Oleh Iswan Sual
Di sebuah
gubuk kecil di tengah hutan. Pergilah kesana Tuama. Saat dia tiba tak nampak
seorang pun dalam gubuk. Pintu dan jendelanya tertutup rapat. Serombongan
burung taun lewat di langit yang kian pekat.
Burung titicak terdengar ribut di dahan-dahan pohon yang rimbun. Terdengar
seperti debat kusir para wakil rakyat yang sama sekali bukan sebagai upaya
untuk memperbaiki nasib rakyat. Melainkan hanya berkutat pada kepentingan
sesaat mereka mumpung masih menjabat. Tuama sedikit kecewa karena tak melihat
orang yang perlu ditemuinya. Enggan dia melangkah mendekat ke gubuk tua reyot
itu. Apalagi gelap semakin dekat. Lebih baik pulang sebelum malam tiba. Bisiknya pada dirinya sendiri.
“Aweang ona’
re’e perlu?[1]”
kata seorang kakek tiba-tiba.
Dengan kaget
Tuama menoleh ke arah suara serak dan agak kasar itu. Di hadapannya telah
berdiri seorang pria lusuh sedang memikul cangkul dan menjinjing tiga atau
empat singkong yang berukuran sedang-sedang saja. Tanah tebal masih menempel
pada singkong-singkong itu. Titik-titik cairan getah menetes dari ujungnya yang
sempat terluka oleh sabetan cangkul. Bagai jarum jam yang berdetak mengantar
mereka di lorong gelap.
“Eng karu’ e
om![2]”
sedikit terbata-bata Tuama mulai menguraikan maksudnya.
Dipersilahkan
pria tua itu Tuama masuk ke dalam gubuknya. Gubuk dan orang yang tinggal di
dalamnya patut dikasihani. Gubuk itu rasanya tak cukup untuk melindungi mereka
dari dinginnya malam. Selah-selah pada dinding bambunya melebar setiap hari
berganti. Panas dan hujan bekerjasama dengan rayap-rayap menambah kelapukan.
Barangkali besok atau lusa pria itu
harus segera membangun gubuk yang baru.
“Sebenarnya
kedatangan saya kesini ada kaitannya dengan rasa sakit yang sudah kualami
berhari-hari ini om. Aku sudah mencoba pergi berobat ke kota. Seperti yang
disarankan oleh pendetaku. Tapi, kata dokter tak satu pun penyakit terdeteksi
bersarang dalam tubuhku. Memang, beberapa anggota keluarga sudah menyarankan
agar aku langsung ke sini bulan yang lalu karena mereka yakin bahwa yang aku
derita ini bukanlah penyakit biasa. Tapi setiap kali aku mulai keluar rumah,
sepertinya si pendeta sudah punya firasat, dia selalu mencegahku. Katanya, ‘Jangan
mencari kesembuhan pada berhala-berhala.’ Aku berusaha taat pada perkataannya.
Tapi, rasa sakit di telinga dan kepalaku mendesak agar aku segera mencari
pertolongan. Karena bagiku dokter dan dukun sama saja. Mereka adalah alat Opo
Kasuruang Wangko. Pendeta lebih menganjarkan perawatan dokter karena lebih
masuk akal. Sementara pengobatan tradisional, karena kurangnya pemahaman,
dianggapnya sebagai pekerjaan setan. Saya kadang heran. Ketidakinginan untuk
belajarnya menghalanginya untuk memahami model perawatan itu. “
Panjang lebar
Tuama bercerita kepada kakek itu. Termasuk kapan gejalah penyakit mulai dia
rasakan. Semua penjelasannya hanya disambut dengan anggukan kepala. Tapi mata
kakek itu menyiratkan bahwa otaknya bekerja berat membuat kesimpulan-kesimpulan
yang mendekati kemungkinan. Dia lalu meminta Tuama pergi ke kebun dimana dia
selalu menghabiskan waktunya menggembalakan sapi.
“Mange an
terung an uma nu wo indongenu sanga kompol en amporang ambitu. Bungkusengio wo
aling mi’i. indong ki’i siou rosi. Ta’ang ca toro wo ca ro’na remoma’ a se tou
si pa’pesungkelennu.”[3]
Kata kakek
Tanpa
membuang waktu lagi Tuama pun bergegas pergi menuju kebunnya. Dia melakukan
semua persis seperti yang diarahkan. Dan dia kembali membawa abu sisa
pembakaran dan menyerahkannya kepada sang dukun. Saat dia kembali di atas meja
telah tergeletak dua piring pusaka yang telah ditutup dengan kain merah. Di
antara ke dua piring itu tergelar juga sebuah keris emas kecil yang juga
dililiti kain merah. Tuama sama sekali tak terkejut dengan benda-benda itu.
Karena semua itu selalu dilihatnya di rumah kakeknya yang bernama Hero. Bahkan
isi sompoi kakeknya punya lebih banyak barang-barang lain. Barang-barang tak
seorang pun boleh menyentuhnya.
“Ada
orang yang marah padamu. Karena kamu tak mau bertukar sapi dengan dia. Dia
sangat suka dengan sapimu. Kain hitam yang dililit rambut ini kutemui dalam abu
sisa bakaran yang kamu bawa. Sakit yang kamu alami adalah ini penyebabnya. Tapi
masih ada satu lagi. Coba buka mulut mu dan hembuskan nafas ke bunga ini….. ya
ternyata ini. Dia menyelipkan kepingan puntung rokok dan barang pecah belah ke
dalam tubuh dengan bantuan mahluk gaib. “
Tuama
berusaha menyangsikan uruaian sang dukun. Tapi, sakit yang dia derita berangsur
pergi. Kesembuhan telah terjadi. Tapi, tak sepata kata hujatan pun keluar dari
mulut sang dukun. Aku pun ingat seseorang yang kerap berkunjung ke rumahku.
Orang yang memaksakan kehendaknya agar kami melakukan barter sapi. Hewan yang
Tuama gunakan sekali seminggu untuk batibo[4]
ke kota Kotamobagu. Negeri yang pernah menjadi pusat kekuasaan Loloda Mokoagow,
raja besar Bolaangmongondo. Aku tak menyangka orang yang ku panggil kakak itu
tega melakukan praktik doti[5]
terhadap Tuama. Dia menggunakan wentel[6]
untuk mencelakai orang. Sungguh sangat bertentangan dengan ajaran tetua mereka.
Sebuah wentel adalah anugerah, pemberian cuma-Cuma dari yang maha kuasa
dipergunakan untuk kejahatan.
“E
Tuama. Sa ico mesungkul si tou niitu. Ca toro ico ma’bow asia. We’e a si Opo
Kasuruang oka eng pamulengengnu. Kinela’ana kua sa sia semea’em.”[7]
Tuama
pulang dalam keadaan bingung. Bukan oleh karena perkataan sang dukun. Melainkan
perkataan pendeta yang melarangnya pergi ke dukun. Betapa kelirunya dia. Karena
ketidaktahuan dan ketidakmauan untuk belajarlah yang menyebabkan dia memiliki
prasangka buruk pada praktik yang adalah warisan leluhur. Ternyata, apapun yang
ada di dunia ini adalah ciptaan Tuhan yang bisa digunakan secara benar dan
salah. Kebenaran dan kesalahan ternyata adalah soal tahu dan tidak tahu.
Tondei,
17 Maret 2013
[2] Iya benar Om! (Bhs
Tontemboan)
[3] Pergilah ke ladangmu dan
ambilah abu sisa sisa pembakaran di sebuah gubuk. Bungkuslah dan bawa kesini.
Bawa juga Sembilan kuntum bunga mawar. Namun, jangan bicara dengan siapapun yang
kamu temui.
[4] Berjualan langsung ke pasar
setelah melaksanakan perjalanan jauh.
[5] Menyebabkan orang lain
sakit, celaka atau mati secara mistik.
[6] Jimat
[7] “Nak, bila kamu bertemu
dengan orang itu. Tak usahlah kamu
memarahi dia. Serahkan pada Tuhan saja tanggungan dan penderitaanmu itu. Dia
telah menyadari kesalahannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar