Jumat, 03 Mei 2013

BUKAN SEBUAH PENGAKUAN



Oleh Iswan Sual

“Wan…sudah siap?” kata kepala sekolah mengganguku yang tengah menikmati novel karya A. Fuadi, Negeri 5 Menara. “Ato, ngana mo baganti dulu? Kita tunggu jo dang di rumah.”
Kututup novel empat ratusan halaman itu dan memutar leher menatapnya. Tanda tanya besar bertumpuk di benak. Apa gerangan maksudnya dengan kalimat yang barusan dia ucapkan?
“Maksudnya apa pak?”
“Torang wo’o mo ka Amurang. Sama deng tu hari dang. Pertemuan sekolah-sekolah berkaitan dengan EDS. Evaluasi Diri Sekolah.”
Penjelasan singkatnya membawaku kembali ke masa lalu dengan kesan yang memuakkan. Kernyitan pada dahiku lepas setetelahnya.
“Nda ona’ mo tapigi kita bapa’. Ja kaluar dara kita pe idong. Blum bole ja ba angin kita.”
Alasan begitu lancar meluncur keluar dari mulutku. Sudah lama alasan itu mengeram di alam bawah sadar. Sebagai reaksi agar tak terulang lagi kejadian sial tahun lalu.
***
Tahun lalu…

Aku paling kesal bila ditipu. Kalian juga pasti kesal kan? Tempo hari, hari itu libur sekolah. Tiba-tiba saja datang seorang suruhan kepala sekolah ke rumahku.
“Basaleng jo kata. Mo pigi di Lompad. Kepsek bilang jang lupa bawa laptop,” kata seorang bapak begitu turun dari sepeda motornya yang masih tampak mengkilap tanpa cacat. Suaranya pun nyaris tak terdengar.
“Mo ba apa kira-kira e?”
“Oh kita komang nda tau. Cuma da bilang, basaleng jo kata kong bawa laptop.”
Rasa penasaran melingkupi. Kira-kira apa gerangan yang akan kami lakukan. Ada kebanggaan muncul dalam hati. Aku merasa bahwa tugas yang akan aku lakukan merupakan pengakuan terhadap kemampuanku dan kinerjaku selama ini. Mungkin aku akan dipromosikan di depan atasan kepala sekolah. Bangga rasanya kalau kita diakui.
Cepat-cepat aku membersihkan diri dengan air dingin yang sudah lama menginap dalam bak besar. Gayung bertubi-tubi masuk keluar bak itu. Dari luar terdengar ibu mengeluh karena aku mandi seperti tarzan yang datang ke kota. Tak tahu cara mandi yang benar. Aku tak perduli. Perasaan senang karena bangga kini  berubah menjadi perasaan sombong.
Belum selesai aku mengenakkan kemeja hitam bergaris-garis  ibu sudah menggedor-gedor pintu dan meneriakkan kalimat yang susah kuterima. Lantunan lagu yang berhamburan dari mulutku menang telak dari kalimat-kalimat ibu yang mungkin penting itu. Suasana hatiku pada waktu itu laksana saat pertama kali jatuh cinta pada anak gadis kelas satu dulu. Aku sudah kelas dua. Namanya Gledis. Tubuhnya mungil dan lincah. Aku paling suka kala kami bersitatap saat tak sengaja bertemu di lorong antara ruangan guru dan perpustakaan. Rambut di keningnya sangat tebal. Lesung pipinya aduhai!
“Pep pep! Pep pep!
Gedoran pintu makin keras beriringan dengan bunyi klakson mobil di depan rumah.
“Wan…! Wan…kepsek so di muka!”
Terburu-buru aku memasukan laptopku ke dalam tas warna hitamku. Kukenakkan sepatu tanpa tali. Tak lalai juga ku semir dengan Kiwi. Sempurna!
Wajah kepala sekolah berseri-seri waktu aku dan ibu sama-sama keluar dari rumah. Para guru lainnya cekikikan melihat aku yang agak yang cuek saja dimarahi ibu karna telah membuat manusia-manusia berseragam PNS di mobil menunggu.
***

Lima belas menit kemudian kami sudah tiba di sebuah sekolah di desa Lompad. Wajar sekolah sepi. Ini kan hari libur. Gelagatku seperti seorang turis begitu kami turun dari mobil yang dikendarai oleh kepsek. Sekolah berlokasi agak jauh di mana mobil terparkir. Kami harus menuruni kurang lebih lima puluh anak tangga. Dari anak tangga terakhir kulihat ada dua prasasti terpatri pada dinding berwarna coklat muda. Bendera negaraku dan negeri Kangguru berdampingan dalam prasasti. Tinta berwarna emas dalam dua bahasa menyampaikan bahwa bangunan sekolah itu merupakan bantuan dari negara masih terikat erat dengan negerinya ratu pangeran Charles itu.
Hebatnya sekolah ini punya toilet mewah layaknya sekolah-sekolah di negara maju. Pokoknya suasananya bikin aku teringat film-film barat yang diputar di saluran HBO.
Setelah membuang hajat di toilet yang mewah aku menuju ruangan yang nampak ramai. Agak segan aku masuk ke ruangan yang mulai penuh guru-guru. Penyelenggara acara masih sibuk mengatur kursi dan meja, mengurai kabel, memasang layar LCD.
“Maso jo,” kata kepala sekolah sambil memegang kedua bahuku dari arah belakang.
Aku mencari tempat duduk paling belakang dekat dengan tiga guru yang datang satu kendaraan denganku. Termasuk kepala sekolah. Kukeluarkan laptop dari tasku dan meletaknya di atas meja. Guru-guru lain yang masih udik menatap alat elektronik itu sedikit terpesona. Maklum laptop mungil berwarna putih susu itu enak dipandang.  Jadilah kami berempat duduk sebaris paling belakang.
“Bapak dari sekolah mana?” tanya pria muda berdasi.
“SMP Tinondeian.”
“Trus, dua ibu ini dari sekolah mana?”
“Sama.”
“Bapak?”
“Kami berempat dari sekolah yang sama.”
“Loh! Kok empat? Kan di surat hanya dua yang diminta.”
Rasa percaya diriku jatuh ke jurang terdalam. Aku memandangi ketiga rekan guruku. Penuh tanya. Kesal. Malu. Lebih banyak kesal. Kok, bisa salah begini ya? Aku memasukan laptop ke dalam tas diikuti bunyi retsleting yang keras. Aku berdiri siap untuk keluar.
“Biar jo. Nda usah keluar. Kita jo tu di luar. Kita dapangge ngana datang karna torang perlu operator komputer.”
Sial! Ternyata aku disini bukan sebagai orang penting. Tapi sebagai okoi. Pesuruh. Kalau tahu begini, aku tak mau repot-repot berdandan dan berbangga diri. Hanya karena si kepsek tak bisa mengoperasikan komputer, jadi dia berdusta supaya presentasinya akan berjalan mulus. Dusta. Ya dia berdusta. Menurutku, informasi yang tak lengkap adalah dusta. Dia tidak memberitahu dengan jelas tugasku sewaktu kami masih di kampung. Dan yang paling parah adalah aku di dalam ruangan berperan sebagai kepala sekolah. Dan dia tidur-tiduran di mobil berperan sebagai seorang sopir. Sial. Kami harus memeras otak seharian. Sedangkan dia asyik berkelakar dengan orang-orang di luar. Kepala sekolah macam itu. Peret re’e ona!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar