Oleh Iswan
Sual, S.S
Pandangan mulai buram ketika mata
memandang keluar dari tokoh buku GMIM Tomohon. Benda dengan jarak lima meter
sudah agak samar dilihat oleh mata. Cepat-cepat, karena gerak-gerik gelisah
pegawai penjaga toko, walau hanya pas-pasan, uang di dompet kurelahkan juga
untuk ditukar dengan sebuah buku tebal
643 halaman. Sudah lama buku itu terpajang di lemari. Entah mengapa baru
hari ini kuputuskan membelinya tanpa perasaan menyesal. Seolah ada firasat buku
ini akan mendadak mahal harganya saat penulisnya meninggal dunia nanti. Selesai
membayar, dengan gembira buku otobiografi Bert Adriaan Supit ku-bembeng keluar
toko dengan pintu yang telah sempit karena sudah waktunya tutup. Sebenarnya buku yang kucari, sebagaimana tujuanku
ke toko itu, kalau tidak keliru berjudul “Kewarganegaraan yang bertanggungjawab”,
sebuah otobiografi dari Johanis Leimena. Aku mengincar buku tersebut gara-gara
disebut-sebut dalam buku renungan edisi ke-23 seri Selamat karya Andar Ismail.
Mungkin, rasa kesal kecil karena tak menemukan buku itu, muncul keinganan untuk
membeli buku otobiografi dr. Bert Adriaan Supit. Sungguh sebuah bentuk
pelampiasan positif.
Sisa-sisa rasa kesal masih belum
raib. Biasanya kalau situasi sudah begitu, aku berimprovisasi mencari
kesenangan, dalam bentuk apapun, untuk
mengusirnya. Secara tak sengaja, walau sambil berpikir, langkah-langkah
kaki berbelok ke kiri. Mengikuti trotoar kurang nyaman yang dibangun di masa
pemerintahan walikota Tomohon Jefferson M. Rumajar. Sekarang dia terkurung
dalam bui akibat penyalagunaan jabatan. Korupsi. Ya korupsi. Apalagi kalau
bukan itu. Kerumunan orang yang bergerak, kadang-kadang kami bersenggolan
terlihat begitu padat. Gadis-gadis dengan busana minim dan ketat turut memberi
warna dalam hiruk pikuk petang di pusat kota Tomohon. Di depan toko Grand
Central berdiri gadis-gadis berambut kuning bergaya seperti Go Hye Mi. Gadis
Tomohon mirip perempuan Korea.
Tas besar yang menggantung di
punggung kini terasa berat. Aku berbelok ke ke kiri dan memasuki gedung
berlantai 5. Mungkin gedung ini, juga bernama Grand Central, adalah gedung
tertinggi di kota Tomohon. Hanya sampai di lantai tiga. Aku kembali mengikuti
jalan yang kulewati terdahulu. Yang beda kali adalah aku harus menuruni anak
tangga. Kosong. Aku tak mendapatkan apa-apa di gedung tertinggi Tomohon itu.
Ponsel bergetar. Saat kubuka,
terpampang banyak pesan yang belum terbaca. Kuhentikan langkah dan membacanya
satu per satu. Semua pesan berasal dari pacarku. Dua pesannya adalah pesan laporan
terkirim pesan. Dan tiga pesan lainnya adalah pesan penipuan. Bunyi pesannya
sama, tolong kirimkan mama pulsa Rp 50ribu. Sekarang mama ada di rumah sakit
lagi jagain papa, jadi tak sempat isi. Ah! Karena sudah banyak kali
mendapat pesan serupa, aku langsung hapus saja. Penipuan dengan cara bergitu
sudah kuanggap kuno. Tidak mempan bagi saya. Sudah itu kuteruskan langkah. Di
depan Grand Central berlantai satu aku belok ke kanan. Di sebelah kanan trotoar
masih terhampar puing-puing bekas SPBU. Lahannya, walau samar, masih terlihat.
Rerumputan telah menguasai. Sungguh merusak pemandangan. Langkah cepat
membawaku ke perempatan pasar. Dekat kantor pos.
“Tondano! Tondano! Dua lei.”
Seorang lelaki berambut panjang
dengan jenggot mirip Ki Joko Bodo menyambutku ramah usai berteriak-teriak
memanggil penumpang. Kulihat dia diberi dua lembar uang berwarna kehijauan dari
sopir. Dia mempersilahkanku masuk ke dalam mikro dengan sopan. Mobil sepertinya
sudah penuh, fol orang Manado bilang. Kecuali satu tempat duduk fip.
Sebuah tempat duduk baris ketiga yang
menghalangi penumpang menuju kursi jok paling belakang. Saya kira
sebutan fip untuk kursi itu tak mirip maknanya dengan kursi VIP (very important
person-orang paling penting) dalam acara konser. Itu merupakan kata plesetan.
Sebab orang yang duduk di kursi yang kadang berbahan kayu keras tersebut harus
menerima derita ketidaknyaman menumpang dalam kendaraan berwarna biru langit
tersebut. Tapi, secuilpun tak ada rasa jengkel. Karena, waktu aku baru satu
langkah memasuki mobil tampak sepasang kaki langsing berwarna terang dengan
balutan kain teramat minim. Pendek. Walau hanya singkat, dengan gamblang celana
pendek yang dikenakan oleh gadis yang akhirnya menjadi tetangga duduk saya
jaraknya kurang dari sejengkal tangan.
Perlahan aku menaruh pantat saya
pada fip. Tas punggung kutempatkan di antara kedua kaki saya. Walau jarakku
dengan gadis berkaki indah tak jauh. Bahkan saling bersentuhan, tak berani aku
menoleh barang sedetik untuk melihat wajahnya. Yang kutahu suaranya merdu.
Ibarat sentuhan, suaranya halus dan lembut. Seperti Go Hye Mi dalam film Korea
berjudul Dream High. Mungkin wajah gadis di sampingku berwajah Go Hye Mi.
sesekali kudengar dia membicarakan soal harga tiket promo dengan teman
bicaranya di ponsel.
“ Apa de’? Yang penting kwa so
pasiar. Kita tre lalu cuma satu dua hari. Spekol. Yang penting so lia’ Bali.
Legian. Nda usah kwa’ pikir ole-ole apa ngana mo bawa’ pulang. Ngana lia kita,
gantungan kunci. Itu no yang kita bawa dari Bali.”
Gadis berkaki indah di sebelahku
begitu menghibur dan menentramkan jiwa. Kuanggap kalimat demi kalimat yang
keluar dari mulutnya ditujukan padaku. Kuandaikan kami saling rayu saat mampir
di sebuah kafe sederhana namun terletak di tempat romantis. Seperti sebuah kafe
pertigaan dekat patung Opo Tololiu. Katakanlah begitu.
Ponselku sekali lagi bergetar.
Begitu kukeluarkan sinarnya terciprat ke samping kanan. Cahaya lampu ponsel
lebih menambah keyakinanku bahwa Go Hye Milah yang duduk di sebelahku. Kaki
putih, panjang dan langsing merayu-rayu untuk dilihat. Apalagi auratnya yang
tinggal setengah jengkal lagi terumbar. Hingga kini gadis berlogat Tondano
masih bicara dengan ponselnya. Rasa gelisah untuk melihat kian mendesak. Tapi
tak mungkinlah aku melakukan kenekatan itu. Apalagi cahaya ponsel yang
berkali-kali menyebar berpotensi menimbulkan rasa curiga padanya.
“Papi, halo? So baganggu kita? Iyo
dang nanti jo sbantar kong telpon ulang.”
Kini mikro mulai menuruni daerah
Kasuang. Kiri dan kanan berjejer restoran dan kafe. Lampu terang redup turut
memperindah suasana petangku. Temaram dalam ruang kendaraan yang kami tumpangi
menambah keromantisan aku dan Go Hye Mi. Isi obrolannya menunjukkan dia seorang
gadis yang kaya namun tak manja. Tak ingin bergantung pada fasilitas. Sebagai
gantinya, dia lebih suka naik angkutan umum. Mungkin ada harapan, dalam
angkutan umum dia bertemu pemuda sederhana yang bakal menjadi pujaan hatinya. Mirip-mirip
akulah. Hahahaha.
“Muka Om.”
Tak terasa kini aku sudah mesti
turun dan merelahkan Go Hye Mi melanjutkan perjalanannya tanpaku. Mikro kini
berhenti persis dekat rambu lalulintas yang mengindikasikan bahwa di depan ada
pertigaan (bundaran). Yang ke kiri menuju Tondano. Yang ke kanan menuju kampus
UNIMA. Ada kesempatan terakhir untuk melihat wajah gadis teman dudukku. Sengaja
aku membayar tarif dengan uang pecahan Rp 10.000 agar paling tidak ada satu
menit mobil akan berhenti. Itulah kesempatan yang akan kucuri berharap dapat memandang
wajah gadis yang bersuara ayu dan yang bikin aku serasa mau terbang melayang
bak malaikat. Cahaya lampu mobil yang datang dari depan akhirnya meluluskan
keinginanku. Buset! Tak dapat dipercaya. Ternyata gadis yang duduk di
sampingku, gadis bersuara lembut dan berkaki indah, yang aku bayangkan sebagai
gadis Korea, gadis kaya yang nekat naik transportasi umum demi mencari pacar
yang sederhana adalah mantan kekasihku. Gadis yang pernah mengejar-ngejar aku
sewaktu aku masih populer di kampus. Namanya Nadya Chingsi Tombuku. Untung saja
aku tak menoleh padanya sewaktu kami
duduk berdampingan. Untung dia tak sampai mengenal tampang saya yang kini
urak-urakan. Lelaki berumur di ujung duapuluan yang hingga kini karena kutukan
selalu ditolak gadis. Lelaki yang terlambat menyadari bahwa hidup manusia itu
kadang di atas kadang di bawah. Seperti roda yang berbutar. Nadya pasti takkan
senang. Juga takkan simpati. Malah dia bakal memaki aku gara-gara
meninggalkannya sewaktu tahu dia sudah hamil dua bulan hasil hubungan tanpa
batas kami di kos-kosan dulu.
“Nyong! Nyong! Napa doi sepulang!”
Tergesah-gesah aku menjauhi mobil.
Dengan gaya berjalan yang sudah kuubah. Aku tak peduli dengan uang kembalian,
Rp 6000. Aku tak mau mengambil resiko bertatapan dengan mantan kekasihku itu.
Bisa-bisa aku diteriaki maling lalu orang-orang berhamburan datang memukuli,
menyiram dengan besin kemudian membakar aku hidup-hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar