Jumat, 02 November 2012

Buku Kumpulan Cerpen Iswan Sual


1.        Permen untuk Bahu

Sesampai di terminal Karombasan, cepat-cepat aku naik ke bus dan mencari tempat duduk yang dekat dengan jendela. Karena matahari sangat terik kubuka sedikit jendela agar udara segar bisa masuk. Walaupun sebenarnya udara segar itu sudah sedikit tercemar oleh bau pesing dan sisa makanan yang dibuang secara sembarang di selokan. Beberapa anak dan lelaki dewasa bergantian menempel di kaca jendela untuk memamerkan jualannya. Diselingi rayuan-rayuan kecil nan lucu yang sudah usang. Mereka menjual buah kadondong yang telah dicelup dalam gula selama semalam. Aku paling tidak suka membeli yang manis-manis di kala matahari penuh dendam membakar. Tak banyak pemandangan indah bisa dinikmati di terminal ini. Bus yang telah berdempetan seperti ikang roa menghalangi pandangan mata yang mencari-cari sesuatu yang bisa menyebabkan kita panjang umur.
Karena panas kian tak tertahan kucabut koran yang aku tohokkan di saku samping tas punggungku. Kubalik-balikkan koran mencari berita yang mampu mengusir kegerahan dalam bus bak oven pemanggang. Kalau waktu dalam oven ini diperpanjang lagi pasti semua penumpang akan tafufu seperti ikan cakalang. Koran yang sedang kubaca sesekali kualihfungsikan sebagai kipas. Kondektur masih terus meneriakkan nama kampung asal Om Sam Ratulangi. Tondano menjadi begitu murah di terminal Karombasan karena diteriakkan berkali-kali menyaingi sebungkus kacang dari mulut para tunanetra. “Tondano…Tondano…Tondano,” kata kondektur.
Semua  penumpang makin gelisah. Semua kami menjadi cacing kepanasan yang meliuk-liuk dalam panggangan. Kesabaran. Yang dibutuhkan dalam keadaan seperti itu hanyalah kesabaran. Sebab tak mungkinlah kami turun mencari angin terlebih dahulu. Orang lain akan sangat senang mengganti posisi kami.
“Tondano…Tondano! Satu lei”
Tak sengaja mataku tertuju ke depan. Seorang gadis bertubuh tinggi dengan rambut terurai berdiri di pintu bus memindai setiap kursi. Akupun ikut memindai. Beberapa kursi masih kosong. Di sebelahku juga masih kosong. Mata kami bertemu selama tiga detik. Gadis itu bukan main cantiknya. Dia adalah representasi gadis Minahasa yang sempurna secara fisik.
Karena tak ingin harga diri jatuh, aku menunduk berpura-pura melanjutkan membaca. Potret gadis itu tersimpan dalam benak. Dia berkaos merah dan celana jins panjang hitam. Wajahnya mirip Dian Sastro. Aduhai! Bilamanakah seorang lelaki kampungan seperti saya bisa mendapat seorang gadis seperti Dian Sastro Mimpi kali ye!
Tak beberapa lama kemudian seseorang telah duduk di sampingku. Tak berniat aku menoleh sedikitpun ke samping. Sungguh tak sopan bila harus bertemu muka dengan jarak yang teramat dekat. Aku bergeser sedikit ke jendela. Leher yang mulai keram perlu sedikit rileks. Jadi, kusandarkan sejenak kepalaku di kaca jendela. Seketika itu sang sopir menghidupkan mesin. Badan buspun sedikit gemetar sehingga kepalaku terbentur kecil-kecil di kaca jendela. Lama-lama rasa kantuk mulai datang. Orang yang duduk di sebelahku rupanya juga mengalami gejalah yang sama. Kepala orang yang duduk di sebelahku bergerak maju mundur seperti tak terkontrol. Rupanya kantuknya lebih parah dariku. Saat kesadaranku sedikit menghilang, terasa ada yang menepuk-nepuk bahu. Awalnya kuanggap tepukan itu dilakukan secara kebetulan. Biasanya orang yang memuat barang di bagasi atas kepala secara tak sengaja menyangkutkan barang pada penumpang terdekat. Lama-lama tepukkan itu makin keras dan mulai agak kasar. Dengan sedikit kesal aku menoleh ke arah yang mengusik itu. Ya ampun! Dian Sastro rupanya yang menepuk-nepukku. Aku tersentak senang. Ternyata Dian Sastro mau juga menyentuh seorang lelaki kampungan ini.
“Cowo, bole pinjam bahu?” tiba-tiba Dian Sastro bicara.
Aku kaget setengah mati. Apa aku mimpi di siang bolong? Mana mungkin Dian Sastro mau meminjam bahuku. Jangankan meminjamkan, memberikan untuk selamanya pun aku rela.
Kutarik nafas dalam diam-diam. Kupandangi Dian Sastro dengan sedikit pongah dan kuanggukkan kepada sebagai tanda memberi izin agar bebas menaruh bahunya di pundakku. Jantungku yang berdebar kutakhlukan agar tak liar. Badanku yang mulai gemetar segera kukuasai. Dian Sastro akhirnya mendaratkan pipi kanannya ke pundakku.
Orang yang duduk di kursi belakang dan depan serta samping pasti takkan percaya bahwa dia bukan kekasihku. Kemesraan ini jangan cepat berlalu. Aku berharap bus meluncur dengan kecepatan kurang dari 40 km per jam. Aku juga berharap bus ini mogok di area penginapan Makatembo Tinoor. Pasti suasana di situ akan menambah keromantisan Dian Sastro dan aku.
Tapi rupanya sopir cemburu dengan kemesraan ini. Lari bus tak terkendali. Hampir mencapai 80 km per jam. Jalan yang penuh dengan kelok tak dipedulikannya. Berkali-kali Dian Sastro terhuyung-huyung membentur punggung kursi depan. Dalam setengah tidur Dian Sastro merapat lebih dekat.  Dipeluk erat lenganku. Dalam diam aku salah tingkah.
Dalam diam aku bertanya-tanya, “Kenapa gadis ini berani meminjam bahu seseorang yang tak dikenalnya?” Mungkin hal ini adalah sudah biasa bagi dia. Gadis ini mungkin kecapean karena semalam bekerja sebagai seorang penari telanjang di suatu tempat hiburan malam di pusat kota. Barangkali goyangan-goyangan aduhainya begitu menguras tenaga si keke. Atau, mungkin semalam dia melayani beberapa pelanggan yang tak punya hati, tak memberinya jedah. Dipakai kala ganti oleh pelanggan yang umumnya orang-orang penting yang lelah berdebat sepanjang hari untuk memperebutkan proyek atau jumlah anggaran untuk studi banding mereka ke Bali atau Singapura. Gadis belia ini mungkin hendak melepas penat di kampungnya dekat danau Tondano.
Bus kini sudah memasuki kota Tomohon. Sejurus kemudian muncul perasaan tak sedap. Ya Tuhan! Sungguh tak tahu diri. Kenapa aku asyik saja dengan seorang gadis hingga lupa sama sekali ada seorang gadis lain yang dengan setia menungguku di kamar kos. Celaka. Aku bisa celaka!
Kupindai lagi kursi-kursi yang telah berpenumpang. Mencuri-mencuri pandang kalau-kalau ada yang kenal aku. Gawat. Bisa kualat! Sofli pasti takkan senang tahu aku bermesraan dengan seorang gadis di dalam bus. Tempat umum.
Perasaanku kini campur aduk. Sentuhan-sentuhan Dian Sastro kian mengancamku. Tentu Sofli takkan sudi mendengar lagi penjelasan bila aku tertangkap basah olehnya atau oleh kawan terpercayannya. Makin bus mendekati Tondano jantungku kian melompat tak karuan. Dinding dada serasa mau jebol. Dian Sastro tiba-tiba bangun. Diperbaiki wajahnya. Dia memandangiku. Mungkin ingin tahu betul rupa seorang malaikat yang meminjamkannya sebuah bahu. Aku balas tersenyum, “puas kau tidur kek,” kataku dalam diam.
Dian Sastro merogoh saku jinsnya. Terdengar suara gemerisik.
“Mau permen?” gadis ini memiliki senyum yang indah. Sungguh aku takkan menolak bila nanti dia memintaku meminjamkanya bahu lagi.
Hingga kini aku tetap jaim. Tak sedikitpun kunampakkan bahwa aku sangat terkesan dengan kelakuan beraninya. Dalam hati aku bersyukur pada ilahi yang telah mengirim seorang gadis pengusir penat dalam kebisingan raungan bus sepanjang perjalanan Manado-Tondano.
Ingin sekali aku meminta nomor ponselnya, namun kulempar jauh-jauh keinginan itu. Tak mau aku keadaan yang tadinya indah akan rusak oleh kecerobohanku yang kekanak-kanakkan.
“Muka om!”
Kuturun dari bus tanpa mengucap sepatah kata pun pada gadis peminjam bahu. Dia juga enggan bicara. Sudah cukup dia menahan malu karena telah lancang meminjam bahu seorang yang tak dia tahu sudah menikah atau belum. Hanya nalurilah yang membuat dia yakin bahwa aku masih bujangan. Dalam hal itu dia tak salah.
Ketika bus sudah menjauh aku tersenyum puas. Dalam diam kuucapkan, “Selamat jalan Dian Sastro. Semoga kamu tiba dengan selamat sampai tujuan. Biarlah hal itu menjadi rahasia kita berdua. Perhatian singkat yang aku beri adalah tulus. Sesekali kunjungilah aku dalam mimpi.”



























2.        Balas Dendam

Dengan keseriusan yang mendalam, ditemani secangkir teh dan kue cucur, aku membaca berita-berita dari sebuah harian lokal. Harian yang kentara dengan dua hal saja: kriminal dan seks. Gambar orang yang mengenaskan dan memanaskan mendominasi lembar demi lembarnya. Menurutku berita-berita yang disuguhkan di situ bukanlah berita. Prosentase terbesarnya adalah kejadian yang dilebih-lebihkan. Antara fiksi dan nonfiksi perbandingannya adalah 80% dan 20%. Walaupun tahu kebohongan itu, terus saja aku membaca. Siapa tahu, tulisan-tulisan itu dapat dijadikan inspirasi untuk karya-karyaku nanti. 
Di petang itu, matahari seakan menunda tenggelamnya karena ikut terlena bersamaku. Tiba-tiba telepon genggamku berderit-derit. Begitu kutekan tombol tanda terimanya, terdengar suara lembut seorang gadis di ujung telepon. Tak pernah terpikirkan olehku si penelepon itu akan melakukan itu setelah apa yang pernah aku lakukan padanya.
“Halo kak!”
“Halo, sapa ini?” kataku dengan  kernyitan pada dahi.
“Eh, pe sombong! Masa so lupa.”
Ku coba menerka-nerka dalam kepala. Memang suara itu tidak asing di pendengaranku. Hanya saja akhir-akhir ini tak lagi pernah kudengar. Suaranya yang mendayu-dayu mengorek masa laluku, empat atau lima tahun yang lalu. “Ah pasti dia! Takkan keliru. Itu pasti Hartina,” aku memastikan.
“Eh tumben telepon. Tau dari mana kita pe nomor?”
“Memangnya so tau sapa kita?”
“Haaartina to? Dari mana ngana tau  kita pe nomor?”
“Ih kakak, kalu nda suka orang tahu tu nomor, jang taru di feisbuk dang,” katanya sinis. Aku jadi malu sendiri.
“Oh io kang. Kyapa ngana telpon pa kita?”
Kyapa ngana telpon. Kutanyakan sekali lagi pertanyaan itu. Aku heran dia mau mencari kabarku. Padahal aku sama sekali tak peduli padanya. Perasaanku campur aduk. Kami terus saja ngobrol. Tak sedikitpun disinggungnya soal masa lalu kami yang sangat menyakitkan bagi dia. Anehnya, dia malah melarangku membicarakan itu. Sebenarya aku mencoba mengingatkannya supaya aku mendapat kesempatan untuk memohon maaf. Dia malah menimpali, “Tak ada yang perlu dimaafkan, kak. Yang sudah terjadi, terjadilah. Lagipula, kita tidak dapat merubah sesuatu menjadi lebih baik dengan terusan saja menyesalinya.” Begitu menusuk kata-kata itu. Aku jengah. Malu. Malu pada seorang yang terus memanggilku kakak. Begitu hormatnya dia padaku meskipun aku telah merenggut kesucianya dan meninggalkannya.
“Kak, torang baku dapa kwa,” katanya bak sengatan kelabang yang tiba-tiba.
“For apa? Ngana mo lebe kecewa mo lia kita pe keadaan sekarang. Kita so nda gaga. Kita bukang lagi orang yang pantas ngana mo beking idola.”
“Hahaha…kakak…kakak. Masih saja seperti dulu. Walaupun kakak dulu playboy, tapi tetap saja rendah hati. Kak, kita serius. Torang baku dapa ne?”
“Ngana dimana?”
“Kita di Jakarta. Mar besok kita pulang. Plis…ada yang penting torang dua mo bacirita…hehehe. Besok…bole to? Plis…plis…”
Keramahannya tidak membuatku senang. Malah semakin membuatku merasa bersalah dan penasaran. Terbesit dalam benak akan ada pembalasan dalam pertemuan yang dia rencanakan itu.
“Nanti bacirita ulang jo. Kita nda bisa pastikan kalu torang bisa bakudapa.”
“Kak, tenang jo kwa. Kita nda mo bajahat. Tolong ne, datang.”
Telepon ditutup. Pertanyaan demi pertanyaan muncul bergantian. Kebanyakkan tak bisa kujawab. Ada apakah gerangan? Kenapa dengan tiba-tiba dia menghubungiku untuk bertemu? Aneh bin ajaib. Dulu, setelah madunya aku hisap semua, dia kutinggalkan begitu saja. Tak sedikitpun kuanggap dia berharga dalam hidupku waktu itu. Kini, dia datang dengan senyuman manis. Sungguh tak masuk di akal. Pembalasan lebih kejam daripada perbuatan. Biasanya itu yang berlaku. Tapi, kenapa ini rupanya berbeda? Tapi apa boleh buat, aku harus menemuinya. Aku harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanku. Inilah kesempatanku untuk memperbaiki semua kerusakan yang telah aku lakukan padanya. Apa yang akan terjadi, terjadilah.
***
Bayangan tentang rupa dia, ternyata tak salah sedikitpun. Dia sudah berubah. Penampilannya sangat jauh berbeda denganku. Dia terlihat sejahtera. Pakaiannya dibuatnya sederhana, namun tetap saja bergelimang mewah dari kaki hingga kepala. Sedangkan aku, apa yang terbaik dari lemari pakaian, itu yang kukenakan. Tapi, tetap saja kelihatan seperti seorang gembel. Antara aku dan dia serupa bumi dan langit perbandingannya.
“Ayo,” katanya lembut sambil menyentuh pundakku. Kami masuki sebuah café remang-remang. Solaria. Dulu tempat aku dan teman-teman mengadakan pertemuan. Disini kami banyak berdiskusi mengenai teori-teori yang tak berguna sama sekali ketika kami terjun ke dunia nyata. Di sini juga kami menyusun rencana awal untuk demonstrasi sebagai bentuk pendampingan kepada masyarakat kota Manado yang menjadi korban penggusuran brutal oleh Polisi Pamong Praja. Banyak masyarakat yang dibohongi dan bahkan dipentungi karena tetap bertahan. Mereka bertahan untuk mengais nafkah hidup. Pemerintah malah lebih mengutamakan pengusaha besar yang berduit banyak daripada pengusaha kelas ikang puti yang cari sehari makan sehari.
“Torang mo bicara apa, Hartina?” kataku mendesak.
“Pesan dulu kwa. Pesan jo apa yang kak suka. Makanan, minuman apa jo. Kita traktir hehehe,” celotehnya enteng.
Aku diam dalam kebingungan. Kupikir keramahannya hanya akan berlaku sewaktu di telepon. Sangkaanku keliru. Hingga di tempat ini pun dia terus bersikap ramah dan superbaik padaku. Aku jadi seperti orang dungu di depannya. Barangkali ini adalah kutukan dari Tuhan atasku karena aku banyak bualannya ketika masih sama-sama dengan dia dulu.
“Aku pesan ini saja,” kataku sambil mengeserkan buku menu ke arah Hartina.
“Hi, kyapa cuma capoccino? Emang, kak nda lapar. Jao-jao kamari dari kampung cuma mo minum. Kakak musti makan, kita tulis jo tre. Kakak ini bagimana,” cepat-cepat dia menulis beberapa item nama makanan dan minuman atas namaku.
“Hartina…!”
Langkah kaki Hartina tak sanggup kucegah. Dia telah pergi ke meja kasir untuk mengonfirmasi pesanannya. Dia kembali dengan wajah berseri. Seperti saat kami bertemu di lobi tadi. Dia berusaha menghiburku dengan kata-katanya. Semakin dia melakukan itu, aku kian merasa akan ada hal luar biasa mengagetkan yang akan aku dengar dan lihat sebentar lagi. Kupikir, dia sedang menunda semua sumpah serapah dan segala tetekbengek yang sesungguhya yang harus dia lakukan. “Aku siap. Lakukan saja Hartina. Aku siap menanggung semuanya. Seberat dan seburuk apapun,” gumamku.
“Kak, ayo makan. Tenang, semua ini kita yang bayar. Kakak nda usah repot. Habiskan…hahaha.”
Guyonannya kubalas dengan senyum tipis. Tapi dia kelihatan tenang-tenang saja. Dia bebas dari beban. Santai. Dia pun makan dengan lahap. Padahal, dia tidak sebegitu pelahap sewaktu kami masih sama-sama dulu. Separuh dari nasi di piringnya, selalu saja dia berikan padaku. Dia malah beberapa kali tak makan dengan alasan diet. Itu hal aneh yang pernah kutemui. Sudah ramping dan langsing tapi mengekang mulut untuk makan. Dulu, itu aku tak pedulikan. Tak menjadi persoalan penting bagiku.
Sekarang Hartina memiliki hidup yang disiplin. Badannya yang terurus dan pakaiannya yang rapih menunjukkan bukti-bukti itu. Maklumlah, dia bekerja di perusahaan penerbangan terbaik Indonesia. Sedangkan aku hanyalah seorang pemanjat kelapa yang sewaktu-waktu jatuh dari udara tanpa jaminan asuransi perusahaan. Padahal, orang-orang seperti kamilah yang menyongkong bahan pangan orang-orang kota.
Namun, aku sedikit bahagia. Dia tentu tak akan pernah mewujudkan cita-citanya menjadi pramugari bila aku serius mencintainya lalu kami sampai ke jenjang pernikahan. Pasti dia akan turut dalam kemelaratan bersamaku.
“Kak, kita jalan yuk,” kata Hartina sambil mengambil tasnya yang berwarna pink bercampur putih susu.
Ponselnya yang berukuran besar juga punya warna serupa dengan tas. Kini dia berdiri tepat di sampingku sambil menyentuh pundak sekali lagi. Tubuhnya kian berbentuk. Lebih elok daripada tubuh yang pernah aku peluk dulu. Kusadari dia memiliki lebih banyak keunggulan fisik dari Happy Salma. Keinginan berahiku mencuat namun terlampau kuat kukekang. “Jangan pernah berharap lagi gembel!” kataku dalam diam.
“Mo kamana torang?”
“Ke tempat dimana kakak akan dijagal. Di situlah aku akan membalaskan dendamku…hahaha… Aku bercanda. Ikut saja kak. Kita akan mencari tempat yang lebih aman untuk bicara. Kakak tidak keberatan kan?”
***
Aku tak pernah menyangka kalau kini Hartina telah benar-benar berubah dalam banyak hal. Bukan hanya dalam penampilan fisik dan kelakuan. Tak pernah terpikir kalau aku baru saja naik dan turun dari mobil sedan berwarna putih miliknya. Aku juga tak pernah membayangkan kalau dia akan membawaku ke rumahnya yang mewah di perumahan Real Estate Citra Land. Tak pernah lewat dalam benakku dia akan membiarkan seorang gembel nun jahat sepertiku mencicipi kemewahan yang dia peroleh dengan keringatnya sendiri. Apakah ini adalah bentuk balas dendam yang dia maksudkan? Apakah ini semua menjelaskan padaku bahwa seorang korban seperti dia telah diangkat oleh Tuhan dan telah diberikan kehidupan yang lebih baik daripada orang yang telah merusak kehidupannya di masa silam? Kalau itu tujuannya, aku sudah menderita jauh sebelum dia menelponku kemarin. Bahkan hari itu saja, hari dimana aku mencampakkanya, siksa dari balasan itu sudah kurasakan. Tapi rupanya ini adalah puncak dari semua itu. Aku siap Tuhan. Balaskan dendamnya setimpal dengan semua kebejatanku.
“Kak, apa kakak sudah memiliki seorang istri?”
“Kenapa kamu bertanya seperti itu Hartina? Terus terang, setelah apa yang pernah aku lakukan padamu, aku tak lagi punya keberanian untuk berangan memiliki seorang istri. Aku rasa, aku tak pantas dianugerahi seorang wanita. Dosaku terlalu banyak pada perempuan.”
Hartina meraih tanganku. Air mata mengalir deras dari matanya. Semakin erat dia meremas tanganku. Dia tertunduk sesenggukan. Aku tak mengerti. Sangat runyam untuk kupahami.
“Kak, kita nda perna baharap cinta lagi dari kakak. Samua yang perna kak kase so cukup mo se sadar pa kita kalu kita ini cantik. Samua yang perna kakak kase, walaupun itu stenga pura-pura, so cukup beking kita rasa apa depe arti menjadi seorang gadis yang dicintai. Kita blajar, kalu kita lei sayang pa kakak, berarti kita musti kase kebebasan pa kakak for mo dapa apa yang kakak rasa bagus. Kita memang manangis, waktu kakak kase tinggal dulu. Mar kita nda perna binci pa kak. Kita kase biar kakak pigi mo cari kakak pe cinta sejati supaya kakak bahagia. Tantu, kita senang kalu kakak bahagia. Kebahagiaan kakak adalah kita pe kebahagiaan juga.”
       Aku menunduk malu. Tak pantas aku mendongak dan menghapus air matanya yang terlalu suci untuk kujamah. Dia sempurna. Dia adalah malaikat. Bagaimana bisa aku tak mengenalnya sedari awal? Aku telah menyia-nyiakan sebuah cinta sejati.
***
Setahun kemudian aku menikah dengan seorang gadis di kampungku. Dia tidak memiliki pendidikan tinggi namun ada padanya kepribadian yang serupa dengan Hartina. Namanya Hermita. Gadis yang berkulit agak gelap. Tubuhnya semampai. Cantiknya tiada bandingan. Kusuma desa. Ya, bunga desa.
Pertemuan aku dan Hermita pun mirip pertemuanku dengan Hartina. Sekarang aku dan Hermita tinggal di perumahan Citra Land. Semua harta dan kepunyaan Hartina dia wariskan padaku pada saat kami bertemu tahun lalu. Dia memberikan semua surat-surat tanah, rumah, serta kendaraan yang tertulis atas namaku. Juga dua café yang terletak di kawasan Mega Mas. Rupanya dia bekerja bertahun-tahun demi aku yang telah menyia-nyiakannya. Sulit untuk memahami pikiran dan perasaannya padaku. Namun yang pasti, dia mencintaiku dengan segenap jiwa dan raga.
Setiap minggu aku mengunjungi kuburannya. Dia meninggal dalam kecelakaan pesawat di atas wilayah Makassar sehari sesudah pertemuan kami. Dia telah tahu dengan pasti kapan malaikat maut akan menjemputnya. Air mataku tak terbendung setiap kali aku meziarahi makamnya. Pada batu nisannya tertulis:











Regular Pentagon: Pusara Dari
Hartina Mertosono binti Sukiman
Umur: 25 tahun
“Kebahagiaanku adalah ketika melihat kekasihku mendapatkan cinta sejatinya. Sekalipun, bukan aku wanita yang beruntung itu.”
 



















3.        Desi, Aku Sungguh Menyesal
             
Hingga kini aku masih merasa bersalah. Rasa bersalah ini muncul ketika aku sedang banyak masalah. Inilah mungkin yang disebut hukum karma. Yang dulu itu tak ku percaya. Aku tak pernah percaya dengan hukum tabur tuai yang pernah disabdakan oleh seorang bujang yang terus melajang hingga digantung  hingga mati oleh saudara-saudaranya sendiri- orang Yahudi.
Aku masih teringat gadis yang bernama Desi. Gadis yang begitu lugu. Malu-malu. Sedikit misterius namun ternyata bercita-cita mencintaiku dengan serius. Aku yang tahu dengan perasaannya tak sedikit pun peduli. Tapi tak sedikit pun aku menampakkan ketidaksukaanku padanya. Aku senang gadis-gadis tergila-gila padaku. Kubiarkan mereka mengejar. Aku membuat segalanya menggantung. Hingga suatu saat aku sendiri yang kena batunya.

***
Di tahun 2008 aku mendapat beasiswa 3 bulan untuk belajar kebudayaan dan teknologi serta hal-hal lain di Australia. Sebelum berangkat aku sempat bertemu dengan seorang gadis berdarah China bernama Meisyi. Semula aku membuatnya menggantung. Lama-lama aku yang menggantung. Barangkali, karena aku tak bisa menampik rayuan kulit putih dan tubuhnya yang seksi. Suaranya yang mengundang itu sulit kulupakan. Akhirnya kunekatkan diri. Aku mengajaknya bertemu beberapa jam sebelum aku berangkat ke Australia. Awalnya, aku bermaksud menyampaikan isi hatiku setelah aku pulang dari negeri kangguru itu. Tapi Meisyi tak bisa tersiksa oleh karena penasaran. Dia merengek-rengek supaya aku merubah keputusan sepihak yang telah aku ambil.
“Jangan begitulah, Kamang. Jangan buat aku tersiksa menunggu sesuatu yang tak jelas.”
Melalui telpon dia terus membujukku. Dia memberi tanda bahwa dia sebenarnya sudah tahu. Namun, dia tak ingin aku menahan perasaan. Seolah dia pun siap mengiyakan apa yang belum aku ungkapkan.
“Baiklah. Mari kita bertemu dua jam lagi.”
Dia berulang kali mengungkapkan bahwa dia tidak percaya dengan kepergianku ke Australia. Dia tahu itu hanya akal-akalanku saja agar suasana serupa dengan film-film remaja Indonesia yang romantis kampungan itu. Dia mengejekku karena menggunakan cara-cara yang kuno di jaman yang sudah demikian maju. Aku tertantang dengan semua ocehannya.
“Terserah kamu. Yang penting aku sudah berusaha jujur padamu.”
Agak sedikit kesal sebenarnya. Belum tentu kami akan menjadi sepasang kekasih. Tapi, hubungan yang tak pasti ini telah dimulai oleh ketidakpercayaan darinya.
Dengan  sepeda motor aku melaju ke kota Manado. Tukang ojeknya beberapa kali aku peringatkan supaya menambah kecepatan. Dia bilang motor sudah melaju pada batas kecepatan maksimal. Ini gila! Demi bertemu dengan seorang gadis aku memaksa tukang ojek untuk secara tak langsung membunuh kami berdua di perjalanan. Benar-benar sesuai dengan teori-teori psikoanalisanya Sigmund Freud. Seks menjadi alasan orang untuk sukses. Seks menjadi alasan orang untuk kaya. Seks menjadi alasan orang untuk menjadi orang terhormat.
Perjalanan ditempuh tak sampai satu jam. Dengan langkah cepat aku turun dari ojek. Kuminta tukang ojek menunggu. Dari jauh kulihat Meisy dengan seragam putih hitamnya. Seperti pegawai koperasi. Tapi seragam itu begitu serasi dengan tubuhnya yang putih. Setelah setahun lebih kami tak bertemu, dia menjadi lebih Tionghoa. Aku merasa jadi tak pantas menjadi kekasihnya. Kulitku yang gelap, jika disanding dengannya pasti anak kami akan menjadi kopi susu.
“Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan, Kamang? Kalau kamu memang ingin membuat aku penasaran, kamu berhasil. Aku kalah. Kamu yang menang.”
Kupandangi terus wajahnya yang menawarkan sejuta keindahan. Tubuh rampingan yang molek serasa melarangku terbang ke negeri kangguru. Gadis-gadis putih di sana taklah sebanding dengan gadis yang ada di depan mata.
“Kamang, ayo katakan. Atau, haruskah kita mencari tempat lain agar semakin romantis?” kata Meysi dengan sedikit mengejek.
Aku menarik tangannya dan kami menuju ke tempat yang agak sunyi. Tepat di depan tokoh yang belum dibuka. Yang kuingat toko itu berwarna merah. Ada tulisan berbagai jenis merek ponsel. Meysi tidak sedikitpun merasa risih aku membawanya kesitu. Malahan, dia menatapku dengan pandangan menantang. Tak kusangkah gadis yang beberapa tahun lalu masih menggunakan seragam SMP ini sudah siap-siap ikut perpeloncoan sebagai mahasiswa baru. Sedari masih di kampung dia tak pernah terhindarkan oleh tatapan mataku jika melirik. Selalu saja dia menjadi tujuan dua mata keranjangku.
“Apa sih yang ingin kamu bilang, kamang?”
“Aku tak mau berbasa-basi sekarang. Aku suka kamu. Aku tak peduli kalau kamu mempunyai perasaan yang sama denganku. Aku aku puas kalau sudah bisa mengatakan isi hatiku yang telah lama dipendam.”
Dengan gerakan tak terduga kini aku sudah ada dalam dekapannya. Beberapa kali bibirnya yang selalu basah itu mendarat tepat di wajahku yang berkeringat karena matahari mulai garang memanggang. Aku mendapat tiga kali kecupan berturut. Satu di dahi. Satu di pipi dan satu lagi dibibir.
“Sebenarnya kamu mau kemana?”
“Aku akan ke negeri yang dibangun oleh orang narapidana yang dibuang. Aku akan ke Australia. Kutunggu aku kembali. Segera setelah aku tiba di Manado, aku akan langsung menemuimu.”
Meysi terdiam. Dia kini percaya. Dia mulai merasa kehilangan. Sesuatu yang baru didapatnya kini harus dipisahkan oleh samudra yang luas. Kini lamunannya melampung ke negeri kangguru. Kepalanya mulai menghitung lamanya tiga bulan itu. Padahal bagi orang yang dimabuk cinta. Satu hari itu sama dengan satu tahun.
“Aku harus pergi sekarang. Kalau tidak, nanti ketinggalan pesawat.”
Meysi kelihatan lunglai. Tak sepatah kata meluncur dari mulutnya. Aku melompat ke punggung sepeda motor. Dan memberi isyarat agar dengan kecepatan penuh menuju ke bandara. Meysi tampak belum siap dengan kepergianku. Dia memikirkan tindakan terakhirku yang menghindari ketika ia akan sekali lagi mendekapku. Aku tak lagi berpaling padanya. Tapi aku tahu dia terus memandangi punggungku sampai menghilang di tikungan.

***
Tiga bulan kemudian, sebelum pulang ke Manado aku dan rekan-rekan peserta penerima beasiswa dari daerah lain harus tinggal seminggu di Jakarta. Program yang menghabiskan uang negara  yang banyak itu harus dievaluasi. Aku maunya itu ditiadakan saja. Berbargai alasan kubuat sendiri untuk membenarkan bahwa argumentasiku bisa dibenarkan. Jadinya, selama seminggu itu aku tak fokus sehingga aku tak sanggup menyusun laporanku. Supervisor memberikan teguran pedas. Aku tak menunjukkan sedikitpun peduli. Sudah berani karena telah kembali dari menikmati semua kegiatan  dengan gratis yang fasilitasnya mungkin nanti akan dirasakan oleh negara Indonesia seratus tahun lagi. Setelah tiga bulan ponselku tak pernah aktif, kuputuskan untuk mengeledah travel bagku untuk menemukan benda mungil itu. Sony ericson mereknya. Kuisi listrik sebentar. Lalu aku mengirimkan sms ke nomornya Meysi. Tak ada balasan. Laporan smsnya gagal. Kucoba telpon. Tapi tak ada sahutan. Hanya suara mailbox yang beberapa kali mengingatkan bahwa nomor itu tak lagi aktif. Bagaimana bisa?
Aku mengirim sms ke nomor lain. Nomor temanku yang bernama Fredi. Dibalas. Dia bahkan memberikan nomor barunya Meysi. Malamnya, aku mengirimkan Meysi sms. Dia menelponku. Tak puas dengan itu, kami juga saling menelpon. Hari-hari selanjutnya juga begitu.
Tiga hari sebelum kepulanganku ke Manado, tiba-tiba Meysi mengirimkan sms aneh. “Mang, jangan kirimi aku sms ya. Jangan juga telpon aku. Aku saja yang sms atau telpon kamu. Janji ya. Aku cinta kamu.” Karena tak ingin mengecewakan sang kekasih, aku melakukan seperti yang dia minta.

***
Aku tiba di bandara Sam Ratulangi sore. Kira-kira pukul empat. Aku langsung ke Tomohon menaruh barang-barang. Semenjak pagi tak ada sms lagi yang Meysi kirim untukku. Ingin sekali aku memberitahu kepulanganku. Tapi aku tak boleh mengirimnya sms ataupun menelponnya.
“Sms tak boleh. Telpon juga tak boleh. Ah, berarti miskol boleh. Aku miskol ah.”
Mungkin Meysi akan marah juga dengan tindakanku ini. Namun, tentu kerinduannya bertemu pasti lebih besar dari marahnya bila aku nekat miskol. Lagipula aku tak melakukan serong. Justru ini adalah bukti bahwa aku sayang sama dia. Tiba-tiba ponselku berteriak. Volume nada deringya diatur maksimal.
“Jangan lagi ganggu Meysi. Dia sudah akan menikah. Aku Lee Kwan, pacarnya.”
Pasti ini lelucon. Dia tentu akan membuat kejutan sebagai counter kejutanku. Dasar! Ternyata Meysi juga orangnya suka menghidupkan suasana. Dia memang suka memberi tantangan. Ku ketik.
“Oh begitu. Aku teman sekampungnya. Aku hanya akan bicara sebentar berkenaan dengan program organisasi pelajar kami.”
Harapanku kata-kataku itu akan membuat permainan akan semakin mengasyikan. Kalau dia hendak bercanda, baiklah. Aku juga bisa bercanda.
“Kamu Kamang kan? Aku sudah tahu siapa kamu. Meysi sudah menceritakannya. Kamu tak usah lagi menelpon dia. Kami akan segera menikah bulan depan. Tolong, pahami dan maklumi.”
Mataku tiba-tiba berhenti berfungsi. Aku hanya bisa melihat satu warna. Gelap. Tubuhku memberat. Nafasku tersengal-sengal. Seperti mendaki puncak gunung Kalabat. Yang ku baca barusan bukan lagi untuk kepentingan kejutan. Itu adalah keterusterangan yang kejam. Itulah merupakan penyingkapan penghianatan. Sesuatu yang dalam menghujam dan merobek hati tanpa ampun. Pukulan telak yang membuatku tak sanggup lagi bangkit.

***
“Halo Desi. Masih ingat aku? Tak tahu mengapa aku jadi kangen sama kamu.”
Sepenggal sms telah melesat cepat masuk ke inbox ponsel seorang gadis lugu dan malu-malu.
“Hei…halo kakakku yang ganteng. Sudah pulang ya? Tumben, mau mengirimi aku sms.”
Rasa dendam kepada gadis bermata sipit itu tak tertahankan. Rasanya ingin menangis. Namun, ihktiar itu kubuang jauh-jauh agar tak memperalukan bangsaku. Kaum lelaki.
“Datanglah ke tempatku. Boleh? Aku berbincang sebentar.”
Aku sangat yakin gadis lugu itu tak akan menolak tawaran dari cowok idamannya. Mereka adalah tipe gadis yang mau mengorbankan apa saja demi sang pujaan hati.
“Apa? Masa aku yang kesana? Kakak dong yang kesini.”
Kalimat itu hanyalah basa-basi. Kalimat itu sebenarnya berarti sebaliknya.
“Aku masih capek. Mabuk perjalanan. Kalau kamu tak bisa. Aku tak memaksa. Selamat malam. Hopefully, I could see you tomorrow.”
Serasa mau pecah kepalaku. Tak sanggup aku menerima kenyataan dipermainkan oleh kekasih yang aku anggap setia. Dia tak ada bedanya dengan leluhurnya yang suka ingkar ketika berniaga dengan penduduk nusantara yang baru belajar berdagang. Jendela kamar ku biarkan terbuka agar aku bisa melihat bintang gemintang di langit. Aku melihatnya. Tapi semua menertawakanku. Tak sedikitpun bintang-bintang itu berempati. Seoleh mereka mau mengajariku menerima hukum romantika: bersiaplah untuk menderita jika hendak menyinta.
“Aku akan kesana! Tunggu ya kakakku yang ganteng.”
Tersungging senyuman di sudut bibirku. Tanda kemenangan. Aku mengejek diriku yang setengah. Dia tampak bersedih setelah ditipu. Sementara diriku yang setengah terus bersikap positif. Dia memang satu prinsip: Kalau satu pintu tertutup maka pintu lainnya akan terbuka lebar. Untuk apa menangis ditingalkan seorang gadis, sementara gadis lain tergila-gila menunggu untuk dinikmati.
“Aku sudah di depan.”
Dengan langkah kemenangan aku menuju depan rumah kosku. Menjemput gadis yang siap berkorban apa saja untuk mendapatkanku. Gadis yang matipun rela asal mendapat perhatian dan kasih sayang.
Aku terkejut. Tak percaya apa yang kulihat. Gadis lugu yang kutunggu mengenakkan kain penutup kepala. Bukan kain biasa. Dia mengenakkan kain untuk melindungi kesucian. Kain yang kontras dengan keinginan liarku saat ini. Tapi, apa boleh buat. Biarlah semua mengalir seperti air.
“Ayo…kita duduk saja di sini. Kita duduki anak tangga itu sambil memandangi langit yang penuh bintang. Bagaimana kabarmu. Kamu lain sekarang. Tiga bulan banyak merubah lingkungan di sini. Termasuk kamu. Termasuk lainnya yang sebenarnya tak aku inginkan berubah.”
Gadis lugu hanya diam. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya di balik kerudung putihnya. Kini dia menjadi pendiam. Berbeda dengan komunikasi via sms.
“Kamu mau menjadi pacarku?”
Desi tak bergerak. Kata-kata yang tak diharap tiba-tiba muncrat keluar dari mulut gombal lelaki yang baru saja menjadi korban keberingasan gadis Tionghoa. Aku tak membutuhkan jawaban. Kalimat itu sudah cukup menjadi tiket agar aku bisa berbuat apa saja dengan dia. Demikian pikiran pongah liarku. Seiring malam semakin dingin karena kian larut kurapatkan badanku ke tubuh Desi. Awalnya dia tampak canggung. Apalagi aku berusaha menciumnya dengan membabibuta. Dia berusaha menghindar. Saat bibirku melumat bibir miliknya, kami seperti tersengat listrik. Bergantian tubuh kami saling menindih di atas lantai berubin putih. Baru saja diajari tapi dia cepat menjadi mahir.
“Kakak sudah biasa ya melakukan ini dengan gadis lain.”
Kesibukkanku mengerayanginya tak sanggup dihentikan dengan kalimat itu. Malahan semakin terpacu untuk mencapai puncak paling tinggi. Kami lepas kendali. Pertahanan Desi bobol menjelang subuh.

***
Hari-hari selanjutnya aku lewati tanpa Desi. Dia telah menjadi gadis di urutan di atas sepuluh.  Dia adalah gadis pertama yang menerima proyek balas dendamku yang seharusnya tidak perlu. Sangatlah tidak adil bila Desi dan gadis lainnya yang menjadi korban. Namun, nasi telah menjadi bubur. Kini aku sudah dengan Windy. Gadis yang akan menjadi korban urutan ke empat belas.
Yang berbekas dari sekian banyak korban itu hanyalah Desi. Dia satu-satunya yang masih suci yang sia-siakan. Kami putus di saat cinta-cintanya sedang bersemi untuk pertama kali. Dia berharap kami menjalin cinta hingga ke pelaminan. Dia telah merencanakan segala hal yang baik untuk kami. Termasuk acara HUTku. Pernah sewaktu saya sakit, dia menjagaku berhari-hari. Dia berbuat laiknya seorang istri yang rela mati demi suami. Hubungan kami berakhir saat umurnya mencapai tiga hari. Sempat dia mengacam untuk bunuh diri ketika mendengar aku tak mau lagi. Karena rasa cintanya yang sucilah, dia akhirnya merelakanku menjauh darinya. Waktu itu aku begitu gagah. Tampan dan menjadi sasaran kekaguman orang-orang. Kini, setelah lulus kuliah. Aku bukan lagi apa-apa. Pria yang tak punya apa-apa yang tinggal di desa. Desi kini telah menjadi seorang pramugari. Dia meraih apa yang selalu diimpikannya. Berulang-ulang dia memberitahuku. Tapi aku tak sedikit memperhatikan. Setiap kali pesawat melewati desaku, aku menunduk malu. Malu, jangan-jangan Desi sedang melihatku dari atas. Malu karena aku kini lusuh. Setiap hari menyalahkan diri sendiri. Bagaimana aku sudah begitu sangat dungu?





























4.        Hadiah Pemerintah untuk
Pahlawan Tanpa tanda Jasa

Lonceng gereja pagi-pagi buta berbunyi sebanyak tiga kali. Tak berapa lama kemudian corong-corong desa berteriak-teriak bersahutan menganggu tidur warga. “Seseorang telah pergi,” terdengar beberapa tukang gula aren berbicara saat melewati rumah kami menuju ke tempat dimana sebagian besar waktu mereka habiskan. Istri dan anak mereka tak pernah dilihat mereka saat siang. Mereka pun tak tahu sudah kelas berapa anak lelaki mereka. Bahkan mereka lupa kapan hari ulang tahun perkawinan mereka. “Untuk apa mengingat hal-hal yang remeh temeh seperti itu. Taklah perlu kita merayakan hari-hari begitu. Dirayakan atau tidak toh umur akan terus berkurang. Bukankah lama hidup kita telah ditentukan? Merayakan hari ulang tahun adalah tradisi barat yang membuat kita tunduk pada logika dagang mereka. Terlalu banyak hari-hari “special” diciptakan agar barang-barang bisa laku,” begitulah kira-kira isi perasaan tukang gula aren itu.
Seseorang telah pergi. Ternyata salah seorang terpandang di kampung kami telah meninggal dunia. Dia adalah mantan guruku. Dia banyak mengajarku tentang moral dan hal baik dan buruk. Dia senantiasa menekankan agar kami kelak menjadi orang yang baik. Berguna bagi bangsa dan Negara.
***
Sebuah rumah panggung penuh hiasan berwarna ungu dan hitam. Satu per satu orang berdatangan melihat seorang yang telah terbujur kakuh. Orang-orang itu tak sedikitpun merasa kasihan dengan tubuh wanita gempal yang telah ditinggalkan nyawa yang lama menahan tekanan. Dia begitu menderita menjelang kematiannya. Tak ada kawan yang datang menawarkan penghiburan dan penguatan. Semua telah bersatu memusuhinya. Padahal dia banyak berjasa untuk kampung kami. Tidak sedikit jumlah anak-anak kampung yang tadinya tak bisa menulis dan membaca menjadi tahu karena usaha kerasnya. Sungguh sangat memprihatinkan bila orang justru datang mengutukinya di saat dia seharusnya pendapat penghormatan yang selayaknya. Lagu ‘telah gugur pahlawan’ seyogianya membahana mengantarkan jenasah sang pahlawan tanpa jasa itu.
Aku terkejut melihat secara bergantian orang masuk keluar mengangkat barang-barang yang ada dalam rumah. Orang-orang yang tak punya hati itu berebut mencari barang yang paling mahal untuk dimuat di mobil pick up yang telah diparkir di depan rumah duka. Semua mereka ambil. Meja, kursi, wajan, belanga, piring, sendok, garbu, bahkan pakaian yang basah yang masih bergelantung di tali jemuran tak luput. Nyaris tak ada yang tersisa. Sungguh tak berperasaan. Orang yang dirundung duka dirampoki mereka pula.
Seorang ibu terlihat mengamati-amati mayat. Dia baru saja tiba. Mungkin dicari-carinya apa lagi yang bisa dilepas. Di sekitar mayat biasanya duduk beberapa kerabat atau keluarga. Tapi anehnya, tak kulihat satupun. Aku mau berontak melihat ketidakadilan yang sementara berlaku. Pemerintah desa tak seekor pun menunjukkan batang hidungnya dalam rumah duka. Upacara pemakaman tampak belum disiapkan. Dimana aparat desa itu? Keparat! Tega-teganya mereka berbuat seperti ini kepada pahlawan tanpa tanda jasa. Beraninya mereka berbuat hal yang demikian rendah kepada guruku itu. Bejat para pemerintah ini!
Kudekati mayat yang mulai berbau busuk itu. Baju yang dia pakai saat masih hidup masih membalut di tubuhnya. Sepertinya dia akan dilemparkan ke liang kubur tanpa dimandikan. Kalau saja aku berhak dan layak, aku akan memandikan sang pahlawan tanpa jasa itu sendirian. Kini aku duduk di samping mayat itu sambil mengusir lalat-lalat yang hinggap di wajah.
Ku pandangi sekeliling ruangan. Orang-orang yang datang itu tak sedikitpun berbelas kasihan terlukis dari raut wajah mereka. Rupanya sasaran mereka adalah tempat dibaringkannya mayat itu. Ranjang yang kelihatan sedikit mewah itu terus saja mereka lirik.
“Tidakkah kalian merasa hibah kepada mayat ini? Kalian lihat wajahnya. Dia memelas meminta dikasihani. Kenapa kalian mau menjadi bagian dari konspirasi jahat? Bila kalian tak mengurungkan niat kalian ini lekaslah kalian akan didatangi malaikat penjemput maut,” ancamku.
Kata-kataku terbuang percuma. Mereka menjawab dengan kebisuan dan mimik permusuhan. Gigi mereka gemeletuk menahan geram. Dada mereka naik turun. Serasa mereka hendak menerkamku.
“Saudara-saudari kalian, tak layakkah dia mendapat penghormatan terakhir? Biarkan aku menguburkan mayat ini dengan patut. Hanya, jangan kalian telanjangi dia saat dia tak lagi punya rasa malu sedikitpun. Izinkan aku menabur bunga di atas makamnya. Aku merasa berhutang padanya. Dialah yang membangun generasi kita sehingga menjadi cerdas seperti sekarang,” kataku seraya menitikkan air mata.
Orang-orang bejat itu mulai mendekati. Mereka rupanya telah bersepakat. Ya ampun! Mereka akan menelanjangi pahlawan tanpa tanda jasa. Aku berdiri dan merentangkan tangan. Aku akan berjuang mati-matian agar tak satu pun tangan kotor mereka menyentuh tubuh guruku yang kuanggap suci. Mereka semakin mendekat. Aku melemparkan tatapan menantang.
“Apa yang kau lakukan ingusan? Enyah dari hadapan kami!” kata seorang ibu yang lengan bajunya telah disingsing.
“Aku tak akan membiarkan kalian mempermalukan pahlawan tanpa tanda jasa! Langkahi dulu mayatku!” kataku nekat.
Masih tergiang ibu guruku itu berujang tentang berani karena benar. Dia mengajarkan kami untuk membela yang lemah. Inilah waktu yang tepat untuk mempraktikan sepenuhnya semua ajarannya 28 tahun lalu.
“Menyingkir anak muda!” kata seorang bapak. Dia tampak orang terhormat. Setelan yang dia pakai tampak dia orang berduit.
“Tidak! Kalianlah yang harus menyingkir,” jawabku sambil merentangkan tangan. Siap untuk menghalang.
Orang-orang mulai berkerumun. Namun tak satupun yang membelaku. Mereka malah tampak jijik dengan sikapku yang menurut mereka sangat ‘sok pahlawan’.
“Biarkan, anak muda! Biarkan dia menerima setimpal dengan perbuatannya!” teriak salah seorang dari kerumunan.
Ini adalah penghakiman rupanya. Apa yang telah dilakukan oleh guruku? Seburuk apakah itu sampai-sampai mereka beringas begini. Bodoh! Apa peduliku dengan itu. Takkan aku biarkan mayat guruku mereka permalukan. Pasti arwahnya takkan tenang. Setiap malam dia akan datang menuntut tanggungjawabku sebagai seorang bekas muridnya. Aku pasti akan dihantuinya siang malam.
“Kalau kamu tak beranjak anak muda, kami tak bertanggungjawab lagi dengan nyawamu. Ini peringatan terakhir.”
“Tidak. Kalian tak berhak menghakiminya. Biarkan Tuhan atau setidaknya…serahkan pada pemerintah desa.”
“Anak muda, penghakiman telah diserahkan kepada kami. Kepala desa malah yang menyarankan. Nah, sekarang menjauh dari situ!”
“Tidak!”
“Keras kepala!”
Tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Setelah itu aku tak tahu lagi. Terjadi jedah yang lama. Lalu, sayup-sayup aku mendengar orang berdebat. Namun bunyi nging melengking tak putus-putus. Suara bising makin menusuk pendengaran.
“Enak saja! Sofa ini harus aku yang jadi pemiliknya. Ranjang ini juga. Dia paling banyak berhutang padaku. Dia hanya berhutang dua juta padamu, kamu lima juta, kamu lima ratus ribu, kamu sebelas juta. Sedangkan padaku dia berhutang brapa? Kalian mau tahu? Pertama, sewaktu dia mau menyogok kepala dinas supaya dia menjadi kepala sekolah, dia berhutang lima belas juta. Kedua, sewaktu anaknya mau kuliah di fakultas kedokteran, dia berhutang tiga pulu juta. Ketiga, sewaktu anaknya mau dibaptis, dia berhutang tiga juta. Sewaktu anak sulungnya mau menikah karena terlanjur menghamili anak orang, dia berhutang 25 juta. Trus, sewaktu dia merayakan ulang tahun, dia berhutang lagi satu juta. Jadi, hutangnya pada kalian tidak apa-apa dibanding hutangnya padaku. Bukan hanya ranjang ini, rumah ini dan tanahnya juga akan kusita. Itupun takkan setimpal dengan hutangnya. Aku juga belum hitung bunganya,” kata seorang ibu sambil menangis sesenggukkan.
Awalnya mereka merasa merekalah yang paling sial karena ditipu dengan kedok ‘pinjam’ oleh si mayat. Ternyata masih ada orang yang lebih sial dari mereka.
“Kasihan, pasti berat bebannya dikejar-kejar penagih hutang setiap hari,” kata seorang ibu.
Kepalaku sakit. Orang-orang terdengar terus beradu mulut. Kudengar lagi, “Banjingan ini adalah pembohong besar. Sampai di neraka pun dia akan akan terus berhutang. Dia menghambur-hamburkan uangku, padahal dengan itu masih banyak yang bisa kubantu. Kasihan juga sebenarnya. Semua ini gara-gara pemerintah. Coba kalau para PNS tidak diberikan kemudahan menggadaikan gaji mereka, tentu nasib wanita ini akan lebih baik dari ini.”


22/02/2012

***












5.        Kekuasaan Gereja

Pimpinan dan jemaat gereja di Jakarta berunjuk rasa di depan kantor agama dan gubernur serta di DPR DKI Jakarta kemarin. Mereka meminta perlindungan pemerintah. Menjamin hak-hak mereka untuk beribadah. Pada hari jumat hingga hari minggu beberapa gereja diserang massa yang terang-terang sudah dikenal. Organisasi itu sudah akan akan merayakan dies natalis organisasinya ke 12 tahun ini. Sudah banyak tempat ibadah yang mereka porak-porandakan. Tak hanya gereja yang diserang. Mesjid juga. Jemaah Muhammadiah juga dibunuhi oleh mereka. Pemerintah tak berbuat hal nyata untuk menjamin hak-hak warganya untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Paling banter hanya memberikan pernyataan “mengutuk” tak terkesan membiarkan. Padahal organisasi itu sudah jelas-jelas meresahkan dan justru pernah mengeluarkan ancaman untuk menurunkan presiden dari tampuk kekuasaannya.  Sebegitukah pengecutnya pemerintah kita sehingga mereka terus memelihara ular dalam rumahnya. Yang terancam tak diperdulikan.
Di Koran juga kubaca pimpinan-pimpinan agama di daerah kami mempublikasikan pernyataan mereka. Semuanya bernada sama: mengutuk tindakan penyerangan terhadap gereja itu. Mereka juga menghendaki agar pemerintah memberikan balasan setimpal kepada para pelakunya. Padahal orang-orang yang diserang itu tak berniat sedikit mengutuki dan membalas mereka. Mereka hanya meminta pemerintah agar mereka diberikan kenyamanan dan ketentraman sebagai warga negara. Para pemimpin agama di daerahku bahkan berlebihan dengan penunjukkan rasa simpati mereka. Rasa simpati yang sebenarnya dibungkus oleh keinginan untuk tampil sebagai pahlawan. Berharap agar masyarakat bahkan dunia melihat bahwa mereka peduli dan menginginkan agar kemajemukan harus senantiasa dijaga. Mereka meneriakkan penjaminan hak-hak setiap orang beribadah dan berkeyakinan. Mereka menyumpahi para Islam garis keras yang memboikot rumah-rumah ibadah yang hendak dibangun. Tanpa tahu duduk persoalannya.
***
Seperti biasa, setiap hari minggu saya ke gereja. Demikian juga hari ini. Batin saya yang sumpek di enam hari boleh terasa sejuk setiap kali saya melangkahkan kaki rumah Tuhan. Alunan musik yang ciptakan pada abad 13 dimainkan begitu sempurna. Seketika itu kurasakan suasana surga melingkupiku. Senyum dan tawa mengembang pada semua orang berdatangan. Kami saling berjabat tangan. Begitu sejuk suasana terasa.
“Pertolongan kepada kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi, yang tetap setia untuk selama-lamanya dan tidak meninggalkan perbuatan tangaNya. Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai saudara-saudara,” ucapan khadim di atas mimbar menambah kesejukkan dalam batinku. Bagaikan titik embun pagi hari. Seumpama pohon-pohon perteduhan di saat mentari menyengat sepanjang hari.
“Amin,” balas kami.
Bila suasana ini mampu membuat batinku tenang aku rela tinggal lama dalam gedung ini. Akan kujual seluruh hartaku untuk para pendeta dan pelayan Tuhan. Akan kubaktikan hidup ini untuk gereja. “Saudara-saudara sekalian, mari kita persiapan hati kita untuk mendengarkan suara Tuhan…” ini yang paling kutunggu. Disinilah pesan-pesan indah tentang kedamaian diungkapkan. Di waktu inilah Tuhan menjelma membagikan percikan-percikan keadaan surgawi. Seperti mana surgawi dilimpahkan kepada bangsa Israel kita mereka ditempah di  gurun dalam perjalanan ke tanah Kanaan.
“Kita sebagai cepat harus saling memperhatikan. Saling mengunjungi di saat sakit, saling mengingatkan bila ada yang mulai menyimpang dari jalan Tuhan. Didiklah anak-anak kita agar menjadi taat pada agama dan gereja. Didiklah mereka agar selalu dekat dengan Tuhan…Mari taburkan damai ke sekeliling kita……tapi kita juga seharusnya waspada. Jangan, besok-besok anak-anak kita dulu bernama Maria lalu menjadi Siti Mariam, Yohanes menjadi Ibrahim, Sarah menjadi Siti Hajar, Ishak menjadi Ismail, Imanuel lalu berubah menjadi Muhammad. Jangan! Jangan saudara sekalian. Jangan berikan kesempatan. Awalnya mereka datang dengan senyum, ada  yang pura-pura jual bakso, mie ayam, jamu, sayur, tahu. Kemudian lama kelamaan mereka akan membeli rumah di kampung kita. Mereka akan tinggal. Seiring waktu mereka mengundang keluarga mereka dari Jawa sehingga mereka dapat mendirikan mesjid.”
Aku terhenyak dengan khotbah pendeta. Awalya dia berbicara tentang kedamaian. Selanjutnya dia menaruh rasa curiga pada jemaat agar mewaspadai orang yang datang. Dia juga menyebutkan cara-cara penyebaran agama Islam yang bakal terjadi di kampung kami. Bukankah begitu juga cara Riedel dan swharz sewaktu mereka membawa agama Kristen ke tanah Minahasa?
Dia menyebutkan deretan nama seperti Siti Mariam, Ibrahim, Siti Hajar, Ismail dan Muhammad seolah-olah mereka adalah sosok yang menebarkan permusuhan ke dunia. Seolah-olah mereka adalah orang jahat yang juga dibenci oleh Tuhan. Siti Mariam, bukankah dia itu nama dari ibu Isa (Yesus) dalam bahasa Arab? Ibrahim apalagi. Bukankah itu nama Arab dari bapa semua orang beriman, Abraham. Hajar dan Ismail bukankah Allah memberkati mereka juga. Muhammad, bukankah dia mengajarkan kepada pengikutnya agar tak memusuhi orang Kristen? Bukankah dia sangat menghormati orang Kristen karena pamannya (beragama Kristen) juga yang menikahkan dia dengan istrinya?
Kenapa tega-teganya pemuka agama mengajarkan umatnya untuk membenci umat lain. Para pemuka menampakkan kerukunan dalam lembaga tetapi ketika mereka pulang ke asal mereka masing-masing, mereka menebarkan benih permusuhan. Pantas saja kita terus berkelahi.
Saat ibadah selesai aku pulang tanpa menyalami sang pengkhotbah. Senyumku hilang seiring benih-benih perpecahan ditabur di dalam gereja.
***
“Selamat sore,” terdengar suara dan ketukan pada pintu. Dari balik jendela aku melihat tiga sampai lima orang. Aku kenal mereka. Setiap hari minggu aku selalu melihat mereka, dengan stola putih berbordir ∆ dan Ω, duduk wibawa rohani yang ternyata dibuat-buat. Kulihat sang pengkhotbah juga berdiri di depan pintu.
“Selamat sore,” sahutku setelah membuka pintu, “Ada ya?”
“Begini, kami hendak bertemu dengan bapak.”
“Bapak? Oh ada. Dia di belakang sedang memberi makan bebek dan ayam. Aku panggil ya…”
“Kami datang untuk bertemu anda,” kata bapak yang sudah beruban, memotong pembicaraanku.
“Maksud bapak, mau ketemu saya? Oh silahkan duduk.”
Lima orang ini tampak enggan untuk berbicara. Senyuman mereka terkesan hanya dibuat-buat. Tak berapa lama ayah dan ibu muncul dan langsung menyalami pendeta dan rekan-rekannya. Ayah dan tampak respek sekali pada pendeta. Bahkan kelihatan malu bercampur takut. Seperti Adam dan Hawa yang malu setelah ketahuan oleh Tuhan karena telah menelan “buah pengetahuan buruk dan baik” yang disuguhkan oleh si ular.
Setelah didahului doa yang panjang, sang pendeta mulai bertutur:      
“Kedatangan kami kesini untuk melihat jangan-jangan saudara sedang sakit. Soalnya sudah dua bulan tidak pernah kami lihat di gereja. Biasanya bapak yang paling rajin.”
Oh ternyata ini toh maksud kedatangan mereka. Bukan yang sakit. Sebenarnya merekalah yang sakit. Mereka seharusnya mengunjungi dan mengembalakan jiwa mereka yang digerogoti oleh rupa-rupa penyakit, terutama penyakit curiga dan antikris. Kalau mereka tidak menjalankan anjuran dan ajaran Kristus, tak keliru kalau aku menyegel mereka sebagai antikris.
“Memang sudah lama saya mau bicara dengan bapak dan ibu sekalian. Sudah lama saya aktif dalam gereja. Sudah lama juga saya mempelajari gereja dan agama. Dan inilah saatnya saya mau bicara, kebutulan bapak dan ibu sekalian adalah wakil gereja. Sebetulnya saya telah memutuskan membacakan surat pernyataan saya di gereja, namun mungkin itu tak akan baik akibat yang akan ditimbulkannya. Tapi, mumpung bapak dan ibu sekalian sudah datang, saya akan mengatakannya sekarang.”
Terlukis keheranan pada raut wajah setiap orang yang datang itu. Namun, aku tak tahu pasti bilakah mereka sudah mengerti isi hatiku. Kulihat pendeta menelan ludah. Seorang wanita memperbaiki duduknya. Seorang bapak mengatupkan mulut dengan kencang. Yang lainnya menatap lantai.
“Katakan saja pak. Kami siap menerima keluhan dari jemaat. Sudah tugas kami sebagai penatua dan syamas, pelayanan khusus, untuk mendengar suara jemaatnya. Itulah yang diajarkan Kristus,” kata pendeta memecah keheningan.
“Saya sudah memutuskan untuk tidak akan bergereja lagi,” mendadak semua kepala pendengar terangkat, mencari kepastian yang barusan mereka dengar, “Saya bahkan sudah tak ingin beragama lagi. Buat saya agama hanyalah jembatan untuk dekat dengan sang pencipta. Gereja sekarang kini adalah jembatan yang rapuh. Dan, menurutku, agama bukanlah satu-satunya jembatan untuk dekat dengan Tuhan. Sudah puluhan tahun saya bergereja. Sudah puluhan tahun saya mempelajari sejarah gereja. Yang kutemukan hanya kegagalan gereja. Kalaupun ada keberhasilanya, hal itu pun bisa dilakukan tanpa harus bergereja. Lagipula, Yesus datang kedunia tidak membawa agama. Dia membawa damai. Bukan menganjurkan membentuk organisasi besar dunia yang berkuasa dan mengatur untuk kepentingan golongan penguasa. Pimpinan gereja mengira bahwa mendirikan organisasi gereja yang besar sama dengan membangun kerajaan Allah. Pemuka agama kita telah salah memaknai kerajaan Allah yang Yesus pernah ucapkan. Gereja bukanlah kekuasaan, melainkan pelayanan. Pelayanan adalah pelayanan. Bukan kekuasaan. Karena kekuasaan adalah kekuasaan.”


- ∆ dan Ω berarti alfa dan omega. Simbol itu melambangkan Yesus Kristus sang pembawa damai.
- Penulis adalah guru bahasa Inggris di SMP Kristen Tondei. Juga sebagai dosen di Universitas Kristen Indonesia di Sulawesi Utara.



6.        Mencari Anak

Raungan sepeda motor tiba-tiba mendekat dan berhenti di halaman rumah kami. Tak biasanya kakakku datang ke rumah di sore hari begini. Tambah lagi ini hari Jumat. Bukan hari minggu. Yang anehnya juga adalah dia, suaminya dan kedua anaknya tak semuanya. Jarang-jarang mereka datang lengkap begini. Biasanya itu hanya terjadi pada hari-hari besar. Pengucapan, Natal  dan Tahun Baru. Kedatangan merekapun seperti membawa beban dari rumah mereka. Kalaupun mereka lagi kekurangan makanan di rumah, tanpa basa-basi, mereka langsung membuka penutup saji dan melahap apa yang ada. Tapi, saat itu tidak.
Namun, seperti biasa, kami yang di rumah semuanya berkumpul di ruang tamu. Itulah cara kami jika kerabat dekat datang berkunjung. Cerita mereka selalu ingin kami dengar. Menyadari kehadiran mereka, aku langsung menghentikan pekerjaanku di kamar dan menyapa mereka satu per satu. Dan benar, memang ada yang aneh. Lingkanwene, kakak perempuanku, hanya memberikan senyum tawar ketika kami bersalaman.
“Ibu, sebenarnya siapa ayahku? Berapa sebetulnya ayahku?” semua anggota terkesima begitu dua kalimat itu meluncur keluar dari mulut kakakku. Senyuman ramah kami berganti dengan keheranan. Apalagi ibu.
“Kamu sedang bicara apa, Lingkanwene?” kata ibu menimpali, “Tentu saja ayahmu si Manuel yang telah meninggal sewaktu kau masih berumur sebelas tahun. Dan tentu saja ayahmu cuma satu. Kamu pikir ibu ini wanita apaan di masa dulu?”
Mata ibu berlinang. Tak sanggup dia menahan sakit hati karena tiba-tiba dituduh sebagai perempuan yang tak benar oleh anaknya sendiri. Tak pernah dia membayangkan anaknya sendiri yang didik dengan kasih sayang yang luar biasa menuduhnya seorang perempuan sundal. Tak pernah dia sangka anaknya akan menyamakan dia dengan dengan perempuan-perempuan Minahasa lain yang pergi menjual diri ke Kalimanta, Papua, Jawa dan Sumatra hanya karena ingin di pandang sebagai orang berada di desa.
“Lingkan tak bermaksud begitu, bu. Lingkan yang terpukul karena semalam seseorang datang mengaku sebagai ayahku. Dia meminta maaf padaku karena katanya telah meninggalkan aku dan ibu dulu.”
Kulihat ibu menegakkan badan. Kemudian mengusap air mata yang nyaris mengeras di wajahnya.
“Kenapa kau tak suruh dia kemari dan bertemu ibu?” kata ibu dengan tatapan serius.
“Aku sendiri memang tidak yakin bu. Bapak itu mengaku sudah berumur 48 tahun. Sedangkan aku sudah berumur 35 tahun. Tapi anehnya dia sudah memperlakukan aku seperti anak sendiri. Semalam dia memberikan Andi dan Lumi seratus seribu per orang. Dia tak tanggung-tanggung memberikanku 500 ribu. Dia juga sudah janjikan kepada saya dan Roni untuk membawakan pasir, sirtu serta batu untuk melanjutkan pembangunan rumah kami. Jadi, saya berpikir, kalau dia tidak yakin aku anaknya, mana dia mau berkorban sebegitu besarnya. Ibu, maafkan aku, bila yang masih ibu simpan, katakana padaku. Aku takkan marah pada ibu. Aku janji.”
“Nak, tak ada yang ibu sembunyikan. Dari kecil ibu senantiasa mengajarkan anak-anak ibu untuk selalu jujur. Karena ibu ingin kalian juga menjadi orang jujur,” tutur ibu dengan kepala tertunduk. Dia sangat sedih tak dipercaya oleh anaknya, “Nak, kalau ada orang yang datang mengakui kamu adalah anaknya, mungkin dia salah orang. Atau bisa saja itu hanya kedok untuk sesuatu maksud yang lain.
***
Karena penasaran ibu jadi sering duduk di depan rumah untuk melihat secara langsung supir alat berat yang datang mengaku-aku sebagai ayah Lingkanwene. Dia memperhatikan  dengan teliti tampang supir yang sudah sebulan bekerja dalam proyek penanganan bencana longsong di desa kami. Tidak puas dengan dari jarak jauh, hari berikutnya dia mendekati jalan untuk melihat lelaki itu dari dekat. Tidak ada tanda setitik pun yang bisa membuat ibu kenal dengan lelaki bertubuh besar itu.
Roni, suami Lingkan, dan kedua anaknya kini sudah dekat bahkan akrab dengan lelaki itu. Lingkanpun sering menerimanya di rumahnya. Bahkan memperlakukannya laiknya seorang ayah. Pekarangan rumah Lingkan dan Roni telah ada dipenuhi gundukan material bangunan rumah. Kedua anaknya menjadi manja dan mendadak kaya. Makanan ringan yang dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dikonsumsi mereka setiap hari. Mereka tidak lagi mau disuguhi pisang rebus dan singkong goreng yang diberikan  kakek dan nenek mereka.
Kini ibu sakit. Tertekan oleh sikap anak dan cucu-cucunya. Kemarin, bahkan Lingkan meriaki ibunya dengan kata-kata kotor ketika ibu datang ke rumahnya agar tak mempercayai lelaki yang tiba-tiba datang itu.
***
Aku dan ayah terkejut setelah mendapati banyak orang sedang berbicang-bincang di rumah kami. Seberkas kayu bakar dan berbagai jenis sayuran kami turunkan dari gerobak. Sejenak ayah berlalu membawa sepasang lembu ke belangkang rumah untuk memberi mereka makan. Aku langsung menuju dapur dan mengatur kayu bakar di atas dodika. Tampak diatasnya nasi sudah matang. Satu per satu kayu yang menyalah aku keluarkan.
Sudah itu aku menuju ruang tamu. Ayahpun datang tak lama kemudian. Keringat masih bercucuran. Badan belum bisa disiram dengan air. Bisa-bisa kami sakit, jika kami bersikeras melakukannya. Aku dan ayah ikut bergabung dengan para tamu. Semua tamu itu kukenal. Kecuali seorang lelaki yang duduk di antara Roni dan Lingkan.
Terdengar ibu berkata, “Kenal dengan Meity?” Si lelaki yang  tak aku kenal mengangguk, “Kalau begitu, anak yang bapak cari ada di Manado. Bapak sedang mencari anak kan? Anak bapak sedang bekerja di sebuah tokoh swalayan terbesar. Anaknya cantik. Mirip bapak. Dia juga punya tahi lalat yang ditumbuhi rambut seperti bapak.”
“Oh kalau dia yang bapak cari, berarti apa yang ibu bilang itu sudah benar. Memang, Meity pernah mengaku kepada kami bahwa bapak dari putrinya yang bernama Mery berasal dari Boyong. Memang, ibu mertua namanya Srity. Hanya dipanggil dengan Ti. Wajar kalau bapak mengira istri saya itu anak bapak. Memang ibu istri saya adalah saudara kandung dari Meity.”
Si lelaki melempar mukanya ke sisi lain. Tak jelas apa maknanya. Tampak dia mau menangis.
“Besok saja kita bicara. Kalau sekarang, aku menangis,” selah si lelaki yang tak ku kenal itu. Suasana jadi menggantung. Padahal kami berharap semuanya akan menjadi terang malam ini.
***
Malam itu berakhir dengan tanda tanya. Tapi, aku yakin bahwa ibulah yang benar. Hanya Lingkan yang terus ngotot bahwa dia percaya dengan perkataan si lelaki yang tak kukenal itu.
Si lelaki itu pulang tanpa permisi. Roni mengantarnya dengan sepeda motor ke Ongkau. Katanya dia harus pulang ke Poigar. Keluarga dari istrinya ada yang meninggal.
Dalam perjalanan si lelaki itu meyakinkan Roni bahwa ibuku telah berbohong. “Harus tes darah. Dengan begitu akan ketahuan yang sebenarnya, ” katanya. Roni dalam sekejab menjadi percaya kembali pada si lelaki tak aku kenal itu. Dia kini merasa jijik dengan mertuanya.
Lingkan tambah yakin setelah Roni memberitahu perihal itu. Kenyamanan yang mereka rasakan seakan menjadi bukti tambahan mereka harus percaya pada orang asing itu. Tambah lagi, si Roni sering sakit-sakitan. Dia jadi jarang bekerja. Roni yang menjadi tumpuan keluarga tak bisa berbuat banyak. Hidup mereka terselamatkan dengan kemunculuan lelaki yang tak aku kenal itu.
***
Dua minggu kemudian terdengar kehebohan di kampung kami. Roni mengobrak-abrik rumahnya. Lingkan sudah beberapa hari tak pulang rumah setelah diajak oleh si lelaki tak aku kenal itu pergi rumah sakit. Untuk tes darah. Begitu alasan yang diberikan si lelaki yang tak ku kenal itu kepada Roni. Ponsel Lingkan dan si lelaki itu tak aktif kedua-duanya.
Selesai

* Dodika (bah. Manado): tungku
























7.        Pemuda Malas

Seorang pemuda diminta oleh seorang ibu untuk memanjat pohon rambutan dan memetiknya karena mereka ingin sekali menikmati buah rambutan yang kulitnya tampak merah dan menarik hati itu.
“Ah buah itu asam,” kata pemuda itu sambil berlalu meninggal para ibu yang ingin sekali makan buah rambutan.
Melihat penolakkan halus itu ibu geram. Merekapun berembuk dan akhirnya memberanikan diri untuk memetik buah-buah itu sendiri. Dengan susah payah dua orang perempuan bergelayutan di atas pohon meraih setiap buah yang agak jauh dari batang.
Setelah selesai mendapatkan sesosiru, mulailah mereka menikmati beramai-ramai. Terdapat anak-anak juga. Muncullah pemuda tadi dengan tiba-tiba. Tanpa ditawari dia mulai memakan buahnya satu per satu dengan rakusnya. Para perempuan yang masih di atas pohon kaget dengan kejadian itu.
“Hey…sialan kamu! Tadi kamu bilang asam. Sekarang kami makan laiknya binatang kelaparan,” teriak perempuan yang berbadan gempal.
Si pemuda malas itu cuek. Dia tak menghentikan walaupun ditegur. Perempuan itu pun berteriak lagi dengan kasar penuh makian. Si pemalas akhirnya bereaksi.
“Ok…tinggal sepuluh yang akan aku makan. Satu…,” katanya sambil menghitung dan terus makan, “ dua……..…tiga…..….empat……….”
Perempuan gempal yang masih di atas pohon itu naik darah kemudian turun mengejar si pemuda malas dengan beringasnya.




















8.        Sende’u Kiaba

Ada seorang pemuda bernama Pret Sual. Dia terkenal sebagai seorang lucu dan rajin berdagang. Cakupan kegiatan dagangnya sampai ke tanah Bolaang Mongondow. Dimana-mana dia pergi kelakar dan kelucuannya selalu ikutserta. Perawakannya yang kecil serta kulitnya yang agak gelap menyamarkan keasliannya sebagai orang Minahasa. Jadi, ketika dia mengaku-ngaku sebagai orang dari satu tempat dan dengan nama tertentu orangpun percaya. Mereka takkan menyangka bahwa dia sebetulnya orang Minahasa. Dia pernah menyamar dengan nama Sende’u Kiaba. Temannya yang menemaninya pergi berdagang ke segala penjuru menyaksikan hal itu. Dia selalu saja hampir dibuat mampus oleh kejenakaan Pret. Maka, diapun dia dipanggil Sende’u Kiaba sampai ketika dia pulang ke kampungnya. Temannya itu yang mempopulerkan nama itu.
Ketika batibo gula sudah tidak cukup memberikan penghasilan bagi Pret, dia memutuskan untuk berganti profesi. Karena bertepatan lagi musim pemetikan cengkeh dia memutuskan untuk menjadi pemetik cengkeh. Suatu pagi dia berteriak historis di tengah perkebunan. Para pemetik cengkih yang lain kaget dan keheranan.
“Tolong! Tolong! Tolong!” teriak Pret.
Awalnya para pemetik hanya mengacuhkan saja. Sebab mereka tahu bahwa itu suara Pret. Dan mereka selalu percaya Pret akan berbuat usil.
“Tolong saya! Tolong saya! Tolong!!” teriak Pret semakin melengking.
Prêt berseru sangat keras namun lama kelamaan dia teriakkannya semakin melemah. Para pemetik yang tengah sibuk memetik demi mencapai target memetik seratus liter. Mereka memikirkan bonus yang diberikan oleh majikan. Bonus yang tak tanggung-tanggung akan sangat membuat mereka gembira dan senang bukan kepalang. Satu kerat botol bir dan beberapa bungkus rokok.
“Tolong!” teriakkan terakhir sangat mencurigakan.
Para pemetik lain di sekitar menunggu teriakkan lain tapi tak ada. Mereka berpikir dan merenung sejenak. Tak sampak lima detik semua pemetik yang berada di lalako teratas tangga bergegas turun. Seolah tak peduli mereka akan terjatuh. Semua teman-teman pemetik  Pret akhirnya punya pikiran yang sama tentang Pret. “Pasti telah terjadi sesuatu yang buruk pada Pret. Kali ini pasti dia sungguh-sungguh minta tolong.”
Merekapun berlari seperti dikejar-kejar hantu menyusuri bidang tanah yang miring. Mereka terpelanting-pelantung karena lebatnya rerumputan. Semua panik tak menentu. Pret tergeletak tak berdaya di samping tangga yang juga tergeletak. Mereka kebingungan mencari-cari tahu keadaan Pret. Pelan-pelan Pret bergerak. Seolah baru tersadar dari pingsan.
“Tolong kitia. Tolong se badiri akang kitia pe tangga. Dari tadi kita mo sandar ini cingkeh mar berat skali. Nda mo ta angka. Ne, blum ada kita da pete,” kata Pret nyaris tertawa.
Teman-temannya yang tadinya mengira bahwa Pret kecelakaan, akhirnya terpaksa membantu Pret dengan berat hati.




9.        Tak Tahan Aku Jauh Darimu

“Lan, besok…mungkin aku sudah di Manado. Lamaranku diterima. Mulai besok aku sudah harus bekerja. Kamu tidak marah kan kalau untuk sementara kita harus berjauhan? Aku harus kerja. Menganggur itu tak baik. Aku tak mau jadi beban orangtuaku. Kamu tahu kan kalau sekarang aku sudah jadi seorang sarjana?” kata Felix pada pacarnya dengan perasaan senang bercampur sedih.
Wulandari sedikitpun tak bersuara. Dia hanya diam sambil menatap wajah sang kekasih yang menyandarkan kepalanya di pangkuannya.
“ Aku janji akan mencari pekerjaan yang lebih baik dan tak jauh dari kota ini nanti. Aku juga tak ingin jauh darimu. Aku menyayangimu Wulan. Percayalah. Tapi…kepergianku besok belum pasti kok. Soalnya aku belum dapat uang untuk membiayai hidupku selama satu bulan ke depan sebelum ganjinya kuterima.”
Mendengar perkataan Feliks, mata Wulandari mulai berkedip pertanda bahwa dia bisa tenang untuk sementara. Wajahnya mulai berseri dan melemparkan senyuman kepada Felix dan ke seluruh sudut kamar kos, tempat Felix tinggal.
Menyadari hal itu, Felixpun memberi kecupan ke dahi dan bibir mulan beberapa kali.
***
Setelah berusaha keras meminjam uang, namun gagal,  dari beberapa teman, akhirnya Feliks menyerah. Tak satupun temannya yang bisa dia pinjami uang. Maklum sekarang akhir bulan. Felixpun berkata dalam hatinya “Mungkin belum waktunya aku jauh dari Wulan.”
Meskipun demikian, Felix pulang ke kosnya dengan perasaan puas karena usaha keras sudah dilaksanakan. Saat gembok kamar baru saja dilepaskannya, telpon berbunyi. “Halo, kenapa Lan?”, tanya Felix dengan suara lembut dan wajah yang senyum.
 “Fel, aku bukannya tak mau kau bekerja. Bukannya aku menghalangimu supaya tidak membebani orang tuamu, tapi….sangat sulit kalau aku harus jauh dari kamu. Aku sudah mencoba mengerti dan bersikap biasa-biasa saja. tapi waktu teringat kamu tadi…aku pikir...aku harus memberitahu perasaanku yang sesungguhnya,” ungkap Wulandari dengan nada mengeluh dan memohon.
“Lan, kamu tak usah kuatir. Besok aku batal meninggalkan Tondano. Tak satupun yang meminjamkanku uang. Mungkin Tuhan sengaja membiarkan ini terjadi karena kita berdua sama-sama belum siap dengan perpisahan ini…walaupun hanya sementara,” kata Felix santai sambil memandangi potret kekasihnya yang ditaruh di atas meja belajarnya.
“Lho..benar nih? Aduh thanks God. Tapi bukan karena aku yang memaksa kamu kan?”, dengan senang Wulan langsung bertanya lagi.
Setelah percakapan lewat telepon itu, Felixpun menelpon ke Manado untuk memberitahukan bahwa dia belum bisa bekerja di sana karena terganjal oleh masalah keuangan. Pihak yang akan mempekerjakannyapun mengiyakan dan meminta supaya bisa mulai bekerja bulan berikutnya setelah perayaan Natal dan Tahun baru selesai.
Waktu berlalu begitu cepat. Felix dan Wulandari semakin lengket dan mesra. Mereka sudah saling janji untuk sehidup semati walaupun belum memutuskan untuk menikah secepatnya. Mereka sepakat pernikahan dilangsungkan 4 sampai 5 tahun lagi setelah Wulandari menyelesaikan kuliahnya di Universitas Negeri Manado.
***
Felix merayakan Natal di kampungnya bersama keluarga. Sedangkan Wulandari di Tondano bersama Opa dan Omanya. Juga adiknya. Mereka tak cukup bahagia karena jarak memisahkan mereka.
***
Pada perayaan tahun baru mereka sepakat untuk bersama-sama. Mereka pergi ke gereja bersama dan saling bertukar foto, surat dan kartu ucapan tentang harapan-harapan mereka berdua di tahun baru untuk hubungan spesial mereka. Cahaya-cahaya lampu di saat Natal dan Tahun baru terus melekat pada dalam benak sepasang kekasih ini. Mereka sangat bahagia karena mereka sudah berpacaran hampir mencapai 4 bulan.
***
Tepat pada tanggal 9 Januari 2006 Felix ditelpon oleh orang yang bakal menjadi bosnya supaya segera masuk kerja. Hari itu juga, setelah pamit pada Wulandari, dia berangkat menuju ke Manado. Selama perjalanan mereka saling mengirim sms untuk saling mengingatkan masing-masing supaya menjaga diri dan setia menjaga hubungan. Felix senang dengan pekerjaannya sebagai pengajar di lembaga pendidikan keterampilan yang bernama Max’s Learning Center-sebuah lembaga yang dimiliki oleh sepasang suami istri berdarah Kanada dan Tionghoa. Dia sudah senang dengan pekerjaan sejenis itu saat masih kuliah di Universitas Negeri Manado. Namun tetap saja harinya selalu gunda saat dia sendiri dan memikirkan Wulandari yang kini jauh dari pandangannya. Serasa baru sebentar dia membelai rambut, mencium bibir, dan memeluk tubuh Wulandari.
Perasaan cemburu yang berlebihan kadang muncul. Saat dia membayangkan kekasihnya yang cantik itu kalau-kalau didekati lelaki lain dan tergoda sampai menyukai mereka.
Sekarang Felix selalu menelpon Wulandari. Sebelumnya mereka hanya mengandalkan sms untuk saling bertanya kabar. Namun semua kini kadang-kadang pesan pendek melului HP tak cukup untuk mengobati rindu.
Sekali seminggu Felix pergi menjenguk Wulandari di Tondano untuk melepas rindu. Kamar kospun menjadi saksi perbuatan mereka yang mulai menanjak ke tahap kemesuman. Waktu yang hanya sehari pada akhir pekan membuat mereka berusaha sedapat mungkin menggunakannya dengan sebaik mungkin.
***
Tak jarang juga jarak yang memisahkan mereka menjadi sebab kesalahpahaman sulit diatasi. Komunikasi sulit terjalin dengan baik. Saat mereka sedang bertengkar perasaan marah dan kesal terasa sulit ditepis dan diatasi. Kadang-kadang terbesit kata dalam pikiran masing-masing untuk segera mengakhiri hubungan.
Wulan hampir-hampir mau menyerah. Apalagi banyak teman laki-lakinya di kampus yang perhatian dan selalu siap membantunya kapanpun dia membutuhkan.
Rasanya godaan-godaan itu mulai mempengaruhinya. Ada beberapa cowok yang sudah mengungkapkan isi hati mereka, katanya. Karena konflik antara dia dan Felix, Wulandari sengaja enggan menolak keinginan cowok-cowok itu. Sekedar untuk menyenangkan perasaan. Tapi sebenarnya itu tak akan disukai oleh Felix. Jika sampai diketahuinya. Wulandari menyembunyikan itu dari Felix. Namun Wulandari juga tidak berani menerima cinta mereka. Dia hanya bimbang dan bingung. Seakan-akan memberi harapan pada cowok-cowok itu.
Felixpun tak jarang nyaris tergoda oleh rayuan dari teman-teman sekerjanya. Dia sering diajak ke tempat-tempat tertentu yang senantiasa memberi peluang-peluang untuk menyeleweng.
Kadang-kadang dia juga teringat wajah-wajah elok pacar-pacarnya sebelumnya yang perhatian dan tak banyak menuntut darinya.
Kalau mau jujur, Felixpun merasa bahwa Wulandari adalah tipe cewek yang suka menuntut dan suka memaksa. Felix kadang berpikir tentang sifat kekanak-kanakan dan egois dari Wulandari.
Ada suatu saat, ketika Felix hendak berangkat ke tempat dia bekerja, dia berpapasan dengan seorang gadis. Mantan kekasihnya.
“ Hei...kamu Felix kan? Aku tidak menyangka bisa bertemu kamu lagi. Apa kabarmu, Fel?,” tanya Aurilia dengan sedikit menggoda.
“ Aurilia..! Iya aku Felix. Aku juga tak menyangka bisa bertemu kamu di sini. Kabarku baik,” jawab Felix sekedar basa-basi.
Dia teringat dengan Wulandari yang mungkin akan marah kalau mengetahui pertemuan ini. Padahal tidak disengaja.
Dia tak ingin nanti Wulandari terluka karena menyempatkan diri untuk bertanya kabar satu sama lain dengan gadis bertubuh seksi dan berkulit putih ini. Felix juga tak ingin Wulandari melakukan hal yang sama. Itu sama dengan penghianatan!
Tanpa banyak berkata-kata Felix melangkahkan kaki ke arah yang berlawanan dengan Aurilia. Felix teringat janjinya pada Wulan untuk tak akan berhubungan lagi dengan orang-orang yang pernah dekat dengannya. Ingatpun tak boleh. Apalagi berbincang-bincang dengan mereka.
***
Banyak juga bekas pacar Felix yang sering menghubunginya lewat telepon. Dalam keadaan yang sedang bertengkar dengan Wulan, Felix bergulat dengan susah payahnya untuk menyelamatkan hubungannya dengan Wulan. Meskipun sulit!
Felix memutuskan untuk menghapus semua nomor telepon mantan-mantan pacarnya dan gadis yang pernah atau sementara berusaha mendekatinya.
Wulandari yang sempat sering berhubungan telpon dengan cowok-cowok se-kampus dengan dia juga melakukan hal yang sama. Wulandari sadar bahwa semua orang yang mendekatinya sekarang merupakan godaan secara tidak langsung untuk menghancurkan hubungannya dengan Felix.
“ Lagipula belum tentu mereka lebih baik atau sebaik Felix, “ pikirnya.
***
“ Lan, aku aku minta maaf ya untuk soal kemarin-kemarin. Aku terlalu emosional. Habis...kamu juga sih...marah-marah padaku di saat yang tak tepat. Tapi apapun kesalahan aku...tolong dimaafkan ya... aku juga tak akan mengingat-ingat kesalahan kamu,” kata Felix melalui telepon setelah beberapa hari sempat bertengkar sangat hebat.
“Felix, aku juga minta maaf. Aku tahu aku juga waktu itu emosional. Aku sayang kamu, Felix,” jawab Wulandari seraya membiarkan air mata bahagianya perlahan menuruni pipinya yang kemerahan karena sudah akur lagi dengan sang pujaan hati.
***
Setelah genap sebulan bekerja, Felix mengundurkan diri dari pekerjaannya karena dia merasa sangat diperlakukan tidak adil. Dia dibayar kurang dari Rp. 900.000. Padahal dia pantas mendapatkan lebih karena kemampuannya dan ijasah S1-nya. Dia juga kini siap untuk bekerja di tempat yang baru. Dia melamar pekerjaan di Manado Post sebagai wartawan. Sangat senang hatinya karena melihat namanya terpampang di koran. Dia telah diterima untuk menjadi wartawan. Pekerjaan yang diidam-idamkannya selama ini.
***
Wulandari dan Felix sangat mensyukuri hal itu. Mereka mulai sering bertemu lagi dan bersama-sama menempuh hari-hari mereka. Kalau lagi libur, Felix selalu menjemput Wulandari di kampus. Mereka telah dipersatukan oleh keinginan untuk selalu bersama.
***
TAMAT































10.     Teruna Abadi

Di kampung kami ada hidup seorang teruna yang sudah agak tua. Yosi namanya. Dia selalu terlihat di pagi dan siang hari setiap kali kami hendak berangkat ke dan pulang dari sekolah. Pakaiannya sungguh membuat aku prihatin. Berjalan dengan celana pendek dan kaos oblong yang dekil karena arang tak jadi soal bagi si teruna ini.  Siswa-siswi yang berpapasan dengannya terkadang melemparkan tawa-tawa mengejek, namun tak pernah dia marah atau tersinggung. Hal-hal itu begitu enteng diterimanya. 
Dia hidup normal dalam rumah sederhananya. Ada tinggal di situ dia, mamanya, dan dua adiknya perempuan yang sudah berkeluarga. Dua adik iparnya minta ampun malasnya. Mereka paling hebat kalau membuat anak. Jadinya, semua tanggungan ada di pundak Yosi.
Sedikit pun dia tak mengeluh. Dia terus saja bekerja tanpa berharap ada orang yang akan membantu. Sungguh tak berperasaan dua saudara iparnya itu. Mamanya yang sudah buta tak pernah menyadari kelakuan jahat dua anak menantunya yang tiap hari kerja mereka hanya nonton dan tidur. Sungguh tak tahu malu! 
Pekerjaan Yosi adalah pekerjaan mayoritas pria di kampung kami. Dia seorang pembuat gula aren. Mereka terus saja membuat gula aren walau harganya naik turun seperti yoyo berkat permainan pengusaha-pengusaha kecil di kampung kami.
Dia bekerja mulai subuh hingga malam. Dia terlihat siang di kampung untuk makan siang sekaligus melihat ibunya yang kadang-kadang ditelantarkan oleh orang-orang serumah. Untung, letak tampa gula-nya tak jauh dari rumah.
Orang-orang bisa bertandang ke tampa gula kapan saja. Dia tak merasa rugi bila berkali-kali orang datang meneguk beberapa tempurung saguer dari kuali. Tempat dimana dia bekerja telah banyak kali dijadikan sasaran penelitian mahasiswa. Sampai-sampai pernah ada seorang anak gadis kuliahan tertarik dan jatuh cinta padanya oleh karena terkesima dengan profesianalisme Yosi ketika memaparkan secara ilmiah proses pembuatan gula aren. Walaupun tidak sekolah, karena bertahun-tahun menggelutinya, serasa enteng dia memberi presentasi. Padahal, belum tentu seorang mahasiswa dapat melakukannya. Ya begitulah, banyak mahasiswa yang menjelang sarjana tak tahu menahu soal presentasi ilmiah.
Sayang, kata-kata gadis kuliahan itu dianggapnya lelucon. Waktu si gadis menegaskan keseriusannya, Yosi dengan terus terang menampiknya.  Bukan karena dia setia pada seorang gadis lain. Tapi karena sesuatu yang tak jelas. Aneh. Pria yang tak tampan ini menyia-nyiakan lamaran seorang gadis istana. Padahal banyak pemuda lainnya sekolah tinggi dan berobsesi jadi kaya raya demi mendapatkan seorang gadis cantik barang satu saja.
Ganjil. Barangkali Yosi telah hilang kewarasannya. Si Yuli, pacarnya, kini telah menjadi perawan tua gara-gara sikap Yosi yang tak jelas itu. Dia masih menunggu walau tak pernah diminta Yosi untuk menungguinya.
Yosi masih ke rumah gadis itu namun tak pernah dia berjanji mengantarnya ke pelaminan. Gadis itu hanya berharap. Terus berharap entah sampai kapan. Tabuh bagi dia bertanya mengenai ikhwal itu pada Yosi.
“Yos, umurmu kini telah empat puluh. Kenapa juga tak kau nikahi si Yuli itu? Masihkah kau menanti yang lain? Jangan pilih-pilih Yos. Pili-pili ahirnya dapa langsa busu,” kata Rivon karena kasihan melihat Yosi yang tiap hari bekerja bagai budak. Mungkin Rivon juga ikut menjadi saksi keganasan keadaan yang dialami Yosi. Memang, hak ikhwal Yosi tak lagi menjadi rahasia.
“Untuk apa menikah? Aku sudah bisa memasak, menyuci dan mengerjakan semua yang bisa dilakukan seorang istri?” jawab Yosi dengan sedikit berkelakar. Disertai tanya.
“Ah Yosi, tidakkah kau ingin merasakan nikmatnya tidur bersama seorang wanita? Tak maukah kau dilayani seorang istri? Tak sudikah kau beroleh keturunan? Penerus. Penerus margamu Yos,” tambah Rivon.
Rivon berusaha menyadarkan Yosi tentang pentingnya berkeluarga. Hidup bahagia di hari tua dengan didampingi anak istri dan cucu.  Terus saja dia mengiming-imingi Yosi tentang sesuatu yang sebenarnya tak diyakininya betul.
“Maukah kau korbankan kebahagiaan kau hanya demi kesedapan di atas ranjang nun singkat itu Von? Kau lihat hidup si Jerry, saban hari bertengkar dengan istrinya gara-gara setiap pulang dari sawah istrinya asik nonton dan bakarlota dengan teman-temannya. Kau lihat si Eli. Anaknya pas kesebelasan sepak bola jumlahnya. Semua menumpang di rumah menantunya. Kau lihat si Oni, dia ditinggal oleh istrinya setelah bosan dengan kesedapan ranjang hanya dengan satu  lelaki. Tak usahlah kau pikir hidup aku, kawan. Aku bahagia dengan nasibku. Aku telah memilih untuk sendiri bukan karena aku tak mau menikmati tubuh perempuan. Aku memilih begini karena aku tak ingin mewariskan penderitaan pada anak-anakku. Cukuplah aku yang merasakannya. Aku tak mau anak-anak dan cucuku mengutuki aku karena telah menyebabkan mereka lahir ke dunia,” Rivon terpaku. Dia tertunduk malu.
Selama ini dia mengganggap Yosi adalah orang yang bodoh yang tak memahami hidup. Selama ini dia berpikir bahwa Yosi telah sesat pikir dan sesat tindak. Rivon malu tersipu telah menuduhkan hal-hal yang tak baik pada Yosi.
“Rivon, kenapa kamu ingin menikah? Apa karena kamu yakin kamu bisa membahagiakan anak istrimu? Apa kamu yakin sanggup mendidik anak-anakmu menjadi anak-anak yang berperilaku patut dan tak akan menjadi musuh negara kita?” Rivon masih tertunduk. Tak berani dia mendongak. “Von, kalau kau tak yakin bisa dengan semua itu, bukankah sebaiknya kau mencegah satu langkah agar tak ada langkah-langkah lain yang nanti membawa kau ke jurang sengsara abadi? Hidup itu singkat, kawan. Jangan kau hanya berpikir bagaimana memuaskan keinginanmu semata. Bahagiakan orang lain. Atau paling tidak, cegahlah ketidakbahagiaan itu.”
Rivon tak berani mendongak hingga kini. Yosipun melanjutkan pekerjaan. Sudah waktunya mengambil sareng-sareng yang bergelantungan di atas pohon aren. Lalu, dia masih harus mencari kayu bakar. Tambah lagi dia harus merebus saguer. Rivon pulang tanpa pamit. Sempat dilihat Yosi pria yang sok tahu itu pulang tanpa pamit. Tanpa basa basi. Pulang tetap tertunduk. Dalam hati terus menyalahkan diri sendiri karena telah berprasangkah sangat tak adil kepada Yosi. Teringat oleh Rivon sebaris kalimat goresan Pramoedya Ananta Toer, “Seorang cendekiawan harus bertindak adil sejak dari pikiran.”

23/02/2012




11.     Toar dan Lumimuut
Berjualan Kacang di Singapura

Della, pacarku, mengusulkan supaya kami mampir sebentar di sebuah toko agar dia bisa membeli sesuatu untuk temannya yang sedang menunggu di kosnya. Usulan itu tak aku tampik karena memang aku ingin jalan-jalan lagi ke area pertokoan itu. Pasar swalayan itu adalah pasar modern yang sangat besar. Dulunya kawasan itu begitu terkenal sehingga orang kampung di pelosok manapun di Minahasa tahu dengan itu. Sampai-sampai ada teka-teki lucu yang bunyinya begini, “Ada berapa matahari di Manado Alo?” “Satu,” jawab Alo. Dengan cepat penanya bilang bahwa jawaban Alo keliru. “Salah Alo!” Matahari yang dimaksud penanya adalah nama toko swalayan terbesar di Manado. Memang baru saja berdiri Mega Mall. Di situ  ada juga Matahari. Penanya ingin mengetes apakah Alo tahu dengan perkembangan baru itu. Maklum, Alo yang kesehariannya sebagai magula, jarang pergi  ke Manado. Si Alo salah juga memahami pertanyaan yang dilontarkan itu. Dia menganggap matahari yang dimaksud penanya adalah secara harafia. Dia dengan setengah berteriak bilang, “Ado kasiang ngana Yus, sedangkan cuma satu matahari, ngana lia kamari kita pe kuli so sama deng panta blanga. Apalagi dua!”
Sekarang gedung banyak tingkat itu tak lagi menjual barang. Melainkan jasa. Telah menjadi laiknya surya  yang memberi penerangan kepada orang yang masuk dalam gelap sakit. Tapi namanya bukan lagi Matahari. Sudah berupa menjadi Siloam Hospitals. Rumah Sakit Siloam. Begitulah bunyinya dalam bahasa Indonesia.
Tujuan kami saat ini bukan ke situ. Pacarku membawaku ke Singapura. Sebuah toko yang menjual bermacam-macam kue basah. Tak jauh dari rumah sakit baru itu. Kami berjalan ke arah pasar 45. Dalam perjalanan aku memperhatikan sekeliling. Berharap mendapat inspirasi untuk novel yang sementara aku tulis.
Aku tergugah melihat pemandangan yang membuatku seperti mengalami Dejavu. Aku melihat sendiri Toar  dan Lumimuut baru bertemu dan menyamakan kedua tongkat mereka. Tampak memang tongkat mereka sudah tak sama panjang. Mereka boleh menikah. Toar yang dewasa tampak semakin gagah. Lumimuut yang awet muda buat Toar terperangah.
Rasa penasaran membuat aku keluar lagi dari toko itu. Bau aneka kue basah yang harum dan menggoda selera tak bisa menyaingi rasa penasaranku untuk kembali melihat dua orang yang adalah leluhur orang Minahasa itu. Saat aku keluar terdengar Toar dan Lumimuut bercakap mesra. Mungkin sedang membahas keturunan mereka, makatelu pitu yang kawin campur dengan Makarua Siow. Aku mendekat. Nekat. Memastikan apa yang sedang kulihat.
“So brapa ngana pe kacang da laku?” tanya Toar. Tangan kirinya memegang se kotak halua. Sedang tangan kanannya mengusap-usap tongkat berwarna abu-abu.
“Mana mo laku ni kacang tore ini. Torang sala tampa ini sto no. Co ngana bobow, pe sadap skali tu kukis di dalam no. Nda ada orang Manado mo makang kacang tore atau halua kete di saman sekarang. Asi ngana tahu bagimana orang Manado sekarang pe gengsi,” kata Lumimuut.
Sudah lama rupanya dua  orang tunanetra ini berdiri di depan toko kue itu. Nasib mempertemukan  mereka. Toar tampak begitu rapih. Gayanya seperti seorang dosen. Sedangkan Lumimuut mirip keke yang dikirim ke Taiwan atau Singapura. Busananya santai. Potongan rambutnya yang pendek ditambah celananya yang juga pendek semakin mengukuhkan kemiripannya dengan seorang TKW yang baru saja pulang membawa dolar.
“Halua! Halua…halua kacang!” teriak lelaki tunanetra itu lantang. Si perempuan tunanetra diam saja.
Mungkin pemilik toko kue basah itu terusik. Seorang cleaning service keluar dengan sapu. Sungguh tak sopan dia. Sudah tahu ada orang, lalu dia tetap mau bersih-bersih. Mubazir. Tak ada guna menyapu pada lantai yang dilewati tak hentinya oleh orang yang lalu lalang di depannya. Aku berdiri saja di depan toko walaupun tahu dia akan menyapu lantai di mana aku berdiri. Karena tak bergeser dan mataku menatapnya tajam, dia pun sadar bahwa aku harus diperlakuan istimewa. Dia ingat bahwa pembeli ada raja. Aku berpotensi menjadi seorang pembeli.
Dia mengganti arah.
 Dia menyapu ke arah sepasang tunatetra itu. Dia tahu mereka tak bisa melihat. Dia menyapu terus walau abu berhamburan di hadapan sepasang tunanetra. Sang cleaning service ini merasa punya kesempatan berbuat semena-mena pada orang malang. Alangkah tak adilnya.
Aku melakukan gerakan mencurigakan untuk mencuri perhatiannya. Saat kami bertemu pandang ku tunjukkan raut ketidaksetujuan kepadanya. Dia pun mengerti dan segera berhenti.
Dekat trotoar terlihat seorang tukang parkir berjalan dengan kedua tongkat tripodnya. Mungkin dia baru saja sembuh dari penyakit supi karena terlalu banyak minum cap tikus. Tikus telah menggigit urat-urat vitalnya sehingga dia lebih tak berdaya daripada sepasang tunanetra itu. Pria dengan tongkat tripodnya berkali-kali memaki ketika hanya diberi uang receh oleh para bos yang lewat dengan mobil-mobil mewah keluaran terbaru. Ada perbedaan yang menggelitik dari dua orang tunetra dan tukang parkir. Tunanetra yang menggunakan tongkat seadanya padahal mereka tidak melihat. Dan mereka berjalan seperti orang normal. Sedangkan tukang parkir matanya belum rabun tapi dia memiliki dua tongkat dengan jumlah kaki, enam.
“Smo pigi kita e,” kata ibu tunanetra memecah lamunanku. Perlahan dia menyusuri jalanan ramai.
“Oh kita kira ngana so pigi dari tadi,” jawab bapak tunanetra.
Tak ada lambaian tangan atau pun jabat tangan. Juga tak ada anggukkan kepala. Mereka tahu semua gesture itu tak berlaku dalam dunia mereka. Tapi aneh, jarang terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi para tunanetra.
“Halua! Halua kacang!”
Tiba-tiba muncul rasa ibah dan haru dalam dada. Perlahan si ibu tunanetra menjauh. Hampir pupus dalam jangkauan mata. Sekilas ku lihat dia menjelma menjadi ibuku. Bapak tunanetra pula menjelma sebagai ayahku. Ku kejar si ibu tunanetra dan kuberikan beberapa lembar lima ribuan. Kuberikan juga jumlah yang sama kepada bapa tunanetra.
Kuingat temanku Kurniawan  sering bilang, “Dengan tak memberi sepeserpun pada orang malang begitu, kita meluaskan jalan revolusi. Teori-teori tentang ramalan hancurnya kapitalisme pun akan terwujud.”
Dia selalu melarangku bila memberi uang. “Kita akan membuatnya jadi malas. Atau bisa saja dia mungkin hanya berpura-pura,”  tambahnya.
Teringat pula kalimat dalam buku Emha Ainun Najib, “Terkadang Tuhan pun masih memberi apa yang kita minta walaupun dia tahu kita sering menipuNya.”











































12.     Mental Pamong Praja
Indonesia Masa Kini

Matahari belum terlalu tegak berdirinya. Namun, kami sudah seperti cacing yang berteriak-teriak minta tolong. Panas! Aku sendiri heran kenapa sang kepala sekolah mendapat ide gila memuat puluhan siswa di atas sebuah truk. Kami diperlakukan seperti sapi yang beberapa waktu lagi akan dijagal. Padahal, dana BOS tidak perlu dihemat dengan cara tidak manusiawi seperti  ini. Sialnya, gara-gara aku hanyalah seorang honor yang masih bujangan, aku dianggap layak untuk dibuat teraniaya. Sementara para guru lain dengan modal seragam PNSnya bertindak seolah bos-bos yang harus dihormati. Sialan! Bagusnya hanya pada seragam. Di dalam kelas seperti keledai saja. Tak mengajar sama sekali.
“Sir, kenapa cuma sir yang nda gabung ta panas-panas deng torang di sini? Nda adil dorang kang sir?” ketus salah seorang siswi. Aku hanya senyum kecil.
Sangatlah tidak pantas bila aku harus menceritakan perasaanku yang sebenarnya pada seorang gadis yang belum cukup pengertiannya. Lagipula aku tak mau menjelek-jelekkan guru-guru lain itu di depan para siswa. Walaupun sebenarya ketidaktahuan mereka mengajar begitu dikenal oleh para murid. Memang, terkadang guru tidak menyadari bahwa sebenarya siswa lebih banyak tahu dari yang kita sebagai guru kira.
Sesampai di ibu kota kecamatan, para guru-guru PNS  dengan pongah memerintah saya supaya mengarahkan para murid ke lapangan dimana upacara bendera akan dilangsungkan. Aku minta mereka agar sabar dengan murid karena mereka sedang capek karena kegerahan. Guru-guru itu terus mendesak gara-gara upacara sudah sementara berlangsung. Ternyata kami datang terlambat. Dengan langkah diam-diam kami masuk ke barisan. Terpaksa siswa-siswa rombongan kami harus menyambung di barisan sekolah lain sebab tempat yang disediakan sudah disabotase sekolah lain. Tentu, akan sangat kentara juga bila kami harus mencari tempat di depan. Akan lebih mempermalukan lagi sekolah kami. Satu persatu aku meminta siswa agar masuk dan menutupi barisan. Susah memang mengaturnya. Dalam situasi begini, seringkali siswa-siswi suka bergelagat. Mereka tahu sanksi tak mungkin diberlakukan. Aku menggunakan cara yang paling lembut untuk menenangkan mereka. Sudah itu akup pun mencari tempat di mana aku bisa berbaris. Yang kupilih adalah di belakang para siswa yang aku antar. Kebetulan berdekatan dengan barisan guru.
Anehnya, kini yang paling gaduh justru barisan para guru. Mereka saling bergantian berseloroh. Paling banter adalah kepala sekolahku sendiri. Leluconnya yang berbau porno menyihir para guru muda lain untuk larut dalam cerita-cerita itu. Barisan merekapun seperti ular. Semua memegang koran sebagai penutup wajah dan kepala. Sedangkan siswa mereka pelototi bila tidak berbaris dengan benar. “Ironis!”
“Istirahat di tempat grak!” teriak si pemimpin upacara.
“Ah lega,” ketus para siswa berbarengan.
Dalam situasi begini mana ada yang mau mendengar wejangan inspektur upacara. Dia seenaknya bicara pacang. Dia memang enak. Ada di panggung kehormatan. Terik matahari tak akan bisa menyengat mereka. Mereka juga bisa duduk. Mereka mengajarkan tentang perjuangan, mereka sendiri tak memberikan panutan. Mereka berperilaku persis seperti orang belanda yang suka perintah-perintah, sedangkan kami, distraf seperti tahanan. Dijemur di bawah panas yang tak punya belas kasih.
Aku masih saja berdiri tegak dengan kaki sedikit mengangkang. Kedua tanganku menyilang di belakang. Seperti diborgol. Aku membayangkan diriku persis seperti Walter Monginsidi yang siap dieksekusi oleh regu tembak. Peluh mengalir deras dari kepala. Punggungku sudah basah. Benar-benar basah. Barisan guru-guru semakin beringas. Tawa semakin melengking. Tiba-tiba seorang siswa perempuan terombang-ambing di atas tanah.
“Sir! Sir! Fista pusing, sir!”
Dengan cepat aku berlari menahan tubuh mungilnya sebelum memukul tanah. Siswa-siswa dari sekolah lain dengan sontak pun berkerumun.
“Sudah. Jangan dekat-dekat. Nanti dia tambah kepanasan. Kembali ke barisan!” kataku kepada mereke. Tampak siswa mulai berhamburan sambil mencari-cari air. Di barisan lain juga siswa terlihat satu per satu tumbang. Inspektur upacara masih saja terus bicara. Dia masih menbacakan sambutan tertulis bupati. Belum ada tanda-tanda mau berhenti. Itu baru sambutan tertulis bupati. Belum lagi sambutan lisan dari inspektur itu sendiri. Aku heran dengan pejabat di negara ini. Mereka suka sekali berkata-kata di depan banyak orang. Padahal kinerja mereka nol besar.
Setelah membaringkan siswi yang pingsan itu. Kulepaskan sepatunya. Dan kuminta siswa perempuan akar melonggarkan pakaian sehingga dia bisa bernafas bebas. Seketika itu juga kulihat semua siswa-siswi dari sekolah kami sudah tak ada lagi yang ikut dalam barisan. Semuanya telah berjalan mencari air. Mereka sudah tak tahan. Akupun setuju saja. Barisan guru-guru juga sudah bergeser ke bawa pohon untuk menghindari sengatan matahari.
***

Setelah upacara selesai aku bertemu dengan seorang guru dari ibu kota kecamatan. Dia lebih dulu yang menegur. Dari mobil jimmy dengan sok dia memamerkan kendaraannya. Aku dengan spontan berkata, “Eh so ta bae nga e!”
Dia dengan pongah menjawab, “Batabung no.”
Sungguh pongah. Mana bisa dengan gaji seorang PNS yang baru genap setahun sudah bisa memberi mobil seperti itu? Emang, gajinya berapa?
Aku jadi teringat masa lalu kami. Kami dulu sama-sama pernah terlibat dalam organisasi kemahasiswaan di tingkat fakultas. Sewaktu saya menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, dia adalah ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa. Saya di eksekutif. Dia di legislatif.
Dia pernah memohon-mohon padaku agar mendukungnya menjadi ketua. Saya berusaha membantu. Dan akhirnya dia menjadi ketua  MPM.
Suatu waktu saya mendapat tugas keluar daerah mewakili kampus. Selama saya pergi dia ternyata membuat kesepakatan diam-diam dengan pimpinan fakultas mengenai pemotongan beasiswa. Lima juta kantonginya. Itu adalah dana untuk organisasi. Tapi, dengan tamak dipakainya untuk pribadinya. Karena diuber-uber oleh anggota MPM lainya dia kembali meminta tolong kepada saya. Dengan tegas saya bilang saya tak bisa membantu dia. Karena jika demikian, sama saja turut menjadi koruptor seperti dia.
Jadi, mustahilah kalau dia sudah kaya sekarang kalau belum sampai setahun dia menjadi PNS. Menabung?









13.     Ingin Kaya

Herman baru saja pulang dari sekolah. Dengan langkah cepat dia berlari mencari ayahnya di sawah. Kini ayahnya adalah lelaki tua yang kesepian menjalani hari-hari sembari mengenang masa silam. Dulu, dia adalah abdi negara. Banyak orang desa menjadi tahu membaca dan menulis karena upaya dan kerja kerasnya. Meskipun begitu, profesinya tak pernah menjadi prioritas dalam perhatian pemerintah.
Dia juga ingin anak-anaknya mengenyam pendidikan sehingga nasib boleh berubah. Tapi, harapan tinggal harapan. Semua anaknya tak ingin sekolah tinggi. Mereka enggan keluar desa karena tak ingin dicemooh oleh orang-orang kota. Orang-orang di desa tetangga pun sering bilang, “Kita tunggu babi panjat kelapa dulu, baru desa kalian menjadi maju.” Begitu membekasnya pernyataan penghinaan itu sehingga anak-anaknyapun sangat rendah diri. Tapi, Herman adalah kekecualian. Dia satu-satunya yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang paling tinggi. Sewaktu dia memberitahu ayahnya bahwa cita-citanya adalah menjadi seorang dokter, ayahya sangat bangga. Sekaligus menyebabkan pria tua harus menyapu dada. Maklum, menjadi dokter adalah cita-cita yang hampir mustahil untuk diwujudkan oleh mereka yang tergolong miskin.
       Demi cita-cita, setamat SD, Herman harus berpisah dari orangtua dan saudara-saudarinya. Saudaranya ikut membantu ayah mereka bekerja untuk menopangnya yang kini menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Demi membeli buku dan mengikuti praktikum-pratikum dia menghemat dengan luar biasa. Kadang-kadang dia hanya makan sekali dalam sehari. Tambah lagi pungutan fakultas itu banyak. Pungutan yang dikemas seolah-olah untuk pembangunan padahal, untuk membuat buncit perut para dosen dan stafnya.
       Semakin bertambah semester semakin bertambah pula biaya yang dibutuhkan. Pekerjaan sampingan berusaha dicarinya agar beban orang tua dan saudaranya sedikit meringan. Hingga pada suatu saat dia bertemu dengan seorang gadis desa. Gadis yang dia temui sewaktu dia menjenguk kakeknya di sebuah desa terpencil di Tondano. Gadis centil itu begitu memikat. Sayangnya, gadis itu tak memenuhi kriteria ideal Herman. Cantik, berpendidikan, baik hati adalah ciri yang secara matang telah ditetapkannya menjadi syarat orang yang nantinya menjadi pendamping hidupnya. Pertemuan demi pertemuan kian menciptkan kedekatan bagi kedua insan itu. Gadis centil bunga desa itu tergila-gila pada Herman. Perasaan yang tak tertahankan dirasa harus diungkapkan. Grice meminta bantuan sepupu laki-lakinya untuk menyampaikan maksudnya. Usaha  sepupunyapun berhasil. Herman pun tak banyak cincong. “Apa salahnya dicoba. Toh, belum tentu hubungan ini akan sampai pada pernikahan,” bisiknya pada dirinnya sambil tersenyum kecil. Tantangan terucap. Tantangan telah diterima.
       “Apa keinginanmu Herman? Mengapa kamu menyiksa dirimu bergumul dengan buku-buku tebal selama beberapa tahun?” tanya Grice pada suatu senja ketika mereka duduk di teras rumahnya.
Pertanyaan itu dirasa cukup dalam. Pertanyaan yang seharusnya dijawabnya sebelum masuk fakultas termahal itu. Ternyata Grice bukanlah gadis dengan tingkatan kecerdasan yang dangkal. Ternyata dia sudah salah menilai Grice selama ini.
       “Aku ingin mengubah nasib,” jawab Herman singkat.
Kalimat singkat adalah upayanya paling cerdas. Tak ingin dia dianggap macam-macam oleh Grice. Dia tahu persis bahwa banyak bicara akan membuat banyak rahasia terungkap.
       “Nikahi saja aku kalau kamu ingin perubahan nasib. Aku yakin anak-anak kita akan hidup nyaman tentram nanti. Tak lama lagi kamu akan jadi dokter. Aku akan melahirkan anak-anak yang sehat dan kuat. Dan mereka tidak akan mendapat masalah dengan biaya pendidikan mereka,” kata Grice dengan lugas.
       Herman tercengang  dan tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Grice sudah lama tahu bahwa Herman ingin menjadi orang kaya sehingga bisa membantu keluarga di desa yang hampir melarat. Dia tahu bahwa tujuan Herman menjadi dokter tidaklah seperti  tujuan kebanyakan orang, yakni memberikan kesembuhan bagi orang sakit. Tujuan yang sering terucap dari bibir dari calon dokter. Tapi tidak lagi terdengar di saat mereka telah menjadi dokter. Apalagi dokter yang mapan.
       Memang salah satu pertimbangan Herman bertahan dengan Grice, kalau dia mau jujur, ialah karena kenyamanan ekonomi yang  bisa didapatnya di kemudian hari. Setelah dia tahu bahwa Grice adalah anak tunggal dari keluarga dengan kekayaan yang takkan habis hingga tujuh turunan, dia pun membuang semua kriteria yang pernah dia tetapkan berkenaan dengan gadis yang harus mendampinginya hingga usia renta.
       “Grice, kita belum waktunya bicarakan pernikahan. Kita belum begitu saling mengenal,” kata Herman terbata. Dia mencoba menghindari tatapan Grice.
       “Tak ada yang menghalangi. Orangtuaku suka sama kamu. Dan mereka juga siap membantu anak mantu mereka agar segera menjadi dokter. Tapi, aku tak bisa memaksa. Mungkin aku bukanlah gadis yang kamu impikan dan angankan selama ini.”
       “Bukan begitu, Grice. Aku…”
       “Sssst,” ucap Grice sambil menegakkan telunjuk didepan bibir Herman. Sekejab mata tangan Grice begitu cekatan menarik  Herman ke dekat dadanya. Herman direngkuhnya dengan erat. Yang terjadi selanjutnya silahkan tanya kepada kursi dan suasana remang-remang yang menjadi saksi mereka.

***

Tahun itu juga mereka menikah. Tahun berikutnya Herman dinobatkan menjadi seorang dokter. Sekarang dia menjadi dokter di Rumah Sakit Umum Malalayang. Berkat  campur tangan mertuanya dia bisa menghindari kewajiban mengabdi di daerah-daerah pelosok. Penghiantan terhadap kode etik dokter itu tak dihiraukannya. Dan sekarang dia telah menjadi kaya raya. Karena banyak tanah yang telah dibelinya dari orang-orang di desanya, dia kini menjadi pemilik tunggal dari berhektar-hektar tanah. Dia pun dijuluki tuan Takur. Tuan tanah.
Di usianya yang sudah senja dia membebaskan banyak biaya setiap pasien yang kurang mampu yang kebetulan berasal dari daerah di mana dia lahir. Dia juga membangun sebuah gereja yang megah di kampungnya dengan uang dari kantongnya sendiri. Mungkin itu untuk menebus akan penghianatannya yang dia lakukan sewaktu masih muda. Setiap pagi dia selalu berdoa, “Tuhan, biarlah aku damai dengan memberi uang untuk menyembuhkan sakit dan untuk membangun rumahMu.”
      
      

14.     Kalau Bukan PNS, Tidak Sukses

Hari telah sore. Karena kecapean aku tidur-tiduran saja di ranjang. Tak berapa lama kemudian terdengar suara ketukkan pada pintu. Aku tahu mama sedang di luar. Dia sedang menjahit beberapa pakaian sobek. Jadi aku enggan keluar membuka pintu.
“Selamat sore mam,” terdengar suara Hesty. Ternyata kakakku yang datang.
“Hei…sayang. Sudah lama kamu tak datang menjengguk. Gimana Lino dan Gloria? Baik-baik saja kan?” kata mama sesudah mereka saling berpelukkan.
Dari celah jendela ku lihat kakak satu per satu meletakkan bawaannya. Setengah pisang, sedikit ikan terik dan seikat sayuran.
Hesty adalah kakakku. Sekarang dia tinggal di Ongkau bersama suaminya. Hampir setahun dia tak berkunjung. Suaminya seorang nelayan. Dia sendiri menjadi penjaja kue basah ke sekolah-sekolah untuk menopang suaminya.
Ibupun  bergegas ke dapur untuk membuatkan secangkir kopi untuk Hesty. Nampak getir pada wajah Hesty. Ada apakah gerangan? Pasti ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Tentu ada persoalan di rumahnya. Mana mungkin dia datang jauh-jauh dengan berjalan kaki hanya sekedar untuk menjengguk.
Ku urungkan niat untuk keluar kamar. Rasa penasaranku muncul semakin kentara.
“Ma….mama…tak usah repot-repot!” kata kakakku diikuti suara desah. Terlihat dia melepas beban berat.
Tak ada sahutan dari mama. Aku tahu dia sedang membuat api di dapur. Kayu bakar akan lama dinyalakan. Butuh waktu sekitar 15 menit. Maklumlah setelah subsidi minyak tanah dicabut dan digantikan dengan gas LPG yang harganya minta ampun tingginya, orang miskin seperti kami harus menerapkan hidup super hemat.
“Hesti…ini minum dulu. Kami pasti capek jalan kaki sepanjang 9 km. Teh baik untuk kesehatan. Ibu hanya punya gula aren. Gula pasir makin mahal soalnya. Bagaimana Irene?” kata ibu. Nampak wajahnya berkeringat dan berasap.
“Dia sudah baik nasibnya. Sekarang sudah PNS. Dan dia sudah menikah. Tapi sayang, suaminya hanya seorang guru honor di SD. Heran aku. Sudah sekolah tinggi tapi mau sama pria yang tak jelas masa depannya,” kilah Hesty.
Aku sedikit tersentak dengan pikiran kakakku. Dia berpikir bahwa keberhasilan seseorang dapat dilihat dari harta dan kedudukan. Yang membuat aku sedih adalah orang dengan kerja keras dan pengabdian tinggi tetap dianggap rendah dan tak berarti. Padahal mereka melakukan pekerjaan dengan dasar kejujuran.
Tak mengherankan memang. Mayoritas orang berpikir seperti kakakku. Tawaran dunia yang menggiurkan lebih banyak dapat penghargaan daripada usaha keras dengan kejujuran. Orang-orang tetap bangga dengan kekayaannya meskipun diperoleh dengan cara korupsi dan dengan jalan yang tidak halal. Yang lebih dilihat adalah hasil daripada proses.
“Tapi syukurlah. Paling tidak, Irene tidak menjadi seperti ibunya yang hanya menjadi penjual rambutan,” ibu menimpali.
“Mama…sebenarnya aku kesini mau…..ma…” kakakku kelihatan begitu kikuk. Dia enggan menyampaikan maksudnya. Padahal mereka hanya berdua.
“Katakan saja Ti. Apa yang membuatmu malu? Aku ini mamamu. Mungkin bisa ibu bantu,” mama berusaha memberi rasa nyaman.
“Anu ma…anu…aku…aku mau piiinjam uang sama mama”.
Mama tampak sangat sedih melihat anaknya. Matanya berlinang. Namun perlahan dia berdiri menuju kamar. Sejurus kemudian dia kembali membawa sesuatu pada tangannya. Sebuah sapu tangan terlipat.
“Hesty…bawalah  ini. Perhiasan ini adalah pemberian papamu. Juallah ini,” kata mama sedikit tak rela. Namun apa daya anak perempuannya butuh pertolongan. Hesty dengan kepala tertunduk malu menerima pemberian mama. Sungguh berat. Apa boleh buat. Dia tak rela melihat Gloria, bayi kecilnya meninggal karena tak mendapat susu. Bayi yang sedang menetek pada dadanya diam saja. Dia tampak paham kegundahan ibunya. Tak mau cengeng. Dia tahu itu akan mengurangi penderitaan ibunya.
“Terima kasih banyak mama. Kami akan berusaha menggantinya,”  Hesty berdiri kemudian mendekap mama sambil terseduh-seduh.
“Sayang, sebelum kau pulang. Makanlah dulu agar kau tak kelaparan di jalan. Perhatikan baik-baik bayimu. Jangan sampai dia kurang gizi,” tutur mama memberi nasehat.
Ingin sekali aku keluar kamar memeluk mama dan kakak perempuanku. Aku pula ingin menggendong keponakanku walau hanya sejenak. Tapi aku tak mau menambah beban malu kakakku. Ku bersembunyi dalam selimut dan meraung-raung dalam diam. “Tuhan, lihatlah kami umatmu. Berikanlah kecukupan.”
“Ini nasinya. Ini lauknya. Makan yang banyak. Ceritakan sesuatu kabar dari kampungmu nak,” tambah ibu.
Setelah makan merekapun pulang. Ibu berdiri di pintu. Sedangkan aku mengintip di celah dinding. Bersama kami memandang kakak kami yang pulang dengan masih membawa pergumulan yang berat.
















15.     Sayang,
Toar Tak Sampai  Tetewatu


Kami telah bersepakat untuk menikmati hari libur Idul Fitri  di tempat yang tak lumrah. Biasanya kami pergi ke pantai. Mendengar suara gulungan ombak, dan melihat riak-riak nan indah ketika air ditiup angin-angin kecil. Bahkan, tidak jarang alasan kami pergi ke pantai adalah untuk untuk mencicipi rasa asin air yang tergenang dalam kubangan yang begitu luas tersebut. Itu adalah kebiasaan orang-orang kampung, yang biasa dicap udik, ketika turun gunung. Padahal orang yang tinggal di pesisir pantaipun kelihatan lebih udik lagi ketika mereka pergi ke desa kami yang ada lereng-lereng bukit demi melihat monyet-monyet yang punya kemiripan dengan mereka.
Kami menikmati hari libur Idul Fitri bukan karena kami pengikut Muhammad. Kami pengikut Yesus dari Nasaret. Kejenuhan kami pergi ke pantai dikarenakan selama dua tahun ini pantai selalu menjadi tujuan wisata kami. Akibatnya kami hampir lupa bahwa di sekitar kampung kami juga terdapat situs indah. Namanya Tetewatu1.
Perjalanan ke situs itu cukup jauh dengan medan yang sangat menantang. Tapi, tak satupun anggota pemuda kami yang mengeluh soal ini.
Dalam rapat, sehari sebelumnya, kami telah bersepakat untuk berangkat jam 08.00 pagi.   Saat aku menanyakan baik-baik apakah mereka bisa melaksanakan keputusan itu dengan baik, semua tiada menunjukkan tanda-tanda penghianatan pada keputusan. Akupun teryakini dengan itu. Walaupun awalnya ada keraguan. Ini karena mereka selalu saja tidak tepat waktu dan sering melanggar setiap hasil musyawarah yang kami buat pada waktu lalu.
Besoknya aku bangun pagi sekali. Ibu sangat baik padaku. Bekal untuk seharian aku telah dia disediakan. Ada nasi kaboro dengan lauk yang unik, tikus yang disaus. Mulutku jadi bergidik saat mencium aroma enak dari lauk khusus itu.
Sayapun siap. Bekal sudah ku taruh di atas meja. Lengkap dengan sebilah parang untuk menebang kayu sebagai pembuka jalan saat masuk di belantara kelak. Bisa juga sebagai jaga-jaga jangan-jangan ada serangan ular tiba-tiba.
Kami setuju untuk berangkat bersama.
Sudah hampir jam delapan, tapi tak satupun daribantara teman-temanku yang muncul. Aku keluar dari rumah dan melihat ke langit bagian timur. Hitam pekat. Gelap!
“Akan hujan lebat sebentar lagi,” gumamku dalam hati
Melihat kondisi seperti ini, aku ragu akan kedatangan teman-teman itu.
Tak sampai 5 menit langitpun kembali menyingkapkan matahari yang ditawannya.
“ Ada harapan kami bisa berangkat,” kataku bahagia.
Sejurus kemudian datang beberapa teman lelaki. Tak satupun yang membawa jinjingan. Mungkin kedatangan mereka untuk memberitahukan bahwa mereka tak bisa bergabung dengan tim.
“Mau pergi tidak? Kok datangnya telat,” tanyaku protes.
“Oh tentu tentu kami akan pergi. Kami tak mungkin melewatkan kesempatan menjadi penjelajah bersamamu ketua. Awalnya kami memang ragu sih,” kata Tamber separuh bergurau.
“Mana bekal kalian? Selalu saja begitu…Kalian tak takut mati kelaparan di sana nanti?”
“ Salah satu dari kami kan pernah jadi Tarzan. Tak ada yang perlu dirisaukan. Hero pernah berkawan dengan monyet cukup lama. Pasti akan ada yang membantu kami saat lapar. Hero tinggal meneruh kedua telapak tangannya dekat mulut dan auwoooooooo!”
“ Hahahhahahha.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Ngomong-ngomong, mana yang lain? Maksudku para gadisnya. Kan tidak seru kalau yang pergi hanya lelaki saja?”
“Shila, katanya akan ikut. Memei….tidak tahu. Tak pasti.”
Tak sampai seperempat jam kemudian pasukanpun telah bertambah. Matahari kini semakin nampak dan mulai menggigit. Kulihat jamku. Sekarang jam 08.30.
“Huh…Kita sangat jauh dari rencana,” kataku kesal.
Setelah semua telah terkumpul di rumahku, kamipun berdoa. Sehabis anggota dihitung, kamipun mulai bergerak lambat ke arah barat. Tujuan kami adalah situs yang bernama Tetewatu.
Pergerakan yang cukup lamban. Senda gurau pun menemani langkah-langkah mungil kami.
Belum sampai setengah kilo meter, kulihat Toar berlari kearah berlawanan dengan arah tujuan kami.
“Kau mau kemana, Toar?”
“Aku lupa sesuatu!”
“Lupa apa?”
“Alkitabku tertinggal di atas meja. Di rumah kamu.”
“ Dasar! Kecil-kecil, sudah pikun. Kalian bisa jalan terus. Tak perlu tunggu aku. Aku bisa nyusul!”
“Tapi kamu tahu tidak jalan ke Tetewatu?”
  Tenang ketua, aku bisa menyusul kalian sebelum di persimpangan jalan.”
“ Ok, kalau begitu.”
“Cepat ya. Jangan buat kami menunggu terlalu lama!”
Kamipun melanjutkan perjalanan.Tapi langkah sengaja lebih ku perlambat. Supaya Toar bisa mengejar kami. Teman-teman lain sudah berada jauh di depan. Mereka sekarang sudah tak kelihatan. Sudah dilumat belokan.
Sesampai dipersimpangan, Toar belum muncul. Sudah 15 menit di situ tapi kami hanya berdiri saja. Dia tak juga menampakkan batang hidungnya. Saya dan kekasihku terpaksa harus siap-siap diserang penyakit farises.
Apa boleh buat. Harus kami tunggu.
Sesuai kesepakatan kami wajib jalan bersama supaya hal-hal yang tak diinginkan tak terjadi.
Lama-lama kamipun bosan berdiri di persimpangan seperti menunggu-nunggu ojek. Kami putuskan untuk lanjutkan perjalanan.
Dengan demikian, anggota kami tidak lagi 18 orang. Sekarang kami tinggal 17 orang. Toar tidak tahu menahu jalan ke Tetewatu. Tapi, dia bersikeras untuk tak ditunggui. Kini lihat akibatnya.
“ Oh Toar yang malang! Sungguh sangat disesalkan kamu tak akan termasuk dalam kelompok pemuda yang pertama melaksanakan ibadah wisata di Tetewatu. Namamu takkan tertulis dalam sejarah,” kataku seperti mengucapkan puisi.
Langkah kini kami percepat. Harus menyusul teman-teman yang lain. Masih banyak persimpangan jalan di depan. Kelompok yang terpisah-pisah akan tersesat nantinya.
Langkah semakin ku percepatan.Kian cepat. Kekasihku mengeluh. Kakinya mulai belas. Aku seperti tak begitu peduli. Ku jelaskan alasan logisku. Dia tampak tak puas dengan penjelasanku. Wajahnya jadi cemberut. Tanda-tanda ketuaan tersingkap. Padahal umurnya baru 19 tahun. Benar kata orang:“ Marah-marah cepat beking tua.”
Ku perlambat langkah. Ku jemput dia. Ku raih tangannya. Ku berikan satu kecupan manis. Ada senyum tersungging di sudut bibirnya. Sangat mudah ternyata menjinakkan seorang singa betina muda.
Memang kecupan lebih bermanfaat  daripada rentetan kata yang panjang. Kecepatan langkah kami berdua kini selaras. Gara-gara begitu kami sekarang berada di belakang teman-teman yang tadinya di depan. Dengan jarak hanya 20 meter. Ternyata mereka juga  memperlambat langkah demi menunggu kami. Mereka kini berpeluh. Beberapa dari para gadis manis mulai mengeluh. Para pemuda setengah bayapun ikut-ikutan. Maklum mereka bukanlah petualang sungguhan sepertiku.
“ Wah enaknya jalan berdua sang pujaan hati. Kami jadi irih. Frengki, mau tidak kamu jadi pasanganku? Sehari ini saja.”
“ Tidak mau ah… Najis!”
Gelak tawapun meledak seperti ledakan bom Marriot yang menewaskan beberapa warga Negara asing. Untung saja bomnya bukan bom betulan. Nasib kami tak jadi seperti WNA yang tewas mengenaskan. Yang menyebabkan hubungan Indonesia dan Australia sempat memanas.
“ Woi…..tunggu! Aku disini.”
Serta merta semua kami berbalik melihat mencari-cari asal suara. Ternyata si Toar. Badannya berguncang-guncang. Ngos-ngosan. Pakaiannya kini basah.
Dia menyusul kami dengan berlari. Sambil membawa bekal makanan berkuah yang kini terlihat sedang meleleh. Bau tumis membuat kami lapar. Tapi perjalanan belum separuh. Bukan kebiasaan yang baik makan sebelum sampai di tempat tujuan. Pantang buat kami. Itu pesan apo-apo2 kami.
Tak sampai 10 menit. Kami tiba di perkebunan Aser. Para lelaki mulai berteriak. Memanggil-memangil Anto, Yanli dan dua gadis yang mereka gonceng di motor mereka. Kami sudah bersepakat ditunggu di tempat itu. Semakin keras kami berteriak. Tapi tak ada sahutan.
“Sekarang kita sudah di sini. Selanjutnya kita mengambil jalan yang mana? Ke kiri, ke kanan atau lurus saja?” tanyaku.
“Lurus boleh. Tapi jauh. Kalau mau cepat seharusnya kita lewat jalan Punti2. Bukan di sini,” Jawab si Ading berambut harajuku itu.
“Loh kok kami tak dibilang tadi?”
“Ya…ku pikir tak perlu lagi. Kita kan sudah buat kesepakatan bahwa teman-teman yang datang dengan sepeda motor tunggu di sini.  Jadi ku ku simpulkan kita akan memilih jalan lurus,” katanya dalam ketidakpastian.
Sewaktu aku berdebat dengan Ading, ku lihat Toar mengambil jalan ke kanan. Akupun jadi berkesimpulan kita semua akan ke kanan. Bingung!
Aku mulai berjalan searah dengan Toar. Membuntutinya.
Ading datang mencegah. Toar pergi semakin jauh. Kami berjalan kearah lurus. Bukan ke kiri atau ke kanan. Kami berusaha memangil si Toar. Seruan kami tak dihiraukan. Dia lupa akan kesepakatan bahwa kami tetap harus bersama. Seyogianya tak ada yang jalan sendiri. Kami terus berseru memanggil. Diapun membalas namun suaranya makin memudar. Keras kepala! Dia pikir dia telah mengambil jalan yang benar. Kini suaranya tak terdengar lagi. Kami putuskan untuk teruskan perjalanan. Lurus kedepan. Lewat sungai besar. Beberapa teman gadis ada yang takut melintasi sungai. Terpaksa kami temani lewat sisi lain. Melalui jembatan darurat. Ya kami mengambil  alternatife jalan di jembatan kayu.
Kami masih menunggu susulan Toar. Sampai sekarang dia tak kelihatan. Dasar keras kepala! Daripada stres saya putuskan untuk berhenti merisaukannya. Kami jalan terus. Naiki lereng yang curam.Turuni lereng yang miring. Naiki bukit miring.Turuni lereng yang terjal.
Tak lama kemudian terdengar bunyi aliran air yang deras.
“Itu pasti sungai Tetewatunya,” seruku dengan riang yang tak tertahan.
Hati mulai berdegup-degup.Tak sabar kami untuk melihat buatan tangan Tuhan yang elok. Seelok eden dimana Adam dan Hawa jatuh dalam dosa.
Berharap sesampai di sungai, Tetewatu persis di depan mata. Ternyata tak seperti itu.
Kini si Ading sang pemandu mulai berjalan di depan kami.
“Kita harus menyusuri sungai. Kita akan mengikuti arus. Kemana air sungai ini mengalir, kesanalah kita. Dia akan membawa kita ke tujuan kita,” kata remaja tanggung berambut pirang karena dicat itu.
Kami menaruh kepercayaan penuh padanya. Walaupun awalnya ada sedikit keraguan.
Tiba-tiba wajah Toar terbayang.
“Kira-kira dia dimana ya,” bisikku dalam hati.
Sebagai  pemimpin rombongan aku punya tanggungjawab atas keselamatan dia. Bagaimana kalau dia hilang. Tentu orang tuanya akan menuntut padaku. Aku berharap dia benar. Mungkin dia sudah tiba di Tetewatu. Sebab itu yang dia mau.
“Dia nekad mengambil jalan ke kanan karena dia yakin itu adalah jalan yang akan mengantarnya ke Tetewatu dan tentu mendahului kedatangan kami ke Tetewatu.”
Aku dan gadisku terus berjalan membuntuti teman-teman. Sungguh petualangan yang hebat. Hujan mengguyur dengan cekatannya. Tubuh kami basah kuyup oleh hujan dan air sungai karena sudah beberapa kami tercebur karena terpeleset pada batu-batu yang berlumut.
Di belakang kami ada sepasang kekasih.Tampak mereka saling menjaga. Tangan mereka tak bisa lepas satu sama lain. Pasangan yang serasi. Mereka masih kuliah tapi mungkin bulan depan mereka akan segera menikah.
Aku dengar si wanita sudah berkali-kali mendesak sang lelaki supaya cepat melamarnya. Si lelaki masih menolak secara halus.“Belum ada uang”, katanya.Ya memang di jaman sekarang serba mahal. Supaya bisa menikah, kita harus punya sedikitnya 20 juta. Aku sering bertanya: “ Untuk apa? Apakah perempuan sebegitu rendahnya sehingga  dibayar seperti barang? Tak pentingkah cinta lagi sehingga perkawinan didasarkan pada harta belaka?”
Jaman sekarang memang semakin materialistik. Anak perempuan sendiri dijadikan barang komiditi. Tidak sedikit orang tua yang door to door menawarkan anak perempuan mereka pada orang-orang berduit. Banyak yang berminat, tapi selalu saja memberikan penawaran. Calon pembeli selalu bertanya. Tidak jarang pertanyaan itu merusakkan pendengaran.
“Aku mau beli. Tapi, anakmu terbuat dari apa? Apa benar-benar buatanmu atau orang lain? Terbuat dari apa? Tepung atau beras? Sudah berapa calon pembeli yang mencolek-colek? Apa anakmu sudah pernah dicicipi? Isinya?Unti atau daging?”
Sungguh tak ubahnya seperti percakapan dalam pasar tradisional. Ada penjual ada pembeli.
Pasangan kekasih seolah tak punya hak menentukan hidup mereka. Padahal, yang akan menjalani penderitaan hidup adalah mereka. Kenapa mereka tidak diberikan kebebasan memilih dengan siapa mereka menderita dan bahagia?
“Hidup adalah penderitaan,” kata Budda.
“ Hidup adalah kesia-siaan adanya. Berbahagialah mereka yang tak pernah dilahirkan,” keluh Salomo.
Kecenderungan sekarang adalah bagi pasangan yang sudah cinta mati, mereka lebih memilih kawin lari saja. Atau kalau tidak, si lelaki menghamili si gadis sebelum nikah. Supaya harga komoditinya berkurang atau tidak dibayar sama sekali. Karena malu, sudah bunting, orang tua si gadis suruh pasangan itu cepat-cepat kawin biarpun si lelaki hanya gembel.
“Pili-pili dapa langsa busu4.” kataku sini dalam hati, “ Ah… kenapa pikiranku sampai memikirkan itu?”
Sungguh mengejutkan! Kami sekarang berada tepat di depan Tetewatu.
“Gerbang air yang luar biasa!”
Semua yang telah tiba lebih dulu tampak gembira menikmati kemolekan situs hasil karya ilahi itu. Lekuk-lekuk badannya tampak sempurna hingga buat kami bergidik. Layaknya para lelaki memandang span-span5 yang lengak-lengok. Setiap mata melotot memandangi ketelanjangan Tetewatu. Dia masih perawan. Kamilah sang pengambil kesuciannya.
Tak lupa kami mengambil beberapa gambar kami sendiri secara bersama. 15 menit kemudian kebaktianpun dijalankan. Semua begitu kusyuk ibadahnya. Kami bersembahyang dan menyanyi di tempat eksotis ini. Rembesan air yang menyejukkan wajah menambah romantis suasana.
Lantunan-lantunan puji-pujian kepada yang Maha Kuasa mengema merabai dinding batu. Para makhluk halus bingung dengan gerak-gerik aneh yang berlaku. Mungkin mereka terusik. Mungkin juga mereka keasyikan mendengar lagu pop rohani yang belum pernah terdengar sebelumnya.
 “Ini luar biasa! Ini suatu kemajuan. Kita melihat dunia baru,” kata makhluk halus yang sedikit open-minded6.
“Tidak! Ini adalah awal dari kehancuran peradaban kita. Aku tak ingin generasi kita suka dengan lagu pop rohani yang biasa membuat anak-anak muda kita berjingkrak-jingkrak seperti orang gila,” kata makhluk halus yang konservatif.
“Hey Konservat, sudah saatnya kita bangkit dan bergerak maju. Kenapa kamu anti dengan pembaharuan, kreatifitas dan kemajuan?”, kata makhluk halus yang Open-minded.
“Itu bukan pembaharuan. Itu hanya emosi yang meluap-luap. Cerminan dari ketidakmatangan.I tu bukan kreatifitas. Itu wujud kejenuhan pada sesuatu yang teratur nan rapih. Itu bentuk adalah pemberontakan.Dan itu bukan kemajuan. Itu adalah penyimpangan. Sesat jalan. Dan jalan itu, suatu saat akan membawa kita pada posisi kita semua. Dan itu bukan kemajuan, tetapi malahan merupakan kemunduran,” kata Konservat.
Toar tak kunjung tiba.
“Dimana dia gerangan? Jangan-jangan, dia telah diterkam binatang buas. Atau mungkin tertangkap oleh Patola7 yang besarnya seperti batang pohon kelapa itu. Sekarang sudah jam 2 sore. Seharusnya dia sudah tiba disini setengah jam yang lalu.”
“Teman-teman mungkin sudah saatnya kita pulang,” usul Yanli.
“Bagaimana kita pulang? Apa kita akan kembali menyusuri rute yang kita lewati tadi?”
“Tidak. Kita harus terus mengikuti kemana sungai ini akan membawa kita. Jaraknyapun lebih dekat.”
Sejujurnya aku masih suka berlama-lamaan. Namun, semua kami nampak mulai kedinginan. Setiap tubuh kami berguncang dengan cepatnya. Semakin kami mengeras semakin hebat guncangannya. Tidak heran.Kami sudah disirami selama 2 jam. Tambah lagi hari mulai gelap. Tetewatu kini terasa mulai menakutkan.
“Ayo jalan terus. Tak lama lagi hari gelap.Tak ada yang membawa penerang. Kita harus percepat langkah kita. Kalau tidak…..”.
Semua menjadi ngeri mendengar ajakan yang mengancam itu. Tak ada yang mau bermalam di Lolombulan. Hutan Lolombulan terkenal angker dan sarat dengan linta dan ular yang ukurannya sebesar pohon kelapa. Kami bisa remuk oleh belitan ular.
Kami bisa kehabisan darah oleh gigitan dan hisapan linta-linta buas.
 “Kira-kira,Toar dimana ya? “, aku mulai risau.
“Sudah kubilang supaya tetap bersama. Kenapa sih dia begitu keras hati.Menyusahkan saja!”
Setengah jam kami terbawah hentaran sungai. Kini kami telah berada di area bernama Licu incawayo8. Kami berjalan terus.
Sekarang kami sudah di perkebunan Punti. Mampir sebentar di Tampagula9. Secara bergantian kami mengambil tombal10 dari wajan besar. Tombal rasanya bertambah manis karena kami menggunakan tempurung kelapa sebagai ganti gelas. Tubuh kami jadi hangat. Rasa dinginpun hilang dan terlupakan.
Sampai sekarang Toar belum terlihat.
Perjalanan berlanjut. Kami menuju perkebunan Aser. Kami harus melintasi Aser lagi karena dua sepeda motor  milik Anto dan Yanli ditinggalkan disana.
Hanya butuh waktu setengah jam untuk tiba di kampung. Kami tiba menjelang malam.Tak ada orang tua Toar datang menanyakan keberadaannya.
Mungkin dia memang sudah pulang lebih dulu.Dia mungkin batalkan kepergiannya ke Tetewatu karena sakit perut.
Namun, aku lega.
Besoknya, kami bertemu Toar. Dia hanya senyum-senyam dan seperti tak mau mengaku salah. Aku sedikit menunjukkan rasa kesal padanya.Ternyata, dia memang tersesat di tengah hutan. Dia berusaha menyusul kami tapi tak berhasil. Diapun pulang ke rumah saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dia juga menceritakan bagaimana susahnya dia berjalan pulang dalam kegelapan. Berjalan seperti tunanetra. Dia terlunta-lunta di perkebunan Punti dan Aser. Berkat iman dan tuntunan ilahilah dia boleh mencapai rumah. Syukur.
***
[Selesai 12 September pukul 23.00]
1 Batu titian. Situs ini terletak di perkebunan dekat hutan Lolombulan. Orang-orang peminat kodok sering ke tempat ini.
2 Leluhur/orang tua yang telah berpulang kea lam baka yang semasa hidupnya dikenal sebagai orang bijak dan baik (Tontemboan).
3 Pisang (Tontemboan). Punti adalah nama perkebunan yang terletak di utara desa Tondei.
4 Pilih-pilih dapat langsat busuk (Malayu Manado). Peribahasa ini berarti jangan terlalu memilih supaya akhirnya tak mendapat yang buruk
5 Ketat (Malayu Manado). Sekarang ini istilah tersebut berarti gadis atau wanita yang menarik perhatian karena mengenakan pakaian yang ketat.
6 Berpikiran terbuka untuk menerima saran dan sudut pandang orang lain.
7 Ular Piton (Melayu Manado). Juga sering disebut Moromok (Tontemboan)
8 Punggung kuda (Tontemboan). Area disebut Licu incawayo karena bentuknya menyerupai punggung kuda.
9 Tempat gula (Melayu Manado). Tempat ini adalah tempat dimana tahap terakhir dalam proses pembuatan gula aren.
10 Air nira yang sudah di masak (Tontemboan).






























16.     Ketika Kita Kehilangan

Wany sampai di rumahnya saat hari belum gelap. Begitu lega dia saat mencium aroma rumah. Dia senang karena sempat memberi tumpangan kepada seorang ibu dan anaknya sewaktu dalam perjalanan tadi. Kebanggan membantu orang itu nampak pada wajahnya yang berseri-seri.
Sementara karena tak muat, sang suami dan bapak itu ditinggal saja. Dia harus membetulkan rantai sepeda motornya yang putus. Tadi, sewaktu melihat motor mogok, Wany menepi dan menegur sekeluarga itu. Tampak seorang wanita dengan seorang anak lelaki yang masih kecil duduk pada batu-batu timbul yang besar. Menunggu. Si suami yang bernama Yohanes begitu  Kuat konsentrasinya. Hanya sekali saja dia menoleh pada Wany. Rantai yang putus berusaha diperbaikinya dengan hanya menggunakan tang dan obeng.  Dia memiliki keyakinan pasti sanggup memperbaikinya sebelum hari menjadi malam. Mungkin sudah sering dia mengalaminya.
Wany memang tak tahan melihat orang dalam kesusahan. Dia berupaya memberi bantuan selama itu bisa dilakukannya. “Dimana jo ngana, jangan lupa tolong orang laeng yang susa,” itulah didikan orang tua dan gurunya yang senantiasa dia ingat sampai sekarang.
“Kyapa?” sapa Wany dengan bahasa Melayu Manado pegununungan yang berarti ‘kenapa’ sambil mendorong kaca helem keatas untuk menyingkap wajahnya agar gampang dikenali.
“Putus tu rante no,” jawab Yohanes sambil terus bekerja.
“Kalu kita, ta so nda tahu mo beking bagimana itu,” Wany memberikan komentar merendah diri yang juga sebagai kata lain  bahwa dia tak bisa bantu apa-apa.
Bulan lalu, sewaktu sepeda motor Wany mendadak mati,  si Yohaneslah yang membantu menariknya dengan menggunakan tali rafia hingga mencapai rumah. Kalau tidak ditolongnya, tentu waktu itu Wany harus mendorong sepeda motornya sepanjang 3 km. Dan pasti itu akan sangat melelahkan. Jalan Tondei yang rusak dan bertanjakkan jauh akan menyukari Wany yang tak biasa. Mungkin ia akan tiba di rumah ketika sudah jauh tengah malam.
“Nintau lai kyapa ona ini motor korang putus-putus rante. Padahal baru ki’i ganti gir deng rante minggu lalu. Dorang bilang kata gir so tajam. Baru ganti no,” keluhan sang istri tampak begitu dalam. Menyiratkan kerisauan tak terselam.
Yohanes memang seorang suami yang rajin. Namun pendapatan mereka kadang tidak cukup untuk mengongkosi kehidupan mereka sehari-hari. Anggaran rumah tangga lebih banyak beralih kepada sepeda motor yang sudah menjadi seperti anggota keluarga bagi mereka.
Walaupun keadaannya kini memprihatinkan, tapi Yohanes tak berani sedikitpun meremehkan bantuan yang telah roda dua itu lakukan. Meskipun sering mogok, perjalanan jauh setiap hari menjadi ringan sejak kehadirannya. Sebagai imbalannya dia harus terus diberi perawatan yang tak murah.
Wany ingin memberikan tumpangan bagi mereka. Terutama kepada  si wanita dan anak yang masih berumur jagung itu. Tapi dia sedikit ragu. Bukan karena dia pelit. Cuma, dia tak mau saja disangka maniso. Istri Yohanes memang sungguh elok. Namanya Syuli. Kalau tak kenal, pasti dia akan disangka sebagai seorang  gadis.  Kulitnya yang putih dan bodinya yang aduhai menyimpan kenyataan bahwa dia telah menikah dan memiliki dua orang anak.
Wany tak mau saja dianggap berusaha menolong karena ingin bersentuh-sentuhan dengan Syuli. Apalagi akhir-akhir ini ada beberapa kasus perselingkuhan di kampungnya. Dia tak mau masuk dalam daftar orang-orang yang akan terusir dari kampung.
“kita smo kamuka dang ne,” kata Wany. Menunggu dan berharap mereka  memintanya bantuan.
Secepat kilat Yohanes memalingkan wajah ke istrinya yang sedang duduk pada bebatuan timbul di pinggir jalan. Istrinya nampak lelah. Penuh keringat. Seumpama gembel perawakannya.
“Ato ngana nae jo motor deng Wany,” kata Yohanes kepada istrinya sambil menghentikan pekerjaannya sejenak. Tangannya yang penuh oli tanpa sadar menyeka wajahnya. Wajahnya kini belepotan. Terlihat dia mempercayai Wany. Mungkin pikirnya, “Tak mungkinlah seorang pelayanan Tuhan melakukan yang macam-macam pada istrinya.” Padahal, yang paling sering berselingkuh bahkan korupsi di negara ini justru mereka yang menyebut diri sebagai hamba Tuhan dan pelayan rakyat.
Wany juga tak menyangka dia hendak membiarkan tubuh istrinya bersentuhan dengan tubuh Wany. Sungguh tak akan  Wany lakukan bila Wany beristri nanti. Tubuh muda istri Wany tak akan pernah bersentuhan dengan tubuh orang lain. Jalan Ongkau ke Tondei yang sarat dengan lubang dan batu besar timbul, tak mungkin dapat menghindarkan mereka dari persentuhan. Tentu guncangan-guncangan akan membuat mereka bersentuhan. Jarak 9 km cukup lama untuk Syuli memasrakan hidupnya pada Wany. Saat sepeda motor Wany rem dia akan mendekat. Saat Wany kencangkan, dia juga akan mendekat. Jadilah mereka seperti sepasang remaja yang sedang pacaran di atas sepeda motor. Suasana akan begitu romantis ketika mereka melihat pemandangan sekitar yang begitu indah. Deretan pohon nyiur dan cengkih begitu menggiur. Gunung Lolombulan dan Sinonsayang kehijau-hijauan akan menghadirkan suasana tenang hingga Wany akan tersihir untuk melambatkan sepeda motor supaya kebersamaan dan sentuhan boleh berlangsung lama.
“Sudah?” tanya Wany pelan. Sepeda motor bergerak. Mesin mulai berteriak-teriak menginjak-injak kerikil tajam dan batu-batu timbul.
“Sudah,” jawab Syuli terlambat. Suara dengan nada datar, terdengar begitu ringan sampai memabukkan teling Wany. Sungguh suara yang lembut. Oh Syuli nama yang elok bak Yuli kekasih hati Romeo.
Sewaktu Syuli menaiki sepeda motor tubuh Wany gemetar kecil. Wany penasaran dengan lembutnya tubuh seorang wanita bersuami dan beranak satu itu. Wanita dengan pengalaman-pengalaman biologis yang cukup lama. Wany sendiri, kalau dia mau jujur, belum pernah merasakan hal yang demikian. Paling-paling dia hanya pernah menyaksikan dalam adegan-adegan film biru yang disuguhkan secara paksa oleh teman-temannya sewaktu masih bersekolah di SMU Tombasian. Berbagai jenis gaya dan aliran sudah dia lahap semua. Itu nanti akan jadi rujukan ketika menikah nanti. Di umurnya yang sudah hampir tiga puluh dia bukan makin tambah bijak namun libidonya semakin mendesak. Kadang dia merasa sulit menahan desak-desakan badani itu. Kadang terpikir untuk segera menikah supaya dia bisa menyalurkan segala nafsu alamiah itu. Tapi, dia tak ingin menjadikan itu sebagai alasan utama untuk masuk dalam rumah tangga. Dia tahu, tidak sedikit pernikahan yang hancur karena hubungan kelamin yang diutamakan daripada keterkaitan batin. Kalau pernikahan sinonim dengan hubungan badan, berarti kita tak beda jauh dengan hewan. Pikirnya.
Seperti yang ia duga. Semakin jauh roda sepeda motor berlari, pegangan Syuli kian erat. Tangan Syuli membuat Wany membagi konsentrasinya. Mengemudi dan menahan gidik dan geli.
Wany memang seorang yang kolot.  Waktu yang diberikan Tuhan lebih banyak dia habiskan dengan membaca. Otaknya penuh dengan teori tapi semua itu sulit baginya dibuat jadi. Dalam hal wanita dia selalu angkat tangan. Tak punya waktulah. Ada yang lebih diutamakanlah. Pokoknya, tak pernah dia kehabisan jawaban ketika ditanyai perihal wanita. Faint heart never wo  fair lady. Orang yang penakut takkan mendapat seorang gadis yang cantik. Itulah pepatah Inggris yang menggambarkan Wany. Bagi dia, buku adalah teman sejati. Kemana-mana buku selalu membuntutinya. Tapi bagi orang lain, bukulah yang menghantuinya. Sungguh kasihan. Rugi kalau dia tak punya keturunan. Wany seharusnya mengabadikan dirinya. Dia harus menyambung turunan. Hidungnya yang mancung, otaknya yang cerdas, sifatnya moralis adalah tipe manusia surga. Dia termasuk dalam golongan orang suci. Ya dia pantas diberi gelar santo. Dia juga adalah manusia pilihan. Dalam hal wanita dia kalah. Tapi bukan berarti sifat itu membatalkan dia untuk masuk dalam kategori santo atau orang pilihan. Tentu di jaman modern tidaklah sulit mendapatkan keturunan dari dia. Kloning adalah jalan keluar bagi jenis manusia individual.
Kini misi menyelesaikan 9 km hampir selesai. Sedikit lagi Syuli turun. Selama perjalanan Syuli tak sedikitpun bicara. Walau hanya sekedar basa-basi. Saat dia menapakan kaki ke pijakan sepeda motor seperti dia langsung di nontaktifkan oleh suaminya. Ini untuk mencegah supaya tidak terjadi sesuatu yang buruk di antara kami. Jadinya Wany seperti menggonceng kayu. Benda tak bernyawa. Wany sedikit kesal sekaligus bersyukur. Kesal, karena sebagai manusia dia yang diposisikan hanya sebagai tukang ojek. Syukur karena niatan buruk akhirnya tak menjadi kenyataan. Wany tentu bahagia. Dia lolos lagi dari satu ujian hidup.
Wany mengantarkan Syuli dan anaknya sampai depan rumah mereka. Begitu kendaraan beroda dua itu berhenti, Syuli diaktifkan oleh suaminya dari jarak jauh. Mereka ternyata memiliki telepati yang terlampau  kuat. Banyak rumah tangga yang berantakan akhir-akhir ini sebab mereka (pasangan suami istri) tak memiliki telepati. Saat bersama orang lain seringkali mereka lupa diri. Lupa anak bini. Lupa anak dan suami.
“Singgah kwa e,” kata Syuli saat kedua kakinya dan anaknya menginjak tanah. Senyuman Syuli begitu mesra. Pasti suaminya bahagia punya istri seperti Syuli. Dia rela tubuhnya lelah, lecet dan tergores karena menopang suami di kebun. Tak banyak lagi perempuan seperti Syuli di jaman sekarang. Kebanyakan sesamanya lebih banyak sibuk dengan urusan rambut: cat warna, rebonding, keriting,  keramas, busana, bedak dan segala tetekbengek yang sebetulnya tak penting itu. Wanita masa kini suka sekali dimanja suami. Mereka jadi bergantung dan tak lagi mandiri. Tak heran mereka banyak menjadi korban keganasan pria. Banyak suami meninggalkan istri karena mereka tak menjalankan tugas sebagai penolong yang sepadan. Mereka menjadi beban. Ketika suami tak mampu lagi membeli mereka pakaian yang bagus, bedak, cat kuku, lipstik, pewarna rambut, sepatu berhak tinggi, dan rupa-rupa barang lain, maka menuding suami tak lagi sayang. Harta dan materi telah menjadi ukuran sayang dan cinta bagi mereka.
Syuli sangatlah berbeda. Dia tak suka berias, kecuali saat ke pesta. Dia tak suka ikut-ikutan mengecat rambut. Karena itu hanyalah pemborosan. Wany terpesona dengan Syuli. Walaupun Wany sendiri tak tahu pasti apa Syuli menjalani hidup itu karena panggilan atau karena tak ada pilihan.
Hidup ini sangat sulit dimengerti. Kita tak boleh menilai hanya dari  kulitnya saja.
Namun, paling tidak, meskipun tak tahu pasti, Syuli adalah salah satu panutan di antara para wanita masa kini.
“Smo langsung pigi ini. Banya kerja lai,” Wany menjawab cepat. Kalau Syuli pintar, pasti dia memahami kegalauan hati Wany. Dia sedang bergulat dengan dirinya sendiri.
Sesampai di rumah Wany melepaskan satu per satu pakaiannya. Jaket dua lapis membuatnya kepanasan. Dia kini harus membuang ingatan tentang Syuli. Tak baik memikirkan istri orang terus. Lama-lama Wany bisa menginginkannya. “Janganlah kamu mengingini kepunyaan orang,” itu adalah satu satu hokum yang ditetapkan Tuhan. Wany hafal betul ayat itu. Dia menuju pintu dan membukanya.
Ibu Wany tak bersuara melihat kedatangannya. Padahal selama tiga hari belakangan dia tak berada di rumah. Wany juga tak ingin tergesa-gesa menyimpulkan bahwa orang tuanya tak peduli. Hanya senyum kecil yang nampak dari wajah Ibunya.
Teringat di kantong ada amplop putih pemberian orang. Wany kembali tersenyum lebar. Dia tahu ada uang sejumlah besar dalam kantong jaketnya. Selesai memberi  kuliah tadi dia diberi amplop putih. Biaya transpor. Para mahasiswa memberi tanpa diminta. Mungkin mereka iba melihat dosen mereka yang tak seperti dosen lainnya yang datang dengan mobil mewah tapi selalu memeras mereka dengan biaya diktat dan lain sebagainya. Rencananya uang Rp. 200.000 itu akan dia gunakan membayar cicilan laptop yang baru diambilnya dari teman.  Wany sudah lama mengimpikan punya laptop. Bakat terpendamnya, menulis, bisa tersalurkan lewat benda itu.
Muncul perasaan bangga. Jerih payahnya tidak sia-sia. Tak rugi dia giat belajar sewaktu kuliah. Semua itu sangat berarti. Dia so pasti berhak menikmati. Senyum di wajahnya kian mengembang.
Tak sabar melihat uang itu, diapun merogoh sakunya.
“Apa?! Tidak mungkin!” detak jantung berhenti mendadak. Dia coba memastikan lagi. Tak ada amplop di kantong jaket birunya. Dilihatnya dengan seksama tapi tak ditemukan. Wany terduduk lemas. Pikirannya berjalan jauh ke belakang. Kembali menyusuri perjalanan jauhnya.
“Tidak mungkin!” keluhnya sedih.
Kali ini dia mencurahkan semua barang dalam tas punggung. Semua kantong pakaian digeledanya. Tapi tak ada.
“Pasti sudah hilang,” keluhnya putus asah.
Dia merenung.
“Mungkin ini adalah akibat karena pikiran mesum sewaktu menggonceng Syuli,” Si Wany lain mulai mempersalahkan diri.
Tak tahan dengan perasaan kehilangan itu, Wany bercerita ke orang tuanya.
“Terima jo kenyataan. Anggap jo tu doi itu pengganti soe-soe yang mungkin ngana da alami di perjalanan tadi,” kata ayah Wany.
Wany heran dengan komentar ayahnya itu. Itu pandangan yang sangat tak kristiani.
“Ada kore’e doi cuma asal taru. Nda guna re’e ada dompet,” sembur ibu menyalahkan.
Ibu Wany memberikan koreksi pedas. Tak satupun dari orangtuanya yang paham perasaannya. Dia tak mendapat penguatan. Dua-duanya sesat menyalahkan.
Wany masuk kamar dan dia berdoa. Dia berpikir dengan berdoa dia akan memperoleh ketenangan.
Tuhan, kita perlu doi. Mar kalu doi itu nda ciri di Tondei, muda-mudahan orang dapa supaya doi itu berguna for dorang. Kalu ada yang sengaja ambe dari kita pe popoji, beking tu doi itu tabale pakita spaya dia nda jadi papancuri.
Walaupun tak langsung hilang, kegalauan dan rasa kehilangannya berangsur-angsur meninggalkan Wany usai dia berhubungan dengan Tuhan. Sekian.

Selesai pukul 16.00
Minggu, 16 Oktober 2011






































17.     Kelabu di Kampung Baru

Dalam keadaan tergesah-gesah kuparkir sepeda motorku. Rambut masih basah dan kocar kacir. Ini karena aku bangun nyaris kesiangan. Di bawah pohon mangga yang rindang sepeda motorku ku biarkan berdiri dengan dua kaki. Para siswa telah berbaris rapih. Tiga orang siswa perempuan yang cantik sudah berada di depan siap untuk memimpin senam caka-caka. Senam yang berasal dari Palu ini sedang digandrungi dimana-mana. Tak terkecuali di desaku yang masih tergolong udik. Ketenaran tarian poco-poco yang asli dari Manado kini terbenam. Sudah tergantikan senam atau tarian yang sedikit erotis ini. Rasanya tidak patut senam dengan dominasi gerakan pantat ini dibawa ke dalam lingkungan anak-anak yang masih begitu polos. Dengan sedikit malu-malu ku langkahkan kaki menuju kantor kepala sekolah. Di situlah kami para  guru mengisi daftar hadir.
“ser, ada rumah yang terbakar.” Seorang siswa sedikit berteriak sambil menunjuk ke arah kampung seberang yang tak jauh dari desa kami. Aku tak mengubris.  Aku harus cepat-cepat supaya tidak kepergok kepala sekolah karena datang terlambat 10 menit.
Akhir-akhir ini aku memang sering tidur setelah ayam berkokok di tengah malam. Banyak guru yang memintaku mengerjakan yang seharusnya mereka kerjakan. Guru-guru yang sedang kuliah terpaksa meminta bantuanku karena mereka tak sanggup mengerjakan tugas-tugas dosen. Sungguh ironis.
“Ser, coba lihat. Ada yang kebakaran,” Siswa bernama Kifli itu mendesak. Masih tak kupercaya. Kadang-kadang siswa di sekolah ada yang suka mencari perhatian dengan  cara seperti itu. Meskipun kurang percaya, kupikir tak ada salahnya melihat apa yang ditunjuk oleh si Kifli.
Aku urungkan niat mengisi daftar hadir. Kepala sekolah rupanya tak ada. Tak ada hartop hijaunya. Pasti dia sakit.
“Ser, ada rumah terbakar.”
Kulihat kearah siswa yang terus menganggu itu. Senam baru saja dimulai. Mataku terbelalak keheranan sebagian siswa melihat ke arah yang ditunjuk. Sejurus kemudian pandanganku membeo pandangan mereka.
Asap mengepul dan menjulang tinggi ke langit. Asap putih kehitaman. Tinggi jauh ke atas. Mendadak aku terpikir rumah kami. Asap itu nampak berasal dari area Aer Tondei. Ya Aer Tondei. Di kompleks situlah rumah kami berada. Tak sampai hitungan ketiga aku sudah di atas sepeda motor lagi. Segera kuhidupkan dan dengan cepat menyusuri jalan bebantuan dan berkerikil yang menurun. Tak sempat aku pamitan. Tas yang berat tak sempat ku letakan di meja guru. Ku teringat rumahku. Banyak barang berharga. Antara lain buku-buku, sertifikat, ijasa-ijasahku.
Di perbatasan kampung Tondei dan Tondei Satu, tepatnya di rumah hukum tua, aku hentikan sepeda motorku sejenak.
“Vian! Vian! Sepertinya ada rumah yang terbakar,” kataku sambil ngos-ngosan. Padahal aku berlari dengan sepeda motor.
“Tidak. Itu bukan rumah. Itu…ada seorang kakek yang sementara membakar rerumputan mungkin. Dia berencana akan menamami lahan itu dengan berbagai jenis umbi. Kemarin aku sempat bicara dengannya,” Jawab pria bujangan dengan tenang.
Orang di sekitar rumah hukum tua yang kebetulan berkerumun terlihat dilayani penjual sayur dan tahu serta nampak tenang-tenang saja. Tapi aku kurang yakin dengan ketenangan mereka. Ketenangan itu mungkin disebabkan ketidaktahuan.
Aku tancap gassepeda motorku melewati jalan berlubang. Badan sepeda motor bersuara ribut. Tapi tak kupedulikan. Gas sepeda motor terus ku pacu. Saat mencapai di depan SD Inpres, terlihat asap sangat tinggi. Tapi bukan dari rumahku. Sekarang terlihat asap itu bersumber dari gereja. Gereja! Jangan! Gereja itu belum selesai. Kenapa terbakar? Sekarang sepeda motor melewati rumah. Nampak kerumunan orang memenuhi jalan. Juga di depan rumahku. Tapi tak terjadi sesuatu buruk dengan rumahku.  Dari kejauhan terlihat rombongan sepeda motor dengan kecepatan tinggi.
“Kebakaran! Kebakaran! Rumah tante Unggu terbakar!” pengemudi berteriak panik. Dengan kostum rapih aku melesat menuju ke gereja. Asal asap kini terlihat berasal dari rumah kostor yang berdiri di belakang gedung gereja. Beberapa sepeda membuntuti dari belakang. Kami terlihat dan terdengar seperti sedang balapan. Raungan sepeda motor memperburuk suasana. Orang-orang di tepi jalan terlihat semakin panik. Ibu-ibu dan gadis-gadis perempuan berteriak historis. Ada yang jatuh pingsan. Tampak begitu menegangkan. Saat tiba di gereja, kelihatan api membumbung tinggi dari sebuah rumah di kampung baru. Jalan rusak berat dengan nekad bersama-sama kami tempuh.
Sepeda motor setengah tuaku ku parkir saja sembarangan di badan jalan. orang-orang lelaki dewasa berlarian mondar-mandir mengambil air dari selokan. Air yang sangat sedikit tidak sanggup memadam api. Saat disiram api kian bertamba besar. Para wanita berteriak-teriak saat si bengis merah melahap rumah kayu berkamar 4. Rumah itu masih baru. Belum lama ditahbiskan oleh pendeta. Semua dinding lenyap. Tiang-tiang satu persatu tumbang. Para orang dewasa berusaha merobohkan tapi mereka menemui kesukaran. Kabel listrik terputus dan memancar-ancarkan api.
Dari kejauhan aku melihat sepasang suami istri berteriak-teriak penuh tangis berusaha masuk dalam rumah yang sedang lenyap. Beberapa orang beberapa kali mencoba. Usaha apapun tak dapat menghentikan api. Satu-satunya cara adalah menunggu sampai si bengis merah kenyang. Dengan begitu perlahan-lahan ia akan menghilang. Mengetahui itu, para lelaki dewasa menyerah. Semua terduduk lemas menjadi saksi keberingasan si bengis merah.
Kini bengis merah telah pergi namun jejak panas masih terasa. Walaupun begitu para lelaki dewasa berdiri dan kembali menjinjing ember. Disiram mereka sisa-sisa api. Satu dua orang dengan berani menyusuri rumah yang tercabik-cabik. Bagian atas yang jatuh membuat tumpukan di lantai. Alas kaki beberapa pria dewasa itu mencair oleh bara api. Tapi mereka tetap nekad mencari sesuatu. Aku bingung. Apa yang mereka cari? Tidak sebaiknya pencarian dilakukan setelah api betul-betul sudah padam. Pasti ada sesuatu yang berharga.
Kini telah ada 5 pria dewasa di dalam. Dengan menggunakan kayu panjang sebesar lengan mereka mengorek-ngorek tumpukan. Tiba-tiba seorang pria…
“Oh Tuhan. Oh Tuhan…kenapa kau biarkan ini terjadi. Dia masih kecil!”
Orang banyak sontak berkerumun melihat apa yang ditunjuk si pria berperawakan tinggi.
Seorang pria, belakangan ku tahu dia seorang mantan kriminal, mengangkat seonggok tubuh.
“Oh Tuhan! Oh Tuhan! Tuhaaaaaaaaan…!” kerumunan berseru dengan keras seakan-akan mempersalahkan Tuhan karena menimpahi mereka dengan musibah yang begitu berat.
Tubuh kecil berwarna hitam karena hamgus diangkat dan dipindahtangankan. Tercium bau daging pangang. Perut anak kecil itu telah pecah. Isi perut terburai. rupa tumbuh tampak begitu buruk. Jari tangan dan kaki telah tiada habis ditelan si bengis. Teganya si bengis. Tak puas dengan rumah, dia juga melahap sebagian kanak-kanak itu.
“Kain… kain. “ kata pria yang menggotong tubuh terbakar.
Seorang pemuda membuka pakaiannya dan merelakannya menjadi penutup mayat si anak. Brian tewas mengenaskan sewaktu dia bersembunyi di bawah ranjang. Kata neneknya, dialah yang memberitahu si nenek tentang api pertama kali. Sang nenek yang telah lumpuh buru-buru di selamatkan ayahnya. Sewaktu ayahnya hendak kembali ke kamar, amukan api sedang besar-besarnya. Dia berharap anak itu telah menyelamatkan dirinya. Tapi, kini telah gamblang. Brian memang berusaha menyelamatkan diri. Hanya saja di tempat yang salah.
Tangisan kerumunan menggemuruh sampai ke langit.
“Tuhan…dia hanya anak kecil. Kenapa dia? Kenapa…….?”
Saat ku lihat jam tangan, aku insaf akan tugasku. Seharusnya aku di dalam kelas  di depan siswa. Tak patut aku berada di situ. Aku melangkah keluar melewati tumpukan manusia berdesak-desakan. Sepeda motorku kini telah berada di tengah-tengah kerumunan sepeda motor lain. Satu persatu sepeda motor itu ku pinggirkan.
Ku putuskan untuk segera kembali ke sekolah tanpa kebut-kebutan. Pikiran masih terganggu oleh kejadian na’as yang menimpa keluarga yang terhitung seumur jagung. Brian baru berumur 4 tahun. Kakaknya, yang sulung, berumur 9 tahun. Pasti sangat berat jika aku yang mengalami pergumulan itu.
Begitu sampai di sekolah aku ke ruang guru sebentar. Betapa pedas kekesalan mereka padaku karena keluar begitu saja dari sekolah pasti akan segera pudar saat ku beritahu tentang kebakaran disertai foto dan video yang sempat ku ambil saat kebakaran masih sumgringahnya membabat setiap bagian rumah yang cantik itu. Untung, beberapa bulan lalu, aku sempat mengabadikan rumah itu dalam Hpku. Aku pernah memiliki impian punya rumah sebagus itu. Rumah itu dibuat sendiri oleh sang pemilik. Ayah Brian. Namanya Eben.
Seperti yang aku duga. Waktu kaki satu langkah di ruang guru. Seorang guru telah bertanya. Ku beritahu mereka mengenai peristiwa yang baru terjadi. Kaget mereka bukan main. Walau hanya melihat dari video mereka tak bedanya seperti saksi mata. Para guru berteriak dan membuahkan kegaduhan. Beberapa siswa dari kelas sebelah berhamburan ikut serta bercambur baur dengan para guru karena penasaran. Karena garang oleh kelakuan murid yang sudah tak sopan kata-kata senonoh keluar meluncur.
“Pergi sana. Binatang kalian!”
Para murid hanya sedikit menjauh. Masih berharap ada sesuatu yang memuaskan rasa keingintahuan mereka. Walaupun tak melihatnya videonya, mereka tinggal mendekat, berharap mendapat informasi dengan mendengarkan indra pendengar. Akupun menjelaskan. Para siswa terkejut sedih. Beberapa dari mereka masih saudara dekat keluarga korban amukan si bengis merah.
“Jesika, Indri dan Fike, kalian boleh pulang skarang. Tengoklah adik kalian.”
Mereka langsung bubar dan kembali kelas untuk mengambil tas. Sudah itu mereka pulang dalam keadaan muram.
“Musibah itu memang cocok untuk mereka,” kata seorang guru perempuan berambut pendek. Dia memang pernah cekcok dengan keluarga korban lahapan api.
“Kenapa ibu berkata begitu. Sungguh tak baik berkata seperti itu.”
“Memang betul. Mereka sudah pantas ditegur. Mereka jahat pada orang tua, anti gereja dan tak menghormati pemuka agama. Kami sering dicemooh mereka. Tambah lagi, mereka kurang sosial. Tidak mau bermasyarakat. Mentang-mentang orang berada.”
Tak tahu apa yang dikata itu benar atau tidak. Tapi sungguh sangat tidak manusia jika ada seorang menginjak orang lain yang sedang jatuh terperosok dalam lubang. Sudah jatuh dari pohon tertimpah buah durian pula. Sungguh malang.
Aku sendiri, bukan baru sekali saja mendengar rumor itu. Memang si bapak adalah orang yang rajin bekerja. Ekonomi mereka cepat berkembang berkat kepiawaiannya sebagai tukang kayu. Dia sanggup membangun rumah sendiri tanpa harus bekerja selama 20 tahun. Ini membuat dia congkak dan merasa tak perlu bantuan orang lain untuk bisa hidup. Tapi itu cerita yang sudah lewat. Sekarang tidaklah begitu. Sudah kehilangan rumah. Perkakas pertukangan juga telah hilang tak berbekas. Anak lelaki yang paling tampanpun ikut menjadi mangsa si bengismerah. Walaupun begitu umumnya masyarakat bersimpati. Pemerintah dan gereja bekerjasama  mengumpulkan uang dan material rumah:semen, kayu, batu, bata, pasir, tras. Belum selesai pemerintah mengumumkan lewat pengeras suara, semua material yang diminta serta uang berdatangan. Melebihi yang diharapkan. Yang tak sanggup memberi uang atau bahan, mereka menyumbangkan tenaga untuk membangun rumah baru. Tak sampai sebulan rumah permanen 3 kamar telah berdiri. Rumah kayu telah digantikan oleh rumah beton. Gara-gara itu sekeluargapun sadar dan secara perlahan mulai bermasyarakat dan bergereja.



















Description: Is-One 158  Iswan Sual, S.S adalah seorang penulis pemula. Namun dia sangat prihatin dan begitu bersemangat dengan untuk mulai bergelut.Dia adalah lulusan S1 dari Universitas Negeri Manado.Fakultas Bahasa dan Seni. Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris.
Dia berprofesi sebagai seorang guru di sebuah SD dan SMP di desa Tondei dan dosen di salah perguruan tinggi di Sulawesi Utara.
Dia banyak terlibat dalam kegiatan gereja dan kemasyarakatan di desanya baik sebagai pendamping maupun sebagai pelaksana.
Sekarang ini menjabat sebagai Ketua Komisi Pelayanan Kategorial Pemuda Toaat GMIM “Bukit Moria” Tondei Satu.
Di tengah-tengah berbagai kesibukan dia masih menyempatkan untuk membaca dan berekspresi lewat lewat puisi dan prosa.Dia juga memiliki ketertarikan untuk belajar politik, sejarah, bahasa-bahasa asing lain dan seni serta budaya. Dia berharap secara konsisten bisa melahirkan karya-karya yang berakar dan bertumpuh pada pemikiran pemikiran Tou Minahasa (Minahasan-based Thought). Ini lahir karena keprihatinannya bahwa orang Minahasa kini semakin tidak produktif dalam pemikiran.







1 komentar:

  1. 'Toar dan Lumimuut
    Berjualan Kacang di
    Singapura' keren..
    Setuju jg sama 'Kekuasaan gereja'..
    Isi semua cerita tentang hal2 d sekitar y..
    Keren2 idenya..hahha *like*

    BalasHapus