Jumat, 03 Mei 2013

INGIN KAYA



Oleh Iswan Sual, S.S

Herman baru saja pulang dari sekolah. Dengan langkah cepat dia berlari mencari ayahnya di sawah. Kini ayahnya adalah lelaki tua yang kesepian menjalani hari-hari sembari mengenang masa silam. Dulu, dia adalah abdi negara. Banyak orang desa menjadi tahu membaca dan menulis karena upaya dan kerja kerasnya. Meskipun begitu, profesinya tak pernah menjadi prioritas dalam perhatian pemerintah.
Dia juga ingin anak-anaknya mengenyam pendidikan sehingga nasib boleh berubah. Tapi, harapan tinggal harapan. Semua anaknya tak ingin sekolah tinggi. Mereka enggan keluar desa karena tak ingin dicemooh oleh orang-orang kota. Orang-orang di desa tetangga pun sering bilang, “Kita tunggu babi panjat kelapa dulu, baru desa kalian menjadi maju.” Begitu membekasnya pernyataan penghinaan itu sehingga anak-anaknyapun sangat rendah diri. Tapi, Herman adalah kekecualian. Dia satu-satunya yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang paling tinggi. Sewaktu dia memberitahu ayahnya bahwa cita-citanya adalah menjadi seorang dokter, ayahya sangat bangga. Sekaligus menyebabkan pria tua harus menyapu dada. Maklum, menjadi dokter adalah cita-cita yang hampir mustahil untuk diwujudkan oleh mereka yang tergolong miskin.
          Demi cita-cita, setamat SD, Herman harus berpisah dari orangtua dan saudara-saudarinya. Saudaranya ikut membantu ayah mereka bekerja untuk menopangnya yang kini menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Demi membeli buku dan mengikuti praktikum-pratikum dia menghemat dengan luar biasa. Kadang-kadang dia hanya makan sekali dalam sehari. Tambah lagi pungutan fakultas itu banyak. Pungutan yang dikemas seolah-olah untuk pembangunan padahal, untuk membuat buncit perut para dosen dan stafnya.
          Semakin bertambah semester semakin bertambah pula biaya yang dibutuhkan. Pekerjaan sampingan berusaha dicarinya agar beban orang tua dan saudaranya sedikit meringan. Hingga pada suatu saat dia bertemu dengan seorang gadis desa. Gadis yang dia temui sewaktu dia menjenguk kakeknya di sebuah desa terpencil di Tondano. Gadis centil itu begitu memikat. Sayangnya, gadis itu tak memenuhi kriteria ideal Herman. Cantik, berpendidikan, baik hati adalah ciri yang secara matang telah ditetapkannya menjadi syarat orang yang nantinya menjadi pendamping hidupnya. Pertemuan demi pertemuan kian menciptkan kedekatan bagi kedua insan itu. Gadis centil bunga desa itu tergila-gila pada Herman. Perasaan yang tak tertahankan dirasa harus diungkapkan. Grice meminta bantuan sepupu laki-lakinya untuk menyampaikan maksudnya. Usaha  sepupunyapun berhasil. Herman pun tak banyak cincong. “Apa salahnya dicoba. Toh, belum tentu hubungan ini akan sampai pada pernikahan,” bisiknya pada dirinnya sambil tersenyum kecil. Tantangan terucap. Tantangan telah diterima.
          “Apa keinginanmu Herman? Mengapa kamu menyiksa dirimu bergumul dengan buku-buku tebal selama beberapa tahun?” tanya Grice pada suatu senja ketika mereka duduk di teras rumahnya.
Pertanyaan itu dirasa cukup dalam. Pertanyaan yang seharusnya dijawabnya sebelum masuk fakultas termahal itu. Ternyata Grice bukanlah gadis dengan tingkatan kecerdasan yang dangkal. Ternyata dia sudah salah menilai Grice selama ini.
          “Aku ingin mengubah nasib,” jawab Herman singkat.
Kalimat singkat adalah upayanya paling cerdas. Tak ingin dia dianggap macam-macam oleh Grice. Dia tahu persis bahwa banyak bicara akan membuat banyak rahasia terungkap.
          “Nikahi saja aku kalau kamu ingin perubahan nasib. Aku yakin anak-anak kita akan hidup nyaman tentram nanti. Tak lama lagi kamu akan jadi dokter. Aku akan melahirkan anak-anak yang sehat dan kuat. Dan mereka tidak akan mendapat masalah dengan biaya pendidikan mereka,” kata Grice dengan lugas.
          Herman tercengang  dan tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Grice sudah lama tahu bahwa Herman ingin menjadi orang kaya sehingga bisa membantu keluarga di desa yang hampir melarat. Dia tahu bahwa tujuan Herman menjadi dokter tidaklah seperti  tujuan kebanyakan orang, yakni memberikan kesembuhan bagi orang sakit. Tujuan yang sering terucap dari bibir dari calon dokter. Tapi tidak lagi terdengar di saat mereka telah menjadi dokter. Apalagi dokter yang mapan.
          Memang salah satu pertimbangan Herman bertahan dengan Grice, kalau dia mau jujur, ialah karena kenyamanan ekonomi yang  bisa didapatnya di kemudian hari. Setelah dia tahu bahwa Grice adalah anak tunggal dari keluarga dengan kekayaan yang takkan habis hingga tujuh turunan, dia pun membuang semua kriteria yang pernah dia tetapkan berkenaan dengan gadis yang harus mendampinginya hingga usia renta.
          “Grice, kita belum waktunya bicarakan pernikahan. Kita belum begitu saling mengenal,” kata Herman terbata. Dia mencoba menghindari tatapan Grice.
          “Tak ada yang menghalangi. Orangtuaku suka sama kamu. Dan mereka juga siap membantu anak mantu mereka agar segera menjadi dokter. Tapi, aku tak bisa memaksa. Mungkin aku bukanlah gadis yang kamu impikan dan angankan selama ini.”
          “Bukan begitu, Grice. Aku…”
          “Sssst,” ucap Grice sambil menegakkan telunjuk didepan bibir Herman. Sekejab mata tangan Grice begitu cekatan menarik  Herman ke dekat dadanya. Herman direngkuhnya dengan erat. Yang terjadi selanjutnya silahkan tanya kepada kursi dan suasana remang-remang yang menjadi saksi mereka.

***

Tahun itu juga mereka menikah. Tahun berikutnya Herman dinobatkan menjadi seorang dokter. Sekarang dia menjadi dokter di Rumah Sakit Umum Malalayang. Berkat  campur tangan mertuanya dia bisa menghindari kewajiban mengabdi di daerah-daerah pelosok. Penghiantan terhadap kode etik dokter itu tak dihiraukannya. Dan sekarang dia telah menjadi kaya raya. Karena banyak tanah yang telah dibelinya dari orang-orang di desanya, dia kini menjadi pemilik tunggal dari berhektar-hektar tanah. Dia pun dijuluki tuan Takur. Tuan tanah.
Di usianya yang sudah senja dia membebaskan banyak biaya setiap pasien yang kurang mampu yang kebetulan berasal dari daerah di mana dia lahir. Dia juga membangun sebuah gereja yang megah di kampungnya dengan uang dari kantongnya sendiri. Mungkin itu untuk menebus akan penghianatannya yang dia lakukan sewaktu masih muda. Setiap pagi dia selalu berdoa, “Tuhan, biarlah aku damai dengan memberi uang untuk menyembuhkan sakit dan untuk membangun rumahMu.”
         
         
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar