Jumat, 03 Mei 2013

HADIAH PEMERINTAH UNTUK PAHLAWAN TANPA TANDA JASA


OLEH ISWAN SUAL, S.S

Lonceng gereja pagi-pagi buta berbunyi sebanyak tiga kali. Tak berapa lama kemudian corong-corong desa berteriak-teriak bersahutan menganggu tidur warga. “Seseorang telah pergi,” terdengar beberapa tukang gula aren berbicara saat melewati rumah kami menuju ke tempat dimana sebagian besar waktu mereka habiskan. Istri dan anak mereka tak pernah dilihat mereka saat siang. Mereka pun tak tahu sudah kelas berapa anak lelaki mereka. Bahkan mereka lupa kapan hari ulang tahun perkawinan mereka. “Untuk apa mengingat hal-hal yang remeh temeh seperti itu. Taklah perlu kita merayakan hari-hari begitu. Dirayakan atau tidak toh umur akan terus berkurang. Bukankah lama hidup kita telah ditentukan? Merayakan hari ulang tahun adalah tradisi barat yang membuat kita tunduk pada logika dagang mereka. Terlalu banyak hari-hari “special” diciptakan agar barang-barang bisa laku,” begitulah kira-kira isi perasaan tukang gula aren itu.
Seseorang telah pergi. Ternyata salah seorang terpandang di kampung kami telah meninggal dunia. Dia adalah mantan guruku. Dia banyak mengajarku tentang moral dan hal baik dan buruk. Dia senantiasa menekankan agar kami kelak menjadi orang yang baik. Berguna bagi bangsa dan Negara.
***
Sebuah rumah panggung penuh hiasan berwarna ungu dan hitam. Satu per satu orang berdatangan melihat seorang yang telah terbujur kakuh. Orang-orang itu tak sedikitpun merasa kasihan dengan tubuh wanita gempal yang telah ditinggalkan nyawa yang lama menahan tekanan. Dia begitu menderita menjelang kematiannya. Tak ada kawan yang datang menawarkan penghiburan dan penguatan. Semua telah bersatu memusuhinya. Padahal dia banyak berjasa untuk kampung kami. Tidak sedikit jumlah anak-anak kampung yang tadinya tak bisa menulis dan membaca menjadi tahu karena usaha kerasnya. Sungguh sangat memprihatinkan bila orang justru datang mengutukinya di saat dia seharusnya pendapat penghormatan yang selayaknya. Lagu ‘telah gugur pahlawan’ seyogianya membahana mengantarkan jenasah sang pahlawan tanpa jasa itu.
Aku terkejut melihat secara bergantian orang masuk keluar mengangkat barang-barang yang ada dalam rumah. Orang-orang yang tak punya hati itu berebut mencari barang yang paling mahal untuk dimuat di mobil pick up yang telah diparkir di depan rumah duka. Semua mereka ambil. Meja, kursi, wajan, belanga, piring, sendok, garbu, bahkan pakaian yang basah yang masih bergelantung di tali jemuran tak luput. Nyaris tak ada yang tersisa. Sungguh tak berperasaan. Orang yang dirundung duka dirampoki mereka pula.
Seorang ibu terlihat mengamati-amati mayat. Dia baru saja tiba. Mungkin dicari-carinya apa lagi yang bisa dilepas. Di sekitar mayat biasanya duduk beberapa kerabat atau keluarga. Tapi anehnya, tak kulihat satupun. Aku mau berontak melihat ketidakadilan yang sementara berlaku. Pemerintah desa tak seekor pun menunjukkan batang hidungnya dalam rumah duka. Upacara pemakaman tampak belum disiapkan. Dimana aparat desa itu? Keparat! Tega-teganya mereka berbuat seperti ini kepada pahlawan tanpa tanda jasa. Beraninya mereka berbuat hal yang demikian rendah kepada guruku itu. Bejat para pemerintah ini!
Kudekati mayat yang mulai berbau busuk itu. Baju yang dia pakai saat masih hidup masih membalut di tubuhnya. Sepertinya dia akan dilemparkan ke liang kubur tanpa dimandikan. Kalau saja aku berhak dan layak, aku akan memandikan sang pahlawan tanpa jasa itu sendirian. Kini aku duduk di samping mayat itu sambil mengusir lalat-lalat yang hinggap di wajah.
Ku pandangi sekeliling ruangan. Orang-orang yang datang itu tak sedikitpun berbelas kasihan terlukis dari raut wajah mereka. Rupanya sasaran mereka adalah tempat dibaringkannya mayat itu. Ranjang yang kelihatan sedikit mewah itu terus saja mereka lirik.
“Tidakkah kalian merasa hibah kepada mayat ini? Kalian lihat wajahnya. Dia memelas meminta dikasihani. Kenapa kalian mau menjadi bagian dari konspirasi jahat? Bila kalian tak mengurungkan niat kalian ini lekaslah kalian akan didatangi malaikat penjemput maut,” ancamku.
Kata-kataku terbuang percuma. Mereka menjawab dengan kebisuan dan mimik permusuhan. Gigi mereka gemeletuk menahan geram. Dada mereka naik turun. Serasa mereka hendak menerkamku.
“Saudara-saudari kalian, tak layakkah dia mendapat penghormatan terakhir? Biarkan aku menguburkan mayat ini dengan patut. Hanya, jangan kalian telanjangi dia saat dia tak lagi punya rasa malu sedikitpun. Izinkan aku menabur bunga di atas makamnya. Aku merasa berhutang padanya. Dialah yang membangun generasi kita sehingga menjadi cerdas seperti sekarang,” kataku seraya menitikkan air mata.
Orang-orang bejat itu mulai mendekati. Mereka rupanya telah bersepakat. Ya ampun! Mereka akan menelanjangi pahlawan tanpa tanda jasa. Aku berdiri dan merentangkan tangan. Aku akan berjuang mati-matian agar tak satu pun tangan kotor mereka menyentuh tubuh guruku yang kuanggap suci. Mereka semakin mendekat. Aku melemparkan tatapan menantang.
“Apa yang kau lakukan ingusan? Enyah dari hadapan kami!” kata seorang ibu yang lengan bajunya telah disingsing.
“Aku tak akan membiarkan kalian mempermalukan pahlawan tanpa tanda jasa! Langkahi dulu mayatku!” kataku nekat.
Masih tergiang ibu guruku itu berujang tentang berani karena benar. Dia mengajarkan kami untuk membela yang lemah. Inilah waktu yang tepat untuk mempraktikan sepenuhnya semua ajarannya 28 tahun lalu.
“Menyingkir anak muda!” kata seorang bapak. Dia tampak orang terhormat. Setelan yang dia pakai tampak dia orang berduit.
“Tidak! Kalianlah yang harus menyingkir,” jawabku sambil merentangkan tangan. Siap untuk menghalang.
Orang-orang mulai berkerumun. Namun tak satupun yang membelaku. Mereka malah tampak jijik dengan sikapku yang menurut mereka sangat ‘sok pahlawan’.
“Biarkan, anak muda! Biarkan dia menerima setimpal dengan perbuatannya!” teriak salah seorang dari kerumunan.
Ini adalah penghakiman rupanya. Apa yang telah dilakukan oleh guruku? Seburuk apakah itu sampai-sampai mereka beringas begini. Bodoh! Apa peduliku dengan itu. Takkan aku biarkan mayat guruku mereka permalukan. Pasti arwahnya takkan tenang. Setiap malam dia akan datang menuntut tanggungjawabku sebagai seorang bekas muridnya. Aku pasti akan dihantuinya siang malam.
“Kalau kamu tak beranjak anak muda, kami tak bertanggungjawab lagi dengan nyawamu. Ini peringatan terakhir.”
“Tidak. Kalian tak berhak menghakiminya. Biarkan Tuhan atau setidaknya…serahkan pada pemerintah desa.”
“Anak muda, penghakiman telah diserahkan kepada kami. Kepala desa malah yang menyarankan. Nah, sekarang menjauh dari situ!”
“Tidak!”
“Keras kepala!”
Tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Setelah itu aku tak tahu lagi. Terjadi jedah yang lama. Lalu, sayup-sayup aku mendengar orang berdebat. Namun bunyi nging melengking tak putus-putus. Suara bising makin menusuk pendengaran.
“Enak saja! Sofa ini harus aku yang jadi pemiliknya. Ranjang ini juga. Dia paling banyak berhutang padaku. Dia hanya berhutang dua juta padamu, kamu lima juta, kamu lima ratus ribu, kamu sebelas juta. Sedangkan padaku dia berhutang brapa? Kalian mau tahu? Pertama, sewaktu dia mau menyogok kepala dinas supaya dia menjadi kepala sekolah, dia berhutang lima belas juta. Kedua, sewaktu anaknya mau kuliah di fakultas kedokteran, dia berhutang tiga pulu juta. Ketiga, sewaktu anaknya mau dibaptis, dia berhutang tiga juta. Sewaktu anak sulungnya mau menikah karena terlanjur menghamili anak orang, dia berhutang 25 juta. Trus, sewaktu dia merayakan ulang tahun, dia berhutang lagi satu juta. Jadi, hutangnya pada kalian tidak apa-apa dibanding hutangnya padaku. Bukan hanya ranjang ini, rumah ini dan tanahnya juga akan kusita. Itupun takkan setimpal dengan hutangnya. Aku juga belum hitung bunganya,” kata seorang ibu sambil menangis sesenggukkan.
Awalnya mereka merasa merekalah yang paling sial karena ditipu dengan kedok ‘pinjam’ oleh si mayat. Ternyata masih ada orang yang lebih sial dari mereka.
“Kasihan, pasti berat bebannya dikejar-kejar penagih hutang setiap hari,” kata seorang ibu.
Kepalaku sakit. Orang-orang terdengar terus beradu mulut. Kudengar lagi, “Banjingan ini adalah pembohong besar. Sampai di neraka pun dia akan akan terus berhutang. Dia menghambur-hamburkan uangku, padahal dengan itu masih banyak yang bisa kubantu. Kasihan juga sebenarnya. Semua ini gara-gara pemerintah. Coba kalau para PNS tidak diberikan kemudahan menggadaikan gaji mereka, tentu nasib wanita ini akan lebih baik dari ini.”


22/02/2012

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar