Jumat, 03 Mei 2013

STENGASTENGA



Oleh Iswan Sual

Hari mulai gelap ketika ojek kucegat pas di depan rumah kami. Tas punggung berat 50 kg bergelayut ketat di punggungku. Ibu dan keponakanku terheran lantaran tiba-tiba aku sudah di belakang pengendara yang tak mereka kenal. Pantaslah kalau mereka tak mengenalnya. Dia kan hanya seorang tukang ojek.
“Mo kamana re’re?” teriak ibuku saat aku nyaris membelakanginya.
“Mnado!”
Rasa heran belum hilang walaupun jawabanku telah hampir memekak telinga ibuku. Ada sedikit rasa bersalah tereram dalam hati karena aku tak memberitahu beberapa jam sebelumnya tentang keberangkatanku ke Manado. Enteng saja aku menganggapnya. Kendati itu bisa merupakan suatu perkara yang teramat besar bagi seorang ibu. “It’s indeed a big deal”, kata orang Amerika.
Hanya sepuluh menit sepeda motor berlari mulus. Aspal hotmix anggaran 2011 membentang sejauh 3 setengah km  dibalas dengan jalan berlubang berbatu setelahnya. Seperti sungai kering. Di sana sini terdapat kubangan air yang mengingatkanku pada coffeemix dan nestkafe penambah cepat detak jantung. Sehabis menegak  minuman itu nafasku tersengal-sengal bak mananjaki gunung Lolombulan. Pokoknya, jangan coba-coba unjuk berani melalui jalan Tondei-Ongkau  bila  kanfas rem sudah berusia lanjut.
Di sepanjang jalan terdengar teriakan sahut menyahut dari satu pohon ke pohon cengkih lainnya. Bagi para pemetik buah cengkih itu adalah pendorong semangat dan pengusir kantuk. Menghindarkan mereka dari jatuh dari pohon. Selain itu juga sebagai alat komunikasi jaman purba untuk memberitahu bahwa mereka masih eksis di lokasi itu.
Otot perutku menegang karena diguncang-guncang oleh gerakan sepeda motor yang terhuyung-huyung menuruni pakatumpaan. Nampak  perkampungan Tiniawangko di sebelah utara. Mesjid dan gereja berdampingan. Dua suku bangsa, Gorontalo dan Minahasa, berdiam di udik itu dengan tentram sudah ratusan tahun. Mungkin banyak orang bertanya, mengapa di situ ada suku Gorontalo dalam jumlah yang besar. Konon, mereka sengaja didatangkan oleh orang Belanda sebagai buruh karet. Orang Minahasa tidak mau menjadi buru kasar. Mereka lebih memilih jadi ambtenar atau pegawai jawatan perusahaan karet ketimbang pekerjaan sebagai kuli.
Di barat terlihat desa Ongkau yang terletak di dekat pantai. Warna biru air laut yang kerlap-kerlip membuat mata silau. Di belakang kami ada sepeda motor yang berupaya keras melewati kami. Tapi kesempatan belum kunjung didapatkan. Badan jalan terlampau hancur tidak karuan untuk mengambil resiko beradu cepat. Saya sendiri bertanya-tanya kenapa pemerintah memberikan fasilitas stenga-stenga  kepada kami. Barangkali otak mereka juga hanya setenga-stengah. Ini belum selesai, sudah dibuat lagi yang lain. Intrik politikkah?
Tiba di pangkalan ojek Ongkau matahari menyengat  sangat.
“Brapa kang?” tanya sambil merenggangkan badan. Meluruskan urat-urat yang sudah kemulisit.
“Dopulu jo. Kalu ka atas doplima. Mar biar jo dopulu. Korang babale kwa,” kata tukang ojek. Sepintas wajahnya mirip Tau Minse, seorang arti Taiwan yang pernah tersohor tahun di akhir 90-an.
Dua lembar uang masing-masing berwarna hijau dan coklat kuserahkan kepada si tukang ojek. Rasa senang tergambar pada wajahnya yang basah oleh keringat.
Tas punggung yang beratnya minta ampun kurenggut dari panta leher sepeda motor. Mata orang-orang yang berkumpul di pangkalan ojek melotot melihat aku yang hampir tersuruk saat mengangkat tas punggung berwarna hitam hadiah pacarku tahun lalu.
Di kejauhan terdengar bunyi pep pep pep! Sebuah bis putih yang reyot jurusan Manado dari Gorontalo.
“Mnado?”
“Io! Nae jo.”
Aku berlari kecil menyeberang jalan. Tas yang bergelayut di punggung terasa sangat membebani. Tapi sabar. Sedikit lagi masalah itu akan ada jalan keluarnya. Kursi empuk sedang menanti.
Begitu aku berada di depan pintu bis terlihat ruangan penuh sesak. Kunaiki anak tangga dan memanjangankan leher ke dalam bis, mencari-cari kursi kosong. Di lorong ada seorang penumpang tidur-tiduran di atas tumpukan karung berisi beras. Tak ada kursi kosong. “Oh tuhai…mo dudu ona’ re e di mana kitya,” keluhku pelan.
“Dudu jo pa om yang tidor itu,” kata seorang ibu setengah baya dengan nada berelakar. Tapi aku menoleh padanya dengan wajah masam. Ingin sekali menumpahkan rasa kesal pada ibu muda itu. Tapi pikirku itu tak akan menghilangkan masalah.
“Disini nyong. Di muka jo. Napa fip kosong.”
Akupun turun dan berputar . Masuk melalui pintu depan. Kursi yang ditunjuk berada ditengah. Dengan beban di punggung aku berjuang melewati tumpukan barang. Tas punggung sempat mengenai wajah salah satu penumpang. Sudah tak kuperdulikan lagi itu. Apalagi saat kulihat kursi fip itu. Reyot dan bagian-bagiannya sudah ada yang pecah. Bisa-bisa menjepit burungku bila terjadi gerakan kasar. Akupun melempar makian dalam diam kepada kondektur, kepada sopir dan kepada mobil reyot ini. Sialnya aku. Tas yang berat harus tergantung di punggung entah berapa lama lagi. Dudukpun tak bisa penuh. Padahal penderitaan melewati jalan buatan pemerintah yang setengah hati tadi belumlah pergi. Sial!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar