Jumat, 03 Mei 2013

TOAR DAN LUMIMUUT BERJUALAN KACANG DI SINGAPURA


Oleh Iswan Sual
 
Della, pacarku, mengusulkan supaya kami mampir sebentar di sebuah toko agar dia bisa membeli sesuatu untuk temannya yang sedang menunggu di kosnya. Usulan itu tak aku tampik karena memang aku ingin jalan-jalan lagi ke area pertokoan itu. Pasar swalayan itu adalah pasar modern yang sangat besar. Dulunya kawasan itu begitu terkenal sehingga orang kampung di pelosok manapun di Minahasa tahu dengan itu. Sampai-sampai ada teka-teki lucu yang bunyinya begini, “Ada berapa matahari di Manado Alo?” “Satu,” jawab Alo. Dengan cepat penanya bilang bahwa jawaban Alo keliru. “Salah Alo!” Matahari yang dimaksud penanya adalah nama toko swalayan terbesar di Manado. Memang baru saja berdiri Mega Mall. Di situ  ada juga Matahari. Penanya ingin mengetes apakah Alo tahu dengan perkembangan baru itu. Maklum, Alo yang kesehariannya sebagai magula, jarang pergi  ke Manado. Si Alo salah juga memahami pertanyaan yang dilontarkan itu. Dia menganggap matahari yang dimaksud penanya adalah secara harafia. Dia dengan setengah berteriak bilang, “Ado kasiang ngana Yus, sedangkan cuma satu matahari, ngana lia kamari kita pe kuli so sama deng panta blanga. Apalagi dua!”
Sekarang gedung banyak tingkat itu tak lagi menjual barang. Melainkan jasa. Telah menjadi laiknya surya  yang memberi penerangan kepada orang yang masuk dalam gelap sakit. Tapi namanya bukan lagi Matahari. Sudah berupa menjadi Siloam Hospitals. Rumah Sakit Siloam. Begitulah bunyinya dalam bahasa Indonesia.
Tujuan kami saat ini bukan ke situ. Pacarku membawaku ke Singapura. Sebuah toko yang menjual bermacam-macam kue basah. Tak jauh dari rumah sakit baru itu. Kami berjalan ke arah pasar 45. Dalam perjalanan aku memperhatikan sekeliling. Berharap mendapat inspirasi untuk novel yang sementara aku tulis.
Aku tergugah melihat pemandangan yang membuatku seperti mengalami Dejavu. Aku melihat sendiri Toar  dan Lumimuut baru bertemu dan menyamakan kedua tongkat mereka. Tampak memang tongkat mereka sudah tak sama panjang. Mereka boleh menikah. Toar yang dewasa tampak semakin gagah. Lumimuut yang awet muda buat Toar terperangah.
Rasa penasaran membuat aku keluar lagi dari toko itu. Bau aneka kue basah yang harum dan menggoda selera tak bisa menyaingi rasa penasaranku untuk kembali melihat dua orang yang adalah leluhur orang Minahasa itu. Saat aku keluar terdengar Toar dan Lumimuut bercakap mesra. Mungkin sedang membahas keturunan mereka, makatelu pitu yang kawin campur dengan Makarua Siow. Aku mendekat. Nekat. Memastikan apa yang sedang kulihat.
“So brapa ngana pe kacang da laku?” tanya Toar. Tangan kirinya memegang se kotak halua. Sedang tangan kanannya mengusap-usap tongkat berwarna abu-abu.
“Mana mo laku ni kacang tore ini. Torang sala tampa ini sto no. Co ngana bobow, pe sadap skali tu kukis di dalam no. Nda ada orang Manado mo makang kacang tore atau halua kete di saman sekarang. Asi ngana tahu bagimana orang Manado sekarang pe gengsi,” kata Lumimuut.
Sudah lama rupanya dua  orang tunanetra ini berdiri di depan toko kue itu. Nasib mempertemukan  mereka. Toar tampak begitu rapih. Gayanya seperti seorang dosen. Sedangkan Lumimuut mirip keke yang dikirim ke Taiwan atau Singapura. Busananya santai. Potongan rambutnya yang pendek ditambah celananya yang juga pendek semakin mengukuhkan kemiripannya dengan seorang TKW yang baru saja pulang membawa dolar.
“Halua! Halua…halua kacang!” teriak lelaki tunanetra itu lantang. Si perempuan tunanetra diam saja.
Mungkin pemilik toko kue basah itu terusik. Seorang cleaning service keluar dengan sapu. Sungguh tak sopan dia. Sudah tahu ada orang, lalu dia tetap mau bersih-bersih. Mubazir. Tak ada guna menyapu pada lantai yang dilewati tak hentinya oleh orang yang lalu lalang di depannya. Aku berdiri saja di depan toko walaupun tahu dia akan menyapu lantai di mana aku berdiri. Karena tak bergeser dan mataku menatapnya tajam, dia pun sadar bahwa aku harus diperlakuan istimewa. Dia ingat bahwa pembeli ada raja. Aku berpotensi menjadi seorang pembeli.
Dia mengganti arah.
 Dia menyapu ke arah sepasang tunatetra itu. Dia tahu mereka tak bisa melihat. Dia menyapu terus walau abu berhamburan di hadapan sepasang tunanetra. Sang cleaning service ini merasa punya kesempatan berbuat semena-mena pada orang malang. Alangkah tak adilnya.
Aku melakukan gerakan mencurigakan untuk mencuri perhatiannya. Saat kami bertemu pandang ku tunjukkan raut ketidaksetujuan kepadanya. Dia pun mengerti dan segera berhenti.
Dekat trotoar terlihat seorang tukang parkir berjalan dengan kedua tongkat tripodnya. Mungkin dia baru saja sembuh dari penyakit supi karena terlalu banyak minum cap tikus. Tikus telah menggigit urat-urat vitalnya sehingga dia lebih tak berdaya daripada sepasang tunanetra itu. Pria dengan tongkat tripodnya berkali-kali memaki ketika hanya diberi uang receh oleh para bos yang lewat dengan mobil-mobil mewah keluaran terbaru. Ada perbedaan yang menggelitik dari dua orang tunetra dan tukang parkir. Tunanetra yang menggunakan tongkat seadanya padahal mereka tidak melihat. Dan mereka berjalan seperti orang normal. Sedangkan tukang parkir matanya belum rabun tapi dia memiliki dua tongkat dengan jumlah kaki, enam.
“Smo pigi kita e,” kata ibu tunanetra memecah lamunanku. Perlahan dia menyusuri jalanan ramai.
“Oh kita kira ngana so pigi dari tadi,” jawab bapak tunanetra.
Tak ada lambaian tangan atau pun jabat tangan. Juga tak ada anggukkan kepala. Mereka tahu semua gesture itu tak berlaku dalam dunia mereka. Tapi aneh, jarang terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi para tunanetra.
“Halua! Halua kacang!”
Tiba-tiba muncul rasa ibah dan haru dalam dada. Perlahan si ibu tunanetra menjauh. Hampir pupus dalam jangkauan mata. Sekilas ku lihat dia menjelma menjadi ibuku. Bapak tunanetra pula menjelma sebagai ayahku. Ku kejar si ibu tunanetra dan kuberikan beberapa lembar lima ribuan. Kuberikan juga jumlah yang sama kepada bapa tunanetra.
Kuingat temanku Kurniawan  sering bilang, “Dengan tak memberi sepeserpun pada orang malang begitu, kita meluaskan jalan revolusi. Teori-teori tentang ramalan hancurnya kapitalisme pun akan terwujud.”
Dia selalu melarangku bila memberi uang. “Kita akan membuatnya jadi malas. Atau bisa saja dia mungkin hanya berpura-pura,”  tambahnya.
Teringat pula kalimat dalam buku Emha Ainun Najib, “Terkadang Tuhan pun masih memberi apa yang kita minta walaupun dia tahu kita sering menipuNya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar