Iswan Sual
Kami telah bersepakat untuk menikmati hari
libur Idul Fitri di tempat yang tak lumrah.
Biasanya kami pergi ke pantai. Mendengar suara gulungan ombak, dan melihat
riak-riak nan indah ketika air ditiup angin-angin kecil. Bahkan, tidak jarang
alasan kami pergi ke pantai adalah untuk untuk mencicipi rasa asin air yang
tergenang dalam kubangan yang begitu luas tersebut. Itu adalah kebiasaan
orang-orang kampung, yang biasa dicap udik, ketika turun gunung. Padahal orang
yang tinggal di pesisir pantaipun kelihatan lebih udik lagi ketika mereka pergi
ke desa kami yang ada lereng-lereng bukit demi melihat monyet-monyet yang punya
kemiripan dengan mereka.
Kami menikmati hari libur Idul Fitri bukan
karena kami pengikut Muhammad. Kami pengikut Yesus dari Nasaret. Kejenuhan kami
pergi ke pantai dikarenakan selama dua tahun ini pantai selalu menjadi tujuan wisata
kami. Akibatnya kami hampir lupa bahwa di sekitar kampung kami juga terdapat
situs indah. Namanya Tetewatu1.
Perjalanan ke situs itu cukup jauh dengan medan
yang sangat menantang. Tapi, tak satupun anggota pemuda kami yang mengeluh soal
ini.
Dalam rapat, sehari sebelumnya, kami telah
bersepakat untuk berangkat jam 08.00 pagi. Saat aku menanyakan baik-baik apakah mereka
bisa melaksanakan keputusan itu dengan baik, semua tiada menunjukkan
tanda-tanda penghianatan pada keputusan. Akupun teryakini dengan itu. Walaupun awalnya
ada keraguan. Ini karena mereka selalu saja tidak tepat waktu dan sering
melanggar setiap hasil musyawarah yang kami buat pada waktu lalu.
Besoknya aku bangun pagi sekali. Ibu sangat
baik padaku. Bekal untuk seharian aku telah dia disediakan. Ada nasi kaboro
dengan lauk yang unik, tikus yang disaus. Mulutku jadi bergidik saat mencium
aroma enak dari lauk khusus itu.
Sayapun siap. Bekal sudah ku taruh di atas meja.
Lengkap dengan sebilah parang untuk menebang kayu sebagai pembuka jalan saat
masuk di belantara kelak. Bisa juga sebagai jaga-jaga jangan-jangan ada
serangan ular tiba-tiba.
Kami setuju untuk berangkat bersama.
Sudah hampir jam delapan, tapi tak satupun daribantara
teman-temanku yang muncul. Aku keluar dari rumah dan melihat ke langit bagian
timur. Hitam pekat. Gelap!
“Akan hujan lebat sebentar lagi,” gumamku dalam
hati
1 Batu titian. Situs ini terletak di
perkebunan dekat hutan Lolombulan. Orang-orang peminat kodok sering ke tempat
ini.
Melihat kondisi seperti ini, aku ragu akan kedatangan
teman-teman itu.
Tak sampai 5 menit langitpun kembali
menyingkapkan matahari yang ditawannya.
“ Ada harapan kami bisa berangkat,” kataku
bahagia.
Sejurus kemudian datang beberapa teman lelaki. Tak
satupun yang membawa jinjingan. Mungkin kedatangan mereka untuk memberitahukan
bahwa mereka tak bisa bergabung dengan tim.
“Mau pergi tidak? Kok datangnya telat,” tanyaku
protes.
“Oh tentu tentu kami akan pergi. Kami tak
mungkin melewatkan kesempatan menjadi penjelajah bersamamu ketua. Awalnya kami
memang ragu sih,” kata Tamber separuh bergurau.
“Mana bekal kalian? Selalu saja begitu…Kalian
tak takut mati kelaparan di sana nanti?”
“ Salah satu dari kami kan pernah jadi Tarzan.
Tak ada yang perlu dirisaukan. Hero pernah berkawan dengan monyet cukup lama.
Pasti akan ada yang membantu kami saat lapar. Hero tinggal meneruh kedua
telapak tangannya dekat mulut dan auwoooooooo!”
“ Hahahhahahha.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Ngomong-ngomong, mana yang lain? Maksudku para
gadisnya. Kan tidak seru kalau yang pergi hanya lelaki saja?”
“Shila, katanya akan ikut. Memei….tidak tahu. Tak
pasti.”
Tak sampai seperempat jam kemudian pasukanpun
telah bertambah. Matahari kini semakin nampak dan mulai menggigit. Kulihat
jamku. Sekarang jam 08.30.
“ Huh…Kita sangat jauh dari rencana,” kataku
kesal.
Setelah semua telah terkumpul di rumahku,
kamipun berdoa. Sehabis anggota dihitung, kamipun mulai bergerak lambat ke arah
barat. Tujuan kami adalah situs yang bernama Tetewatu.
Pergerakan yang cukup lamban. Senda gurau pun
menemani langkah-langkah mungil kami.
Belum sampai setengah kilo meter, kulihat Toar
berlari kearah berlawanan dengan arah tujuan kami.
“Kau mau kemana, Toar?”
“ Aku lupa sesuatu!”
“Lupa apa?”
“ Alkitabku tertinggal di atas meja. Di rumah
kamu.”
“ Dasar! Kecil-kecil, sudah pikun. Kalian bisa
jalan terus. Tak perlu tunggu aku. Aku bisa nyusul!”
“Tapi kamu tahu tidak jalan ke Tetewatu?”
“ Tenang
ketua, aku bisa menyusul kalian sebelum di persimpangan jalan.”
“ Ok, kalau begitu.”
“Cepat ya. Jangan buat kami menunggu terlalu
lama!”
Kamipun melanjutkan perjalanan.Tapi langkah
sengaja lebih ku perlambat. Supaya Toar bisa mengejar kami. Teman-teman lain
sudah berada jauh di depan. Mereka sekarang sudah tak kelihatan. Sudah dilumat
belokan.
Sesampai dipersimpangan, Toar belum muncul. Sudah
15 menit di situ tapi kami hanya berdiri saja. Dia tak juga menampakkan batang
hidungnya. Saya dan kekasihku terpaksa harus siap-siap diserang penyakit
farises.
Apa boleh buat. Harus kami tunggu.
Sesuai kesepakatan kami wajib jalan bersama
supaya hal-hal yang tak diinginkan tak terjadi.
Lama-lama kamipun bosan berdiri di persimpangan
seperti menunggu-nunggu ojek. Kami putuskan untuk lanjutkan perjalanan.
Dengan demikian, anggota kami tidak lagi 18
orang. Sekarang kami tinggal 17 orang. Toar tidak tahu menahu jalan ke
Tetewatu. Tapi, dia bersikeras untuk tak ditunggui. Kini lihat akibatnya.
“ Oh Toar yang malang! Sungguh sangat
disesalkan kamu tak akan termasuk dalam kelompok pemuda yang pertama
melaksanakan ibadah wisata di Tetewatu. Namamu takkan tertulis dalam sejarah,”
kataku seperti mengucapkan puisi.
Langkah kini kami percepat. Harus menyusul teman-teman
yang lain. Masih banyak persimpangan jalan di depan. Kelompok yang
terpisah-pisah akan tersesat nantinya.
Langkah semakin ku percepatan.Kian cepat. Kekasihku
mengeluh. Kakinya mulai belas. Aku seperti tak begitu peduli. Ku jelaskan
alasan logisku. Dia tampak tak puas dengan penjelasanku. Wajahnya jadi
cemberut. Tanda-tanda ketuaan tersingkap. Padahal umurnya baru 19 tahun. Benar
kata orang:“ Marah-marah cepat beking tua.”
Ku perlambat langkah. Ku jemput dia. Ku raih
tangannya. Ku berikan satu kecupan manis. Ada senyum tersungging di sudut
bibirnya. Sangat mudah ternyata menjinakkan seorang singa betina muda.
Memang kecupan lebih bermanfaat daripada rentetan kata yang panjang.
Kecepatan langkah kami berdua kini selaras. Gara-gara begitu kami sekarang
berada di belakang teman-teman yang tadinya di depan. Dengan jarak hanya 20 meter.
Ternyata mereka juga memperlambat
langkah demi menunggu kami. Mereka kini berpeluh. Beberapa dari para gadis
manis mulai mengeluh. Para pemuda setengah bayapun ikut-ikutan. Maklum mereka
bukanlah petualang sungguhan sepertiku.
“ Wah enaknya jalan berdua sang pujaan hati.
Kami jadi irih. Frengki, mau tidak kamu jadi pasanganku? Sehari ini saja.”
“ Tidak mau ah… Najis!”
Gelak tawapun meledak seperti ledakan bom
Marriot yang menewaskan beberapa warga Negara asing. Untung saja bomnya bukan
bom betulan. Nasib kami tak jadi seperti WNA yang tewas mengenaskan. Yang
menyebabkan hubungan Indonesia dan Australia sempat memanas.
“ Woi…..tunggu! Aku disini.”
Serta merta semua kami berbalik melihat
mencari-cari asal suara. Ternyata si Toar. Badannya berguncang-guncang. Ngos-ngosan.
Pakaiannya kini basah.
Dia menyusul kami dengan berlari. Sambil
membawa bekal makanan berkuah yang kini terlihat sedang meleleh. Bau tumis
membuat kami lapar. Tapi perjalanan belum separuh. Bukan kebiasaan yang baik
makan sebelum sampai di tempat tujuan. Pantang buat kami. Itu pesan apo-apo2
kami.
Tak sampai 10 menit. Kami tiba di perkebunan
Aser. Para lelaki mulai berteriak. Memanggil-memangil Anto, Yanli dan dua gadis
yang mereka gonceng di motor mereka. Kami sudah bersepakat ditunggu di tempat
itu. Semakin keras kami berteriak. Tapi tak ada sahutan.
2 Leluhur/orang tua yang telah
berpulang kea lam baka yang semasa hidupnya dikenal sebagai orang bijak dan
baik (Tontemboan).
“
Sekarang kita sudah di sini. Selanjutnya kita mengambil jalan yang mana? Ke
kiri, ke kanan atau lurus saja?” tanyaku.
“ Lurus boleh. Tapi jauh. Kalau mau cepat
seharusnya kita lewat jalan Punti2. Bukan di sini,” Jawab si Ading
berambut harajuku itu.
“Loh kok kami tak dibilang tadi?”
“ Ya…ku pikir tak perlu lagi. Kita kan sudah
buat kesepakatan bahwa teman-teman yang datang dengan sepeda motor tunggu di
sini. Jadi ku ku simpulkan kita akan
memilih jalan lurus,” katanya dalam ketidakpastian.
Sewaktu aku berdebat dengan Ading, ku lihat Toar
mengambil jalan ke kanan. Akupun jadi berkesimpulan kita semua akan ke kanan. Bingung!
Aku mulai berjalan searah dengan Toar. Membuntutinya.
Ading datang mencegah. Toar pergi semakin jauh.
Kami berjalan kearah lurus. Bukan ke kiri atau ke kanan. Kami berusaha memangil
si Toar. Seruan kami tak dihiraukan. Dia lupa akan kesepakatan bahwa kami tetap
harus bersama. Seyogianya tak ada yang jalan sendiri. Kami terus berseru
memanggil. Diapun membalas namun suaranya makin memudar. Keras kepala! Dia
pikir dia telah mengambil jalan yang benar. Kini suaranya tak terdengar lagi.
Kami putuskan untuk teruskan perjalanan. Lurus kedepan. Lewat sungai besar. Beberapa
teman gadis ada yang takut melintasi sungai. Terpaksa kami temani lewat sisi
lain. Melalui jembatan darurat. Ya kami mengambil alternatife jalan di jembatan kayu.
Kami masih menunggu susulan Toar. Sampai
sekarang dia tak kelihatan. Dasar keras kepala! Daripada stres saya putuskan
untuk berhenti merisaukannya. Kami jalan terus. Naiki lereng yang curam.Turuni
lereng yang miring. Naiki bukit miring.Turuni lereng yang terjal.
Tak lama kemudian terdengar bunyi aliran air
yang deras.
“Itu pasti sungai Tetewatunya,” seruku dengan
riang yang tak tertahan.
Hati mulai berdegup-degup.Tak sabar kami untuk melihat
buatan tangan Tuhan yang elok. Seelok eden dimana Adam dan Hawa jatuh dalam
dosa.
Berharap sesampai di sungai, Tetewatu persis di
depan mata. Ternyata tak seperti itu.
Kini si Ading sang pemandu mulai berjalan di
depan kami.
3 Pisang (Tontemboan). Punti adalah nama perkebunan yang terletak
di utara desa Tondei.
“ Kita harus menyusuri sungai. Kita akan
mengikuti arus. Kemana air sungai ini mengalir, kesanalah kita. Dia akan
membawa kita ke tujuan kita,” kata remaja tanggung berambut pirang karena dicat
itu.
Kami menaruh kepercayaan penuh padanya. Walaupun
awalnya ada sedikit keraguan.
Tiba-tiba wajah Toar terbayang.
“ Kira-kira dia dimana ya,” bisikku dalam hati.
Sebagai
pemimpin rombongan aku punya tanggungjawab atas keselamatan dia.
Bagaimana kalau dia hilang. Tentu orang tuanya akan menuntut padaku. Aku
berharap dia benar. Mungkin dia sudah tiba di Tetewatu. Sebab itu yang dia mau.
“Dia nekad mengambil jalan ke kanan karena dia
yakin itu adalah jalan yang akan mengantarnya ke Tetewatu dan tentu mendahului
kedatangan kami ke Tetewatu.”
Aku dan gadisku terus berjalan membuntuti
teman-teman. Sungguh petualangan yang hebat. Hujan mengguyur dengan cekatannya.
Tubuh kami basah kuyup oleh hujan dan air sungai karena sudah beberapa kami
tercebur karena terpeleset pada batu-batu yang berlumut.
Di belakang kami ada sepasang kekasih.Tampak
mereka saling menjaga. Tangan mereka tak bisa lepas satu sama lain. Pasangan
yang serasi. Mereka masih kuliah tapi mungkin bulan depan mereka akan segera
menikah.
Aku dengar si wanita sudah berkali-kali
mendesak sang lelaki supaya cepat melamarnya. Si lelaki masih menolak secara
halus.“Belum ada uang”, katanya.Ya memang di jaman sekarang serba mahal. Supaya
bisa menikah, kita harus punya sedikitnya 20 juta. Aku sering bertanya: “ Untuk
apa? Apakah perempuan sebegitu rendahnya sehingga dibayar seperti barang? Tak pentingkah cinta
lagi sehingga perkawinan didasarkan pada harta belaka?”
Jaman sekarang memang semakin materialistik. Anak
perempuan sendiri dijadikan barang komiditi. Tidak sedikit orang tua yang door to door menawarkan anak perempuan
mereka pada orang-orang berduit. Banyak yang berminat, tapi selalu saja
memberikan penawaran. Calon pembeli selalu bertanya. Tidak jarang pertanyaan
itu merusakkan pendengaran.
“Aku mau beli. Tapi, anakmu terbuat dari apa?
Apa benar-benar buatanmu atau orang lain? Terbuat dari apa? Tepung atau beras? Sudah
berapa calon pembeli yang mencolek-colek? Apa anakmu sudah pernah dicicipi?
Isinya?Unti atau daging?”
Sungguh tak ubahnya seperti percakapan dalam
pasar tradisional. Ada penjual ada pembeli.
Pasangan kekasih seolah tak punya hak
menentukan hidup mereka. Padahal, yang akan menjalani penderitaan hidup adalah
mereka. Kenapa mereka tidak diberikan kebebasan memilih dengan siapa mereka
menderita dan bahagia?
“Hidup adalah penderitaan,” kata Budda.
“ Hidup adalah kesia-siaan adanya.
Berbahagialah mereka yang tak pernah dilahirkan,” keluh Salomo.
Kecenderungan sekarang adalah bagi pasangan
yang sudah cinta mati, mereka lebih memilih kawin lari saja. Atau kalau tidak,
si lelaki menghamili si gadis sebelum nikah. Supaya harga komoditinya berkurang
atau tidak dibayar sama sekali. Karena malu, sudah bunting, orang tua si gadis
suruh pasangan itu cepat-cepat kawin biarpun si lelaki hanya gembel.
“Pili-pili dapa langsa busu4.”
kataku sini dalam hati, “ Ah… kenapa pikiranku sampai memikirkan itu?”
Sungguh mengejutkan! Kami sekarang berada tepat
di depan Tetewatu.
“Gerbang air yang luar biasa!”
Semua yang telah tiba lebih dulu tampak gembira
menikmati kemolekan situs hasil karya ilahi itu. Lekuk-lekuk badannya tampak
sempurna hingga buat kami bergidik. Layaknya para lelaki memandang span-span5
yang lengak-lengok. Setiap mata melotot memandangi ketelanjangan Tetewatu. Dia
masih perawan. Kamilah sang pengambil kesuciannya.
Tak lupa kami mengambil beberapa gambar kami sendiri
secara bersama. 15 menit kemudian kebaktianpun dijalankan. Semua begitu kusyuk
ibadahnya. Kami bersembahyang dan menyanyi di tempat eksotis ini. Rembesan air
yang menyejukkan wajah menambah romantis suasana.
Lantunan-lantunan puji-pujian kepada yang Maha
Kuasa mengema merabai dinding batu. Para makhluk halus bingung dengan
gerak-gerik aneh yang berlaku. Mungkin mereka terusik. Mungkin juga mereka
keasyikan mendengar lagu pop rohani yang belum pernah terdengar sebelumnya.
4 Pilih-pilih dapat langsat busuk (Malayu Manado). Peribahasa ini
berarti jangan terlalu memilih supaya akhirnya tak mendapat yang buruk
5 Ketat (Malayu Manado). Sekarang ini istilah tersebut berarti
gadis atau wanita yang menarik perhatian karena mengenakan pakaian yang ketat.
“ Ini luar biasa! Ini suatu kemajuan. Kita
melihat dunia baru,” kata makhluk halus yang sedikit open-minded6.
“ Tidak! Ini adalah awal dari kehancuran
peradaban kita. Aku tak ingin generasi kita suka dengan lagu pop rohani yang
biasa membuat anak-anak muda kita berjingkrak-jingkrak seperti orang gila,”
kata makhluk halus yang konservatif.
“Hey Konservat, sudah saatnya kita bangkit dan
bergerak maju. Kenapa kamu anti dengan pembaharuan, kreatifitas dan kemajuan?”,
kata makhluk halus yang Open-minded.
“ Itu bukan pembaharuan. Itu hanya emosi yang
meluap-luap. Cerminan dari ketidakmatangan.I tu bukan kreatifitas. Itu wujud
kejenuhan pada sesuatu yang teratur nan rapih. Itu bentuk adalah
pemberontakan.Dan itu bukan kemajuan. Itu adalah penyimpangan. Sesat jalan. Dan
jalan itu, suatu saat akan membawa kita pada posisi kita semua. Dan itu bukan
kemajuan, tetapi malahan merupakan kemunduran,” kata Konservat.
Toar tak kunjung tiba.
“ Dimana dia gerangan? Jangan-jangan, dia telah
diterkam binatang buas. Atau mungkin tertangkap oleh Patola7 yang
besarnya seperti batang pohon kelapa itu. Sekarang sudah jam 2 sore. Seharusnya
dia sudah tiba disini setengah jam yang lalu.”
“ Teman-teman mungkin sudah saatnya kita pulang,”
usul Yanli.
“ Bagaimana kita pulang? Apa kita akan kembali
menyusuri rute yang kita lewati tadi?”
“ Tidak. Kita harus terus mengikuti kemana
sungai ini akan membawa kita. Jaraknyapun lebih dekat.”
Sejujurnya aku masih suka berlama-lamaan. Namun,
semua kami nampak mulai kedinginan. Setiap tubuh kami berguncang dengan
cepatnya. Semakin kami mengeras semakin hebat guncangannya. Tidak heran.Kami
sudah disirami selama 2 jam. Tambah lagi hari mulai gelap. Tetewatu kini terasa
mulai menakutkan.
“ Ayo jalan terus. Tak lama lagi hari gelap.Tak
ada yang membawa penerang. Kita harus percepat langkah kita. Kalau tidak…..”.
Semua menjadi ngeri mendengar ajakan yang mengancam
itu. Tak ada yang mau bermalam di Lolombulan. Hutan Lolombulan terkenal angker
dan sarat dengan linta dan ular yang ukurannya sebesar pohon kelapa. Kami bisa
remuk oleh belitan ular.
6 Berpikiran
terbuka untuk menerima saran dan sudut pandang orang lain.
7 Ular Piton
(Melayu Manado). Juga sering disebut Moromok (Tontemboan)
Kami bisa kehabisan darah oleh gigitan dan
hisapan linta-linta buas.
“
Kira-kira,Toar dimana ya? “, aku mulai risau.
“ Sudah kubilang supaya tetap bersama. Kenapa
sih dia begitu keras hati.Menyusahkan saja!”
Setengah jam kami terbawah hentaran sungai. Kini
kami telah berada di area bernama Licu incawayo8.
Kami berjalan terus.
Sekarang kami sudah di perkebunan Punti. Mampir
sebentar di Tampagula9. Secara
bergantian kami mengambil tombal10 dari wajan besar. Tombal
rasanya bertambah manis karena kami menggunakan tempurung kelapa sebagai ganti gelas. Tubuh kami jadi hangat. Rasa dinginpun hilang
dan terlupakan.
Sampai sekarang Toar belum terlihat.
Perjalanan berlanjut. Kami menuju perkebunan
Aser. Kami harus melintasi Aser lagi karena dua sepeda motor milik Anto dan Yanli ditinggalkan disana.
Hanya butuh waktu setengah jam untuk tiba di
kampung. Kami tiba menjelang malam.Tak ada orang tua Toar datang menanyakan
keberadaannya.
Mungkin dia memang sudah pulang lebih dulu.Dia
mungkin batalkan kepergiannya ke Tetewatu karena sakit perut.
Namun, aku lega.
Besoknya, kami bertemu Toar. Dia hanya
senyum-senyam dan seperti tak mau mengaku salah. Aku sedikit menunjukkan rasa
kesal padanya.Ternyata, dia memang tersesat di tengah hutan. Dia berusaha
menyusul kami tapi tak berhasil. Diapun pulang ke rumah saat jam sudah
menunjukkan pukul sembilan malam. Dia juga menceritakan bagaimana susahnya dia
berjalan pulang dalam kegelapan. Berjalan seperti tunanetra. Dia terlunta-lunta
di perkebunan Punti dan Aser. Berkat iman dan tuntunan ilahilah dia boleh
mencapai rumah. Syukur.
***
[Selesai 12 September pukul 23.00]
9 Tempat gula (Melayu Manado). Tempat ini adalah tempat dimana tahap
terakhir dalam proses pembuatan gula aren.
10 Air nira yang sudah di masak (Tontemboan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar