Della, pacarku, mengusulkan supaya kami mampir sebentar di
sebuah toko agar dia bisa membeli sesuatu untuk temannya yang sedang menunggu di
kosnya. Usulan itu tak aku tampik karena memang aku ingin jalan-jalan lagi ke
area pertokoan itu. Pasar swalayan itu adalah pasar modern yang sangat besar. Dulunya
kawasan itu begitu terkenal sehingga orang kampung di pelosok manapun di
Minahasa tahu dengan itu. Sampai-sampai ada teka-teki lucu yang bunyinya
begini, “Ada berapa matahari di Manado Alo?” “Satu,” jawab Alo. Dengan cepat
penanya bilang bahwa jawaban Alo keliru. “Salah Alo!” Matahari yang dimaksud
penanya adalah nama toko swalayan terbesar di Manado. Memang baru saja berdiri
Mega Mall. Di situ ada juga Matahari. Penanya
ingin mengetes apakah Alo tahu dengan perkembangan baru itu. Maklum, Alo yang
kesehariannya sebagai magula, jarang pergi ke Manado. Si Alo salah juga memahami
pertanyaan yang dilontarkan itu. Dia menganggap matahari yang dimaksud penanya
adalah secara harafia. Dia dengan setengah berteriak bilang, “Ado kasiang ngana
Yus, sedangkan cuma satu matahari, ngana lia kamari kita pe kuli so sama deng
panta blanga. Apalagi dua!”
Sekarang gedung banyak tingkat itu tak lagi menjual barang.
Melainkan jasa. Telah menjadi laiknya surya yang memberi penerangan kepada orang yang
masuk dalam gelap sakit. Tapi namanya bukan lagi Matahari. Sudah berupa menjadi
Siloam Hospitals. Rumah Sakit Siloam. Begitulah bunyinya dalam bahasa
Indonesia.
Tujuan kami saat ini bukan ke situ. Pacarku membawaku ke
Singapura. Sebuah toko yang menjual bermacam-macam kue basah. Tak jauh dari
rumah sakit baru itu. Kami berjalan ke arah pasar 45. Dalam perjalanan aku
memperhatikan sekeliling. Berharap mendapat inspirasi untuk novel yang
sementara aku tulis.
Aku tergugah melihat pemandangan yang membuatku seperti
mengalami Dejavu. Aku melihat sendiri Toar
dan Lumimuut baru bertemu dan menyamakan kedua tongkat mereka. Tampak
memang tongkat mereka sudah tak sama panjang. Mereka boleh menikah. Toar yang
dewasa tampak semakin gagah. Lumimuut yang awet muda buat Toar terperangah.
Rasa penasaran membuat aku keluar lagi dari toko itu. Bau
aneka kue basah yang harum dan menggoda selera tak bisa menyaingi rasa
penasaranku untuk kembali melihat dua orang yang adalah leluhur orang Minahasa
itu. Saat aku keluar terdengar Toar dan Lumimuut bercakap mesra. Mungkin sedang
membahas keturunan mereka, makatelu pitu yang kawin campur dengan
Makarua Siow. Aku mendekat. Nekat. Memastikan apa yang sedang kulihat.
“So brapa ngana pe kacang da laku?” tanya Toar. Tangan
kirinya memegang se kotak halua. Sedang tangan kanannya mengusap-usap tongkat
berwarna abu-abu.
“Mana mo laku ni kacang tore ini. Torang sala tampa ini sto
no. Co ngana bobow, pe sadap skali tu kukis di dalam no. Nda ada orang Manado
mo makang kacang tore atau halua kete di saman sekarang. Asi ngana tahu
bagimana orang Manado sekarang pe gengsi,” kata Lumimuut.
Sudah lama rupanya dua
orang tunanetra ini berdiri di depan toko kue itu. Nasib
mempertemukan mereka. Toar tampak begitu
rapih. Gayanya seperti seorang dosen. Sedangkan Lumimuut mirip keke yang
dikirim ke Taiwan atau Singapura. Busananya santai. Potongan rambutnya yang
pendek ditambah celananya yang juga pendek semakin mengukuhkan kemiripannya
dengan seorang TKW yang baru saja pulang membawa dolar.
“Halua! Halua…halua kacang!” teriak
lelaki tunanetra itu lantang. Si perempuan tunanetra diam saja.
Mungkin pemilik toko kue basah itu terusik. Seorang cleaning
service keluar dengan sapu. Sungguh tak sopan dia. Sudah tahu ada orang,
lalu dia tetap mau bersih-bersih. Mubazir. Tak ada guna menyapu pada lantai
yang dilewati tak hentinya oleh orang yang lalu lalang di depannya. Aku berdiri
saja di depan toko walaupun tahu dia akan menyapu lantai di mana aku berdiri.
Karena tak bergeser dan mataku menatapnya tajam, dia pun sadar bahwa aku harus
diperlakuan istimewa. Dia ingat bahwa pembeli ada raja. Aku berpotensi menjadi
seorang pembeli.
Dia mengganti arah.
Dia menyapu ke arah
sepasang tunatetra itu. Dia tahu mereka tak bisa melihat. Dia menyapu terus
walau abu berhamburan di hadapan sepasang tunanetra. Sang cleaning service
ini merasa punya kesempatan berbuat semena-mena pada orang malang. Alangkah tak
adilnya.
Aku melakukan gerakan mencurigakan untuk mencuri
perhatiannya. Saat kami bertemu pandang ku tunjukkan raut ketidaksetujuan
kepadanya. Dia pun mengerti dan segera berhenti.
Dekat trotoar terlihat seorang tukang parkir berjalan dengan
kedua tongkat tripodnya. Mungkin dia baru saja sembuh dari penyakit supi
karena terlalu banyak minum cap tikus. Tikus telah menggigit urat-urat
vitalnya sehingga dia lebih tak berdaya daripada sepasang tunanetra itu. Pria
dengan tongkat tripodnya berkali-kali memaki ketika hanya diberi uang receh
oleh para bos yang lewat dengan mobil-mobil mewah keluaran terbaru. Ada
perbedaan yang menggelitik dari dua orang tunetra dan tukang parkir. Tunanetra
yang menggunakan tongkat seadanya padahal mereka tidak melihat. Dan mereka
berjalan seperti orang normal. Sedangkan tukang parkir matanya belum rabun tapi
dia memiliki dua tongkat dengan jumlah kaki, enam.
“Smo pigi kita e,” kata ibu tunanetra memecah lamunanku.
Perlahan dia menyusuri jalanan ramai.
“Oh kita kira ngana so pigi dari tadi,” jawab bapak tunanetra.
Tak ada lambaian tangan atau pun jabat tangan. Juga tak ada
anggukkan kepala. Mereka tahu semua gesture itu tak berlaku dalam dunia mereka.
Tapi aneh, jarang terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi para tunanetra.
“Halua! Halua kacang!”
Tiba-tiba muncul rasa ibah dan haru dalam dada. Perlahan si
ibu tunanetra menjauh. Hampir pupus dalam jangkauan mata. Sekilas ku lihat dia
menjelma menjadi ibuku. Bapak tunanetra pula menjelma sebagai ayahku. Ku kejar
si ibu tunanetra dan kuberikan beberapa lembar lima ribuan. Kuberikan juga jumlah
yang sama kepada bapa tunanetra.
Kuingat temanku Kurniawan
sering bilang, “Dengan tak memberi sepeserpun pada orang malang begitu,
kita meluaskan jalan revolusi. Teori-teori tentang ramalan hancurnya
kapitalisme pun akan terwujud.”
Dia selalu melarangku bila memberi uang. “Kita akan
membuatnya jadi malas. Atau bisa saja dia mungkin hanya berpura-pura,” tambahnya.
Teringat pula kalimat dalam buku Emha Ainun Najib, “Terkadang
Tuhan pun masih memberi apa yang kita minta walaupun dia tahu kita sering menipuNya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar