OLEH ISWAN SUAL, S.S
Lonceng gereja pagi-pagi buta berbunyi sebanyak tiga kali.
Tak berapa lama kemudian corong-corong desa berteriak-teriak bersahutan
menganggu tidur warga. “Seseorang telah pergi,” terdengar beberapa tukang gula
aren berbicara saat melewati rumah kami menuju ke tempat dimana sebagian besar
waktu mereka habiskan. Istri dan anak mereka tak pernah dilihat mereka saat
siang. Mereka pun tak tahu sudah kelas berapa anak lelaki mereka. Bahkan mereka
lupa kapan hari ulang tahun perkawinan mereka. “Untuk apa mengingat hal-hal
yang remeh temeh seperti itu. Taklah perlu kita merayakan hari-hari begitu.
Dirayakan atau tidak toh umur akan terus berkurang. Bukankah lama hidup kita
telah ditentukan? Merayakan hari ulang tahun adalah tradisi barat yang membuat
kita tunduk pada logika dagang mereka. Terlalu banyak hari-hari “special”
diciptakan agar barang-barang bisa laku,” begitulah kira-kira isi perasaan
tukang gula aren itu.
Seseorang telah pergi. Ternyata salah seorang terpandang di
kampung kami telah meninggal dunia. Dia adalah mantan guruku. Dia banyak
mengajarku tentang moral dan hal baik dan buruk. Dia senantiasa menekankan agar
kami kelak menjadi orang yang baik. Berguna bagi bangsa dan Negara.
***
Sebuah rumah panggung penuh hiasan berwarna ungu dan hitam.
Satu per satu orang berdatangan melihat seorang yang telah terbujur kakuh. Orang-orang
itu tak sedikitpun merasa kasihan dengan tubuh wanita gempal yang telah ditinggalkan
nyawa yang lama menahan tekanan. Dia begitu menderita menjelang kematiannya.
Tak ada kawan yang datang menawarkan penghiburan dan penguatan. Semua telah
bersatu memusuhinya. Padahal dia banyak berjasa untuk kampung kami. Tidak
sedikit jumlah anak-anak kampung yang tadinya tak bisa menulis dan membaca
menjadi tahu karena usaha kerasnya. Sungguh sangat memprihatinkan bila orang
justru datang mengutukinya di saat dia seharusnya pendapat penghormatan yang
selayaknya. Lagu ‘telah gugur pahlawan’ seyogianya membahana mengantarkan
jenasah sang pahlawan tanpa jasa itu.
Aku terkejut melihat secara bergantian orang masuk keluar mengangkat
barang-barang yang ada dalam rumah. Orang-orang yang tak punya hati itu berebut
mencari barang yang paling mahal untuk dimuat di mobil pick up yang telah
diparkir di depan rumah duka. Semua mereka ambil. Meja, kursi, wajan, belanga,
piring, sendok, garbu, bahkan pakaian yang basah yang masih bergelantung di
tali jemuran tak luput. Nyaris tak ada yang tersisa. Sungguh tak berperasaan.
Orang yang dirundung duka dirampoki mereka pula.
Seorang ibu terlihat mengamati-amati mayat. Dia baru saja
tiba. Mungkin dicari-carinya apa lagi yang bisa dilepas. Di sekitar mayat
biasanya duduk beberapa kerabat atau keluarga. Tapi anehnya, tak kulihat
satupun. Aku mau berontak melihat ketidakadilan yang sementara berlaku. Pemerintah
desa tak seekor pun menunjukkan batang hidungnya dalam rumah duka. Upacara
pemakaman tampak belum disiapkan. Dimana aparat desa itu? Keparat! Tega-teganya
mereka berbuat seperti ini kepada pahlawan tanpa tanda jasa. Beraninya mereka
berbuat hal yang demikian rendah kepada guruku itu. Bejat para pemerintah ini!
Kudekati mayat yang mulai berbau busuk itu. Baju yang dia
pakai saat masih hidup masih membalut di tubuhnya. Sepertinya dia akan
dilemparkan ke liang kubur tanpa dimandikan. Kalau saja aku berhak dan layak, aku
akan memandikan sang pahlawan tanpa jasa itu sendirian. Kini aku duduk di
samping mayat itu sambil mengusir lalat-lalat yang hinggap di wajah.
Ku pandangi sekeliling ruangan. Orang-orang yang datang itu
tak sedikitpun berbelas kasihan terlukis dari raut wajah mereka. Rupanya
sasaran mereka adalah tempat dibaringkannya mayat itu. Ranjang yang kelihatan
sedikit mewah itu terus saja mereka lirik.
“Tidakkah kalian merasa hibah kepada mayat ini? Kalian lihat
wajahnya. Dia memelas meminta dikasihani. Kenapa kalian mau menjadi bagian dari
konspirasi jahat? Bila kalian tak mengurungkan niat kalian ini lekaslah kalian
akan didatangi malaikat penjemput maut,” ancamku.
Kata-kataku terbuang percuma. Mereka menjawab dengan kebisuan
dan mimik permusuhan. Gigi mereka gemeletuk menahan geram. Dada mereka naik
turun. Serasa mereka hendak menerkamku.
“Saudara-saudari kalian, tak layakkah dia mendapat
penghormatan terakhir? Biarkan aku menguburkan mayat ini dengan patut. Hanya,
jangan kalian telanjangi dia saat dia tak lagi punya rasa malu sedikitpun.
Izinkan aku menabur bunga di atas makamnya. Aku merasa berhutang padanya.
Dialah yang membangun generasi kita sehingga menjadi cerdas seperti sekarang,” kataku
seraya menitikkan air mata.
Orang-orang bejat itu mulai mendekati. Mereka rupanya telah
bersepakat. Ya ampun! Mereka akan menelanjangi pahlawan tanpa tanda jasa. Aku
berdiri dan merentangkan tangan. Aku akan berjuang mati-matian agar tak satu
pun tangan kotor mereka menyentuh tubuh guruku yang kuanggap suci. Mereka
semakin mendekat. Aku melemparkan tatapan menantang.
“Apa yang kau lakukan ingusan? Enyah dari hadapan kami!” kata
seorang ibu yang lengan bajunya telah disingsing.
“Aku tak akan membiarkan kalian mempermalukan pahlawan tanpa
tanda jasa! Langkahi dulu mayatku!” kataku nekat.
Masih tergiang ibu guruku itu berujang tentang berani karena
benar. Dia mengajarkan kami untuk membela yang lemah. Inilah waktu yang tepat
untuk mempraktikan sepenuhnya semua ajarannya 28 tahun lalu.
“Menyingkir anak muda!” kata seorang bapak. Dia tampak orang
terhormat. Setelan yang dia pakai tampak dia orang berduit.
“Tidak! Kalianlah yang harus menyingkir,” jawabku sambil
merentangkan tangan. Siap untuk menghalang.
Orang-orang mulai berkerumun. Namun tak satupun yang
membelaku. Mereka malah tampak jijik dengan sikapku yang menurut mereka sangat
‘sok pahlawan’.
“Biarkan, anak muda! Biarkan dia menerima setimpal dengan
perbuatannya!” teriak salah seorang dari kerumunan.
Ini adalah penghakiman rupanya. Apa yang telah dilakukan oleh
guruku? Seburuk apakah itu sampai-sampai mereka beringas begini. Bodoh! Apa
peduliku dengan itu. Takkan aku biarkan mayat guruku mereka permalukan. Pasti
arwahnya takkan tenang. Setiap malam dia akan datang menuntut tanggungjawabku
sebagai seorang bekas muridnya. Aku pasti akan dihantuinya siang malam.
“Kalau kamu tak beranjak anak muda, kami tak bertanggungjawab
lagi dengan nyawamu. Ini peringatan terakhir.”
“Tidak. Kalian tak berhak menghakiminya. Biarkan Tuhan atau
setidaknya…serahkan pada pemerintah desa.”
“Anak muda, penghakiman telah diserahkan kepada kami. Kepala
desa malah yang menyarankan. Nah, sekarang menjauh dari situ!”
“Tidak!”
“Keras kepala!”
Tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Setelah itu aku tak tahu
lagi. Terjadi jedah yang lama. Lalu, sayup-sayup aku mendengar orang berdebat. Namun
bunyi nging melengking tak putus-putus. Suara bising makin menusuk
pendengaran.
“Enak saja! Sofa ini harus aku yang jadi pemiliknya. Ranjang
ini juga. Dia paling banyak berhutang padaku. Dia hanya berhutang dua juta padamu,
kamu lima juta, kamu lima ratus ribu, kamu sebelas juta. Sedangkan padaku dia
berhutang brapa? Kalian mau tahu? Pertama, sewaktu dia mau menyogok kepala
dinas supaya dia menjadi kepala sekolah, dia berhutang lima belas juta. Kedua,
sewaktu anaknya mau kuliah di fakultas kedokteran, dia berhutang tiga pulu
juta. Ketiga, sewaktu anaknya mau dibaptis, dia berhutang tiga juta. Sewaktu
anak sulungnya mau menikah karena terlanjur menghamili anak orang, dia
berhutang 25 juta. Trus, sewaktu dia merayakan ulang tahun, dia berhutang lagi satu
juta. Jadi, hutangnya pada kalian tidak apa-apa dibanding hutangnya padaku.
Bukan hanya ranjang ini, rumah ini dan tanahnya juga akan kusita. Itupun takkan
setimpal dengan hutangnya. Aku juga belum hitung bunganya,” kata seorang ibu
sambil menangis sesenggukkan.
Awalnya mereka merasa merekalah yang paling sial karena
ditipu dengan kedok ‘pinjam’ oleh si mayat. Ternyata masih ada orang yang lebih
sial dari mereka.
“Kasihan, pasti berat bebannya dikejar-kejar penagih hutang
setiap hari,” kata seorang ibu.
Kepalaku sakit. Orang-orang terdengar terus beradu mulut.
Kudengar lagi, “Banjingan ini adalah pembohong besar. Sampai di neraka pun dia
akan akan terus berhutang. Dia menghambur-hamburkan uangku, padahal dengan itu
masih banyak yang bisa kubantu. Kasihan juga sebenarnya. Semua ini gara-gara
pemerintah. Coba kalau para PNS tidak diberikan kemudahan menggadaikan gaji
mereka, tentu nasib wanita ini akan lebih baik dari ini.”
22/02/2012
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar