Jumat, 03 Mei 2013

SAYANG, TOAR TAK SAMPAI TETEWATU



 Iswan Sual




Kami telah bersepakat untuk menikmati hari libur Idul Fitri  di tempat yang tak lumrah. Biasanya kami pergi ke pantai. Mendengar suara gulungan ombak, dan melihat riak-riak nan indah ketika air ditiup angin-angin kecil. Bahkan, tidak jarang alasan kami pergi ke pantai adalah untuk untuk mencicipi rasa asin air yang tergenang dalam kubangan yang begitu luas tersebut. Itu adalah kebiasaan orang-orang kampung, yang biasa dicap udik, ketika turun gunung. Padahal orang yang tinggal di pesisir pantaipun kelihatan lebih udik lagi ketika mereka pergi ke desa kami yang ada lereng-lereng bukit demi melihat monyet-monyet yang punya kemiripan dengan mereka.
Kami menikmati hari libur Idul Fitri bukan karena kami pengikut Muhammad. Kami pengikut Yesus dari Nasaret. Kejenuhan kami pergi ke pantai dikarenakan selama dua tahun ini pantai selalu menjadi tujuan wisata kami. Akibatnya kami hampir lupa bahwa di sekitar kampung kami juga terdapat situs indah. Namanya Tetewatu1.
Perjalanan ke situs itu cukup jauh dengan medan yang sangat menantang. Tapi, tak satupun anggota pemuda kami yang mengeluh soal ini.
Dalam rapat, sehari sebelumnya, kami telah bersepakat untuk berangkat jam 08.00 pagi.   Saat aku menanyakan baik-baik apakah mereka bisa melaksanakan keputusan itu dengan baik, semua tiada menunjukkan tanda-tanda penghianatan pada keputusan. Akupun teryakini dengan itu. Walaupun awalnya ada keraguan. Ini karena mereka selalu saja tidak tepat waktu dan sering melanggar setiap hasil musyawarah yang kami buat pada waktu lalu.
Besoknya aku bangun pagi sekali. Ibu sangat baik padaku. Bekal untuk seharian aku telah dia disediakan. Ada nasi kaboro dengan lauk yang unik, tikus yang disaus. Mulutku jadi bergidik saat mencium aroma enak dari lauk khusus itu.
Sayapun siap. Bekal sudah ku taruh di atas meja. Lengkap dengan sebilah parang untuk menebang kayu sebagai pembuka jalan saat masuk di belantara kelak. Bisa juga sebagai jaga-jaga jangan-jangan ada serangan ular tiba-tiba.
Kami setuju untuk berangkat bersama.
Sudah hampir jam delapan, tapi tak satupun daribantara teman-temanku yang muncul. Aku keluar dari rumah dan melihat ke langit bagian timur. Hitam pekat. Gelap!
“Akan hujan lebat sebentar lagi,” gumamku dalam hati
1 Batu titian. Situs ini terletak di perkebunan dekat hutan Lolombulan. Orang-orang peminat kodok sering ke tempat ini.

Melihat kondisi seperti ini, aku ragu akan kedatangan teman-teman itu.
Tak sampai 5 menit langitpun kembali menyingkapkan matahari yang ditawannya.
“ Ada harapan kami bisa berangkat,” kataku bahagia.
Sejurus kemudian datang beberapa teman lelaki. Tak satupun yang membawa jinjingan. Mungkin kedatangan mereka untuk memberitahukan bahwa mereka tak bisa bergabung dengan tim.
“Mau pergi tidak? Kok datangnya telat,” tanyaku protes.
“Oh tentu tentu kami akan pergi. Kami tak mungkin melewatkan kesempatan menjadi penjelajah bersamamu ketua. Awalnya kami memang ragu sih,” kata Tamber separuh bergurau.
“Mana bekal kalian? Selalu saja begitu…Kalian tak takut mati kelaparan di sana nanti?”
“ Salah satu dari kami kan pernah jadi Tarzan. Tak ada yang perlu dirisaukan. Hero pernah berkawan dengan monyet cukup lama. Pasti akan ada yang membantu kami saat lapar. Hero tinggal meneruh kedua telapak tangannya dekat mulut dan auwoooooooo!”
“ Hahahhahahha.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Ngomong-ngomong, mana yang lain? Maksudku para gadisnya. Kan tidak seru kalau yang pergi hanya lelaki saja?”
“Shila, katanya akan ikut. Memei….tidak tahu. Tak pasti.”
Tak sampai seperempat jam kemudian pasukanpun telah bertambah. Matahari kini semakin nampak dan mulai menggigit. Kulihat jamku. Sekarang jam 08.30.
“ Huh…Kita sangat jauh dari rencana,” kataku kesal.
Setelah semua telah terkumpul di rumahku, kamipun berdoa. Sehabis anggota dihitung, kamipun mulai bergerak lambat ke arah barat. Tujuan kami adalah situs yang bernama Tetewatu.
Pergerakan yang cukup lamban. Senda gurau pun menemani langkah-langkah mungil kami.
Belum sampai setengah kilo meter, kulihat Toar berlari kearah berlawanan dengan arah tujuan kami.
“Kau mau kemana, Toar?”
“ Aku lupa sesuatu!”
“Lupa apa?”
“ Alkitabku tertinggal di atas meja. Di rumah kamu.”
“ Dasar! Kecil-kecil, sudah pikun. Kalian bisa jalan terus. Tak perlu tunggu aku. Aku bisa nyusul!”
“Tapi kamu tahu tidak jalan ke Tetewatu?”
 Tenang ketua, aku bisa menyusul kalian sebelum di persimpangan jalan.”
“ Ok, kalau begitu.”
“Cepat ya. Jangan buat kami menunggu terlalu lama!”
Kamipun melanjutkan perjalanan.Tapi langkah sengaja lebih ku perlambat. Supaya Toar bisa mengejar kami. Teman-teman lain sudah berada jauh di depan. Mereka sekarang sudah tak kelihatan. Sudah dilumat belokan.
Sesampai dipersimpangan, Toar belum muncul. Sudah 15 menit di situ tapi kami hanya berdiri saja. Dia tak juga menampakkan batang hidungnya. Saya dan kekasihku terpaksa harus siap-siap diserang penyakit farises.
Apa boleh buat. Harus kami tunggu.
Sesuai kesepakatan kami wajib jalan bersama supaya hal-hal yang tak diinginkan tak terjadi.
Lama-lama kamipun bosan berdiri di persimpangan seperti menunggu-nunggu ojek. Kami putuskan untuk lanjutkan perjalanan.
Dengan demikian, anggota kami tidak lagi 18 orang. Sekarang kami tinggal 17 orang. Toar tidak tahu menahu jalan ke Tetewatu. Tapi, dia bersikeras untuk tak ditunggui. Kini lihat akibatnya.
“ Oh Toar yang malang! Sungguh sangat disesalkan kamu tak akan termasuk dalam kelompok pemuda yang pertama melaksanakan ibadah wisata di Tetewatu. Namamu takkan tertulis dalam sejarah,” kataku seperti mengucapkan puisi.
Langkah kini kami percepat. Harus menyusul teman-teman yang lain. Masih banyak persimpangan jalan di depan. Kelompok yang terpisah-pisah akan tersesat nantinya.
Langkah semakin ku percepatan.Kian cepat. Kekasihku mengeluh. Kakinya mulai belas. Aku seperti tak begitu peduli. Ku jelaskan alasan logisku. Dia tampak tak puas dengan penjelasanku. Wajahnya jadi cemberut. Tanda-tanda ketuaan tersingkap. Padahal umurnya baru 19 tahun. Benar kata orang:“ Marah-marah cepat beking tua.”
Ku perlambat langkah. Ku jemput dia. Ku raih tangannya. Ku berikan satu kecupan manis. Ada senyum tersungging di sudut bibirnya. Sangat mudah ternyata menjinakkan seorang singa betina muda.
Memang kecupan lebih bermanfaat  daripada rentetan kata yang panjang. Kecepatan langkah kami berdua kini selaras. Gara-gara begitu kami sekarang berada di belakang teman-teman yang tadinya di depan. Dengan jarak hanya 20 meter. Ternyata mereka juga  memperlambat langkah demi menunggu kami. Mereka kini berpeluh. Beberapa dari para gadis manis mulai mengeluh. Para pemuda setengah bayapun ikut-ikutan. Maklum mereka bukanlah petualang sungguhan sepertiku.
“ Wah enaknya jalan berdua sang pujaan hati. Kami jadi irih. Frengki, mau tidak kamu jadi pasanganku? Sehari ini saja.”
“ Tidak mau ah… Najis!”
Gelak tawapun meledak seperti ledakan bom Marriot yang menewaskan beberapa warga Negara asing. Untung saja bomnya bukan bom betulan. Nasib kami tak jadi seperti WNA yang tewas mengenaskan. Yang menyebabkan hubungan Indonesia dan Australia sempat memanas.
“ Woi…..tunggu! Aku disini.”
Serta merta semua kami berbalik melihat mencari-cari asal suara. Ternyata si Toar. Badannya berguncang-guncang. Ngos-ngosan. Pakaiannya kini basah.
Dia menyusul kami dengan berlari. Sambil membawa bekal makanan berkuah yang kini terlihat sedang meleleh. Bau tumis membuat kami lapar. Tapi perjalanan belum separuh. Bukan kebiasaan yang baik makan sebelum sampai di tempat tujuan. Pantang buat kami. Itu pesan apo-apo2 kami.
Tak sampai 10 menit. Kami tiba di perkebunan Aser. Para lelaki mulai berteriak. Memanggil-memangil Anto, Yanli dan dua gadis yang mereka gonceng di motor mereka. Kami sudah bersepakat ditunggu di tempat itu. Semakin keras kami berteriak. Tapi tak ada sahutan.
2 Leluhur/orang tua yang telah berpulang kea lam baka yang semasa hidupnya dikenal sebagai orang bijak dan baik (Tontemboan).
 “ Sekarang kita sudah di sini. Selanjutnya kita mengambil jalan yang mana? Ke kiri, ke kanan atau lurus saja?” tanyaku.
“ Lurus boleh. Tapi jauh. Kalau mau cepat seharusnya kita lewat jalan Punti2. Bukan di sini,” Jawab si Ading berambut harajuku itu.
“Loh kok kami tak dibilang tadi?”
“ Ya…ku pikir tak perlu lagi. Kita kan sudah buat kesepakatan bahwa teman-teman yang datang dengan sepeda motor tunggu di sini.  Jadi ku ku simpulkan kita akan memilih jalan lurus,” katanya dalam ketidakpastian.
Sewaktu aku berdebat dengan Ading, ku lihat Toar mengambil jalan ke kanan. Akupun jadi berkesimpulan kita semua akan ke kanan. Bingung!
Aku mulai berjalan searah dengan Toar. Membuntutinya.
Ading datang mencegah. Toar pergi semakin jauh. Kami berjalan kearah lurus. Bukan ke kiri atau ke kanan. Kami berusaha memangil si Toar. Seruan kami tak dihiraukan. Dia lupa akan kesepakatan bahwa kami tetap harus bersama. Seyogianya tak ada yang jalan sendiri. Kami terus berseru memanggil. Diapun membalas namun suaranya makin memudar. Keras kepala! Dia pikir dia telah mengambil jalan yang benar. Kini suaranya tak terdengar lagi. Kami putuskan untuk teruskan perjalanan. Lurus kedepan. Lewat sungai besar. Beberapa teman gadis ada yang takut melintasi sungai. Terpaksa kami temani lewat sisi lain. Melalui jembatan darurat. Ya kami mengambil  alternatife jalan di jembatan kayu.
Kami masih menunggu susulan Toar. Sampai sekarang dia tak kelihatan. Dasar keras kepala! Daripada stres saya putuskan untuk berhenti merisaukannya. Kami jalan terus. Naiki lereng yang curam.Turuni lereng yang miring. Naiki bukit miring.Turuni lereng yang terjal.
Tak lama kemudian terdengar bunyi aliran air yang deras.
“Itu pasti sungai Tetewatunya,” seruku dengan riang yang tak tertahan.
Hati mulai berdegup-degup.Tak sabar kami untuk melihat buatan tangan Tuhan yang elok. Seelok eden dimana Adam dan Hawa jatuh dalam dosa.
Berharap sesampai di sungai, Tetewatu persis di depan mata. Ternyata tak seperti itu.
Kini si Ading sang pemandu mulai berjalan di depan kami.
3 Pisang (Tontemboan). Punti adalah nama perkebunan yang terletak di utara desa Tondei.

“ Kita harus menyusuri sungai. Kita akan mengikuti arus. Kemana air sungai ini mengalir, kesanalah kita. Dia akan membawa kita ke tujuan kita,” kata remaja tanggung berambut pirang karena dicat itu.
Kami menaruh kepercayaan penuh padanya. Walaupun awalnya ada sedikit keraguan.
Tiba-tiba wajah Toar terbayang.
“ Kira-kira dia dimana ya,” bisikku dalam hati.
Sebagai  pemimpin rombongan aku punya tanggungjawab atas keselamatan dia. Bagaimana kalau dia hilang. Tentu orang tuanya akan menuntut padaku. Aku berharap dia benar. Mungkin dia sudah tiba di Tetewatu. Sebab itu yang dia mau.
“Dia nekad mengambil jalan ke kanan karena dia yakin itu adalah jalan yang akan mengantarnya ke Tetewatu dan tentu mendahului kedatangan kami ke Tetewatu.”
Aku dan gadisku terus berjalan membuntuti teman-teman. Sungguh petualangan yang hebat. Hujan mengguyur dengan cekatannya. Tubuh kami basah kuyup oleh hujan dan air sungai karena sudah beberapa kami tercebur karena terpeleset pada batu-batu yang berlumut.
Di belakang kami ada sepasang kekasih.Tampak mereka saling menjaga. Tangan mereka tak bisa lepas satu sama lain. Pasangan yang serasi. Mereka masih kuliah tapi mungkin bulan depan mereka akan segera menikah.
Aku dengar si wanita sudah berkali-kali mendesak sang lelaki supaya cepat melamarnya. Si lelaki masih menolak secara halus.“Belum ada uang”, katanya.Ya memang di jaman sekarang serba mahal. Supaya bisa menikah, kita harus punya sedikitnya 20 juta. Aku sering bertanya: “ Untuk apa? Apakah perempuan sebegitu rendahnya sehingga  dibayar seperti barang? Tak pentingkah cinta lagi sehingga perkawinan didasarkan pada harta belaka?”
Jaman sekarang memang semakin materialistik. Anak perempuan sendiri dijadikan barang komiditi. Tidak sedikit orang tua yang door to door menawarkan anak perempuan mereka pada orang-orang berduit. Banyak yang berminat, tapi selalu saja memberikan penawaran. Calon pembeli selalu bertanya. Tidak jarang pertanyaan itu merusakkan pendengaran.
“Aku mau beli. Tapi, anakmu terbuat dari apa? Apa benar-benar buatanmu atau orang lain? Terbuat dari apa? Tepung atau beras? Sudah berapa calon pembeli yang mencolek-colek? Apa anakmu sudah pernah dicicipi? Isinya?Unti atau daging?”
Sungguh tak ubahnya seperti percakapan dalam pasar tradisional. Ada penjual ada pembeli.
Pasangan kekasih seolah tak punya hak menentukan hidup mereka. Padahal, yang akan menjalani penderitaan hidup adalah mereka. Kenapa mereka tidak diberikan kebebasan memilih dengan siapa mereka menderita dan bahagia?
“Hidup adalah penderitaan,” kata Budda.
“ Hidup adalah kesia-siaan adanya. Berbahagialah mereka yang tak pernah dilahirkan,” keluh Salomo.
Kecenderungan sekarang adalah bagi pasangan yang sudah cinta mati, mereka lebih memilih kawin lari saja. Atau kalau tidak, si lelaki menghamili si gadis sebelum nikah. Supaya harga komoditinya berkurang atau tidak dibayar sama sekali. Karena malu, sudah bunting, orang tua si gadis suruh pasangan itu cepat-cepat kawin biarpun si lelaki hanya gembel.
“Pili-pili dapa langsa busu4.” kataku sini dalam hati, “ Ah… kenapa pikiranku sampai memikirkan itu?”
Sungguh mengejutkan! Kami sekarang berada tepat di depan Tetewatu.
“Gerbang air yang luar biasa!”
Semua yang telah tiba lebih dulu tampak gembira menikmati kemolekan situs hasil karya ilahi itu. Lekuk-lekuk badannya tampak sempurna hingga buat kami bergidik. Layaknya para lelaki memandang span-span5 yang lengak-lengok. Setiap mata melotot memandangi ketelanjangan Tetewatu. Dia masih perawan. Kamilah sang pengambil kesuciannya.
Tak lupa kami mengambil beberapa gambar kami sendiri secara bersama. 15 menit kemudian kebaktianpun dijalankan. Semua begitu kusyuk ibadahnya. Kami bersembahyang dan menyanyi di tempat eksotis ini. Rembesan air yang menyejukkan wajah menambah romantis suasana.
Lantunan-lantunan puji-pujian kepada yang Maha Kuasa mengema merabai dinding batu. Para makhluk halus bingung dengan gerak-gerik aneh yang berlaku. Mungkin mereka terusik. Mungkin juga mereka keasyikan mendengar lagu pop rohani yang belum pernah terdengar sebelumnya.
4 Pilih-pilih dapat langsat busuk (Malayu Manado). Peribahasa ini berarti jangan terlalu memilih supaya akhirnya tak mendapat yang buruk
5 Ketat (Malayu Manado). Sekarang ini istilah tersebut berarti gadis atau wanita yang menarik perhatian karena mengenakan pakaian yang ketat.

“ Ini luar biasa! Ini suatu kemajuan. Kita melihat dunia baru,” kata makhluk halus yang sedikit open-minded6.
“ Tidak! Ini adalah awal dari kehancuran peradaban kita. Aku tak ingin generasi kita suka dengan lagu pop rohani yang biasa membuat anak-anak muda kita berjingkrak-jingkrak seperti orang gila,” kata makhluk halus yang konservatif.
“Hey Konservat, sudah saatnya kita bangkit dan bergerak maju. Kenapa kamu anti dengan pembaharuan, kreatifitas dan kemajuan?”, kata makhluk halus yang Open-minded.
“ Itu bukan pembaharuan. Itu hanya emosi yang meluap-luap. Cerminan dari ketidakmatangan.I tu bukan kreatifitas. Itu wujud kejenuhan pada sesuatu yang teratur nan rapih. Itu bentuk adalah pemberontakan.Dan itu bukan kemajuan. Itu adalah penyimpangan. Sesat jalan. Dan jalan itu, suatu saat akan membawa kita pada posisi kita semua. Dan itu bukan kemajuan, tetapi malahan merupakan kemunduran,” kata Konservat.
Toar tak kunjung tiba.
“ Dimana dia gerangan? Jangan-jangan, dia telah diterkam binatang buas. Atau mungkin tertangkap oleh Patola7 yang besarnya seperti batang pohon kelapa itu. Sekarang sudah jam 2 sore. Seharusnya dia sudah tiba disini setengah jam yang lalu.”
“ Teman-teman mungkin sudah saatnya kita pulang,” usul Yanli.
“ Bagaimana kita pulang? Apa kita akan kembali menyusuri rute yang kita lewati tadi?”
“ Tidak. Kita harus terus mengikuti kemana sungai ini akan membawa kita. Jaraknyapun lebih dekat.”
Sejujurnya aku masih suka berlama-lamaan. Namun, semua kami nampak mulai kedinginan. Setiap tubuh kami berguncang dengan cepatnya. Semakin kami mengeras semakin hebat guncangannya. Tidak heran.Kami sudah disirami selama 2 jam. Tambah lagi hari mulai gelap. Tetewatu kini terasa mulai menakutkan.
“ Ayo jalan terus. Tak lama lagi hari gelap.Tak ada yang membawa penerang. Kita harus percepat langkah kita. Kalau tidak…..”.
Semua menjadi ngeri mendengar ajakan yang mengancam itu. Tak ada yang mau bermalam di Lolombulan. Hutan Lolombulan terkenal angker dan sarat dengan linta dan ular yang ukurannya sebesar pohon kelapa. Kami bisa remuk oleh belitan ular.
6 Berpikiran terbuka untuk menerima saran dan sudut pandang orang lain.
7 Ular Piton (Melayu Manado). Juga sering disebut Moromok (Tontemboan)
Kami bisa kehabisan darah oleh gigitan dan hisapan linta-linta buas.
 “ Kira-kira,Toar dimana ya? “, aku mulai risau.
“ Sudah kubilang supaya tetap bersama. Kenapa sih dia begitu keras hati.Menyusahkan saja!”
Setengah jam kami terbawah hentaran sungai. Kini kami telah berada di area bernama Licu incawayo8. Kami berjalan terus.
Sekarang kami sudah di perkebunan Punti. Mampir sebentar di Tampagula9. Secara bergantian kami mengambil tombal10 dari wajan besar. Tombal rasanya bertambah manis karena kami menggunakan tempurung kelapa sebagai ganti gelas. Tubuh kami jadi hangat. Rasa dinginpun hilang dan terlupakan.
Sampai sekarang Toar belum terlihat.
Perjalanan berlanjut. Kami menuju perkebunan Aser. Kami harus melintasi Aser lagi karena dua sepeda motor  milik Anto dan Yanli ditinggalkan disana.
Hanya butuh waktu setengah jam untuk tiba di kampung. Kami tiba menjelang malam.Tak ada orang tua Toar datang menanyakan keberadaannya.
Mungkin dia memang sudah pulang lebih dulu.Dia mungkin batalkan kepergiannya ke Tetewatu karena sakit perut.
Namun, aku lega.
Besoknya, kami bertemu Toar. Dia hanya senyum-senyam dan seperti tak mau mengaku salah. Aku sedikit menunjukkan rasa kesal padanya.Ternyata, dia memang tersesat di tengah hutan. Dia berusaha menyusul kami tapi tak berhasil. Diapun pulang ke rumah saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dia juga menceritakan bagaimana susahnya dia berjalan pulang dalam kegelapan. Berjalan seperti tunanetra. Dia terlunta-lunta di perkebunan Punti dan Aser. Berkat iman dan tuntunan ilahilah dia boleh mencapai rumah. Syukur.
***
[Selesai 12 September pukul 23.00]

8 Punggung kuda (Tontemboan). Area disebut Licu incawayo karena bentuknya menyerupai punggung kuda.
9 Tempat gula (Melayu Manado). Tempat ini adalah tempat dimana tahap terakhir dalam proses pembuatan gula aren.
10 Air nira yang sudah di masak (Tontemboan).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar