Oleh Iswan Sual, S.S
Herman baru saja pulang dari sekolah.
Dengan langkah cepat dia berlari mencari ayahnya di sawah. Kini ayahnya adalah
lelaki tua yang kesepian menjalani hari-hari sembari mengenang masa silam.
Dulu, dia adalah abdi negara. Banyak orang desa menjadi tahu membaca dan
menulis karena upaya dan kerja kerasnya. Meskipun begitu, profesinya tak pernah
menjadi prioritas dalam perhatian pemerintah.
Dia juga ingin anak-anaknya mengenyam
pendidikan sehingga nasib boleh berubah. Tapi, harapan tinggal harapan. Semua
anaknya tak ingin sekolah tinggi. Mereka enggan keluar desa karena tak ingin
dicemooh oleh orang-orang kota. Orang-orang di desa tetangga pun sering bilang,
“Kita tunggu babi panjat kelapa dulu, baru desa kalian menjadi maju.” Begitu
membekasnya pernyataan penghinaan itu sehingga anak-anaknyapun sangat rendah
diri. Tapi, Herman adalah kekecualian. Dia satu-satunya yang ingin melanjutkan
sekolah ke jenjang paling tinggi. Sewaktu dia memberitahu ayahnya bahwa
cita-citanya adalah menjadi seorang dokter, ayahya sangat bangga. Sekaligus
menyebabkan pria tua harus menyapu dada. Maklum, menjadi dokter adalah
cita-cita yang hampir mustahil untuk diwujudkan oleh mereka yang tergolong
miskin.
Demi
cita-cita, setamat SD, Herman harus berpisah dari orangtua dan saudara-saudarinya.
Saudaranya ikut membantu ayah mereka bekerja untuk menopangnya yang kini
menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Demi membeli
buku dan mengikuti praktikum-pratikum dia menghemat dengan luar biasa.
Kadang-kadang dia hanya makan sekali dalam sehari. Tambah lagi pungutan
fakultas itu banyak. Pungutan yang dikemas seolah-olah untuk pembangunan
padahal, untuk membuat buncit perut para dosen dan stafnya.
Semakin
bertambah semester semakin bertambah pula biaya yang dibutuhkan. Pekerjaan
sampingan berusaha dicarinya agar beban orang tua dan saudaranya sedikit
meringan. Hingga pada suatu saat dia bertemu dengan seorang gadis desa. Gadis
yang dia temui sewaktu dia menjenguk kakeknya di sebuah desa terpencil di
Tondano. Gadis centil itu begitu memikat. Sayangnya, gadis itu tak memenuhi
kriteria ideal Herman. Cantik, berpendidikan, baik hati adalah ciri yang secara
matang telah ditetapkannya menjadi syarat orang yang nantinya menjadi
pendamping hidupnya. Pertemuan demi pertemuan kian menciptkan kedekatan bagi
kedua insan itu. Gadis centil bunga desa itu tergila-gila pada Herman. Perasaan
yang tak tertahankan dirasa harus diungkapkan. Grice meminta bantuan sepupu
laki-lakinya untuk menyampaikan maksudnya. Usaha sepupunyapun berhasil. Herman pun tak banyak
cincong. “Apa salahnya dicoba. Toh, belum tentu hubungan ini akan sampai pada
pernikahan,” bisiknya pada dirinnya sambil tersenyum kecil. Tantangan terucap.
Tantangan telah diterima.
“Apa
keinginanmu Herman? Mengapa kamu menyiksa dirimu bergumul dengan buku-buku
tebal selama beberapa tahun?” tanya Grice pada suatu senja ketika mereka duduk
di teras rumahnya.
Pertanyaan itu dirasa cukup dalam. Pertanyaan yang seharusnya
dijawabnya sebelum masuk fakultas termahal itu. Ternyata Grice bukanlah gadis
dengan tingkatan kecerdasan yang dangkal. Ternyata dia sudah salah menilai
Grice selama ini.
“Aku ingin
mengubah nasib,” jawab Herman singkat.
Kalimat singkat adalah upayanya paling cerdas. Tak ingin dia
dianggap macam-macam oleh Grice. Dia tahu persis bahwa banyak bicara akan
membuat banyak rahasia terungkap.
“Nikahi saja
aku kalau kamu ingin perubahan nasib. Aku yakin anak-anak kita akan hidup
nyaman tentram nanti. Tak lama lagi kamu akan jadi dokter. Aku akan melahirkan
anak-anak yang sehat dan kuat. Dan mereka tidak akan mendapat masalah dengan
biaya pendidikan mereka,” kata Grice dengan lugas.
Herman
tercengang dan tak percaya dengan apa
yang baru saja dia dengar. Grice sudah lama tahu bahwa Herman ingin menjadi
orang kaya sehingga bisa membantu keluarga di desa yang hampir melarat. Dia
tahu bahwa tujuan Herman menjadi dokter tidaklah seperti tujuan kebanyakan orang, yakni memberikan
kesembuhan bagi orang sakit. Tujuan yang sering terucap dari bibir dari calon
dokter. Tapi tidak lagi terdengar di saat mereka telah menjadi dokter. Apalagi
dokter yang mapan.
Memang salah
satu pertimbangan Herman bertahan dengan Grice, kalau dia mau jujur, ialah karena
kenyamanan ekonomi yang bisa didapatnya
di kemudian hari. Setelah dia tahu bahwa Grice adalah anak tunggal dari
keluarga dengan kekayaan yang takkan habis hingga tujuh turunan, dia pun
membuang semua kriteria yang pernah dia tetapkan berkenaan dengan gadis yang
harus mendampinginya hingga usia renta.
“Grice, kita
belum waktunya bicarakan pernikahan. Kita belum begitu saling mengenal,” kata
Herman terbata. Dia mencoba menghindari tatapan Grice.
“Tak ada yang
menghalangi. Orangtuaku suka sama kamu. Dan mereka juga siap membantu anak
mantu mereka agar segera menjadi dokter. Tapi, aku tak bisa memaksa. Mungkin
aku bukanlah gadis yang kamu impikan dan angankan selama ini.”
“Bukan begitu,
Grice. Aku…”
“Sssst,” ucap
Grice sambil menegakkan telunjuk didepan bibir Herman. Sekejab mata tangan
Grice begitu cekatan menarik Herman ke
dekat dadanya. Herman direngkuhnya dengan erat. Yang terjadi selanjutnya
silahkan tanya kepada kursi dan suasana remang-remang yang menjadi saksi
mereka.
***
Tahun itu juga mereka menikah. Tahun
berikutnya Herman dinobatkan menjadi seorang dokter. Sekarang dia menjadi
dokter di Rumah Sakit Umum Malalayang. Berkat
campur tangan mertuanya dia bisa menghindari kewajiban mengabdi di
daerah-daerah pelosok. Penghiantan terhadap kode etik dokter itu tak
dihiraukannya. Dan sekarang dia telah menjadi kaya raya. Karena banyak tanah
yang telah dibelinya dari orang-orang di desanya, dia kini menjadi pemilik
tunggal dari berhektar-hektar tanah. Dia pun dijuluki tuan Takur. Tuan tanah.
Di usianya yang sudah senja dia
membebaskan banyak biaya setiap pasien yang kurang mampu yang kebetulan berasal
dari daerah di mana dia lahir. Dia juga membangun sebuah gereja yang megah di
kampungnya dengan uang dari kantongnya sendiri. Mungkin itu untuk menebus akan
penghianatannya yang dia lakukan sewaktu masih muda. Setiap pagi dia selalu
berdoa, “Tuhan, biarlah aku damai dengan memberi uang untuk menyembuhkan sakit
dan untuk membangun rumahMu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar