Oleh Iswan Sual
Hari mulai gelap ketika ojek
kucegat pas di depan rumah kami. Tas punggung berat 50 kg bergelayut ketat di
punggungku. Ibu dan keponakanku terheran lantaran tiba-tiba aku sudah di
belakang pengendara yang tak mereka kenal. Pantaslah kalau mereka tak
mengenalnya. Dia kan hanya seorang tukang ojek.
“Mo kamana re’re?” teriak ibuku
saat aku nyaris membelakanginya.
“Mnado!”
Rasa heran belum hilang walaupun
jawabanku telah hampir memekak telinga ibuku. Ada sedikit rasa bersalah tereram
dalam hati karena aku tak memberitahu beberapa jam sebelumnya tentang
keberangkatanku ke Manado. Enteng saja aku menganggapnya. Kendati itu bisa
merupakan suatu perkara yang teramat besar bagi seorang ibu. “It’s indeed a
big deal”, kata orang Amerika.
Hanya sepuluh menit sepeda motor
berlari mulus. Aspal hotmix anggaran 2011 membentang sejauh 3 setengah
km dibalas dengan jalan berlubang
berbatu setelahnya. Seperti sungai kering. Di sana sini terdapat kubangan air
yang mengingatkanku pada coffeemix dan nestkafe penambah cepat
detak jantung. Sehabis menegak minuman
itu nafasku tersengal-sengal bak mananjaki gunung Lolombulan. Pokoknya, jangan
coba-coba unjuk berani melalui jalan Tondei-Ongkau bila kanfas rem sudah berusia lanjut.
Di sepanjang jalan terdengar teriakan
sahut menyahut dari satu pohon ke pohon cengkih lainnya. Bagi para pemetik buah
cengkih itu adalah pendorong semangat dan pengusir kantuk. Menghindarkan mereka
dari jatuh dari pohon. Selain itu juga sebagai alat komunikasi jaman purba
untuk memberitahu bahwa mereka masih eksis di lokasi itu.
Otot perutku menegang karena
diguncang-guncang oleh gerakan sepeda motor yang terhuyung-huyung menuruni pakatumpaan.
Nampak perkampungan Tiniawangko di
sebelah utara. Mesjid dan gereja berdampingan. Dua suku bangsa, Gorontalo dan
Minahasa, berdiam di udik itu dengan tentram sudah ratusan tahun. Mungkin
banyak orang bertanya, mengapa di situ ada suku Gorontalo dalam jumlah yang
besar. Konon, mereka sengaja didatangkan oleh orang Belanda sebagai buruh
karet. Orang Minahasa tidak mau menjadi buru kasar. Mereka lebih memilih jadi ambtenar
atau pegawai jawatan perusahaan karet ketimbang pekerjaan sebagai kuli.
Di barat terlihat desa Ongkau yang
terletak di dekat pantai. Warna biru air laut yang kerlap-kerlip membuat mata
silau. Di belakang kami ada sepeda motor yang berupaya keras melewati kami.
Tapi kesempatan belum kunjung didapatkan. Badan jalan terlampau hancur tidak
karuan untuk mengambil resiko beradu cepat. Saya sendiri bertanya-tanya kenapa
pemerintah memberikan fasilitas stenga-stenga kepada kami. Barangkali otak mereka juga hanya
setenga-stengah. Ini belum selesai, sudah dibuat lagi yang lain. Intrik
politikkah?
Tiba di pangkalan ojek Ongkau
matahari menyengat sangat.
“Brapa kang?” tanya sambil
merenggangkan badan. Meluruskan urat-urat yang sudah kemulisit.
“Dopulu jo. Kalu ka atas doplima.
Mar biar jo dopulu. Korang babale kwa,” kata tukang ojek. Sepintas wajahnya
mirip Tau Minse, seorang arti Taiwan yang pernah tersohor tahun di akhir 90-an.
Dua lembar uang masing-masing
berwarna hijau dan coklat kuserahkan kepada si tukang ojek. Rasa senang tergambar
pada wajahnya yang basah oleh keringat.
Tas punggung yang beratnya minta
ampun kurenggut dari panta leher sepeda motor. Mata orang-orang yang
berkumpul di pangkalan ojek melotot melihat aku yang hampir tersuruk saat
mengangkat tas punggung berwarna hitam hadiah pacarku tahun lalu.
Di kejauhan terdengar bunyi pep pep
pep! Sebuah bis putih yang reyot jurusan Manado dari Gorontalo.
“Mnado?”
“Io! Nae jo.”
Aku berlari kecil menyeberang
jalan. Tas yang bergelayut di punggung terasa sangat membebani. Tapi sabar.
Sedikit lagi masalah itu akan ada jalan keluarnya. Kursi empuk sedang menanti.
Begitu aku berada di depan pintu
bis terlihat ruangan penuh sesak. Kunaiki anak tangga dan memanjangankan leher ke
dalam bis, mencari-cari kursi kosong. Di lorong ada seorang penumpang
tidur-tiduran di atas tumpukan karung berisi beras. Tak ada kursi kosong. “Oh
tuhai…mo dudu ona’ re e di mana kitya,” keluhku pelan.
“Dudu jo pa om yang tidor itu,”
kata seorang ibu setengah baya dengan nada berelakar. Tapi aku menoleh padanya
dengan wajah masam. Ingin sekali menumpahkan rasa kesal pada ibu muda itu. Tapi
pikirku itu tak akan menghilangkan masalah.
“Disini nyong. Di muka jo. Napa fip
kosong.”
Akupun turun dan berputar . Masuk melalui
pintu depan. Kursi yang ditunjuk berada ditengah. Dengan beban di punggung aku
berjuang melewati tumpukan barang. Tas punggung sempat mengenai wajah salah
satu penumpang. Sudah tak kuperdulikan lagi itu. Apalagi saat kulihat kursi fip
itu. Reyot dan bagian-bagiannya sudah ada yang pecah. Bisa-bisa menjepit
burungku bila terjadi gerakan kasar. Akupun melempar makian dalam diam kepada
kondektur, kepada sopir dan kepada mobil reyot ini. Sialnya aku. Tas yang berat
harus tergantung di punggung entah berapa lama lagi. Dudukpun tak bisa penuh.
Padahal penderitaan melewati jalan buatan pemerintah yang setengah hati tadi belumlah
pergi. Sial!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar