa?
Aku mengirim sms ke nomor lain. Nomor temanku yang bernama Fredi. Dibalas. Dia bahkan memberikan nomor barunya Meysi. Malamnya, aku mengirimkan Meysi sms. Dia menelponku. Tak puas dengan itu, kami juga saling menelpon. Hari-hari selanjutnya juga begitu.
Tiga hari sebelum kepulanganku ke Manado, tiba-tiba Meysi mengirimkan sms aneh. “Mang, jangan kirimi aku sms ya. Jangan juga telpon aku. Aku saja yang sms atau telpon kamu. Janji ya. Aku cinta kamu.” Karena tak ingin mengecewakan sang kekasih, aku melakukan seperti yang dia minta.

***
Aku tiba di bandara Sam Ratulangi sore. Kira-kira pukul empat. Aku langsung ke Tomohon menaruh barang-barang. Semenjak pagi tak ada sms lagi yang Meysi kirim untukku. Ingin sekali aku memberitahu kepulanganku. Tapi aku tak boleh mengirimnya sms ataupun menelponnya.
“Sms tak boleh. Telpon juga tak boleh. Ah, berarti miskol boleh. Aku miskol ah.”
Mungkin Meysi akan marah juga dengan tindakanku ini. Namun, tentu kerinduannya bertemu pasti lebih besar dari marahnya bila aku nekat miskol. Lagipula aku tak melakukan serong. Justru ini adalah bukti bahwa aku sayang sama dia. Tiba-tiba ponselku berteriak. Volume nada deringya diatur maksimal.
“Jangan lagi ganggu Meysi. Dia sudah akan menikah. Aku Lee Kwan, pacarnya.”
Pasti ini lelucon. Dia tentu akan membuat kejutan sebagai counter kejutanku. Dasar! Ternyata Meysi juga orangnya suka menghidupkan suasana. Dia memang suka memberi tantangan. Ku ketik.
“Oh begitu. Aku teman sekampungnya. Aku hanya akan bicara sebentar berkenaan dengan program organisasi pelajar kami.”
Harapanku kata-kataku itu akan membuat permainan akan semakin mengasyikan. Kalau dia hendak bercanda, baiklah. Aku juga bisa bercanda.
“Kamu Kamang kan? Aku sudah tahu siapa kamu. Meysi sudah menceritakannya. Kamu tak usah lagi menelpon dia. Kami akan segera menikah bulan depan. Tolong, pahami dan maklumi.”
Mataku tiba-tiba berhenti berfungsi. Aku hanya bisa melihat satu warna. Gelap. Tubuhku memberat. Nafasku tersengal-sengal. Seperti mendaki puncak gunung Kalabat. Yang ku baca barusan bukan lagi untuk kepentingan kejutan. Itu adalah keterusterangan yang kejam. Itulah merupakan penyingkapan penghianatan. Sesuatu yang dalam menghujam dan merobek hati tanpa ampun. Pukulan telak yang membuatku tak sanggup lagi bangkit.

***
“Halo Desi. Masih ingat aku? Tak tahu mengapa aku jadi kangen sama kamu.”
Sepenggal sms telah melesat cepat masuk ke inbox ponsel seorang gadis lugu dan malu-malu.
“Hei…halo kakakku yang ganteng. Sudah pulang ya? Tumben, mau mengirimi aku sms.”
Rasa dendam kepada gadis bermata sipit itu tak tertahankan. Rasanya ingin menangis. Namun, ihktiar itu kubuang jauh-jauh agar tak memperalukan bangsaku. Kaum lelaki.
“Datanglah ke tempatku. Boleh? Aku berbincang sebentar.”
Aku sangat yakin gadis lugu itu tak akan menolak tawaran dari cowok idamannya. Mereka adalah tipe gadis yang mau mengorbankan apa saja demi sang pujaan hati.
“Apa? Masa aku yang kesana? Kakak dong yang kesini.”
Kalimat itu hanyalah basa-basi. Kalimat itu sebenarnya berarti sebaliknya.
“Aku masih capek. Mabuk perjalanan. Kalau kamu tak bisa. Aku tak memaksa. Selamat malam. Hopefully, I could see you tomorrow.”
Serasa mau pecah kepalaku. Tak sanggup aku menerima kenyataan dipermainkan oleh kekasih yang aku anggap setia. Dia tak ada bedanya dengan leluhurnya yang suka ingkar ketika berniaga dengan penduduk nusantara yang baru belajar berdagang. Jendela kamar ku biarkan terbuka agar aku bisa melihat bintang gemintang di langit. Aku melihatnya. Tapi semua menertawakanku. Tak sedikitpun bintang-bintang itu berempati. Seoleh mereka mau mengajariku menerima hukum romantika: bersiaplah untuk menderita jika hendak menyinta.
“Aku akan kesana! Tunggu ya kakakku yang ganteng.”
Tersungging senyuman di sudut bibirku. Tanda kemenangan. Aku mengejek diriku yang setengah. Dia tampak bersedih setelah ditipu. Sementara diriku yang setengah terus bersikap positif. Dia memang satu prinsip: Kalau satu pintu tertutup maka pintu lainnya akan terbuka lebar. Untuk apa menangis ditingalkan seorang gadis, sementara gadis lain tergila-gila menunggu untuk dinikmati.
“Aku sudah di depan.”
Dengan langkah kemenangan aku menuju depan rumah kosku. Menjemput gadis yang siap berkorban apa saja untuk mendapatkanku. Gadis yang matipun rela asal mendapat perhatian dan kasih sayang.
Aku terkejut. Tak percaya apa yang kulihat. Gadis lugu yang kutunggu mengenakkan kain penutup kepala. Bukan kain biasa. Dia mengenakkan kain untuk melindungi kesucian. Kain yang kontras dengan keinginan liarku saat ini. Tapi, apa boleh buat. Biarlah semua mengalir seperti air.
“Ayo…kita duduk saja di sini. Kita duduki anak tangga itu sambil memandangi langit yang penuh bintang. Bagaimana kabarmu. Kamu lain sekarang. Tiga bulan banyak merubah lingkungan di sini. Termasuk kamu. Termasuk lainnya yang sebenarnya tak aku inginkan berubah.”
Gadis lugu hanya diam. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya di balik kerudung putihnya. Kini dia menjadi pendiam. Berbeda dengan komunikasi via sms.
“Kamu mau menjadi pacarku?”
Desi tak bergerak. Kata-kata yang tak diharap tiba-tiba muncrat keluar dari mulut gombal lelaki yang baru saja menjadi korban keberingasan gadis Tionghoa. Aku tak membutuhkan jawaban. Kalimat itu sudah cukup menjadi tiket agar aku bisa berbuat apa saja dengan dia. Demikian pikiran pongah liarku. Seiring malam semakin dingin karena kian larut kurapatkan badanku ke tubuh Desi. Awalnya dia tampak canggung. Apalagi aku berusaha menciumnya dengan membabibuta. Dia berusaha menghindar. Saat bibirku melumat bibir miliknya, kami seperti tersengat listrik. Bergantian tubuh kami saling menindih di atas lantai berubin putih. Baru saja diajari tapi dia cepat menjadi mahir.
“Kakak sudah biasa ya melakukan ini dengan gadis lain.”
Kesibukkanku mengerayanginya tak sanggup dihentikan dengan kalimat itu. Malahan semakin terpacu untuk mencapai puncak paling tinggi. Kami lepas kendali. Pertahanan Desi bobol menjelang subuh.

***
Hari-hari selanjutnya aku lewati tanpa Desi. Dia telah menjadi gadis di urutan di atas sepuluh.  Dia adalah gadis pertama yang menerima proyek balas dendamku yang seharusnya tidak perlu. Sangatlah tidak adil bila Desi dan gadis lainnya yang menjadi korban. Namun, nasi telah menjadi bubur. Kini aku sudah dengan Windy. Gadis yang akan menjadi korban urutan ke empat belas.
Yang berbekas dari sekian banyak korban itu hanyalah Desi. Dia satu-satunya yang masih suci yang sia-siakan. Kami putus di saat cinta-cintanya sedang bersemi untuk pertama kali. Dia berharap kami menjalin cinta hingga ke pelaminan. Dia telah merencanakan segala hal yang baik untuk kami. Termasuk acara HUTku. Pernah sewaktu saya sakit, dia menjagaku berhari-hari. Dia berbuat laiknya seorang istri yang rela mati demi suami. Hubungan kami berakhir saat umurnya mencapai tiga hari. Sempat dia mengacam untuk bunuh diri ketika mendengar aku tak mau lagi. Karena rasa cintanya yang sucilah, dia akhirnya merelakanku menjauh darinya. Waktu itu aku begitu gagah. Tampan dan menjadi sasaran kekaguman orang-orang. Kini, setelah lulus kuliah. Aku bukan lagi apa-apa. Pria yang tak punya apa-apa yang tinggal di desa. Desi kini telah menjadi seorang pramugari. Dia meraih apa yang selalu diimpikannya. Berulang-ulang dia memberitahuku. Tapi aku tak sedikit memperhatikan. Setiap kali pesawat melewati desaku, aku menunduk malu. Malu, jangan-jangan Desi sedang melihatku dari atas. Malu karena aku kini lusuh. Setiap hari menyalahkan diri sendiri. Bagaimana aku sudah begitu sangat dungu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar