Oleh Iswan
Sual
Belumlah
lama kami berada di kota ini serasa kulit nyaris terbakar. Kota ini tak punya
barang sepohon untuk kami jadikan tempat berteduh. Padahal tahun 2009 kota ini
menggelar hajatan internasional membahas isu-isu lingkungan hidup. Kawasan yang
namanya mengabadikan peristiwa kemerdekaan negara ini tak sedikitpun
memerdekakan kami dari sengatan matahari. Manusia bisa membuat neraka baginya
sendiri dengan kelengahan dan pengabaiannya.
“Sayang,
torang pigi di mall kwa e,” kata Della dengan raut muka masam tak karuan.
Wajahnya belepotan dengan keringat. Tas plastik berat yang dia jinjing kian
menambah penderitaannya. Namun, dia enggan meminta pertolonganku. Sesuatu yang
unik dari perempuan ini. Seperti perempuan Amerika dan Jepang yang begitu
independen. Tak mau bergantung pada orang lain selagi sesuatu itu dapat
dilakukan sendiri. Aku beruntung.
“Mo pigi
apa disana? Nyanda ada doi mo. Cuma mo beking siksa jo.”
Kalimat
bernada sedikit kasar itu terlempar begitu saja kepada seorang wanita yang baru
saja kuperistri bulan lalu. Kasihan dia. Kata-kata yang tak sepatutnya melesat
cepat kena pada sasaran yang tak tepat.
“Nyanda e
sayang. Mo pigi situ bukang mo babli. Kita so rasa kincing,” rasa berdosa
bertambah ketika dengan lembut istriku mengutarakan alasan maksud kepergian
kami kesana.
Dalam diam
aku berjanji pada diri sendiri untuk tak lagi troa, gegabah, menanggapi
setiap kata yang terucap dari bibirnya. Sangat tidak adil bukan bila gara-gara
kemalasan untuk mendengar dengan sabar, akhirnya perempuan yang nantinya
menjadi ibu anak-anakku ini menjadi sasaran reaksi cerobohku?
Untuk
menebus kesalahanku, kurebut tas plastik berat dari tangannya untuk kubawa.
Meskipun aku sendiri sedang memikul dua dos berisi peralatan rumah tangga yang
sebagian besar bahannya terbuat dari logam. Kami membelinya di pasar Ampalima. Langkah
tergesa-gesa mengantar kami ke gedung megah berlantai empat dengan cat
mayoritas coklat tua dan coklat mudah. Berbagai papan besar bertuliskan huruf
besar pula memenuhi bagian atas depannya. Tujuan kami adalah toilet lantai dua.
Sayangnya, toilet lantai dua penuh sesak. Kami pun bergegas naik lift ke lantai
tiga. Juga penuh sesak. Sampailah kami di lantai empat. Syukur. Di situ istri
saya membuang isi kantong keminya dengan bebas.
“Ah! Plong
sudah.”
Setelah
istriku selesai dengan urusan buang airnya, kuajak dia menuju ruang lapang
bernama Amazone. Ruang lapang ini, walau gaduh, banyak orang kelihatan gembira.
Dinding warna-warni membuat suasana hati syahdu. Ternyata banyak yang palsu
dalam ruangan itu. Lumut yang merayap di dinding hingga langit-langit adalah
palsu. Dengan langkah pelan kami menelusuri satu per satu setiap titik dan
sudut ruangan. Merasa lelah, kuajak istriku duduk pada bangku berbentuk binatang
air. Kepala kami tetap bergerak kekiri dan kekanan melihat aneka permainan yang
dioperasikan para pengunjung setelah memasukan koin berwarna abu-abu
bertuliskan Amazone. Sontak, tiga anak kumal berlari masuk. Sungguh kontras.
Anak-anak itu secara bergantian mencoba semua permainan yang kosong. Pertama
mereka mulai mengendarai sepeda motor balap. Selanjutnya mobil balap. Mereka
berlagak bermain betulan walaupun tak memasukan koin. Semua game dicoba. Dance
floor. Drum station. Motor raid. Downhill bikers. Komidi putar. Jackpot. Ridge racer. Bowling.Top tiger.
Police car. Boxing. Punch Ball. Kereta. Ocean blue. Alangkah beruntungnya
orang-orang kaya. Berbagai jenis permainan siap memanjakan mereka. Terpaut jauh
dengan kami dulu. Permainnya itu itu saja. Lulutau, kuda kayu, kalie, senjata
skiping, plinggir, toktok, lantaka.
Anak-anak
kumal ini pasti bukan anak orang kaya. Mereka adalah anak-anak pesisir pantai
kota Manado. Bapak-bapak terpaksa menjadi penganggur setelah pantai direklamasi
atas restu pemerintah daerah. Ya ialah. Tentu atas restu pemerintah daerah.
Dengan demikian, berarti mereka juga punya andil merenggut pantai dari para
nelayan. Mereka juga yang menjadi biang keladi sehingga anak-anak gadis nelayan
menjadi gadis panggilan. Menjual diri. Padahal dulu mereka sering membantu ibu
mereka menjajakan ikan hasil tangkapan bapaknya di pasar Ampalima dan Calaca.
Pemerintah juga yang menjadi biang kerok hingga anak-anak lelaki para nelayan
banyak yang berprofesi sebagai doger-pencuri anjing.
Badan yang
gerah karena keringat kini terasa adem dan sejuk. Mataku mencuri-curi pandang
pada setiap gadis, mungkin lainnya sudah bukan gadis, dengan celana supermini
yang mondar-mandir. Istriku tak sedikitpun cemburu. Barangkali dia yakin itu
tak sertamerta akan membuatku menjadi seorang tukang selingkuh. Bisa saja, buat
dia bisa saja hal itu bagaikan sebuah iklan saja di sela-sela film panjang. Hanya
sebuah intermezo. Dia tahu betul bahwa dia akan tetap menjadi primadona ketika kami
kembali ke rumah nanti. Gadis-gadis dengan pakaian ketat dan celana super mini
hanyalah appetizer, pembangkit nafsu makan. Atau bisa saja gadis
berpakaian minim dianggapnya hanya sebagai pemeran figuran dalam kisah cinta kami
yang sempurna. Laksana cinta sejati Toar dan Lumimuut. Atau Pingkan dan
Matindas.
Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar