1.
Permen untuk Bahu
Sesampai
di terminal Karombasan, cepat-cepat aku naik ke bus dan mencari tempat duduk
yang dekat dengan jendela. Karena matahari sangat terik kubuka sedikit jendela
agar udara segar bisa masuk. Walaupun sebenarnya udara segar itu sudah sedikit
tercemar oleh bau pesing dan sisa makanan yang dibuang secara sembarang di
selokan. Beberapa anak dan lelaki dewasa bergantian menempel di kaca jendela untuk
memamerkan jualannya. Diselingi rayuan-rayuan kecil nan lucu yang sudah usang.
Mereka menjual buah kadondong yang telah dicelup dalam gula selama semalam. Aku
paling tidak suka membeli yang manis-manis di kala matahari penuh dendam
membakar. Tak banyak pemandangan indah bisa dinikmati di terminal ini. Bus yang
telah berdempetan seperti ikang roa menghalangi pandangan mata yang
mencari-cari sesuatu yang bisa menyebabkan kita panjang umur.
Karena
panas kian tak tertahan kucabut koran yang aku tohokkan di saku samping tas
punggungku. Kubalik-balikkan koran mencari berita yang mampu mengusir kegerahan
dalam bus bak oven pemanggang. Kalau waktu dalam oven ini diperpanjang lagi
pasti semua penumpang akan tafufu seperti ikan cakalang. Koran yang
sedang kubaca sesekali kualihfungsikan sebagai kipas. Kondektur masih terus
meneriakkan nama kampung asal Om Sam Ratulangi. Tondano menjadi begitu murah di
terminal Karombasan karena diteriakkan berkali-kali menyaingi sebungkus kacang
dari mulut para tunanetra. “Tondano…Tondano…Tondano,” kata kondektur.
Semua penumpang makin gelisah. Semua kami menjadi
cacing kepanasan yang meliuk-liuk dalam panggangan. Kesabaran. Yang dibutuhkan
dalam keadaan seperti itu hanyalah kesabaran. Sebab tak mungkinlah kami turun
mencari angin terlebih dahulu. Orang lain akan sangat senang mengganti posisi
kami.
“Tondano…Tondano!
Satu lei”
Tak
sengaja mataku tertuju ke depan. Seorang gadis bertubuh tinggi dengan rambut
terurai berdiri di pintu bus memindai setiap kursi. Akupun ikut memindai. Beberapa
kursi masih kosong. Di sebelahku juga masih kosong. Mata kami bertemu selama
tiga detik. Gadis itu bukan main cantiknya. Dia adalah representasi gadis
Minahasa yang sempurna secara fisik.
Karena
tak ingin harga diri jatuh, aku menunduk berpura-pura melanjutkan membaca.
Potret gadis itu tersimpan dalam benak. Dia berkaos merah dan celana jins
panjang hitam. Wajahnya mirip Dian Sastro. Aduhai! Bilamanakah seorang lelaki
kampungan seperti saya bisa mendapat seorang gadis seperti Dian Sastro Mimpi
kali ye!
Tak
beberapa lama kemudian seseorang telah duduk di sampingku. Tak berniat aku
menoleh sedikitpun ke samping. Sungguh tak sopan bila harus bertemu muka dengan
jarak yang teramat dekat. Aku bergeser sedikit ke jendela. Leher yang mulai
keram perlu sedikit rileks. Jadi, kusandarkan sejenak kepalaku di kaca jendela.
Seketika itu sang sopir menghidupkan mesin. Badan buspun sedikit gemetar
sehingga kepalaku terbentur kecil-kecil di kaca jendela. Lama-lama rasa kantuk
mulai datang. Orang yang duduk di sebelahku rupanya juga mengalami gejalah yang
sama. Kepala orang yang duduk di sebelahku bergerak maju mundur seperti tak
terkontrol. Rupanya kantuknya lebih parah dariku. Saat kesadaranku sedikit
menghilang, terasa ada yang menepuk-nepuk bahu. Awalnya kuanggap tepukan itu
dilakukan secara kebetulan. Biasanya orang yang memuat barang di bagasi atas
kepala secara tak sengaja menyangkutkan barang pada penumpang terdekat. Lama-lama
tepukkan itu makin keras dan mulai agak kasar. Dengan sedikit kesal aku menoleh
ke arah yang mengusik itu. Ya ampun! Dian Sastro rupanya yang menepuk-nepukku. Aku
tersentak senang. Ternyata Dian Sastro mau juga menyentuh seorang lelaki
kampungan ini.
“Cowo,
bole pinjam bahu?” tiba-tiba Dian Sastro bicara.
Aku
kaget setengah mati. Apa aku mimpi di siang bolong? Mana mungkin Dian Sastro
mau meminjam bahuku. Jangankan meminjamkan, memberikan untuk selamanya pun aku
rela.
Kutarik
nafas dalam diam-diam. Kupandangi Dian Sastro dengan sedikit pongah dan
kuanggukkan kepada sebagai tanda memberi izin agar bebas menaruh bahunya di
pundakku. Jantungku yang berdebar kutakhlukan agar tak liar. Badanku yang mulai
gemetar segera kukuasai. Dian Sastro akhirnya mendaratkan pipi kanannya ke
pundakku.
Orang
yang duduk di kursi belakang dan depan serta samping pasti takkan percaya bahwa
dia bukan kekasihku. Kemesraan ini jangan cepat berlalu. Aku berharap bus
meluncur dengan kecepatan kurang dari 40 km per jam. Aku juga berharap bus ini
mogok di area penginapan Makatembo Tinoor. Pasti suasana di situ akan menambah
keromantisan Dian Sastro dan aku.
Tapi
rupanya sopir cemburu dengan kemesraan ini. Lari bus tak terkendali. Hampir
mencapai 80 km per jam. Jalan yang penuh dengan kelok tak dipedulikannya.
Berkali-kali Dian Sastro terhuyung-huyung membentur punggung kursi depan. Dalam
setengah tidur Dian Sastro merapat lebih dekat. Dipeluk erat lenganku. Dalam diam aku salah
tingkah.
Dalam
diam aku bertanya-tanya, “Kenapa gadis ini berani meminjam bahu seseorang yang
tak dikenalnya?” Mungkin hal ini adalah sudah biasa bagi dia. Gadis ini mungkin
kecapean karena semalam bekerja sebagai seorang penari telanjang di suatu
tempat hiburan malam di pusat kota. Barangkali goyangan-goyangan aduhainya
begitu menguras tenaga si keke. Atau, mungkin semalam dia melayani beberapa
pelanggan yang tak punya hati, tak memberinya jedah. Dipakai kala ganti
oleh pelanggan yang umumnya orang-orang penting yang lelah berdebat sepanjang
hari untuk memperebutkan proyek atau jumlah anggaran untuk studi banding mereka
ke Bali atau Singapura. Gadis belia ini mungkin hendak melepas penat di
kampungnya dekat danau Tondano.
Bus
kini sudah memasuki kota Tomohon. Sejurus kemudian muncul perasaan tak sedap.
Ya Tuhan! Sungguh tak tahu diri. Kenapa aku asyik saja dengan seorang gadis
hingga lupa sama sekali ada seorang gadis lain yang dengan setia menungguku di
kamar kos. Celaka. Aku bisa celaka!
Kupindai
lagi kursi-kursi yang telah berpenumpang. Mencuri-mencuri pandang kalau-kalau
ada yang kenal aku. Gawat. Bisa kualat! Sofli pasti takkan senang tahu aku
bermesraan dengan seorang gadis di dalam bus. Tempat umum.
Perasaanku
kini campur aduk. Sentuhan-sentuhan Dian Sastro kian mengancamku. Tentu Sofli
takkan sudi mendengar lagi penjelasan bila aku tertangkap basah olehnya atau
oleh kawan terpercayannya. Makin bus mendekati Tondano jantungku kian melompat
tak karuan. Dinding dada serasa mau jebol. Dian Sastro tiba-tiba bangun.
Diperbaiki wajahnya. Dia memandangiku. Mungkin ingin tahu betul rupa seorang
malaikat yang meminjamkannya sebuah bahu. Aku balas tersenyum, “puas kau tidur
kek,” kataku dalam diam.
Dian
Sastro merogoh saku jinsnya. Terdengar suara gemerisik.
“Mau
permen?” gadis ini memiliki senyum yang indah. Sungguh aku takkan menolak bila
nanti dia memintaku meminjamkanya bahu lagi.
Hingga
kini aku tetap jaim. Tak sedikitpun kunampakkan bahwa aku sangat
terkesan dengan kelakuan beraninya. Dalam hati aku bersyukur pada ilahi yang
telah mengirim seorang gadis pengusir penat dalam kebisingan raungan bus
sepanjang perjalanan Manado-Tondano.
Ingin
sekali aku meminta nomor ponselnya, namun kulempar jauh-jauh keinginan itu. Tak
mau aku keadaan yang tadinya indah akan rusak oleh kecerobohanku yang kekanak-kanakkan.
“Muka
om!”
Kuturun
dari bus tanpa mengucap sepatah kata pun pada gadis peminjam bahu. Dia juga
enggan bicara. Sudah cukup dia menahan malu karena telah lancang meminjam bahu
seorang yang tak dia tahu sudah menikah atau belum. Hanya nalurilah yang
membuat dia yakin bahwa aku masih bujangan. Dalam hal itu dia tak salah.
Ketika
bus sudah menjauh aku tersenyum puas. Dalam diam kuucapkan, “Selamat jalan Dian
Sastro. Semoga kamu tiba dengan selamat sampai tujuan. Biarlah hal itu menjadi
rahasia kita berdua. Perhatian singkat yang aku beri adalah tulus. Sesekali
kunjungilah aku dalam mimpi.”
2.
Balas Dendam
Dengan
keseriusan yang mendalam, ditemani secangkir teh dan kue cucur, aku membaca
berita-berita dari sebuah harian lokal. Harian yang kentara dengan dua hal
saja: kriminal dan seks. Gambar orang yang mengenaskan dan memanaskan
mendominasi lembar demi lembarnya. Menurutku berita-berita yang disuguhkan di
situ bukanlah berita. Prosentase terbesarnya adalah kejadian yang
dilebih-lebihkan. Antara fiksi dan nonfiksi perbandingannya adalah 80% dan 20%.
Walaupun tahu kebohongan itu, terus saja aku membaca. Siapa tahu,
tulisan-tulisan itu dapat dijadikan inspirasi untuk karya-karyaku nanti.
Di
petang itu, matahari seakan menunda tenggelamnya karena ikut terlena bersamaku.
Tiba-tiba telepon genggamku berderit-derit. Begitu kutekan tombol tanda
terimanya, terdengar suara lembut seorang gadis di ujung telepon. Tak pernah
terpikirkan olehku si penelepon itu akan melakukan itu setelah apa yang pernah
aku lakukan padanya.
“Halo
kak!”
“Halo,
sapa ini?” kataku dengan kernyitan pada
dahi.
“Eh,
pe sombong! Masa so lupa.”
Ku
coba menerka-nerka dalam kepala. Memang suara itu tidak asing di pendengaranku.
Hanya saja akhir-akhir ini tak lagi pernah kudengar. Suaranya yang mendayu-dayu
mengorek masa laluku, empat atau lima tahun yang lalu. “Ah pasti dia! Takkan
keliru. Itu pasti Hartina,” aku memastikan.
“Eh
tumben telepon. Tau dari mana kita pe nomor?”
“Memangnya
so tau sapa kita?”
“Haaartina
to? Dari mana ngana tau kita pe nomor?”
“Ih
kakak, kalu nda suka orang tahu tu nomor, jang taru di feisbuk dang,” katanya
sinis. Aku jadi malu sendiri.
“Oh
io kang. Kyapa ngana telpon pa kita?”
Kyapa
ngana telpon. Kutanyakan sekali lagi
pertanyaan itu. Aku heran dia mau mencari kabarku. Padahal aku sama sekali tak
peduli padanya. Perasaanku campur aduk. Kami terus saja ngobrol. Tak sedikitpun
disinggungnya soal masa lalu kami yang sangat menyakitkan bagi dia. Anehnya,
dia malah melarangku membicarakan itu. Sebenarya aku mencoba mengingatkannya
supaya aku mendapat kesempatan untuk memohon maaf. Dia malah menimpali, “Tak
ada yang perlu dimaafkan, kak. Yang sudah terjadi, terjadilah. Lagipula, kita
tidak dapat merubah sesuatu menjadi lebih baik dengan terusan saja
menyesalinya.” Begitu menusuk kata-kata itu. Aku jengah. Malu. Malu pada
seorang yang terus memanggilku kakak. Begitu hormatnya dia padaku meskipun aku
telah merenggut kesucianya dan meninggalkannya.
“Kak,
torang baku dapa kwa,” katanya bak sengatan kelabang yang tiba-tiba.
“For
apa? Ngana mo lebe kecewa mo lia kita pe keadaan sekarang. Kita so nda gaga.
Kita bukang lagi orang yang pantas ngana mo beking idola.”
“Hahaha…kakak…kakak.
Masih saja seperti dulu. Walaupun kakak dulu playboy, tapi tetap saja rendah
hati. Kak, kita serius. Torang baku dapa ne?”
“Ngana
dimana?”
“Kita
di Jakarta. Mar besok kita pulang. Plis…ada yang penting torang dua mo
bacirita…hehehe. Besok…bole to? Plis…plis…”
Keramahannya
tidak membuatku senang. Malah semakin membuatku merasa bersalah dan penasaran.
Terbesit dalam benak akan ada pembalasan dalam pertemuan yang dia rencanakan
itu.
“Nanti
bacirita ulang jo. Kita nda bisa pastikan kalu torang bisa bakudapa.”
“Kak,
tenang jo kwa. Kita nda mo bajahat. Tolong ne, datang.”
Telepon
ditutup. Pertanyaan demi pertanyaan muncul bergantian. Kebanyakkan tak bisa
kujawab. Ada apakah gerangan? Kenapa dengan tiba-tiba dia menghubungiku untuk
bertemu? Aneh bin ajaib. Dulu, setelah madunya aku hisap semua, dia
kutinggalkan begitu saja. Tak sedikitpun kuanggap dia berharga dalam hidupku
waktu itu. Kini, dia datang dengan senyuman manis. Sungguh tak masuk di akal.
Pembalasan lebih kejam daripada perbuatan. Biasanya itu yang berlaku. Tapi,
kenapa ini rupanya berbeda? Tapi apa boleh buat, aku harus menemuinya. Aku
harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanku. Inilah kesempatanku untuk
memperbaiki semua kerusakan yang telah aku lakukan padanya. Apa yang akan
terjadi, terjadilah.
***
Bayangan
tentang rupa dia, ternyata tak salah sedikitpun. Dia sudah berubah.
Penampilannya sangat jauh berbeda denganku. Dia terlihat sejahtera. Pakaiannya
dibuatnya sederhana, namun tetap saja bergelimang mewah dari kaki hingga
kepala. Sedangkan aku, apa yang terbaik dari lemari pakaian, itu yang
kukenakan. Tapi, tetap saja kelihatan seperti seorang gembel. Antara aku dan
dia serupa bumi dan langit perbandingannya.
“Ayo,”
katanya lembut sambil menyentuh pundakku. Kami masuki sebuah café
remang-remang. Solaria. Dulu tempat aku dan teman-teman mengadakan pertemuan.
Disini kami banyak berdiskusi mengenai teori-teori yang tak berguna sama sekali
ketika kami terjun ke dunia nyata. Di sini juga kami menyusun rencana awal
untuk demonstrasi sebagai bentuk pendampingan kepada masyarakat kota Manado
yang menjadi korban penggusuran brutal oleh Polisi Pamong Praja. Banyak
masyarakat yang dibohongi dan bahkan dipentungi karena tetap bertahan. Mereka
bertahan untuk mengais nafkah hidup. Pemerintah malah lebih mengutamakan
pengusaha besar yang berduit banyak daripada pengusaha kelas ikang puti
yang cari sehari makan sehari.
“Torang
mo bicara apa, Hartina?” kataku mendesak.
“Pesan
dulu kwa. Pesan jo apa yang kak suka. Makanan, minuman apa jo. Kita traktir
hehehe,” celotehnya enteng.
Aku
diam dalam kebingungan. Kupikir keramahannya hanya akan berlaku sewaktu di
telepon. Sangkaanku keliru. Hingga di tempat ini pun dia terus bersikap ramah
dan superbaik padaku. Aku jadi seperti orang dungu di depannya. Barangkali ini
adalah kutukan dari Tuhan atasku karena aku banyak bualannya ketika masih
sama-sama dengan dia dulu.
“Aku
pesan ini saja,” kataku sambil mengeserkan buku menu ke arah Hartina.
“Hi,
kyapa cuma capoccino? Emang, kak nda lapar. Jao-jao kamari dari kampung cuma mo
minum. Kakak musti makan, kita tulis jo tre. Kakak ini bagimana,” cepat-cepat
dia menulis beberapa item nama makanan dan minuman atas namaku.
“Hartina…!”
Langkah
kaki Hartina tak sanggup kucegah. Dia telah pergi ke meja kasir untuk
mengonfirmasi pesanannya. Dia kembali dengan wajah berseri. Seperti saat kami
bertemu di lobi tadi. Dia berusaha menghiburku dengan kata-katanya. Semakin dia
melakukan itu, aku kian merasa akan ada hal luar biasa mengagetkan yang akan
aku dengar dan lihat sebentar lagi. Kupikir, dia sedang menunda semua sumpah
serapah dan segala tetekbengek yang sesungguhya yang harus dia lakukan. “Aku
siap. Lakukan saja Hartina. Aku siap menanggung semuanya. Seberat dan seburuk
apapun,” gumamku.
“Kak,
ayo makan. Tenang, semua ini kita yang bayar. Kakak nda usah repot.
Habiskan…hahaha.”
Guyonannya
kubalas dengan senyum tipis. Tapi dia kelihatan tenang-tenang saja. Dia bebas
dari beban. Santai. Dia pun makan dengan lahap. Padahal, dia tidak sebegitu
pelahap sewaktu kami masih sama-sama dulu. Separuh dari nasi di piringnya,
selalu saja dia berikan padaku. Dia malah beberapa kali tak makan dengan alasan
diet. Itu hal aneh yang pernah kutemui. Sudah ramping dan langsing tapi
mengekang mulut untuk makan. Dulu, itu aku tak pedulikan. Tak menjadi persoalan
penting bagiku.
Sekarang
Hartina memiliki hidup yang disiplin. Badannya yang terurus dan pakaiannya yang
rapih menunjukkan bukti-bukti itu. Maklumlah, dia bekerja di perusahaan
penerbangan terbaik Indonesia. Sedangkan aku hanyalah seorang pemanjat kelapa
yang sewaktu-waktu jatuh dari udara tanpa jaminan asuransi perusahaan. Padahal,
orang-orang seperti kamilah yang menyongkong bahan pangan orang-orang kota.
Namun,
aku sedikit bahagia. Dia tentu tak akan pernah mewujudkan cita-citanya menjadi
pramugari bila aku serius mencintainya lalu kami sampai ke jenjang pernikahan.
Pasti dia akan turut dalam kemelaratan bersamaku.
“Kak,
kita jalan yuk,” kata Hartina sambil mengambil tasnya yang berwarna pink
bercampur putih susu.
Ponselnya
yang berukuran besar juga punya warna serupa dengan tas. Kini dia berdiri tepat
di sampingku sambil menyentuh pundak sekali lagi. Tubuhnya kian berbentuk.
Lebih elok daripada tubuh yang pernah aku peluk dulu. Kusadari dia memiliki lebih
banyak keunggulan fisik dari Happy Salma. Keinginan berahiku mencuat namun
terlampau kuat kukekang. “Jangan pernah berharap lagi gembel!” kataku dalam
diam.
“Mo
kamana torang?”
“Ke
tempat dimana kakak akan dijagal. Di situlah aku akan membalaskan dendamku…hahaha…
Aku bercanda. Ikut saja kak. Kita akan mencari tempat yang lebih aman untuk
bicara. Kakak tidak keberatan kan?”
***
Aku
tak pernah menyangka kalau kini Hartina telah benar-benar berubah dalam banyak
hal. Bukan hanya dalam penampilan fisik dan kelakuan. Tak pernah terpikir kalau
aku baru saja naik dan turun dari mobil sedan berwarna putih miliknya. Aku juga
tak pernah membayangkan kalau dia akan membawaku ke rumahnya yang mewah di
perumahan Real Estate Citra Land. Tak pernah lewat dalam benakku dia akan
membiarkan seorang gembel nun jahat sepertiku mencicipi kemewahan yang dia
peroleh dengan keringatnya sendiri. Apakah ini adalah bentuk balas dendam yang
dia maksudkan? Apakah ini semua menjelaskan padaku bahwa seorang korban seperti
dia telah diangkat oleh Tuhan dan telah diberikan kehidupan yang lebih baik
daripada orang yang telah merusak kehidupannya di masa silam? Kalau itu
tujuannya, aku sudah menderita jauh sebelum dia menelponku kemarin. Bahkan hari
itu saja, hari dimana aku mencampakkanya, siksa dari balasan itu sudah
kurasakan. Tapi rupanya ini adalah puncak dari semua itu. Aku siap Tuhan.
Balaskan dendamnya setimpal dengan semua kebejatanku.
“Kak,
apa kakak sudah memiliki seorang istri?”
“Kenapa
kamu bertanya seperti itu Hartina? Terus terang, setelah apa yang pernah aku
lakukan padamu, aku tak lagi punya keberanian untuk berangan memiliki seorang
istri. Aku rasa, aku tak pantas dianugerahi seorang wanita. Dosaku terlalu
banyak pada perempuan.”
Hartina
meraih tanganku. Air mata mengalir deras dari matanya. Semakin erat dia meremas
tanganku. Dia tertunduk sesenggukan. Aku tak mengerti. Sangat runyam untuk
kupahami.
“Kak,
kita nda perna baharap cinta lagi dari kakak. Samua yang perna kak kase so
cukup mo se sadar pa kita kalu kita ini cantik. Samua yang perna kakak kase,
walaupun itu stenga pura-pura, so cukup beking kita rasa apa depe arti menjadi
seorang gadis yang dicintai. Kita blajar, kalu kita lei sayang pa kakak,
berarti kita musti kase kebebasan pa kakak for mo dapa apa yang kakak rasa
bagus. Kita memang manangis, waktu kakak kase tinggal dulu. Mar kita nda perna
binci pa kak. Kita kase biar kakak pigi mo cari kakak pe cinta sejati supaya
kakak bahagia. Tantu, kita senang kalu kakak bahagia. Kebahagiaan kakak adalah
kita pe kebahagiaan juga.”
Aku
menunduk malu. Tak pantas aku mendongak dan menghapus air matanya yang terlalu
suci untuk kujamah. Dia sempurna. Dia adalah malaikat. Bagaimana bisa aku tak
mengenalnya sedari awal? Aku telah menyia-nyiakan sebuah cinta sejati.
***
Setahun
kemudian aku menikah dengan seorang gadis di kampungku. Dia tidak memiliki
pendidikan tinggi namun ada padanya kepribadian yang serupa dengan Hartina.
Namanya Hermita. Gadis yang berkulit agak gelap. Tubuhnya semampai. Cantiknya
tiada bandingan. Kusuma desa. Ya, bunga desa.
Pertemuan
aku dan Hermita pun mirip pertemuanku dengan Hartina. Sekarang aku dan Hermita
tinggal di perumahan Citra Land. Semua harta dan kepunyaan Hartina dia wariskan
padaku pada saat kami bertemu tahun lalu. Dia memberikan semua surat-surat
tanah, rumah, serta kendaraan yang tertulis atas namaku. Juga dua café yang
terletak di kawasan Mega Mas. Rupanya dia bekerja bertahun-tahun demi aku yang
telah menyia-nyiakannya. Sulit untuk memahami pikiran dan perasaannya padaku.
Namun yang pasti, dia mencintaiku dengan segenap jiwa dan raga.
Setiap
minggu aku mengunjungi kuburannya. Dia meninggal dalam kecelakaan pesawat di
atas wilayah Makassar sehari sesudah pertemuan kami. Dia telah tahu dengan
pasti kapan malaikat maut akan menjemputnya. Air
mataku tak terbendung setiap kali aku meziarahi makamnya. Pada batu nisannya
tertulis:
3.
Desi, Aku Sungguh Menyesal
Hingga
kini aku masih merasa bersalah. Rasa bersalah ini muncul ketika aku sedang
banyak masalah. Inilah mungkin yang disebut hukum karma. Yang dulu itu tak ku
percaya. Aku tak pernah percaya dengan hukum tabur tuai yang pernah disabdakan
oleh seorang bujang yang terus melajang hingga digantung hingga mati oleh saudara-saudaranya sendiri-
orang Yahudi.
Aku
masih teringat gadis yang bernama Desi. Gadis yang begitu lugu. Malu-malu.
Sedikit misterius namun ternyata bercita-cita mencintaiku dengan serius. Aku
yang tahu dengan perasaannya tak sedikit pun peduli. Tapi tak sedikit pun aku
menampakkan ketidaksukaanku padanya. Aku senang gadis-gadis tergila-gila
padaku. Kubiarkan mereka mengejar. Aku membuat segalanya menggantung. Hingga
suatu saat aku sendiri yang kena batunya.
***
Di
tahun 2008 aku mendapat beasiswa 3 bulan untuk belajar kebudayaan dan teknologi
serta hal-hal lain di Australia. Sebelum berangkat aku sempat bertemu dengan
seorang gadis berdarah China bernama Meisyi. Semula aku membuatnya menggantung.
Lama-lama aku yang menggantung. Barangkali, karena aku tak bisa menampik rayuan
kulit putih dan tubuhnya yang seksi. Suaranya yang mengundang itu sulit
kulupakan. Akhirnya kunekatkan diri. Aku mengajaknya bertemu beberapa jam
sebelum aku berangkat ke Australia. Awalnya, aku bermaksud menyampaikan isi
hatiku setelah aku pulang dari negeri kangguru itu. Tapi Meisyi tak bisa
tersiksa oleh karena penasaran. Dia merengek-rengek supaya aku merubah
keputusan sepihak yang telah aku ambil.
“Jangan
begitulah, Kamang. Jangan buat aku tersiksa menunggu sesuatu yang tak jelas.”
Melalui
telpon dia terus membujukku. Dia memberi tanda bahwa dia sebenarnya sudah tahu.
Namun, dia tak ingin aku menahan perasaan. Seolah dia pun siap mengiyakan apa
yang belum aku ungkapkan.
“Baiklah.
Mari kita bertemu dua jam lagi.”
Dia
berulang kali mengungkapkan bahwa dia tidak percaya dengan kepergianku ke
Australia. Dia tahu itu hanya akal-akalanku saja agar suasana serupa dengan
film-film remaja Indonesia yang romantis kampungan itu. Dia mengejekku karena
menggunakan cara-cara yang kuno di jaman yang sudah demikian maju. Aku
tertantang dengan semua ocehannya.
“Terserah
kamu. Yang penting aku sudah berusaha jujur padamu.”
Agak
sedikit kesal sebenarnya. Belum tentu kami akan menjadi sepasang kekasih. Tapi,
hubungan yang tak pasti ini telah dimulai oleh ketidakpercayaan darinya.
Dengan sepeda motor aku melaju ke kota Manado.
Tukang ojeknya beberapa kali aku peringatkan supaya menambah kecepatan. Dia
bilang motor sudah melaju pada batas kecepatan maksimal. Ini gila! Demi bertemu
dengan seorang gadis aku memaksa tukang ojek untuk secara tak langsung membunuh
kami berdua di perjalanan. Benar-benar sesuai dengan teori-teori
psikoanalisanya Sigmund Freud. Seks menjadi alasan orang untuk sukses. Seks
menjadi alasan orang untuk kaya. Seks menjadi alasan orang untuk menjadi orang
terhormat.
Perjalanan
ditempuh tak sampai satu jam. Dengan langkah cepat aku turun dari ojek. Kuminta
tukang ojek menunggu. Dari jauh kulihat Meisy dengan seragam putih hitamnya.
Seperti pegawai koperasi. Tapi seragam itu begitu serasi dengan tubuhnya yang
putih. Setelah setahun lebih kami tak bertemu, dia menjadi lebih Tionghoa. Aku
merasa jadi tak pantas menjadi kekasihnya. Kulitku yang gelap, jika disanding
dengannya pasti anak kami akan menjadi kopi susu.
“Apa
yang sebenarnya ingin kamu katakan, Kamang? Kalau kamu memang ingin membuat aku
penasaran, kamu berhasil. Aku kalah. Kamu yang menang.”
Kupandangi
terus wajahnya yang menawarkan sejuta keindahan. Tubuh rampingan yang molek
serasa melarangku terbang ke negeri kangguru. Gadis-gadis putih di sana taklah
sebanding dengan gadis yang ada di depan mata.
“Kamang,
ayo katakan. Atau, haruskah kita mencari tempat lain agar semakin romantis?”
kata Meysi dengan sedikit mengejek.
Aku
menarik tangannya dan kami menuju ke tempat yang agak sunyi. Tepat di depan
tokoh yang belum dibuka. Yang kuingat toko itu berwarna merah. Ada tulisan
berbagai jenis merek ponsel. Meysi tidak sedikitpun merasa risih aku membawanya
kesitu. Malahan, dia menatapku dengan pandangan menantang. Tak kusangkah gadis
yang beberapa tahun lalu masih menggunakan seragam SMP ini sudah siap-siap ikut
perpeloncoan sebagai mahasiswa baru. Sedari masih di kampung dia tak pernah
terhindarkan oleh tatapan mataku jika melirik. Selalu saja dia menjadi tujuan
dua mata keranjangku.
“Apa
sih yang ingin kamu bilang, kamang?”
“Aku
tak mau berbasa-basi sekarang. Aku suka kamu. Aku tak peduli kalau kamu
mempunyai perasaan yang sama denganku. Aku aku puas kalau sudah bisa mengatakan
isi hatiku yang telah lama dipendam.”
Dengan
gerakan tak terduga kini aku sudah ada dalam dekapannya. Beberapa kali bibirnya
yang selalu basah itu mendarat tepat di wajahku yang berkeringat karena
matahari mulai garang memanggang. Aku mendapat tiga kali kecupan berturut. Satu
di dahi. Satu di pipi dan satu lagi dibibir.
“Sebenarnya
kamu mau kemana?”
“Aku
akan ke negeri yang dibangun oleh orang narapidana yang dibuang. Aku akan ke
Australia. Kutunggu aku kembali. Segera setelah aku tiba di Manado, aku akan
langsung menemuimu.”
Meysi
terdiam. Dia kini percaya. Dia mulai merasa kehilangan. Sesuatu yang baru
didapatnya kini harus dipisahkan oleh samudra yang luas. Kini lamunannya
melampung ke negeri kangguru. Kepalanya mulai menghitung lamanya tiga bulan
itu. Padahal bagi orang yang dimabuk cinta. Satu hari itu sama dengan satu
tahun.
“Aku
harus pergi sekarang. Kalau tidak, nanti ketinggalan pesawat.”
Meysi
kelihatan lunglai. Tak sepatah kata meluncur dari mulutnya. Aku melompat ke
punggung sepeda motor. Dan memberi isyarat agar dengan kecepatan penuh menuju
ke bandara. Meysi tampak belum siap dengan kepergianku. Dia memikirkan tindakan
terakhirku yang menghindari ketika ia akan sekali lagi mendekapku. Aku tak lagi
berpaling padanya. Tapi aku tahu dia terus memandangi punggungku sampai
menghilang di tikungan.
***
Tiga
bulan kemudian, sebelum pulang ke Manado aku dan rekan-rekan peserta penerima
beasiswa dari daerah lain harus tinggal seminggu di Jakarta. Program yang
menghabiskan uang negara yang banyak itu
harus dievaluasi. Aku maunya itu ditiadakan saja. Berbargai alasan kubuat
sendiri untuk membenarkan bahwa argumentasiku bisa dibenarkan. Jadinya, selama
seminggu itu aku tak fokus sehingga aku tak sanggup menyusun laporanku.
Supervisor memberikan teguran pedas. Aku tak menunjukkan sedikitpun peduli.
Sudah berani karena telah kembali dari menikmati semua kegiatan dengan gratis yang fasilitasnya mungkin nanti
akan dirasakan oleh negara Indonesia seratus tahun lagi. Setelah tiga bulan
ponselku tak pernah aktif, kuputuskan untuk mengeledah travel bagku untuk
menemukan benda mungil itu. Sony ericson mereknya. Kuisi listrik sebentar. Lalu
aku mengirimkan sms ke nomornya Meysi. Tak ada balasan. Laporan smsnya gagal.
Kucoba telpon. Tapi tak ada sahutan. Hanya suara mailbox yang beberapa kali
mengingatkan bahwa nomor itu tak lagi aktif. Bagaimana bisa?
Aku
mengirim sms ke nomor lain. Nomor temanku yang bernama Fredi. Dibalas. Dia
bahkan memberikan nomor barunya Meysi. Malamnya, aku mengirimkan Meysi sms. Dia
menelponku. Tak puas dengan itu, kami juga saling menelpon. Hari-hari
selanjutnya juga begitu.
Tiga
hari sebelum kepulanganku ke Manado, tiba-tiba Meysi mengirimkan sms aneh.
“Mang, jangan kirimi aku sms ya. Jangan juga telpon aku. Aku saja yang sms atau
telpon kamu. Janji ya. Aku cinta kamu.” Karena tak ingin mengecewakan sang
kekasih, aku melakukan seperti yang dia minta.
***
Aku tiba di
bandara Sam Ratulangi sore. Kira-kira pukul empat. Aku langsung ke Tomohon
menaruh barang-barang. Semenjak pagi tak ada sms lagi yang Meysi kirim untukku.
Ingin sekali aku memberitahu kepulanganku. Tapi aku tak boleh mengirimnya sms
ataupun menelponnya.
“Sms tak
boleh. Telpon juga tak boleh. Ah, berarti miskol boleh. Aku miskol ah.”
Mungkin Meysi
akan marah juga dengan tindakanku ini. Namun, tentu kerinduannya bertemu pasti
lebih besar dari marahnya bila aku nekat miskol. Lagipula aku tak melakukan
serong. Justru ini adalah bukti bahwa aku sayang sama dia. Tiba-tiba ponselku
berteriak. Volume nada deringya diatur maksimal.
“Jangan lagi
ganggu Meysi. Dia sudah akan menikah. Aku Lee Kwan, pacarnya.”
Pasti ini
lelucon. Dia tentu akan membuat kejutan sebagai counter kejutanku. Dasar!
Ternyata Meysi juga orangnya suka menghidupkan suasana. Dia memang suka memberi
tantangan. Ku ketik.
“Oh begitu.
Aku teman sekampungnya. Aku hanya akan bicara sebentar berkenaan dengan program
organisasi pelajar kami.”
Harapanku
kata-kataku itu akan membuat permainan akan semakin mengasyikan. Kalau dia
hendak bercanda, baiklah. Aku juga bisa bercanda.
“Kamu Kamang
kan? Aku sudah tahu siapa kamu. Meysi sudah menceritakannya. Kamu tak usah lagi
menelpon dia. Kami akan segera menikah bulan depan. Tolong, pahami dan
maklumi.”
Mataku
tiba-tiba berhenti berfungsi. Aku hanya bisa melihat satu warna. Gelap. Tubuhku
memberat. Nafasku tersengal-sengal. Seperti mendaki puncak gunung Kalabat. Yang
ku baca barusan bukan lagi untuk kepentingan kejutan. Itu adalah
keterusterangan yang kejam. Itulah merupakan penyingkapan penghianatan. Sesuatu
yang dalam menghujam dan merobek hati tanpa ampun. Pukulan telak yang membuatku
tak sanggup lagi bangkit.
***
“Halo Desi.
Masih ingat aku? Tak tahu mengapa aku jadi kangen sama kamu.”
Sepenggal sms
telah melesat cepat masuk ke inbox ponsel seorang gadis lugu dan malu-malu.
“Hei…halo
kakakku yang ganteng. Sudah pulang ya? Tumben, mau mengirimi aku sms.”
Rasa dendam
kepada gadis bermata sipit itu tak tertahankan. Rasanya ingin menangis. Namun,
ihktiar itu kubuang jauh-jauh agar tak memperalukan bangsaku. Kaum lelaki.
“Datanglah ke
tempatku. Boleh? Aku berbincang sebentar.”
Aku sangat
yakin gadis lugu itu tak akan menolak tawaran dari cowok idamannya. Mereka
adalah tipe gadis yang mau mengorbankan apa saja demi sang pujaan hati.
“Apa? Masa
aku yang kesana? Kakak dong yang kesini.”
Kalimat itu
hanyalah basa-basi. Kalimat itu sebenarnya berarti sebaliknya.
“Aku masih
capek. Mabuk perjalanan. Kalau kamu tak bisa. Aku tak memaksa. Selamat malam.
Hopefully, I could see you tomorrow.”
Serasa mau
pecah kepalaku. Tak sanggup aku menerima kenyataan dipermainkan oleh kekasih
yang aku anggap setia. Dia tak ada bedanya dengan leluhurnya yang suka ingkar
ketika berniaga dengan penduduk nusantara yang baru belajar berdagang. Jendela
kamar ku biarkan terbuka agar aku bisa melihat bintang gemintang di langit. Aku
melihatnya. Tapi semua menertawakanku. Tak sedikitpun bintang-bintang itu
berempati. Seoleh mereka mau mengajariku menerima hukum romantika: bersiaplah
untuk menderita jika hendak menyinta.
“Aku akan
kesana! Tunggu ya kakakku yang ganteng.”
Tersungging
senyuman di sudut bibirku. Tanda kemenangan. Aku mengejek diriku yang setengah.
Dia tampak bersedih setelah ditipu. Sementara diriku yang setengah terus
bersikap positif. Dia memang satu prinsip: Kalau satu pintu tertutup maka pintu
lainnya akan terbuka lebar. Untuk apa menangis ditingalkan seorang gadis,
sementara gadis lain tergila-gila menunggu untuk dinikmati.
“Aku sudah di
depan.”
Dengan
langkah kemenangan aku menuju depan rumah kosku. Menjemput gadis yang siap
berkorban apa saja untuk mendapatkanku. Gadis yang matipun rela asal mendapat
perhatian dan kasih sayang.
Aku terkejut.
Tak percaya apa yang kulihat. Gadis lugu yang kutunggu mengenakkan kain penutup
kepala. Bukan kain biasa. Dia mengenakkan kain untuk melindungi kesucian. Kain
yang kontras dengan keinginan liarku saat ini. Tapi, apa boleh buat. Biarlah
semua mengalir seperti air.
“Ayo…kita
duduk saja di sini. Kita duduki anak tangga itu sambil memandangi langit yang
penuh bintang. Bagaimana kabarmu. Kamu lain sekarang. Tiga bulan banyak merubah
lingkungan di sini. Termasuk kamu. Termasuk lainnya yang sebenarnya tak aku
inginkan berubah.”
Gadis lugu
hanya diam. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya di balik kerudung putihnya.
Kini dia menjadi pendiam. Berbeda dengan komunikasi via sms.
“Kamu mau
menjadi pacarku?”
Desi tak
bergerak. Kata-kata yang tak diharap tiba-tiba muncrat keluar dari mulut gombal
lelaki yang baru saja menjadi korban keberingasan gadis Tionghoa. Aku tak
membutuhkan jawaban. Kalimat itu sudah cukup menjadi tiket agar aku bisa
berbuat apa saja dengan dia. Demikian pikiran pongah liarku. Seiring malam
semakin dingin karena kian larut kurapatkan badanku ke tubuh Desi. Awalnya dia
tampak canggung. Apalagi aku berusaha menciumnya dengan membabibuta. Dia
berusaha menghindar. Saat bibirku melumat bibir miliknya, kami seperti
tersengat listrik. Bergantian tubuh kami saling menindih di atas lantai berubin
putih. Baru saja diajari tapi dia cepat menjadi mahir.
“Kakak sudah
biasa ya melakukan ini dengan gadis lain.”
Kesibukkanku
mengerayanginya tak sanggup dihentikan dengan kalimat itu. Malahan semakin
terpacu untuk mencapai puncak paling tinggi. Kami lepas kendali. Pertahanan
Desi bobol menjelang subuh.
***
Hari-hari
selanjutnya aku lewati tanpa Desi. Dia telah menjadi gadis di urutan di atas
sepuluh. Dia adalah gadis pertama yang
menerima proyek balas dendamku yang seharusnya tidak perlu. Sangatlah tidak
adil bila Desi dan gadis lainnya yang menjadi korban. Namun, nasi telah menjadi
bubur. Kini aku sudah dengan Windy. Gadis yang akan menjadi korban urutan ke
empat belas.
Yang berbekas
dari sekian banyak korban itu hanyalah Desi. Dia satu-satunya yang masih suci
yang sia-siakan. Kami putus di saat cinta-cintanya sedang bersemi untuk pertama
kali. Dia berharap kami menjalin cinta hingga ke pelaminan. Dia telah
merencanakan segala hal yang baik untuk kami. Termasuk acara HUTku. Pernah
sewaktu saya sakit, dia menjagaku berhari-hari. Dia berbuat laiknya seorang
istri yang rela mati demi suami. Hubungan kami berakhir saat umurnya mencapai
tiga hari. Sempat dia mengacam untuk bunuh diri ketika mendengar aku tak mau
lagi. Karena rasa cintanya yang sucilah, dia akhirnya merelakanku menjauh
darinya. Waktu itu aku begitu gagah. Tampan dan menjadi sasaran kekaguman
orang-orang. Kini, setelah lulus kuliah. Aku bukan lagi apa-apa. Pria yang tak
punya apa-apa yang tinggal di desa. Desi kini telah menjadi seorang pramugari.
Dia meraih apa yang selalu diimpikannya. Berulang-ulang dia memberitahuku. Tapi
aku tak sedikit memperhatikan. Setiap kali pesawat melewati desaku, aku
menunduk malu. Malu, jangan-jangan Desi sedang melihatku dari atas. Malu karena
aku kini lusuh. Setiap hari menyalahkan diri sendiri. Bagaimana aku sudah
begitu sangat dungu?
4.
Hadiah
Pemerintah untuk
Pahlawan Tanpa tanda Jasa
Lonceng
gereja pagi-pagi buta berbunyi sebanyak tiga kali. Tak berapa lama kemudian
corong-corong desa berteriak-teriak bersahutan menganggu tidur warga.
“Seseorang telah pergi,” terdengar beberapa tukang gula aren berbicara saat
melewati rumah kami menuju ke tempat dimana sebagian besar waktu mereka
habiskan. Istri dan anak mereka tak pernah dilihat mereka saat siang. Mereka
pun tak tahu sudah kelas berapa anak lelaki mereka. Bahkan mereka lupa kapan
hari ulang tahun perkawinan mereka. “Untuk apa mengingat hal-hal yang remeh
temeh seperti itu. Taklah perlu kita merayakan hari-hari begitu. Dirayakan atau
tidak toh umur akan terus berkurang. Bukankah lama hidup kita telah ditentukan?
Merayakan hari ulang tahun adalah tradisi barat yang membuat kita tunduk pada
logika dagang mereka. Terlalu banyak hari-hari “special” diciptakan agar
barang-barang bisa laku,” begitulah kira-kira isi perasaan tukang gula aren
itu.
Seseorang
telah pergi. Ternyata salah seorang terpandang di kampung kami telah meninggal
dunia. Dia adalah mantan guruku. Dia banyak mengajarku tentang moral dan hal
baik dan buruk. Dia senantiasa menekankan agar kami kelak menjadi orang yang
baik. Berguna bagi bangsa dan Negara.
***
Sebuah
rumah panggung penuh hiasan berwarna ungu dan hitam. Satu per satu orang
berdatangan melihat seorang yang telah terbujur kakuh. Orang-orang itu tak
sedikitpun merasa kasihan dengan tubuh wanita gempal yang telah ditinggalkan
nyawa yang lama menahan tekanan. Dia begitu menderita menjelang kematiannya.
Tak ada kawan yang datang menawarkan penghiburan dan penguatan. Semua telah
bersatu memusuhinya. Padahal dia banyak berjasa untuk kampung kami. Tidak
sedikit jumlah anak-anak kampung yang tadinya tak bisa menulis dan membaca
menjadi tahu karena usaha kerasnya. Sungguh sangat memprihatinkan bila orang
justru datang mengutukinya di saat dia seharusnya pendapat penghormatan yang
selayaknya. Lagu ‘telah gugur pahlawan’ seyogianya membahana mengantarkan
jenasah sang pahlawan tanpa jasa itu.
Aku
terkejut melihat secara bergantian orang masuk keluar mengangkat barang-barang
yang ada dalam rumah. Orang-orang yang tak punya hati itu berebut mencari
barang yang paling mahal untuk dimuat di mobil pick up yang telah diparkir di
depan rumah duka. Semua mereka ambil. Meja, kursi, wajan, belanga, piring,
sendok, garbu, bahkan pakaian yang basah yang masih bergelantung di tali
jemuran tak luput. Nyaris tak ada yang tersisa. Sungguh tak berperasaan. Orang
yang dirundung duka dirampoki mereka pula.
Seorang
ibu terlihat mengamati-amati mayat. Dia baru saja tiba. Mungkin dicari-carinya
apa lagi yang bisa dilepas. Di sekitar mayat biasanya duduk beberapa kerabat
atau keluarga. Tapi anehnya, tak kulihat satupun. Aku mau berontak melihat
ketidakadilan yang sementara berlaku. Pemerintah desa tak seekor pun
menunjukkan batang hidungnya dalam rumah duka. Upacara pemakaman tampak belum
disiapkan. Dimana aparat desa itu? Keparat! Tega-teganya mereka berbuat seperti
ini kepada pahlawan tanpa tanda jasa. Beraninya mereka berbuat hal yang
demikian rendah kepada guruku itu. Bejat para pemerintah ini!
Kudekati
mayat yang mulai berbau busuk itu. Baju yang dia pakai saat masih hidup masih
membalut di tubuhnya. Sepertinya dia akan dilemparkan ke liang kubur tanpa
dimandikan. Kalau saja aku berhak dan layak, aku akan memandikan sang pahlawan
tanpa jasa itu sendirian. Kini aku duduk di samping mayat itu sambil mengusir
lalat-lalat yang hinggap di wajah.
Ku
pandangi sekeliling ruangan. Orang-orang yang datang itu tak sedikitpun
berbelas kasihan terlukis dari raut wajah mereka. Rupanya sasaran mereka adalah
tempat dibaringkannya mayat itu. Ranjang yang kelihatan sedikit mewah itu terus
saja mereka lirik.
“Tidakkah
kalian merasa hibah kepada mayat ini? Kalian lihat wajahnya. Dia memelas
meminta dikasihani. Kenapa kalian mau menjadi bagian dari konspirasi jahat?
Bila kalian tak mengurungkan niat kalian ini lekaslah kalian akan didatangi
malaikat penjemput maut,” ancamku.
Kata-kataku
terbuang percuma. Mereka menjawab dengan kebisuan dan mimik permusuhan. Gigi
mereka gemeletuk menahan geram. Dada mereka naik turun. Serasa mereka hendak
menerkamku.
“Saudara-saudari
kalian, tak layakkah dia mendapat penghormatan terakhir? Biarkan aku
menguburkan mayat ini dengan patut. Hanya, jangan kalian telanjangi dia saat
dia tak lagi punya rasa malu sedikitpun. Izinkan aku menabur bunga di atas
makamnya. Aku merasa berhutang padanya. Dialah yang membangun generasi kita
sehingga menjadi cerdas seperti sekarang,” kataku seraya menitikkan air mata.
Orang-orang
bejat itu mulai mendekati. Mereka rupanya telah bersepakat. Ya ampun! Mereka
akan menelanjangi pahlawan tanpa tanda jasa. Aku berdiri dan merentangkan
tangan. Aku akan berjuang mati-matian agar tak satu pun tangan kotor mereka
menyentuh tubuh guruku yang kuanggap suci. Mereka semakin mendekat. Aku
melemparkan tatapan menantang.
“Apa
yang kau lakukan ingusan? Enyah dari hadapan kami!” kata seorang ibu yang
lengan bajunya telah disingsing.
“Aku
tak akan membiarkan kalian mempermalukan pahlawan tanpa tanda jasa! Langkahi
dulu mayatku!” kataku nekat.
Masih
tergiang ibu guruku itu berujang tentang berani karena benar. Dia mengajarkan
kami untuk membela yang lemah. Inilah waktu yang tepat untuk mempraktikan
sepenuhnya semua ajarannya 28 tahun lalu.
“Menyingkir
anak muda!” kata seorang bapak. Dia tampak orang terhormat. Setelan yang dia
pakai tampak dia orang berduit.
“Tidak!
Kalianlah yang harus menyingkir,” jawabku sambil merentangkan tangan. Siap
untuk menghalang.
Orang-orang
mulai berkerumun. Namun tak satupun yang membelaku. Mereka malah tampak jijik
dengan sikapku yang menurut mereka sangat ‘sok pahlawan’.
“Biarkan,
anak muda! Biarkan dia menerima setimpal dengan perbuatannya!” teriak salah
seorang dari kerumunan.
Ini
adalah penghakiman rupanya. Apa yang telah dilakukan oleh guruku? Seburuk
apakah itu sampai-sampai mereka beringas begini. Bodoh! Apa peduliku dengan
itu. Takkan aku biarkan mayat guruku mereka permalukan. Pasti arwahnya takkan
tenang. Setiap malam dia akan datang menuntut tanggungjawabku sebagai seorang
bekas muridnya. Aku pasti akan dihantuinya siang malam.
“Kalau
kamu tak beranjak anak muda, kami tak bertanggungjawab lagi dengan nyawamu. Ini
peringatan terakhir.”
“Tidak.
Kalian tak berhak menghakiminya. Biarkan Tuhan atau setidaknya…serahkan pada
pemerintah desa.”
“Anak
muda, penghakiman telah diserahkan kepada kami. Kepala desa malah yang
menyarankan. Nah, sekarang menjauh dari situ!”
“Tidak!”
“Keras
kepala!”
Tiba-tiba
pandanganku menjadi gelap. Setelah itu aku tak tahu lagi. Terjadi jedah yang
lama. Lalu, sayup-sayup aku mendengar orang berdebat. Namun bunyi nging melengking
tak putus-putus. Suara bising makin menusuk pendengaran.
“Enak
saja! Sofa ini harus aku yang jadi pemiliknya. Ranjang ini juga. Dia paling
banyak berhutang padaku. Dia hanya berhutang dua juta padamu, kamu lima juta,
kamu lima ratus ribu, kamu sebelas juta. Sedangkan padaku dia berhutang brapa?
Kalian mau tahu? Pertama, sewaktu dia mau menyogok kepala dinas supaya dia
menjadi kepala sekolah, dia berhutang lima belas juta. Kedua, sewaktu anaknya
mau kuliah di fakultas kedokteran, dia berhutang tiga pulu juta. Ketiga,
sewaktu anaknya mau dibaptis, dia berhutang tiga juta. Sewaktu anak sulungnya
mau menikah karena terlanjur menghamili anak orang, dia berhutang 25 juta.
Trus, sewaktu dia merayakan ulang tahun, dia berhutang lagi satu juta. Jadi,
hutangnya pada kalian tidak apa-apa dibanding hutangnya padaku. Bukan hanya
ranjang ini, rumah ini dan tanahnya juga akan kusita. Itupun takkan setimpal
dengan hutangnya. Aku juga belum hitung bunganya,” kata seorang ibu sambil
menangis sesenggukkan.
Awalnya
mereka merasa merekalah yang paling sial karena ditipu dengan kedok ‘pinjam’
oleh si mayat. Ternyata masih ada orang yang lebih sial dari mereka.
“Kasihan,
pasti berat bebannya dikejar-kejar penagih hutang setiap hari,” kata seorang
ibu.
Kepalaku
sakit. Orang-orang terdengar terus beradu mulut. Kudengar lagi, “Banjingan ini
adalah pembohong besar. Sampai di neraka pun dia akan akan terus berhutang. Dia
menghambur-hamburkan uangku, padahal dengan itu masih banyak yang bisa kubantu.
Kasihan juga sebenarnya. Semua ini gara-gara pemerintah. Coba kalau para PNS
tidak diberikan kemudahan menggadaikan gaji mereka, tentu nasib wanita ini akan
lebih baik dari ini.”
22/02/2012
***
5.
Kekuasaan Gereja
Pimpinan
dan jemaat gereja di Jakarta berunjuk rasa di depan kantor agama dan gubernur
serta di DPR DKI Jakarta kemarin. Mereka meminta perlindungan pemerintah.
Menjamin hak-hak mereka untuk beribadah. Pada hari jumat hingga hari minggu
beberapa gereja diserang massa yang terang-terang sudah dikenal. Organisasi itu
sudah akan akan merayakan dies natalis organisasinya ke 12 tahun ini. Sudah
banyak tempat ibadah yang mereka porak-porandakan. Tak hanya gereja yang
diserang. Mesjid juga. Jemaah Muhammadiah juga dibunuhi oleh mereka. Pemerintah
tak berbuat hal nyata untuk menjamin hak-hak warganya untuk beribadah sesuai
dengan keyakinannya. Paling banter hanya memberikan pernyataan “mengutuk” tak
terkesan membiarkan. Padahal organisasi itu sudah jelas-jelas meresahkan dan
justru pernah mengeluarkan ancaman untuk menurunkan presiden dari tampuk
kekuasaannya. Sebegitukah pengecutnya
pemerintah kita sehingga mereka terus memelihara ular dalam rumahnya. Yang
terancam tak diperdulikan.
Di
Koran juga kubaca pimpinan-pimpinan agama di daerah kami mempublikasikan
pernyataan mereka. Semuanya bernada sama: mengutuk tindakan penyerangan
terhadap gereja itu. Mereka juga menghendaki agar pemerintah memberikan balasan
setimpal kepada para pelakunya. Padahal orang-orang yang diserang itu tak
berniat sedikit mengutuki dan membalas mereka. Mereka hanya meminta pemerintah
agar mereka diberikan kenyamanan dan ketentraman sebagai warga negara. Para
pemimpin agama di daerahku bahkan berlebihan dengan penunjukkan rasa simpati
mereka. Rasa simpati yang sebenarnya dibungkus oleh keinginan untuk tampil
sebagai pahlawan. Berharap agar masyarakat bahkan dunia melihat bahwa mereka
peduli dan menginginkan agar kemajemukan harus senantiasa dijaga. Mereka
meneriakkan penjaminan hak-hak setiap orang beribadah dan berkeyakinan. Mereka
menyumpahi para Islam garis keras yang memboikot rumah-rumah ibadah yang hendak
dibangun. Tanpa tahu duduk persoalannya.
***
Seperti
biasa, setiap hari minggu saya ke gereja. Demikian juga hari ini. Batin saya
yang sumpek di enam hari boleh terasa sejuk setiap kali saya melangkahkan kaki
rumah Tuhan. Alunan musik yang ciptakan pada abad 13 dimainkan begitu sempurna.
Seketika itu kurasakan suasana surga melingkupiku. Senyum dan tawa mengembang
pada semua orang berdatangan. Kami saling berjabat tangan. Begitu sejuk suasana
terasa.
“Pertolongan
kepada kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi, yang
tetap setia untuk selama-lamanya dan tidak meninggalkan perbuatan tangaNya.
Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus
Kristus menyertai saudara-saudara,” ucapan khadim di atas mimbar menambah
kesejukkan dalam batinku. Bagaikan titik embun pagi hari. Seumpama pohon-pohon
perteduhan di saat mentari menyengat sepanjang hari.
“Amin,”
balas kami.
Bila
suasana ini mampu membuat batinku tenang aku rela tinggal lama dalam gedung
ini. Akan kujual seluruh hartaku untuk para pendeta dan pelayan Tuhan. Akan
kubaktikan hidup ini untuk gereja. “Saudara-saudara sekalian, mari kita
persiapan hati kita untuk mendengarkan suara Tuhan…” ini yang paling kutunggu.
Disinilah pesan-pesan indah tentang kedamaian diungkapkan. Di waktu inilah
Tuhan menjelma membagikan percikan-percikan keadaan surgawi. Seperti mana
surgawi dilimpahkan kepada bangsa Israel kita mereka ditempah di gurun dalam perjalanan ke tanah Kanaan.
“Kita
sebagai cepat harus saling memperhatikan. Saling mengunjungi di saat sakit,
saling mengingatkan bila ada yang mulai menyimpang dari jalan Tuhan. Didiklah
anak-anak kita agar menjadi taat pada agama dan gereja. Didiklah mereka agar
selalu dekat dengan Tuhan…Mari taburkan damai ke sekeliling kita……tapi kita
juga seharusnya waspada. Jangan, besok-besok anak-anak kita dulu bernama Maria
lalu menjadi Siti Mariam, Yohanes menjadi Ibrahim, Sarah menjadi Siti Hajar,
Ishak menjadi Ismail, Imanuel lalu berubah menjadi Muhammad. Jangan! Jangan
saudara sekalian. Jangan berikan kesempatan. Awalnya mereka datang dengan
senyum, ada yang pura-pura jual bakso,
mie ayam, jamu, sayur, tahu. Kemudian lama kelamaan mereka akan membeli rumah
di kampung kita. Mereka akan tinggal. Seiring waktu mereka mengundang keluarga
mereka dari Jawa sehingga mereka dapat mendirikan mesjid.”
Aku
terhenyak dengan khotbah pendeta. Awalya dia berbicara tentang kedamaian. Selanjutnya
dia menaruh rasa curiga pada jemaat agar mewaspadai orang yang datang. Dia juga
menyebutkan cara-cara penyebaran agama Islam yang bakal terjadi di kampung
kami. Bukankah begitu juga cara Riedel dan swharz sewaktu mereka membawa agama
Kristen ke tanah Minahasa?
Dia
menyebutkan deretan nama seperti Siti Mariam, Ibrahim, Siti Hajar, Ismail dan
Muhammad seolah-olah mereka adalah sosok yang menebarkan permusuhan ke dunia.
Seolah-olah mereka adalah orang jahat yang juga dibenci oleh Tuhan. Siti Mariam,
bukankah dia itu nama dari ibu Isa (Yesus) dalam bahasa Arab? Ibrahim apalagi.
Bukankah itu nama Arab dari bapa semua orang beriman, Abraham. Hajar dan Ismail
bukankah Allah memberkati mereka juga. Muhammad, bukankah dia mengajarkan
kepada pengikutnya agar tak memusuhi orang Kristen? Bukankah dia sangat
menghormati orang Kristen karena pamannya (beragama Kristen) juga yang
menikahkan dia dengan istrinya?
Kenapa
tega-teganya pemuka agama mengajarkan umatnya untuk membenci umat lain. Para
pemuka menampakkan kerukunan dalam lembaga tetapi ketika mereka pulang ke asal
mereka masing-masing, mereka menebarkan benih permusuhan. Pantas saja kita
terus berkelahi.
Saat
ibadah selesai aku pulang tanpa menyalami sang pengkhotbah. Senyumku hilang
seiring benih-benih perpecahan ditabur di dalam gereja.
***
“Selamat
sore,” terdengar suara dan ketukan pada pintu. Dari balik jendela aku melihat
tiga sampai lima orang. Aku kenal mereka. Setiap hari minggu aku selalu melihat
mereka, dengan stola putih berbordir ∆ dan Ω, duduk wibawa rohani yang ternyata
dibuat-buat. Kulihat sang pengkhotbah juga berdiri di depan pintu.
“Selamat
sore,” sahutku setelah membuka pintu, “Ada ya?”
“Begini,
kami hendak bertemu dengan bapak.”
“Bapak?
Oh ada. Dia di belakang sedang memberi makan bebek dan ayam. Aku panggil ya…”
“Kami
datang untuk bertemu anda,” kata bapak yang sudah beruban, memotong
pembicaraanku.
“Maksud
bapak, mau ketemu saya? Oh silahkan duduk.”
Lima
orang ini tampak enggan untuk berbicara. Senyuman mereka terkesan hanya
dibuat-buat. Tak berapa lama ayah dan ibu muncul dan langsung menyalami pendeta
dan rekan-rekannya. Ayah dan tampak respek sekali pada pendeta. Bahkan
kelihatan malu bercampur takut. Seperti Adam dan Hawa yang malu setelah
ketahuan oleh Tuhan karena telah menelan “buah pengetahuan buruk dan baik” yang
disuguhkan oleh si ular.
Setelah
didahului doa yang panjang, sang pendeta mulai bertutur:
“Kedatangan
kami kesini untuk melihat jangan-jangan saudara sedang sakit. Soalnya sudah dua
bulan tidak pernah kami lihat di gereja. Biasanya bapak yang paling rajin.”
Oh
ternyata ini toh maksud kedatangan mereka. Bukan yang sakit. Sebenarnya
merekalah yang sakit. Mereka seharusnya mengunjungi dan mengembalakan jiwa
mereka yang digerogoti oleh rupa-rupa penyakit, terutama penyakit curiga dan
antikris. Kalau mereka tidak menjalankan anjuran dan ajaran Kristus, tak keliru
kalau aku menyegel mereka sebagai antikris.
“Memang
sudah lama saya mau bicara dengan bapak dan ibu sekalian. Sudah lama saya aktif
dalam gereja. Sudah lama juga saya mempelajari gereja dan agama. Dan inilah
saatnya saya mau bicara, kebutulan bapak dan ibu sekalian adalah wakil gereja.
Sebetulnya saya telah memutuskan membacakan surat pernyataan saya di gereja,
namun mungkin itu tak akan baik akibat yang akan ditimbulkannya. Tapi, mumpung
bapak dan ibu sekalian sudah datang, saya akan mengatakannya sekarang.”
Terlukis
keheranan pada raut wajah setiap orang yang datang itu. Namun, aku tak tahu
pasti bilakah mereka sudah mengerti isi hatiku. Kulihat pendeta menelan ludah.
Seorang wanita memperbaiki duduknya. Seorang bapak mengatupkan mulut dengan
kencang. Yang lainnya menatap lantai.
“Katakan
saja pak. Kami siap menerima keluhan dari jemaat. Sudah tugas kami sebagai
penatua dan syamas, pelayanan khusus, untuk mendengar suara jemaatnya. Itulah
yang diajarkan Kristus,” kata pendeta memecah keheningan.
“Saya
sudah memutuskan untuk tidak akan bergereja lagi,” mendadak semua kepala
pendengar terangkat, mencari kepastian yang barusan mereka dengar, “Saya bahkan
sudah tak ingin beragama lagi. Buat saya agama hanyalah jembatan untuk dekat
dengan sang pencipta. Gereja sekarang kini adalah jembatan yang rapuh. Dan,
menurutku, agama bukanlah satu-satunya jembatan untuk dekat dengan Tuhan. Sudah
puluhan tahun saya bergereja. Sudah puluhan tahun saya mempelajari sejarah
gereja. Yang kutemukan hanya kegagalan gereja. Kalaupun ada keberhasilanya, hal
itu pun bisa dilakukan tanpa harus bergereja. Lagipula, Yesus datang kedunia
tidak membawa agama. Dia membawa damai. Bukan menganjurkan membentuk organisasi
besar dunia yang berkuasa dan mengatur untuk kepentingan golongan penguasa.
Pimpinan gereja mengira bahwa mendirikan organisasi gereja yang besar sama
dengan membangun kerajaan Allah. Pemuka agama kita telah salah memaknai
kerajaan Allah yang Yesus pernah ucapkan. Gereja bukanlah kekuasaan, melainkan
pelayanan. Pelayanan adalah pelayanan. Bukan kekuasaan. Karena kekuasaan adalah
kekuasaan.”
-
∆ dan Ω berarti alfa dan omega. Simbol itu melambangkan Yesus Kristus sang
pembawa damai.
-
Penulis adalah guru bahasa Inggris di SMP Kristen Tondei. Juga sebagai dosen di
Universitas Kristen Indonesia di Sulawesi Utara.
6.
Mencari Anak
Raungan
sepeda motor tiba-tiba mendekat dan berhenti di halaman rumah kami. Tak
biasanya kakakku datang ke rumah di sore hari begini. Tambah lagi ini hari
Jumat. Bukan hari minggu. Yang anehnya juga adalah dia, suaminya dan kedua
anaknya tak semuanya. Jarang-jarang mereka datang lengkap begini. Biasanya itu
hanya terjadi pada hari-hari besar. Pengucapan, Natal dan Tahun Baru. Kedatangan merekapun seperti
membawa beban dari rumah mereka. Kalaupun mereka lagi kekurangan makanan di
rumah, tanpa basa-basi, mereka langsung membuka penutup saji dan melahap apa
yang ada. Tapi, saat itu tidak.
Namun,
seperti biasa, kami yang di rumah semuanya berkumpul di ruang tamu. Itulah cara
kami jika kerabat dekat datang berkunjung. Cerita mereka selalu ingin kami
dengar. Menyadari kehadiran mereka, aku langsung menghentikan pekerjaanku di
kamar dan menyapa mereka satu per satu. Dan benar, memang ada yang aneh.
Lingkanwene, kakak perempuanku, hanya memberikan senyum tawar ketika kami
bersalaman.
“Ibu,
sebenarnya siapa ayahku? Berapa sebetulnya ayahku?” semua anggota terkesima
begitu dua kalimat itu meluncur keluar dari mulut kakakku. Senyuman ramah kami
berganti dengan keheranan. Apalagi ibu.
“Kamu
sedang bicara apa, Lingkanwene?” kata ibu menimpali, “Tentu saja ayahmu si Manuel
yang telah meninggal sewaktu kau masih berumur sebelas tahun. Dan tentu saja
ayahmu cuma satu. Kamu pikir ibu ini wanita apaan di masa dulu?”
Mata
ibu berlinang. Tak sanggup dia menahan sakit hati karena tiba-tiba dituduh
sebagai perempuan yang tak benar oleh anaknya sendiri. Tak pernah dia
membayangkan anaknya sendiri yang didik dengan kasih sayang yang luar biasa
menuduhnya seorang perempuan sundal. Tak pernah dia sangka anaknya akan
menyamakan dia dengan dengan perempuan-perempuan Minahasa lain yang pergi
menjual diri ke Kalimanta, Papua, Jawa dan Sumatra hanya karena ingin di
pandang sebagai orang berada di desa.
“Lingkan
tak bermaksud begitu, bu. Lingkan yang terpukul karena semalam seseorang datang
mengaku sebagai ayahku. Dia meminta maaf padaku karena katanya telah
meninggalkan aku dan ibu dulu.”
Kulihat
ibu menegakkan badan. Kemudian mengusap air mata yang nyaris mengeras di
wajahnya.
“Kenapa
kau tak suruh dia kemari dan bertemu ibu?” kata ibu dengan tatapan serius.
“Aku
sendiri memang tidak yakin bu. Bapak itu mengaku sudah berumur 48 tahun.
Sedangkan aku sudah berumur 35 tahun. Tapi anehnya dia sudah memperlakukan aku
seperti anak sendiri. Semalam dia memberikan Andi dan Lumi seratus seribu per
orang. Dia tak tanggung-tanggung memberikanku 500 ribu. Dia juga sudah janjikan
kepada saya dan Roni untuk membawakan pasir, sirtu serta batu untuk melanjutkan
pembangunan rumah kami. Jadi, saya berpikir, kalau dia tidak yakin aku anaknya,
mana dia mau berkorban sebegitu besarnya. Ibu, maafkan aku, bila yang masih ibu
simpan, katakana padaku. Aku takkan marah pada ibu. Aku janji.”
“Nak,
tak ada yang ibu sembunyikan. Dari kecil ibu senantiasa mengajarkan anak-anak
ibu untuk selalu jujur. Karena ibu ingin kalian juga menjadi orang jujur,”
tutur ibu dengan kepala tertunduk. Dia sangat sedih tak dipercaya oleh anaknya,
“Nak, kalau ada orang yang datang mengakui kamu adalah anaknya, mungkin dia
salah orang. Atau bisa saja itu hanya kedok untuk sesuatu maksud yang lain.
***
Karena
penasaran ibu jadi sering duduk di depan rumah untuk melihat secara langsung
supir alat berat yang datang mengaku-aku sebagai ayah Lingkanwene. Dia
memperhatikan dengan teliti tampang
supir yang sudah sebulan bekerja dalam proyek penanganan bencana longsong di
desa kami. Tidak puas dengan dari jarak jauh, hari berikutnya dia mendekati
jalan untuk melihat lelaki itu dari dekat. Tidak ada tanda setitik pun yang
bisa membuat ibu kenal dengan lelaki bertubuh besar itu.
Roni,
suami Lingkan, dan kedua anaknya kini sudah dekat bahkan akrab dengan lelaki
itu. Lingkanpun sering menerimanya di rumahnya. Bahkan memperlakukannya laiknya
seorang ayah. Pekarangan rumah Lingkan dan Roni telah ada dipenuhi gundukan
material bangunan rumah. Kedua anaknya menjadi manja dan mendadak kaya. Makanan
ringan yang dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dikonsumsi mereka setiap
hari. Mereka tidak lagi mau disuguhi pisang rebus dan singkong goreng yang
diberikan kakek dan nenek mereka.
Kini
ibu sakit. Tertekan oleh sikap anak dan cucu-cucunya. Kemarin, bahkan Lingkan
meriaki ibunya dengan kata-kata kotor ketika ibu datang ke rumahnya agar tak
mempercayai lelaki yang tiba-tiba datang itu.
***
Aku
dan ayah terkejut setelah mendapati banyak orang sedang berbicang-bincang di
rumah kami. Seberkas kayu bakar dan berbagai jenis sayuran kami turunkan dari
gerobak. Sejenak ayah berlalu membawa sepasang lembu ke belangkang rumah untuk
memberi mereka makan. Aku langsung menuju dapur dan mengatur kayu bakar di atas
dodika. Tampak diatasnya nasi sudah matang. Satu per satu kayu yang
menyalah aku keluarkan.
Sudah
itu aku menuju ruang tamu. Ayahpun datang tak lama kemudian. Keringat masih
bercucuran. Badan belum bisa disiram dengan air. Bisa-bisa kami sakit, jika
kami bersikeras melakukannya. Aku dan ayah ikut bergabung dengan para tamu.
Semua tamu itu kukenal. Kecuali seorang lelaki yang duduk di antara Roni dan
Lingkan.
Terdengar
ibu berkata, “Kenal dengan Meity?” Si lelaki yang tak aku kenal mengangguk, “Kalau begitu, anak
yang bapak cari ada di Manado. Bapak sedang mencari anak kan? Anak bapak sedang
bekerja di sebuah tokoh swalayan terbesar. Anaknya cantik. Mirip bapak. Dia
juga punya tahi lalat yang ditumbuhi rambut seperti bapak.”
“Oh
kalau dia yang bapak cari, berarti apa yang ibu bilang itu sudah benar. Memang,
Meity pernah mengaku kepada kami bahwa bapak dari putrinya yang bernama Mery
berasal dari Boyong. Memang, ibu mertua namanya Srity. Hanya dipanggil dengan
Ti. Wajar kalau bapak mengira istri saya itu anak bapak. Memang ibu istri saya
adalah saudara kandung dari Meity.”
Si
lelaki melempar mukanya ke sisi lain. Tak jelas apa maknanya. Tampak dia mau
menangis.
“Besok
saja kita bicara. Kalau sekarang, aku menangis,” selah si lelaki yang tak ku
kenal itu. Suasana jadi menggantung. Padahal kami berharap semuanya akan menjadi
terang malam ini.
***
Malam
itu berakhir dengan tanda tanya. Tapi, aku yakin bahwa ibulah yang benar. Hanya
Lingkan yang terus ngotot bahwa dia percaya dengan perkataan si lelaki yang tak
kukenal itu.
Si
lelaki itu pulang tanpa permisi. Roni mengantarnya dengan sepeda motor ke
Ongkau. Katanya dia harus pulang ke Poigar. Keluarga dari istrinya ada yang
meninggal.
Dalam
perjalanan si lelaki itu meyakinkan Roni bahwa ibuku telah berbohong. “Harus
tes darah. Dengan begitu akan ketahuan yang sebenarnya, ” katanya. Roni dalam
sekejab menjadi percaya kembali pada si lelaki tak aku kenal itu. Dia kini
merasa jijik dengan mertuanya.
Lingkan
tambah yakin setelah Roni memberitahu perihal itu. Kenyamanan yang mereka
rasakan seakan menjadi bukti tambahan mereka harus percaya pada orang asing
itu. Tambah lagi, si Roni sering sakit-sakitan. Dia jadi jarang bekerja. Roni
yang menjadi tumpuan keluarga tak bisa berbuat banyak. Hidup mereka
terselamatkan dengan kemunculuan lelaki yang tak aku kenal itu.
***
Dua
minggu kemudian terdengar kehebohan di kampung kami. Roni mengobrak-abrik
rumahnya. Lingkan sudah beberapa hari tak pulang rumah setelah diajak oleh si
lelaki tak aku kenal itu pergi rumah sakit. Untuk tes darah. Begitu alasan yang
diberikan si lelaki yang tak ku kenal itu kepada Roni. Ponsel Lingkan dan si
lelaki itu tak aktif kedua-duanya.
Selesai
*
Dodika (bah. Manado): tungku
7.
Pemuda Malas
Seorang
pemuda diminta oleh seorang ibu untuk memanjat pohon rambutan dan memetiknya
karena mereka ingin sekali menikmati buah rambutan yang kulitnya tampak merah
dan menarik hati itu.
“Ah
buah itu asam,” kata pemuda itu sambil berlalu meninggal para ibu yang ingin
sekali makan buah rambutan.
Melihat
penolakkan halus itu ibu geram. Merekapun berembuk dan akhirnya memberanikan
diri untuk memetik buah-buah itu sendiri. Dengan susah payah dua orang
perempuan bergelayutan di atas pohon meraih setiap buah yang agak jauh dari
batang.
Setelah
selesai mendapatkan sesosiru, mulailah mereka menikmati beramai-ramai. Terdapat
anak-anak juga. Muncullah pemuda tadi dengan tiba-tiba. Tanpa ditawari dia
mulai memakan buahnya satu per satu dengan rakusnya. Para perempuan yang masih
di atas pohon kaget dengan kejadian itu.
“Hey…sialan
kamu! Tadi kamu bilang asam. Sekarang kami makan laiknya binatang kelaparan,”
teriak perempuan yang berbadan gempal.
Si
pemuda malas itu cuek. Dia tak menghentikan walaupun ditegur. Perempuan itu pun
berteriak lagi dengan kasar penuh makian. Si pemalas akhirnya bereaksi.
“Ok…tinggal
sepuluh yang akan aku makan. Satu…,” katanya sambil menghitung dan terus makan,
“ dua……..…tiga…..….empat……….”
Perempuan
gempal yang masih di atas pohon itu naik darah kemudian turun mengejar si
pemuda malas dengan beringasnya.
8.
Sende’u Kiaba
Ada
seorang pemuda bernama Pret Sual. Dia terkenal sebagai seorang lucu dan rajin
berdagang. Cakupan kegiatan dagangnya sampai ke tanah Bolaang Mongondow.
Dimana-mana dia pergi kelakar dan kelucuannya selalu ikutserta. Perawakannya
yang kecil serta kulitnya yang agak gelap menyamarkan keasliannya sebagai orang
Minahasa. Jadi, ketika dia mengaku-ngaku sebagai orang dari satu tempat dan
dengan nama tertentu orangpun percaya. Mereka takkan menyangka bahwa dia
sebetulnya orang Minahasa. Dia pernah menyamar dengan nama Sende’u Kiaba.
Temannya yang menemaninya pergi berdagang ke segala penjuru menyaksikan hal
itu. Dia selalu saja hampir dibuat mampus oleh kejenakaan Pret. Maka, diapun
dia dipanggil Sende’u Kiaba sampai ketika dia pulang ke kampungnya. Temannya itu
yang mempopulerkan nama itu.
Ketika
batibo gula sudah tidak cukup memberikan penghasilan bagi Pret, dia memutuskan
untuk berganti profesi. Karena bertepatan lagi musim pemetikan cengkeh dia
memutuskan untuk menjadi pemetik cengkeh. Suatu pagi dia berteriak historis di
tengah perkebunan. Para pemetik cengkih yang lain kaget dan keheranan.
“Tolong!
Tolong! Tolong!” teriak Pret.
Awalnya
para pemetik hanya mengacuhkan saja. Sebab mereka tahu bahwa itu suara Pret.
Dan mereka selalu percaya Pret akan berbuat usil.
“Tolong
saya! Tolong saya! Tolong!!” teriak Pret semakin melengking.
Prêt
berseru sangat keras namun lama kelamaan dia teriakkannya semakin melemah. Para
pemetik yang tengah sibuk memetik demi mencapai target memetik seratus liter.
Mereka memikirkan bonus yang diberikan oleh majikan. Bonus yang tak
tanggung-tanggung akan sangat membuat mereka gembira dan senang bukan kepalang.
Satu kerat botol bir dan beberapa bungkus rokok.
“Tolong!”
teriakkan terakhir sangat mencurigakan.
Para
pemetik lain di sekitar menunggu teriakkan lain tapi tak ada. Mereka berpikir
dan merenung sejenak. Tak sampak lima detik semua pemetik yang berada di lalako
teratas tangga bergegas turun. Seolah tak peduli mereka akan terjatuh.
Semua teman-teman pemetik Pret akhirnya
punya pikiran yang sama tentang Pret. “Pasti telah terjadi sesuatu yang buruk
pada Pret. Kali ini pasti dia sungguh-sungguh minta tolong.”
Merekapun
berlari seperti dikejar-kejar hantu menyusuri bidang tanah yang miring. Mereka
terpelanting-pelantung karena lebatnya rerumputan. Semua panik tak menentu.
Pret tergeletak tak berdaya di samping tangga yang juga tergeletak. Mereka
kebingungan mencari-cari tahu keadaan Pret. Pelan-pelan Pret bergerak. Seolah
baru tersadar dari pingsan.
“Tolong
kitia. Tolong se badiri akang kitia pe tangga. Dari tadi kita mo sandar ini
cingkeh mar berat skali. Nda mo ta angka. Ne, blum ada kita da pete,” kata Pret
nyaris tertawa.
Teman-temannya
yang tadinya mengira bahwa Pret kecelakaan, akhirnya terpaksa membantu Pret
dengan berat hati.
9.
Tak Tahan Aku Jauh
Darimu
“Lan, besok…mungkin aku sudah di Manado. Lamaranku diterima. Mulai besok
aku sudah harus bekerja. Kamu tidak marah kan kalau untuk sementara kita harus
berjauhan? Aku harus kerja. Menganggur itu tak baik. Aku tak mau jadi beban
orangtuaku. Kamu tahu kan kalau sekarang aku sudah jadi seorang sarjana?” kata
Felix pada pacarnya dengan perasaan senang bercampur sedih.
Wulandari sedikitpun tak bersuara. Dia hanya diam sambil menatap wajah sang
kekasih yang menyandarkan kepalanya di pangkuannya.
“ Aku janji akan mencari pekerjaan yang lebih baik dan tak jauh dari kota
ini nanti. Aku juga tak ingin jauh darimu. Aku menyayangimu Wulan. Percayalah.
Tapi…kepergianku besok belum pasti kok. Soalnya aku belum dapat uang untuk
membiayai hidupku selama satu bulan ke depan sebelum ganjinya kuterima.”
Mendengar perkataan Feliks, mata Wulandari mulai berkedip pertanda bahwa
dia bisa tenang untuk sementara. Wajahnya mulai berseri dan melemparkan
senyuman kepada Felix dan ke seluruh sudut kamar kos, tempat Felix tinggal.
Menyadari hal itu, Felixpun memberi kecupan ke dahi dan bibir mulan
beberapa kali.
***
Setelah berusaha keras meminjam uang, namun gagal, dari beberapa teman, akhirnya Feliks
menyerah. Tak satupun temannya yang bisa dia pinjami uang. Maklum sekarang
akhir bulan. Felixpun berkata dalam hatinya “Mungkin belum waktunya aku jauh
dari Wulan.”
Meskipun demikian, Felix pulang ke kosnya dengan perasaan puas karena usaha
keras sudah dilaksanakan. Saat gembok kamar baru saja dilepaskannya, telpon
berbunyi. “Halo, kenapa Lan?”, tanya Felix dengan suara lembut dan wajah yang
senyum.
“Fel, aku bukannya tak mau kau
bekerja. Bukannya aku menghalangimu supaya tidak membebani orang tuamu,
tapi….sangat sulit kalau aku harus jauh dari kamu. Aku sudah mencoba mengerti
dan bersikap biasa-biasa saja. tapi waktu teringat kamu tadi…aku pikir...aku
harus memberitahu perasaanku yang sesungguhnya,” ungkap Wulandari dengan nada
mengeluh dan memohon.
“Lan, kamu tak usah kuatir. Besok aku batal meninggalkan Tondano. Tak
satupun yang meminjamkanku uang. Mungkin Tuhan sengaja membiarkan ini terjadi
karena kita berdua sama-sama belum siap dengan perpisahan ini…walaupun hanya
sementara,” kata Felix santai sambil memandangi potret kekasihnya yang ditaruh
di atas meja belajarnya.
“Lho..benar nih? Aduh thanks God. Tapi bukan karena aku yang memaksa kamu
kan?”, dengan senang Wulan langsung bertanya lagi.
Setelah percakapan lewat telepon itu, Felixpun menelpon ke Manado untuk
memberitahukan bahwa dia belum bisa bekerja di sana karena terganjal oleh
masalah keuangan. Pihak yang akan mempekerjakannyapun mengiyakan dan meminta
supaya bisa mulai bekerja bulan berikutnya setelah perayaan Natal dan Tahun
baru selesai.
Waktu berlalu begitu cepat. Felix dan Wulandari semakin lengket dan mesra.
Mereka sudah saling janji untuk sehidup semati walaupun belum memutuskan untuk
menikah secepatnya. Mereka sepakat pernikahan dilangsungkan 4 sampai 5 tahun
lagi setelah Wulandari menyelesaikan kuliahnya di Universitas Negeri Manado.
***
Felix merayakan Natal di kampungnya bersama keluarga. Sedangkan Wulandari
di Tondano bersama Opa dan Omanya. Juga adiknya. Mereka tak cukup bahagia
karena jarak memisahkan mereka.
***
Pada perayaan tahun baru mereka sepakat untuk bersama-sama. Mereka pergi ke
gereja bersama dan saling bertukar foto, surat dan kartu ucapan tentang
harapan-harapan mereka berdua di tahun baru untuk hubungan spesial mereka.
Cahaya-cahaya lampu di saat Natal dan Tahun baru terus melekat pada dalam benak
sepasang kekasih ini. Mereka sangat bahagia karena mereka sudah berpacaran
hampir mencapai 4 bulan.
***
Tepat pada tanggal 9 Januari 2006 Felix ditelpon oleh orang yang bakal
menjadi bosnya supaya segera masuk kerja. Hari itu juga, setelah pamit pada
Wulandari, dia berangkat menuju ke Manado. Selama perjalanan mereka saling
mengirim sms untuk saling mengingatkan masing-masing supaya menjaga diri dan
setia menjaga hubungan. Felix senang dengan pekerjaannya sebagai pengajar di
lembaga pendidikan keterampilan yang bernama Max’s Learning Center-sebuah
lembaga yang dimiliki oleh sepasang suami istri berdarah Kanada dan Tionghoa.
Dia sudah senang dengan pekerjaan sejenis itu saat masih kuliah di Universitas
Negeri Manado. Namun tetap saja harinya selalu gunda saat dia sendiri dan
memikirkan Wulandari yang kini jauh dari pandangannya. Serasa baru sebentar dia
membelai rambut, mencium bibir, dan memeluk tubuh Wulandari.
Perasaan cemburu yang berlebihan kadang muncul. Saat dia membayangkan
kekasihnya yang cantik itu kalau-kalau didekati lelaki lain dan tergoda sampai
menyukai mereka.
Sekarang Felix selalu menelpon Wulandari. Sebelumnya mereka hanya
mengandalkan sms untuk saling bertanya kabar. Namun semua kini kadang-kadang
pesan pendek melului HP tak cukup untuk mengobati rindu.
Sekali seminggu Felix pergi menjenguk Wulandari di Tondano untuk melepas
rindu. Kamar kospun menjadi saksi perbuatan mereka yang mulai menanjak ke tahap
kemesuman. Waktu yang hanya sehari pada akhir pekan membuat mereka berusaha
sedapat mungkin menggunakannya dengan sebaik mungkin.
***
Tak jarang juga jarak yang memisahkan mereka menjadi sebab kesalahpahaman
sulit diatasi. Komunikasi sulit terjalin dengan baik. Saat mereka sedang
bertengkar perasaan marah dan kesal terasa sulit ditepis dan diatasi.
Kadang-kadang terbesit kata dalam pikiran masing-masing untuk segera mengakhiri
hubungan.
Wulan hampir-hampir mau menyerah. Apalagi banyak teman laki-lakinya di
kampus yang perhatian dan selalu siap membantunya kapanpun dia membutuhkan.
Rasanya godaan-godaan itu mulai mempengaruhinya. Ada beberapa cowok yang
sudah mengungkapkan isi hati mereka, katanya. Karena konflik antara dia dan
Felix, Wulandari sengaja enggan menolak keinginan cowok-cowok itu. Sekedar
untuk menyenangkan perasaan. Tapi sebenarnya itu tak akan disukai oleh Felix.
Jika sampai diketahuinya. Wulandari menyembunyikan itu dari Felix. Namun
Wulandari juga tidak berani menerima cinta mereka. Dia hanya bimbang dan
bingung. Seakan-akan memberi harapan pada cowok-cowok itu.
Felixpun tak jarang nyaris tergoda oleh rayuan dari teman-teman sekerjanya.
Dia sering diajak ke tempat-tempat tertentu yang senantiasa memberi
peluang-peluang untuk menyeleweng.
Kadang-kadang dia juga teringat wajah-wajah elok pacar-pacarnya sebelumnya
yang perhatian dan tak banyak menuntut darinya.
Kalau mau jujur, Felixpun merasa bahwa Wulandari adalah tipe cewek yang suka
menuntut dan suka memaksa. Felix kadang berpikir tentang sifat kekanak-kanakan
dan egois dari Wulandari.
Ada suatu saat, ketika Felix hendak berangkat ke tempat dia bekerja, dia
berpapasan dengan seorang gadis. Mantan kekasihnya.
“ Hei...kamu Felix kan? Aku tidak menyangka bisa bertemu kamu lagi. Apa
kabarmu, Fel?,” tanya Aurilia dengan sedikit menggoda.
“ Aurilia..! Iya aku Felix. Aku juga tak menyangka bisa bertemu kamu di
sini. Kabarku baik,” jawab Felix sekedar basa-basi.
Dia teringat dengan Wulandari yang mungkin akan marah kalau mengetahui
pertemuan ini. Padahal tidak disengaja.
Dia tak ingin nanti Wulandari terluka karena menyempatkan diri untuk
bertanya kabar satu sama lain dengan gadis bertubuh seksi dan berkulit putih
ini. Felix juga tak ingin Wulandari melakukan hal yang sama. Itu sama dengan
penghianatan!
Tanpa banyak berkata-kata Felix melangkahkan kaki ke arah yang berlawanan
dengan Aurilia. Felix teringat janjinya pada Wulan untuk tak akan berhubungan
lagi dengan orang-orang yang pernah dekat dengannya. Ingatpun tak boleh.
Apalagi berbincang-bincang dengan mereka.
***
Banyak juga bekas pacar Felix yang sering menghubunginya lewat telepon.
Dalam keadaan yang sedang bertengkar dengan Wulan, Felix bergulat dengan susah
payahnya untuk menyelamatkan hubungannya dengan Wulan. Meskipun sulit!
Felix memutuskan untuk menghapus semua nomor telepon mantan-mantan pacarnya
dan gadis yang pernah atau sementara berusaha mendekatinya.
Wulandari yang sempat sering berhubungan telpon dengan cowok-cowok
se-kampus dengan dia juga melakukan hal yang sama. Wulandari sadar bahwa semua
orang yang mendekatinya sekarang merupakan godaan secara tidak langsung untuk
menghancurkan hubungannya dengan Felix.
“ Lagipula belum tentu mereka lebih baik atau sebaik Felix, “ pikirnya.
***
“ Lan, aku aku minta maaf ya untuk soal kemarin-kemarin. Aku terlalu
emosional. Habis...kamu juga sih...marah-marah padaku di saat yang tak tepat.
Tapi apapun kesalahan aku...tolong dimaafkan ya... aku juga tak akan
mengingat-ingat kesalahan kamu,” kata Felix melalui telepon setelah beberapa
hari sempat bertengkar sangat hebat.
“Felix, aku juga minta maaf. Aku tahu aku juga waktu itu emosional. Aku
sayang kamu, Felix,” jawab Wulandari seraya membiarkan air mata bahagianya
perlahan menuruni pipinya yang kemerahan karena sudah akur lagi dengan sang
pujaan hati.
***
Setelah genap sebulan bekerja, Felix mengundurkan diri dari pekerjaannya
karena dia merasa sangat diperlakukan tidak adil. Dia dibayar kurang dari Rp.
900.000. Padahal dia pantas mendapatkan lebih karena kemampuannya dan ijasah
S1-nya. Dia juga kini siap untuk bekerja di tempat yang baru. Dia melamar
pekerjaan di Manado Post sebagai wartawan. Sangat senang hatinya karena melihat
namanya terpampang di koran. Dia telah diterima untuk menjadi wartawan.
Pekerjaan yang diidam-idamkannya selama ini.
***
Wulandari dan Felix sangat mensyukuri hal itu. Mereka mulai sering bertemu
lagi dan bersama-sama menempuh hari-hari mereka. Kalau lagi libur, Felix selalu
menjemput Wulandari di kampus. Mereka telah dipersatukan oleh keinginan untuk
selalu bersama.
***
TAMAT
10.
Teruna Abadi
Di
kampung kami ada hidup seorang teruna yang sudah agak tua. Yosi namanya. Dia
selalu terlihat di pagi dan siang hari setiap kali kami hendak berangkat ke dan
pulang dari sekolah. Pakaiannya sungguh membuat aku prihatin. Berjalan dengan
celana pendek dan kaos oblong yang dekil karena arang tak jadi soal bagi si
teruna ini. Siswa-siswi yang berpapasan
dengannya terkadang melemparkan tawa-tawa mengejek, namun tak pernah dia marah
atau tersinggung. Hal-hal itu begitu enteng diterimanya.
Dia
hidup normal dalam rumah sederhananya. Ada tinggal di situ dia, mamanya, dan
dua adiknya perempuan yang sudah berkeluarga. Dua adik iparnya minta ampun
malasnya. Mereka paling hebat kalau membuat anak. Jadinya, semua tanggungan ada
di pundak Yosi.
Sedikit
pun dia tak mengeluh. Dia terus saja bekerja tanpa berharap ada orang yang akan
membantu. Sungguh tak berperasaan dua saudara iparnya itu. Mamanya yang sudah
buta tak pernah menyadari kelakuan jahat dua anak menantunya yang tiap hari
kerja mereka hanya nonton dan tidur. Sungguh tak tahu malu!
Pekerjaan
Yosi adalah pekerjaan mayoritas pria di kampung kami. Dia seorang pembuat gula
aren. Mereka terus saja membuat gula aren walau harganya naik turun seperti
yoyo berkat permainan pengusaha-pengusaha kecil di kampung kami.
Dia
bekerja mulai subuh hingga malam. Dia terlihat siang di kampung untuk makan
siang sekaligus melihat ibunya yang kadang-kadang ditelantarkan oleh
orang-orang serumah. Untung, letak tampa gula-nya tak jauh dari rumah.
Orang-orang
bisa bertandang ke tampa gula kapan saja. Dia tak merasa rugi bila
berkali-kali orang datang meneguk beberapa tempurung saguer dari kuali.
Tempat dimana dia bekerja telah banyak kali dijadikan sasaran penelitian
mahasiswa. Sampai-sampai pernah ada seorang anak gadis kuliahan tertarik dan
jatuh cinta padanya oleh karena terkesima dengan profesianalisme Yosi
ketika memaparkan secara ilmiah proses pembuatan gula aren. Walaupun tidak
sekolah, karena bertahun-tahun menggelutinya, serasa enteng dia memberi presentasi.
Padahal, belum tentu seorang mahasiswa dapat melakukannya. Ya begitulah,
banyak mahasiswa yang menjelang sarjana tak tahu menahu soal presentasi ilmiah.
Sayang,
kata-kata gadis kuliahan itu dianggapnya lelucon. Waktu si gadis menegaskan
keseriusannya, Yosi dengan terus terang menampiknya. Bukan karena dia setia pada seorang gadis
lain. Tapi karena sesuatu yang tak jelas. Aneh. Pria yang tak tampan ini
menyia-nyiakan lamaran seorang gadis istana. Padahal banyak pemuda lainnya sekolah
tinggi dan berobsesi jadi kaya raya demi mendapatkan seorang gadis cantik
barang satu saja.
Ganjil.
Barangkali Yosi telah hilang kewarasannya. Si Yuli, pacarnya, kini telah
menjadi perawan tua gara-gara sikap Yosi yang tak jelas itu. Dia masih menunggu
walau tak pernah diminta Yosi untuk menungguinya.
Yosi
masih ke rumah gadis itu namun tak pernah dia berjanji mengantarnya ke
pelaminan. Gadis itu hanya berharap. Terus berharap entah sampai kapan. Tabuh
bagi dia bertanya mengenai ikhwal itu pada Yosi.
“Yos,
umurmu kini telah empat puluh. Kenapa juga tak kau nikahi si Yuli itu? Masihkah
kau menanti yang lain? Jangan pilih-pilih Yos. Pili-pili ahirnya dapa langsa
busu,” kata Rivon karena kasihan melihat Yosi yang tiap hari bekerja bagai
budak. Mungkin Rivon juga ikut menjadi saksi keganasan keadaan yang dialami
Yosi. Memang, hak ikhwal Yosi tak lagi menjadi rahasia.
“Untuk
apa menikah? Aku sudah bisa memasak, menyuci dan mengerjakan semua yang bisa
dilakukan seorang istri?” jawab Yosi dengan sedikit berkelakar. Disertai tanya.
“Ah
Yosi, tidakkah kau ingin merasakan nikmatnya tidur bersama seorang wanita? Tak
maukah kau dilayani seorang istri? Tak sudikah kau beroleh keturunan? Penerus.
Penerus margamu Yos,” tambah Rivon.
Rivon
berusaha menyadarkan Yosi tentang pentingnya berkeluarga. Hidup bahagia di hari
tua dengan didampingi anak istri dan cucu.
Terus saja dia mengiming-imingi Yosi tentang sesuatu yang sebenarnya tak
diyakininya betul.
“Maukah
kau korbankan kebahagiaan kau hanya demi kesedapan di atas ranjang nun singkat
itu Von? Kau lihat hidup si Jerry, saban hari bertengkar dengan istrinya
gara-gara setiap pulang dari sawah istrinya asik nonton dan bakarlota
dengan teman-temannya. Kau lihat si Eli. Anaknya pas kesebelasan sepak bola
jumlahnya. Semua menumpang di rumah menantunya. Kau lihat si Oni, dia ditinggal
oleh istrinya setelah bosan dengan kesedapan ranjang hanya dengan satu lelaki. Tak usahlah kau pikir hidup aku,
kawan. Aku bahagia dengan nasibku. Aku telah memilih untuk sendiri bukan karena
aku tak mau menikmati tubuh perempuan. Aku memilih begini karena aku tak ingin
mewariskan penderitaan pada anak-anakku. Cukuplah aku yang merasakannya. Aku
tak mau anak-anak dan cucuku mengutuki aku karena telah menyebabkan mereka
lahir ke dunia,” Rivon terpaku. Dia tertunduk malu.
Selama
ini dia mengganggap Yosi adalah orang yang bodoh yang tak memahami hidup.
Selama ini dia berpikir bahwa Yosi telah sesat pikir dan sesat tindak. Rivon
malu tersipu telah menuduhkan hal-hal yang tak baik pada Yosi.
“Rivon,
kenapa kamu ingin menikah? Apa karena kamu yakin kamu bisa membahagiakan anak
istrimu? Apa kamu yakin sanggup mendidik anak-anakmu menjadi anak-anak yang
berperilaku patut dan tak akan menjadi musuh negara kita?” Rivon masih
tertunduk. Tak berani dia mendongak. “Von, kalau kau tak yakin bisa dengan
semua itu, bukankah sebaiknya kau mencegah satu langkah agar tak ada
langkah-langkah lain yang nanti membawa kau ke jurang sengsara abadi? Hidup itu
singkat, kawan. Jangan kau hanya berpikir bagaimana memuaskan keinginanmu
semata. Bahagiakan orang lain. Atau paling tidak, cegahlah ketidakbahagiaan
itu.”
Rivon
tak berani mendongak hingga kini. Yosipun melanjutkan pekerjaan. Sudah waktunya
mengambil sareng-sareng yang bergelantungan di atas pohon aren. Lalu,
dia masih harus mencari kayu bakar. Tambah lagi dia harus merebus saguer.
Rivon pulang tanpa pamit. Sempat dilihat Yosi pria yang sok tahu itu pulang
tanpa pamit. Tanpa basa basi. Pulang tetap tertunduk. Dalam hati terus
menyalahkan diri sendiri karena telah berprasangkah sangat tak adil kepada
Yosi. Teringat oleh Rivon sebaris kalimat goresan Pramoedya Ananta Toer,
“Seorang cendekiawan harus bertindak adil sejak dari pikiran.”
23/02/2012
11.
Toar dan Lumimuut
Berjualan
Kacang di Singapura
Della,
pacarku, mengusulkan supaya kami mampir sebentar di sebuah toko agar dia bisa
membeli sesuatu untuk temannya yang sedang menunggu di kosnya. Usulan itu tak
aku tampik karena memang aku ingin jalan-jalan lagi ke area pertokoan itu.
Pasar swalayan itu adalah pasar modern yang sangat besar. Dulunya kawasan itu
begitu terkenal sehingga orang kampung di pelosok manapun di Minahasa tahu
dengan itu. Sampai-sampai ada teka-teki lucu yang bunyinya begini, “Ada berapa
matahari di Manado Alo?” “Satu,” jawab Alo. Dengan cepat penanya bilang bahwa
jawaban Alo keliru. “Salah Alo!” Matahari yang dimaksud penanya adalah nama
toko swalayan terbesar di Manado. Memang baru saja berdiri Mega Mall. Di
situ ada juga Matahari. Penanya ingin
mengetes apakah Alo tahu dengan perkembangan baru itu. Maklum, Alo yang
kesehariannya sebagai magula, jarang pergi ke Manado. Si Alo salah juga memahami
pertanyaan yang dilontarkan itu. Dia menganggap matahari yang dimaksud penanya
adalah secara harafia. Dia dengan setengah berteriak bilang, “Ado kasiang ngana
Yus, sedangkan cuma satu matahari, ngana lia kamari kita pe kuli so sama deng
panta blanga. Apalagi dua!”
Sekarang
gedung banyak tingkat itu tak lagi menjual barang. Melainkan jasa. Telah
menjadi laiknya surya yang memberi
penerangan kepada orang yang masuk dalam gelap sakit. Tapi namanya bukan lagi
Matahari. Sudah berupa menjadi Siloam Hospitals. Rumah Sakit Siloam. Begitulah
bunyinya dalam bahasa Indonesia.
Tujuan
kami saat ini bukan ke situ. Pacarku membawaku ke Singapura. Sebuah toko yang
menjual bermacam-macam kue basah. Tak jauh dari rumah sakit baru itu. Kami
berjalan ke arah pasar 45. Dalam perjalanan aku memperhatikan sekeliling.
Berharap mendapat inspirasi untuk novel yang sementara aku tulis.
Aku
tergugah melihat pemandangan yang membuatku seperti mengalami Dejavu. Aku
melihat sendiri Toar dan Lumimuut baru
bertemu dan menyamakan kedua tongkat mereka. Tampak memang tongkat mereka sudah
tak sama panjang. Mereka boleh menikah. Toar yang dewasa tampak semakin gagah.
Lumimuut yang awet muda buat Toar terperangah.
Rasa
penasaran membuat aku keluar lagi dari toko itu. Bau aneka kue basah yang harum
dan menggoda selera tak bisa menyaingi rasa penasaranku untuk kembali melihat
dua orang yang adalah leluhur orang Minahasa itu. Saat aku keluar terdengar
Toar dan Lumimuut bercakap mesra. Mungkin sedang membahas keturunan mereka, makatelu
pitu yang kawin campur dengan Makarua Siow. Aku mendekat. Nekat.
Memastikan apa yang sedang kulihat.
“So
brapa ngana pe kacang da laku?” tanya Toar. Tangan kirinya memegang se kotak
halua. Sedang tangan kanannya mengusap-usap tongkat berwarna abu-abu.
“Mana
mo laku ni kacang tore ini. Torang sala tampa ini sto no. Co ngana bobow, pe
sadap skali tu kukis di dalam no. Nda ada orang Manado mo makang kacang tore
atau halua kete di saman sekarang. Asi ngana tahu bagimana orang Manado
sekarang pe gengsi,” kata Lumimuut.
Sudah
lama rupanya dua orang tunanetra ini
berdiri di depan toko kue itu. Nasib mempertemukan mereka. Toar tampak begitu rapih. Gayanya
seperti seorang dosen. Sedangkan Lumimuut mirip keke yang dikirim ke
Taiwan atau Singapura. Busananya santai. Potongan rambutnya yang pendek
ditambah celananya yang juga pendek semakin mengukuhkan kemiripannya dengan
seorang TKW yang baru saja pulang membawa dolar.
“Halua!
Halua…halua kacang!” teriak lelaki tunanetra itu lantang. Si perempuan
tunanetra diam saja.
Mungkin
pemilik toko kue basah itu terusik. Seorang cleaning service keluar
dengan sapu. Sungguh tak sopan dia. Sudah tahu ada orang, lalu dia tetap mau
bersih-bersih. Mubazir. Tak ada guna menyapu pada lantai yang dilewati tak
hentinya oleh orang yang lalu lalang di depannya. Aku berdiri saja di depan
toko walaupun tahu dia akan menyapu lantai di mana aku berdiri. Karena tak
bergeser dan mataku menatapnya tajam, dia pun sadar bahwa aku harus diperlakuan
istimewa. Dia ingat bahwa pembeli ada raja. Aku berpotensi menjadi seorang
pembeli.
Dia
mengganti arah.
Dia menyapu ke arah sepasang tunatetra itu.
Dia tahu mereka tak bisa melihat. Dia menyapu terus walau abu berhamburan di
hadapan sepasang tunanetra. Sang cleaning service ini merasa punya
kesempatan berbuat semena-mena pada orang malang. Alangkah tak adilnya.
Aku
melakukan gerakan mencurigakan untuk mencuri perhatiannya. Saat kami bertemu
pandang ku tunjukkan raut ketidaksetujuan kepadanya. Dia pun mengerti dan
segera berhenti.
Dekat
trotoar terlihat seorang tukang parkir berjalan dengan kedua tongkat tripodnya.
Mungkin dia baru saja sembuh dari penyakit supi karena terlalu banyak
minum cap tikus. Tikus telah menggigit urat-urat vitalnya sehingga dia
lebih tak berdaya daripada sepasang tunanetra itu. Pria dengan tongkat
tripodnya berkali-kali memaki ketika hanya diberi uang receh oleh para bos yang
lewat dengan mobil-mobil mewah keluaran terbaru. Ada perbedaan yang menggelitik
dari dua orang tunetra dan tukang parkir. Tunanetra yang menggunakan tongkat
seadanya padahal mereka tidak melihat. Dan mereka berjalan seperti orang
normal. Sedangkan tukang parkir matanya belum rabun tapi dia memiliki dua
tongkat dengan jumlah kaki, enam.
“Smo
pigi kita e,” kata ibu tunanetra memecah lamunanku. Perlahan dia menyusuri
jalanan ramai.
“Oh
kita kira ngana so pigi dari tadi,” jawab bapak tunanetra.
Tak
ada lambaian tangan atau pun jabat tangan. Juga tak ada anggukkan kepala.
Mereka tahu semua gesture itu tak berlaku dalam dunia mereka. Tapi aneh, jarang
terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi para tunanetra.
“Halua!
Halua kacang!”
Tiba-tiba
muncul rasa ibah dan haru dalam dada. Perlahan si ibu tunanetra menjauh. Hampir
pupus dalam jangkauan mata. Sekilas ku lihat dia menjelma menjadi ibuku. Bapak
tunanetra pula menjelma sebagai ayahku. Ku kejar si ibu tunanetra dan kuberikan
beberapa lembar lima ribuan. Kuberikan juga jumlah yang sama kepada bapa
tunanetra.
Kuingat
temanku Kurniawan sering bilang, “Dengan
tak memberi sepeserpun pada orang malang begitu, kita meluaskan jalan revolusi.
Teori-teori tentang ramalan hancurnya kapitalisme pun akan terwujud.”
Dia
selalu melarangku bila memberi uang. “Kita akan membuatnya jadi malas. Atau
bisa saja dia mungkin hanya berpura-pura,”
tambahnya.
Teringat
pula kalimat dalam buku Emha Ainun Najib, “Terkadang Tuhan pun masih memberi apa
yang kita minta walaupun dia tahu kita sering menipuNya.”
12. Mental Pamong
Praja
Indonesia
Masa Kini
Matahari
belum terlalu tegak berdirinya. Namun, kami sudah seperti cacing yang
berteriak-teriak minta tolong. Panas! Aku sendiri heran kenapa sang kepala
sekolah mendapat ide gila memuat puluhan siswa di atas sebuah truk. Kami
diperlakukan seperti sapi yang beberapa waktu lagi akan dijagal. Padahal, dana
BOS tidak perlu dihemat dengan cara tidak manusiawi seperti ini. Sialnya, gara-gara aku hanyalah seorang
honor yang masih bujangan, aku dianggap layak untuk dibuat teraniaya. Sementara
para guru lain dengan modal seragam PNSnya bertindak seolah bos-bos yang harus
dihormati. Sialan! Bagusnya hanya pada seragam. Di dalam kelas seperti keledai
saja. Tak mengajar sama sekali.
“Sir,
kenapa cuma sir yang nda gabung ta panas-panas deng torang di sini? Nda adil
dorang kang sir?” ketus salah seorang siswi. Aku hanya senyum kecil.
Sangatlah
tidak pantas bila aku harus menceritakan perasaanku yang sebenarnya pada
seorang gadis yang belum cukup pengertiannya. Lagipula aku tak mau
menjelek-jelekkan guru-guru lain itu di depan para siswa. Walaupun sebenarya
ketidaktahuan mereka mengajar begitu dikenal oleh para murid. Memang, terkadang
guru tidak menyadari bahwa sebenarya siswa lebih banyak tahu dari yang kita
sebagai guru kira.
Sesampai
di ibu kota kecamatan, para guru-guru PNS
dengan pongah memerintah saya supaya mengarahkan para murid ke lapangan
dimana upacara bendera akan dilangsungkan. Aku minta mereka agar sabar dengan
murid karena mereka sedang capek karena kegerahan. Guru-guru itu terus mendesak
gara-gara upacara sudah sementara berlangsung. Ternyata kami datang terlambat.
Dengan langkah diam-diam kami masuk ke barisan. Terpaksa siswa-siswa rombongan
kami harus menyambung di barisan sekolah lain sebab tempat yang disediakan
sudah disabotase sekolah lain. Tentu, akan sangat kentara juga bila kami harus
mencari tempat di depan. Akan lebih mempermalukan lagi sekolah kami. Satu
persatu aku meminta siswa agar masuk dan menutupi barisan. Susah memang
mengaturnya. Dalam situasi begini, seringkali siswa-siswi suka bergelagat.
Mereka tahu sanksi tak mungkin diberlakukan. Aku menggunakan cara yang paling
lembut untuk menenangkan mereka. Sudah itu akup pun mencari tempat di mana aku
bisa berbaris. Yang kupilih adalah di belakang para siswa yang aku antar.
Kebetulan berdekatan dengan barisan guru.
Anehnya,
kini yang paling gaduh justru barisan para guru. Mereka saling bergantian berseloroh.
Paling banter adalah kepala sekolahku sendiri. Leluconnya yang berbau porno
menyihir para guru muda lain untuk larut dalam cerita-cerita itu. Barisan
merekapun seperti ular. Semua memegang koran sebagai penutup wajah dan kepala.
Sedangkan siswa mereka pelototi bila tidak berbaris dengan benar. “Ironis!”
“Istirahat
di tempat grak!” teriak si pemimpin upacara.
“Ah
lega,” ketus para siswa berbarengan.
Dalam
situasi begini mana ada yang mau mendengar wejangan inspektur upacara. Dia
seenaknya bicara pacang. Dia memang enak. Ada di panggung kehormatan. Terik
matahari tak akan bisa menyengat mereka. Mereka juga bisa duduk. Mereka
mengajarkan tentang perjuangan, mereka sendiri tak memberikan panutan. Mereka
berperilaku persis seperti orang belanda yang suka perintah-perintah, sedangkan
kami, distraf seperti tahanan. Dijemur di bawah panas yang tak punya belas
kasih.
Aku
masih saja berdiri tegak dengan kaki sedikit mengangkang. Kedua tanganku
menyilang di belakang. Seperti diborgol. Aku membayangkan diriku persis seperti
Walter Monginsidi yang siap dieksekusi oleh regu tembak. Peluh mengalir deras
dari kepala. Punggungku sudah basah. Benar-benar basah. Barisan guru-guru
semakin beringas. Tawa semakin melengking. Tiba-tiba seorang siswa perempuan
terombang-ambing di atas tanah.
“Sir!
Sir! Fista pusing, sir!”
Dengan
cepat aku berlari menahan tubuh mungilnya sebelum memukul tanah. Siswa-siswa
dari sekolah lain dengan sontak pun berkerumun.
“Sudah.
Jangan dekat-dekat. Nanti dia tambah kepanasan. Kembali ke barisan!” kataku
kepada mereke. Tampak siswa mulai berhamburan sambil mencari-cari air. Di
barisan lain juga siswa terlihat satu per satu tumbang. Inspektur upacara masih
saja terus bicara. Dia masih menbacakan sambutan tertulis bupati. Belum ada
tanda-tanda mau berhenti. Itu baru sambutan tertulis bupati. Belum lagi
sambutan lisan dari inspektur itu sendiri. Aku heran dengan pejabat di negara
ini. Mereka suka sekali berkata-kata di depan banyak orang. Padahal kinerja
mereka nol besar.
Setelah
membaringkan siswi yang pingsan itu. Kulepaskan sepatunya. Dan kuminta siswa
perempuan akar melonggarkan pakaian sehingga dia bisa bernafas bebas. Seketika
itu juga kulihat semua siswa-siswi dari sekolah kami sudah tak ada lagi yang
ikut dalam barisan. Semuanya telah berjalan mencari air. Mereka sudah tak
tahan. Akupun setuju saja. Barisan guru-guru juga sudah bergeser ke bawa pohon
untuk menghindari sengatan matahari.
***
Setelah
upacara selesai aku bertemu dengan seorang guru dari ibu kota kecamatan. Dia
lebih dulu yang menegur. Dari mobil jimmy dengan sok dia memamerkan
kendaraannya. Aku dengan spontan berkata, “Eh so ta bae nga e!”
Dia
dengan pongah menjawab, “Batabung no.”
Sungguh
pongah. Mana bisa dengan gaji seorang PNS yang baru genap setahun sudah bisa
memberi mobil seperti itu? Emang, gajinya berapa?
Aku
jadi teringat masa lalu kami. Kami dulu sama-sama pernah terlibat dalam
organisasi kemahasiswaan di tingkat fakultas. Sewaktu saya menjadi ketua Badan
Eksekutif Mahasiswa, dia adalah ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa. Saya
di eksekutif. Dia di legislatif.
Dia
pernah memohon-mohon padaku agar mendukungnya menjadi ketua. Saya berusaha
membantu. Dan akhirnya dia menjadi ketua
MPM.
Suatu
waktu saya mendapat tugas keluar daerah mewakili kampus. Selama saya pergi dia
ternyata membuat kesepakatan diam-diam dengan pimpinan fakultas mengenai
pemotongan beasiswa. Lima juta kantonginya. Itu adalah dana untuk organisasi.
Tapi, dengan tamak dipakainya untuk pribadinya. Karena diuber-uber oleh anggota
MPM lainya dia kembali meminta tolong kepada saya. Dengan tegas saya bilang
saya tak bisa membantu dia. Karena jika demikian, sama saja turut menjadi
koruptor seperti dia.
Jadi,
mustahilah kalau dia sudah kaya sekarang kalau belum sampai setahun dia menjadi
PNS. Menabung?
13.
Ingin Kaya
Herman
baru saja pulang dari sekolah. Dengan langkah cepat dia berlari mencari ayahnya
di sawah. Kini ayahnya adalah lelaki tua yang kesepian menjalani hari-hari
sembari mengenang masa silam. Dulu, dia adalah abdi negara. Banyak orang desa
menjadi tahu membaca dan menulis karena upaya dan kerja kerasnya. Meskipun
begitu, profesinya tak pernah menjadi prioritas dalam perhatian pemerintah.
Dia
juga ingin anak-anaknya mengenyam pendidikan sehingga nasib boleh berubah.
Tapi, harapan tinggal harapan. Semua anaknya tak ingin sekolah tinggi. Mereka
enggan keluar desa karena tak ingin dicemooh oleh orang-orang kota. Orang-orang
di desa tetangga pun sering bilang, “Kita tunggu babi panjat kelapa dulu, baru
desa kalian menjadi maju.” Begitu membekasnya pernyataan penghinaan itu
sehingga anak-anaknyapun sangat rendah diri. Tapi, Herman adalah kekecualian.
Dia satu-satunya yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang paling tinggi.
Sewaktu dia memberitahu ayahnya bahwa cita-citanya adalah menjadi seorang
dokter, ayahya sangat bangga. Sekaligus menyebabkan pria tua harus menyapu
dada. Maklum, menjadi dokter adalah cita-cita yang hampir mustahil untuk
diwujudkan oleh mereka yang tergolong miskin.
Demi cita-cita, setamat SD, Herman harus
berpisah dari orangtua dan saudara-saudarinya. Saudaranya ikut membantu ayah
mereka bekerja untuk menopangnya yang kini menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi. Demi membeli buku dan mengikuti praktikum-pratikum
dia menghemat dengan luar biasa. Kadang-kadang dia hanya makan sekali dalam
sehari. Tambah lagi pungutan fakultas itu banyak. Pungutan yang dikemas
seolah-olah untuk pembangunan padahal, untuk membuat buncit perut para dosen
dan stafnya.
Semakin bertambah semester semakin
bertambah pula biaya yang dibutuhkan. Pekerjaan sampingan berusaha dicarinya
agar beban orang tua dan saudaranya sedikit meringan. Hingga pada suatu saat
dia bertemu dengan seorang gadis desa. Gadis yang dia temui sewaktu dia
menjenguk kakeknya di sebuah desa terpencil di Tondano. Gadis centil itu begitu
memikat. Sayangnya, gadis itu tak memenuhi kriteria ideal Herman. Cantik,
berpendidikan, baik hati adalah ciri yang secara matang telah ditetapkannya
menjadi syarat orang yang nantinya menjadi pendamping hidupnya. Pertemuan demi
pertemuan kian menciptkan kedekatan bagi kedua insan itu. Gadis centil bunga
desa itu tergila-gila pada Herman. Perasaan yang tak tertahankan dirasa harus
diungkapkan. Grice meminta bantuan sepupu laki-lakinya untuk menyampaikan
maksudnya. Usaha sepupunyapun berhasil.
Herman pun tak banyak cincong. “Apa salahnya dicoba. Toh, belum tentu hubungan
ini akan sampai pada pernikahan,” bisiknya pada dirinnya sambil tersenyum
kecil. Tantangan terucap. Tantangan telah diterima.
“Apa keinginanmu Herman? Mengapa kamu
menyiksa dirimu bergumul dengan buku-buku tebal selama beberapa tahun?” tanya
Grice pada suatu senja ketika mereka duduk di teras rumahnya.
Pertanyaan
itu dirasa cukup dalam. Pertanyaan yang seharusnya dijawabnya sebelum masuk
fakultas termahal itu. Ternyata Grice bukanlah gadis dengan tingkatan
kecerdasan yang dangkal. Ternyata dia sudah salah menilai Grice selama ini.
“Aku ingin mengubah nasib,” jawab Herman
singkat.
Kalimat
singkat adalah upayanya paling cerdas. Tak ingin dia dianggap macam-macam oleh
Grice. Dia tahu persis bahwa banyak bicara akan membuat banyak rahasia
terungkap.
“Nikahi saja aku kalau kamu ingin
perubahan nasib. Aku yakin anak-anak kita akan hidup nyaman tentram nanti. Tak
lama lagi kamu akan jadi dokter. Aku akan melahirkan anak-anak yang sehat dan
kuat. Dan mereka tidak akan mendapat masalah dengan biaya pendidikan mereka,”
kata Grice dengan lugas.
Herman tercengang dan tak percaya dengan apa yang baru saja dia
dengar. Grice sudah lama tahu bahwa Herman ingin menjadi orang kaya sehingga bisa
membantu keluarga di desa yang hampir melarat. Dia tahu bahwa tujuan Herman
menjadi dokter tidaklah seperti tujuan
kebanyakan orang, yakni memberikan kesembuhan bagi orang sakit. Tujuan yang
sering terucap dari bibir dari calon dokter. Tapi tidak lagi terdengar di saat
mereka telah menjadi dokter. Apalagi dokter yang mapan.
Memang salah satu pertimbangan Herman
bertahan dengan Grice, kalau dia mau jujur, ialah karena kenyamanan ekonomi
yang bisa didapatnya di kemudian hari.
Setelah dia tahu bahwa Grice adalah anak tunggal dari keluarga dengan kekayaan
yang takkan habis hingga tujuh turunan, dia pun membuang semua kriteria yang
pernah dia tetapkan berkenaan dengan gadis yang harus mendampinginya hingga
usia renta.
“Grice, kita belum waktunya bicarakan
pernikahan. Kita belum begitu saling mengenal,” kata Herman terbata. Dia
mencoba menghindari tatapan Grice.
“Tak ada yang menghalangi. Orangtuaku
suka sama kamu. Dan mereka juga siap membantu anak mantu mereka agar segera
menjadi dokter. Tapi, aku tak bisa memaksa. Mungkin aku bukanlah gadis yang
kamu impikan dan angankan selama ini.”
“Bukan begitu, Grice. Aku…”
“Sssst,” ucap Grice sambil menegakkan
telunjuk didepan bibir Herman. Sekejab mata tangan Grice begitu cekatan
menarik Herman ke dekat dadanya. Herman
direngkuhnya dengan erat. Yang terjadi selanjutnya silahkan tanya kepada kursi
dan suasana remang-remang yang menjadi saksi mereka.
***
Tahun
itu juga mereka menikah. Tahun berikutnya Herman dinobatkan menjadi seorang
dokter. Sekarang dia menjadi dokter di Rumah Sakit Umum Malalayang. Berkat campur tangan mertuanya dia bisa menghindari
kewajiban mengabdi di daerah-daerah pelosok. Penghiantan terhadap kode etik
dokter itu tak dihiraukannya. Dan sekarang dia telah menjadi kaya raya. Karena
banyak tanah yang telah dibelinya dari orang-orang di desanya, dia kini menjadi
pemilik tunggal dari berhektar-hektar tanah. Dia pun dijuluki tuan Takur. Tuan
tanah.
Di
usianya yang sudah senja dia membebaskan banyak biaya setiap pasien yang kurang
mampu yang kebetulan berasal dari daerah di mana dia lahir. Dia juga membangun
sebuah gereja yang megah di kampungnya dengan uang dari kantongnya sendiri.
Mungkin itu untuk menebus akan penghianatannya yang dia lakukan sewaktu masih
muda. Setiap pagi dia selalu berdoa, “Tuhan, biarlah aku damai dengan memberi
uang untuk menyembuhkan sakit dan untuk membangun rumahMu.”
14.
Kalau Bukan PNS, Tidak Sukses
Hari
telah sore. Karena kecapean aku tidur-tiduran saja di ranjang. Tak berapa lama
kemudian terdengar suara ketukkan pada pintu. Aku tahu mama sedang di luar. Dia
sedang menjahit beberapa pakaian sobek. Jadi aku enggan keluar membuka pintu.
“Selamat
sore mam,” terdengar suara Hesty. Ternyata kakakku yang datang.
“Hei…sayang.
Sudah lama kamu tak datang menjengguk. Gimana Lino dan Gloria? Baik-baik saja
kan?” kata mama sesudah mereka saling berpelukkan.
Dari
celah jendela ku lihat kakak satu per satu meletakkan bawaannya. Setengah
pisang, sedikit ikan terik dan seikat sayuran.
Hesty
adalah kakakku. Sekarang dia tinggal di Ongkau bersama suaminya. Hampir setahun
dia tak berkunjung. Suaminya seorang nelayan. Dia sendiri menjadi penjaja kue
basah ke sekolah-sekolah untuk menopang suaminya.
Ibupun bergegas ke dapur untuk membuatkan secangkir
kopi untuk Hesty. Nampak getir pada wajah Hesty. Ada apakah gerangan? Pasti ada
sesuatu yang mengganjal hatinya. Tentu ada persoalan di rumahnya. Mana mungkin
dia datang jauh-jauh dengan berjalan kaki hanya sekedar untuk menjengguk.
Ku
urungkan niat untuk keluar kamar. Rasa penasaranku muncul semakin kentara.
“Ma….mama…tak
usah repot-repot!” kata kakakku diikuti suara desah. Terlihat dia melepas beban
berat.
Tak
ada sahutan dari mama. Aku tahu dia sedang membuat api di dapur. Kayu bakar
akan lama dinyalakan. Butuh waktu sekitar 15 menit. Maklumlah setelah subsidi
minyak tanah dicabut dan digantikan dengan gas LPG yang harganya minta ampun
tingginya, orang miskin seperti kami harus menerapkan hidup super hemat.
“Hesti…ini
minum dulu. Kami pasti capek jalan kaki sepanjang 9 km. Teh baik untuk
kesehatan. Ibu hanya punya gula aren. Gula pasir makin mahal soalnya. Bagaimana
Irene?” kata ibu. Nampak wajahnya berkeringat dan berasap.
“Dia
sudah baik nasibnya. Sekarang sudah PNS. Dan dia sudah menikah. Tapi sayang,
suaminya hanya seorang guru honor di SD. Heran aku. Sudah sekolah tinggi tapi
mau sama pria yang tak jelas masa depannya,” kilah Hesty.
Aku
sedikit tersentak dengan pikiran kakakku. Dia berpikir bahwa keberhasilan
seseorang dapat dilihat dari harta dan kedudukan. Yang membuat aku sedih adalah
orang dengan kerja keras dan pengabdian tinggi tetap dianggap rendah dan tak
berarti. Padahal mereka melakukan pekerjaan dengan dasar kejujuran.
Tak
mengherankan memang. Mayoritas orang berpikir seperti kakakku. Tawaran dunia
yang menggiurkan lebih banyak dapat penghargaan daripada usaha keras dengan
kejujuran. Orang-orang tetap bangga dengan kekayaannya meskipun diperoleh
dengan cara korupsi dan dengan jalan yang tidak halal. Yang lebih dilihat
adalah hasil daripada proses.
“Tapi
syukurlah. Paling tidak, Irene tidak menjadi seperti ibunya yang hanya menjadi
penjual rambutan,” ibu menimpali.
“Mama…sebenarnya
aku kesini mau…..ma…” kakakku kelihatan begitu kikuk. Dia enggan menyampaikan
maksudnya. Padahal mereka hanya berdua.
“Katakan
saja Ti. Apa yang membuatmu malu? Aku ini mamamu. Mungkin bisa ibu bantu,” mama
berusaha memberi rasa nyaman.
“Anu
ma…anu…aku…aku mau piiinjam uang sama mama”.
Mama
tampak sangat sedih melihat anaknya. Matanya berlinang. Namun perlahan dia
berdiri menuju kamar. Sejurus kemudian dia kembali membawa sesuatu pada
tangannya. Sebuah sapu tangan terlipat.
“Hesty…bawalah ini. Perhiasan ini adalah pemberian papamu.
Juallah ini,” kata mama sedikit tak rela. Namun apa daya anak perempuannya
butuh pertolongan. Hesty dengan kepala tertunduk malu menerima pemberian mama.
Sungguh berat. Apa boleh buat. Dia tak rela melihat Gloria, bayi kecilnya
meninggal karena tak mendapat susu. Bayi yang sedang menetek pada dadanya diam
saja. Dia tampak paham kegundahan ibunya. Tak mau cengeng. Dia tahu itu akan
mengurangi penderitaan ibunya.
“Terima
kasih banyak mama. Kami akan berusaha menggantinya,” Hesty berdiri kemudian mendekap mama sambil
terseduh-seduh.
“Sayang,
sebelum kau pulang. Makanlah dulu agar kau tak kelaparan di jalan. Perhatikan
baik-baik bayimu. Jangan sampai dia kurang gizi,” tutur mama memberi nasehat.
Ingin
sekali aku keluar kamar memeluk mama dan kakak perempuanku. Aku pula ingin
menggendong keponakanku walau hanya sejenak. Tapi aku tak mau menambah beban
malu kakakku. Ku bersembunyi dalam selimut dan meraung-raung dalam diam.
“Tuhan, lihatlah kami umatmu. Berikanlah kecukupan.”
“Ini
nasinya. Ini lauknya. Makan yang banyak. Ceritakan sesuatu kabar dari kampungmu
nak,” tambah ibu.
Setelah
makan merekapun pulang. Ibu berdiri di pintu. Sedangkan aku mengintip di celah
dinding. Bersama kami memandang kakak kami yang pulang dengan masih membawa
pergumulan yang berat.
15.
Sayang,
Toar Tak Sampai
Tetewatu
Kami telah bersepakat untuk menikmati hari
libur Idul Fitri di tempat yang tak
lumrah. Biasanya kami pergi ke pantai. Mendengar suara gulungan ombak, dan
melihat riak-riak nan indah ketika air ditiup angin-angin kecil. Bahkan, tidak
jarang alasan kami pergi ke pantai adalah untuk untuk mencicipi rasa asin air
yang tergenang dalam kubangan yang begitu luas tersebut. Itu adalah kebiasaan
orang-orang kampung, yang biasa dicap udik, ketika turun gunung. Padahal orang
yang tinggal di pesisir pantaipun kelihatan lebih udik lagi ketika mereka pergi
ke desa kami yang ada lereng-lereng bukit demi melihat monyet-monyet yang punya
kemiripan dengan mereka.
Kami menikmati hari libur Idul Fitri bukan
karena kami pengikut Muhammad. Kami pengikut Yesus dari Nasaret. Kejenuhan kami
pergi ke pantai dikarenakan selama dua tahun ini pantai selalu menjadi tujuan
wisata kami. Akibatnya kami hampir lupa bahwa di sekitar kampung kami juga
terdapat situs indah. Namanya Tetewatu1.
Perjalanan ke situs itu cukup jauh dengan medan
yang sangat menantang. Tapi, tak satupun anggota pemuda kami yang mengeluh soal
ini.
Dalam rapat, sehari sebelumnya, kami telah
bersepakat untuk berangkat jam 08.00 pagi.
Saat aku menanyakan baik-baik apakah mereka bisa melaksanakan keputusan
itu dengan baik, semua tiada menunjukkan tanda-tanda penghianatan pada
keputusan. Akupun teryakini dengan itu. Walaupun awalnya ada keraguan. Ini
karena mereka selalu saja tidak tepat waktu dan sering melanggar setiap hasil
musyawarah yang kami buat pada waktu lalu.
Besoknya aku bangun pagi sekali. Ibu sangat
baik padaku. Bekal untuk seharian aku telah dia disediakan. Ada nasi kaboro
dengan lauk yang unik, tikus yang disaus. Mulutku jadi bergidik saat mencium
aroma enak dari lauk khusus itu.
Sayapun siap. Bekal sudah ku taruh di atas
meja. Lengkap dengan sebilah parang untuk menebang kayu sebagai pembuka jalan
saat masuk di belantara kelak. Bisa juga sebagai jaga-jaga jangan-jangan ada
serangan ular tiba-tiba.
Kami setuju untuk berangkat bersama.
Sudah hampir jam delapan, tapi tak satupun
daribantara teman-temanku yang muncul. Aku keluar dari rumah dan melihat ke
langit bagian timur. Hitam pekat. Gelap!
“Akan hujan lebat sebentar lagi,” gumamku dalam
hati
Melihat kondisi seperti ini, aku ragu akan
kedatangan teman-teman itu.
Tak sampai 5 menit langitpun kembali
menyingkapkan matahari yang ditawannya.
“ Ada harapan kami bisa berangkat,” kataku
bahagia.
Sejurus kemudian datang beberapa teman lelaki.
Tak satupun yang membawa jinjingan. Mungkin kedatangan mereka untuk
memberitahukan bahwa mereka tak bisa bergabung dengan tim.
“Mau pergi tidak? Kok datangnya telat,” tanyaku
protes.
“Oh tentu tentu kami akan pergi. Kami tak
mungkin melewatkan kesempatan menjadi penjelajah bersamamu ketua. Awalnya kami
memang ragu sih,” kata Tamber separuh bergurau.
“Mana bekal kalian? Selalu saja begitu…Kalian
tak takut mati kelaparan di sana nanti?”
“ Salah satu dari kami kan pernah jadi Tarzan.
Tak ada yang perlu dirisaukan. Hero pernah berkawan dengan monyet cukup lama.
Pasti akan ada yang membantu kami saat lapar. Hero tinggal meneruh kedua
telapak tangannya dekat mulut dan auwoooooooo!”
“ Hahahhahahha.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Ngomong-ngomong, mana yang lain? Maksudku para
gadisnya. Kan tidak seru kalau yang pergi hanya lelaki saja?”
“Shila, katanya akan ikut. Memei….tidak tahu.
Tak pasti.”
Tak sampai seperempat jam kemudian pasukanpun
telah bertambah. Matahari kini semakin nampak dan mulai menggigit. Kulihat
jamku. Sekarang jam 08.30.
“Huh…Kita sangat jauh dari rencana,” kataku
kesal.
Setelah semua telah terkumpul di rumahku,
kamipun berdoa. Sehabis anggota dihitung, kamipun mulai bergerak lambat ke arah
barat. Tujuan kami adalah situs yang bernama Tetewatu.
Pergerakan yang cukup lamban. Senda gurau pun
menemani langkah-langkah mungil kami.
Belum sampai setengah kilo meter, kulihat Toar
berlari kearah berlawanan dengan arah tujuan kami.
“Kau mau kemana, Toar?”
“Aku lupa sesuatu!”
“Lupa apa?”
“Alkitabku tertinggal di atas meja. Di rumah
kamu.”
“ Dasar! Kecil-kecil, sudah pikun. Kalian bisa
jalan terus. Tak perlu tunggu aku. Aku bisa nyusul!”
“Tapi kamu tahu tidak jalan ke Tetewatu?”
“ Tenang
ketua, aku bisa menyusul kalian sebelum di persimpangan jalan.”
“ Ok, kalau begitu.”
“Cepat ya. Jangan buat kami menunggu terlalu
lama!”
Kamipun melanjutkan perjalanan.Tapi langkah
sengaja lebih ku perlambat. Supaya Toar bisa mengejar kami. Teman-teman lain
sudah berada jauh di depan. Mereka sekarang sudah tak kelihatan. Sudah dilumat
belokan.
Sesampai dipersimpangan, Toar belum muncul.
Sudah 15 menit di situ tapi kami hanya berdiri saja. Dia tak juga menampakkan
batang hidungnya. Saya dan kekasihku terpaksa harus siap-siap diserang penyakit
farises.
Apa boleh buat. Harus kami tunggu.
Sesuai kesepakatan kami wajib jalan bersama
supaya hal-hal yang tak diinginkan tak terjadi.
Lama-lama kamipun bosan berdiri di persimpangan
seperti menunggu-nunggu ojek. Kami putuskan untuk lanjutkan perjalanan.
Dengan demikian, anggota kami tidak lagi 18
orang. Sekarang kami tinggal 17 orang. Toar tidak tahu menahu jalan ke
Tetewatu. Tapi, dia bersikeras untuk tak ditunggui. Kini lihat akibatnya.
“ Oh Toar yang malang! Sungguh sangat
disesalkan kamu tak akan termasuk dalam kelompok pemuda yang pertama
melaksanakan ibadah wisata di Tetewatu. Namamu takkan tertulis dalam sejarah,”
kataku seperti mengucapkan puisi.
Langkah kini kami percepat. Harus menyusul
teman-teman yang lain. Masih banyak persimpangan jalan di depan. Kelompok yang
terpisah-pisah akan tersesat nantinya.
Langkah semakin ku percepatan.Kian cepat.
Kekasihku mengeluh. Kakinya mulai belas. Aku seperti tak begitu peduli. Ku
jelaskan alasan logisku. Dia tampak tak puas dengan penjelasanku. Wajahnya jadi
cemberut. Tanda-tanda ketuaan tersingkap. Padahal umurnya baru 19 tahun. Benar
kata orang:“ Marah-marah cepat beking tua.”
Ku perlambat langkah. Ku jemput dia. Ku raih
tangannya. Ku berikan satu kecupan manis. Ada senyum tersungging di sudut
bibirnya. Sangat mudah ternyata menjinakkan seorang singa betina muda.
Memang kecupan lebih bermanfaat daripada rentetan kata yang panjang.
Kecepatan langkah kami berdua kini selaras. Gara-gara begitu kami sekarang
berada di belakang teman-teman yang tadinya di depan. Dengan jarak hanya 20
meter. Ternyata mereka juga memperlambat
langkah demi menunggu kami. Mereka kini berpeluh. Beberapa dari para gadis
manis mulai mengeluh. Para pemuda setengah bayapun ikut-ikutan. Maklum mereka
bukanlah petualang sungguhan sepertiku.
“ Wah enaknya jalan berdua sang pujaan hati.
Kami jadi irih. Frengki, mau tidak kamu jadi pasanganku? Sehari ini saja.”
“ Tidak mau ah… Najis!”
Gelak tawapun meledak seperti ledakan bom
Marriot yang menewaskan beberapa warga Negara asing. Untung saja bomnya bukan
bom betulan. Nasib kami tak jadi seperti WNA yang tewas mengenaskan. Yang
menyebabkan hubungan Indonesia dan Australia sempat memanas.
“ Woi…..tunggu! Aku disini.”
Serta merta semua kami berbalik melihat
mencari-cari asal suara. Ternyata si Toar. Badannya berguncang-guncang.
Ngos-ngosan. Pakaiannya kini basah.
Dia menyusul kami dengan berlari. Sambil
membawa bekal makanan berkuah yang kini terlihat sedang meleleh. Bau tumis
membuat kami lapar. Tapi perjalanan belum separuh. Bukan kebiasaan yang baik
makan sebelum sampai di tempat tujuan. Pantang buat kami. Itu pesan apo-apo2
kami.
Tak sampai 10 menit. Kami tiba di perkebunan
Aser. Para lelaki mulai berteriak. Memanggil-memangil Anto, Yanli dan dua gadis
yang mereka gonceng di motor mereka. Kami sudah bersepakat ditunggu di tempat
itu. Semakin keras kami berteriak. Tapi tak ada sahutan.
“Sekarang kita sudah di sini. Selanjutnya kita
mengambil jalan yang mana? Ke kiri, ke kanan atau lurus saja?” tanyaku.
“Lurus boleh. Tapi jauh. Kalau mau cepat
seharusnya kita lewat jalan Punti2. Bukan di sini,” Jawab si Ading
berambut harajuku itu.
“Loh kok kami tak dibilang tadi?”
“Ya…ku pikir tak perlu lagi. Kita kan sudah
buat kesepakatan bahwa teman-teman yang datang dengan sepeda motor tunggu di
sini. Jadi ku ku simpulkan kita akan
memilih jalan lurus,” katanya dalam ketidakpastian.
Sewaktu aku berdebat dengan Ading, ku lihat
Toar mengambil jalan ke kanan. Akupun jadi berkesimpulan kita semua akan ke
kanan. Bingung!
Aku mulai berjalan searah dengan Toar.
Membuntutinya.
Ading datang mencegah. Toar pergi semakin jauh.
Kami berjalan kearah lurus. Bukan ke kiri atau ke kanan. Kami berusaha memangil
si Toar. Seruan kami tak dihiraukan. Dia lupa akan kesepakatan bahwa kami tetap
harus bersama. Seyogianya tak ada yang jalan sendiri. Kami terus berseru
memanggil. Diapun membalas namun suaranya makin memudar. Keras kepala! Dia
pikir dia telah mengambil jalan yang benar. Kini suaranya tak terdengar lagi.
Kami putuskan untuk teruskan perjalanan. Lurus kedepan. Lewat sungai besar.
Beberapa teman gadis ada yang takut melintasi sungai. Terpaksa kami temani
lewat sisi lain. Melalui jembatan darurat. Ya kami mengambil alternatife jalan di jembatan kayu.
Kami masih menunggu susulan Toar. Sampai
sekarang dia tak kelihatan. Dasar keras kepala! Daripada stres saya putuskan
untuk berhenti merisaukannya. Kami jalan terus. Naiki lereng yang curam.Turuni
lereng yang miring. Naiki bukit miring.Turuni lereng yang terjal.
Tak lama kemudian terdengar bunyi aliran air
yang deras.
“Itu pasti sungai Tetewatunya,” seruku dengan
riang yang tak tertahan.
Hati mulai berdegup-degup.Tak sabar kami untuk
melihat buatan tangan Tuhan yang elok. Seelok eden dimana Adam dan Hawa jatuh
dalam dosa.
Berharap sesampai di sungai, Tetewatu persis di
depan mata. Ternyata tak seperti itu.
Kini si Ading sang pemandu mulai berjalan di
depan kami.
“Kita harus menyusuri sungai. Kita akan
mengikuti arus. Kemana air sungai ini mengalir, kesanalah kita. Dia akan
membawa kita ke tujuan kita,” kata remaja tanggung berambut pirang karena dicat
itu.
Kami menaruh kepercayaan penuh padanya.
Walaupun awalnya ada sedikit keraguan.
Tiba-tiba wajah Toar terbayang.
“Kira-kira dia dimana ya,” bisikku dalam hati.
Sebagai
pemimpin rombongan aku punya tanggungjawab atas keselamatan dia.
Bagaimana kalau dia hilang. Tentu orang tuanya akan menuntut padaku. Aku
berharap dia benar. Mungkin dia sudah tiba di Tetewatu. Sebab itu yang dia mau.
“Dia nekad mengambil jalan ke kanan karena dia
yakin itu adalah jalan yang akan mengantarnya ke Tetewatu dan tentu mendahului
kedatangan kami ke Tetewatu.”
Aku dan gadisku terus berjalan membuntuti
teman-teman. Sungguh petualangan yang hebat. Hujan mengguyur dengan cekatannya.
Tubuh kami basah kuyup oleh hujan dan air sungai karena sudah beberapa kami
tercebur karena terpeleset pada batu-batu yang berlumut.
Di belakang kami ada sepasang kekasih.Tampak
mereka saling menjaga. Tangan mereka tak bisa lepas satu sama lain. Pasangan
yang serasi. Mereka masih kuliah tapi mungkin bulan depan mereka akan segera
menikah.
Aku dengar si wanita sudah berkali-kali
mendesak sang lelaki supaya cepat melamarnya. Si lelaki masih menolak secara
halus.“Belum ada uang”, katanya.Ya memang di jaman sekarang serba mahal. Supaya
bisa menikah, kita harus punya sedikitnya 20 juta. Aku sering bertanya: “ Untuk
apa? Apakah perempuan sebegitu rendahnya sehingga dibayar seperti barang? Tak pentingkah cinta
lagi sehingga perkawinan didasarkan pada harta belaka?”
Jaman sekarang memang semakin materialistik.
Anak perempuan sendiri dijadikan barang komiditi. Tidak sedikit orang tua yang door to door menawarkan anak perempuan
mereka pada orang-orang berduit. Banyak yang berminat, tapi selalu saja
memberikan penawaran. Calon pembeli selalu bertanya. Tidak jarang pertanyaan
itu merusakkan pendengaran.
“Aku mau beli. Tapi, anakmu terbuat dari apa?
Apa benar-benar buatanmu atau orang lain? Terbuat dari apa? Tepung atau beras?
Sudah berapa calon pembeli yang mencolek-colek? Apa anakmu sudah pernah
dicicipi? Isinya?Unti atau daging?”
Sungguh tak ubahnya seperti percakapan dalam
pasar tradisional. Ada penjual ada pembeli.
Pasangan kekasih seolah tak punya hak
menentukan hidup mereka. Padahal, yang akan menjalani penderitaan hidup adalah
mereka. Kenapa mereka tidak diberikan kebebasan memilih dengan siapa mereka
menderita dan bahagia?
“Hidup adalah penderitaan,” kata Budda.
“ Hidup adalah kesia-siaan adanya.
Berbahagialah mereka yang tak pernah dilahirkan,” keluh Salomo.
Kecenderungan sekarang adalah bagi pasangan
yang sudah cinta mati, mereka lebih memilih kawin lari saja. Atau kalau tidak,
si lelaki menghamili si gadis sebelum nikah. Supaya harga komoditinya berkurang
atau tidak dibayar sama sekali. Karena malu, sudah bunting, orang tua si gadis
suruh pasangan itu cepat-cepat kawin biarpun si lelaki hanya gembel.
“Pili-pili dapa langsa busu4.”
kataku sini dalam hati, “ Ah… kenapa pikiranku sampai memikirkan itu?”
Sungguh mengejutkan! Kami sekarang berada tepat
di depan Tetewatu.
“Gerbang air yang luar biasa!”
Semua yang telah tiba lebih dulu tampak gembira
menikmati kemolekan situs hasil karya ilahi itu. Lekuk-lekuk badannya tampak
sempurna hingga buat kami bergidik. Layaknya para lelaki memandang span-span5
yang lengak-lengok. Setiap mata melotot memandangi ketelanjangan Tetewatu. Dia
masih perawan. Kamilah sang pengambil kesuciannya.
Tak lupa kami mengambil beberapa gambar kami
sendiri secara bersama. 15 menit kemudian kebaktianpun dijalankan. Semua begitu
kusyuk ibadahnya. Kami bersembahyang dan menyanyi di tempat eksotis ini.
Rembesan air yang menyejukkan wajah menambah romantis suasana.
Lantunan-lantunan puji-pujian kepada yang Maha
Kuasa mengema merabai dinding batu. Para makhluk halus bingung dengan
gerak-gerik aneh yang berlaku. Mungkin mereka terusik. Mungkin juga mereka
keasyikan mendengar lagu pop rohani yang belum pernah terdengar sebelumnya.
“Ini
luar biasa! Ini suatu kemajuan. Kita melihat dunia baru,” kata makhluk halus
yang sedikit open-minded6.
“Tidak! Ini adalah awal dari kehancuran
peradaban kita. Aku tak ingin generasi kita suka dengan lagu pop rohani yang
biasa membuat anak-anak muda kita berjingkrak-jingkrak seperti orang gila,”
kata makhluk halus yang konservatif.
“Hey Konservat, sudah saatnya kita bangkit dan
bergerak maju. Kenapa kamu anti dengan pembaharuan, kreatifitas dan kemajuan?”,
kata makhluk halus yang Open-minded.
“Itu bukan pembaharuan. Itu hanya emosi yang
meluap-luap. Cerminan dari ketidakmatangan.I tu bukan kreatifitas. Itu wujud
kejenuhan pada sesuatu yang teratur nan rapih. Itu bentuk adalah
pemberontakan.Dan itu bukan kemajuan. Itu adalah penyimpangan. Sesat jalan. Dan
jalan itu, suatu saat akan membawa kita pada posisi kita semua. Dan itu bukan
kemajuan, tetapi malahan merupakan kemunduran,” kata Konservat.
Toar tak kunjung tiba.
“Dimana dia gerangan? Jangan-jangan, dia telah
diterkam binatang buas. Atau mungkin tertangkap oleh Patola7 yang
besarnya seperti batang pohon kelapa itu. Sekarang sudah jam 2 sore. Seharusnya
dia sudah tiba disini setengah jam yang lalu.”
“Teman-teman mungkin sudah saatnya kita
pulang,” usul Yanli.
“Bagaimana kita pulang? Apa kita akan kembali
menyusuri rute yang kita lewati tadi?”
“Tidak. Kita harus terus mengikuti kemana
sungai ini akan membawa kita. Jaraknyapun lebih dekat.”
Sejujurnya aku masih suka berlama-lamaan.
Namun, semua kami nampak mulai kedinginan. Setiap tubuh kami berguncang dengan
cepatnya. Semakin kami mengeras semakin hebat guncangannya. Tidak heran.Kami
sudah disirami selama 2 jam. Tambah lagi hari mulai gelap. Tetewatu kini terasa
mulai menakutkan.
“Ayo jalan terus. Tak lama lagi hari gelap.Tak
ada yang membawa penerang. Kita harus percepat langkah kita. Kalau tidak…..”.
Semua menjadi ngeri mendengar ajakan yang
mengancam itu. Tak ada yang mau bermalam di Lolombulan. Hutan Lolombulan
terkenal angker dan sarat dengan linta dan ular yang ukurannya sebesar pohon
kelapa. Kami bisa remuk oleh belitan ular.
Kami bisa kehabisan darah oleh gigitan dan
hisapan linta-linta buas.
“Kira-kira,Toar dimana ya? “, aku mulai risau.
“Sudah kubilang supaya tetap bersama. Kenapa
sih dia begitu keras hati.Menyusahkan saja!”
Setengah jam kami terbawah hentaran sungai.
Kini kami telah berada di area bernama Licu
incawayo8. Kami berjalan terus.
Sekarang kami sudah di perkebunan Punti. Mampir
sebentar di Tampagula9.
Secara bergantian kami mengambil tombal10 dari wajan besar.
Tombal rasanya bertambah manis karena kami menggunakan tempurung kelapa sebagai ganti gelas. Tubuh kami jadi hangat. Rasa dinginpun hilang
dan terlupakan.
Sampai sekarang Toar belum terlihat.
Perjalanan berlanjut. Kami menuju perkebunan
Aser. Kami harus melintasi Aser lagi karena dua sepeda motor milik Anto dan Yanli ditinggalkan disana.
Hanya butuh waktu setengah jam untuk tiba di
kampung. Kami tiba menjelang malam.Tak ada orang tua Toar datang menanyakan
keberadaannya.
Mungkin dia memang sudah pulang lebih dulu.Dia
mungkin batalkan kepergiannya ke Tetewatu karena sakit perut.
Namun, aku lega.
Besoknya, kami bertemu Toar. Dia hanya
senyum-senyam dan seperti tak mau mengaku salah. Aku sedikit menunjukkan rasa
kesal padanya.Ternyata, dia memang tersesat di tengah hutan. Dia berusaha
menyusul kami tapi tak berhasil. Diapun pulang ke rumah saat jam sudah
menunjukkan pukul sembilan malam. Dia juga menceritakan bagaimana susahnya dia
berjalan pulang dalam kegelapan. Berjalan seperti tunanetra. Dia terlunta-lunta
di perkebunan Punti dan Aser. Berkat iman dan tuntunan ilahilah dia boleh
mencapai rumah. Syukur.
***
[Selesai 12 September pukul 23.00]
1
Batu titian. Situs ini terletak di perkebunan dekat hutan Lolombulan.
Orang-orang peminat kodok sering ke tempat ini.
2
Leluhur/orang tua yang telah berpulang kea lam baka yang semasa hidupnya
dikenal sebagai orang bijak dan baik (Tontemboan).
3
Pisang (Tontemboan). Punti adalah nama perkebunan yang terletak di utara desa
Tondei.
4
Pilih-pilih dapat langsat busuk (Malayu Manado). Peribahasa ini berarti jangan
terlalu memilih supaya akhirnya tak mendapat yang buruk
5
Ketat (Malayu Manado). Sekarang ini istilah tersebut berarti gadis atau wanita
yang menarik perhatian karena mengenakan pakaian yang ketat.
6
Berpikiran terbuka untuk menerima saran dan sudut pandang orang lain.
7
Ular Piton (Melayu Manado). Juga sering disebut Moromok (Tontemboan)
8
Punggung kuda (Tontemboan). Area disebut Licu incawayo karena bentuknya
menyerupai punggung kuda.
9
Tempat gula (Melayu Manado). Tempat ini adalah tempat dimana tahap terakhir
dalam proses pembuatan gula aren.
10
Air nira yang sudah di masak (Tontemboan).
16.
Ketika Kita Kehilangan
Wany
sampai di rumahnya saat hari belum gelap. Begitu lega dia saat mencium aroma
rumah. Dia senang karena sempat memberi tumpangan kepada seorang ibu dan
anaknya sewaktu dalam perjalanan tadi. Kebanggan membantu orang itu nampak pada
wajahnya yang berseri-seri.
Sementara
karena tak muat, sang suami dan bapak itu ditinggal saja. Dia harus membetulkan
rantai sepeda motornya yang putus. Tadi, sewaktu melihat motor mogok, Wany
menepi dan menegur sekeluarga itu. Tampak seorang wanita dengan seorang anak
lelaki yang masih kecil duduk pada batu-batu timbul yang besar. Menunggu. Si
suami yang bernama Yohanes begitu Kuat
konsentrasinya. Hanya sekali saja dia menoleh pada Wany. Rantai yang putus
berusaha diperbaikinya dengan hanya menggunakan tang dan obeng. Dia memiliki keyakinan pasti sanggup
memperbaikinya sebelum hari menjadi malam. Mungkin sudah sering dia
mengalaminya.
Wany
memang tak tahan melihat orang dalam kesusahan. Dia berupaya memberi bantuan
selama itu bisa dilakukannya. “Dimana jo ngana, jangan lupa tolong orang laeng
yang susa,” itulah didikan orang tua dan gurunya yang senantiasa dia ingat
sampai sekarang.
“Kyapa?”
sapa Wany dengan bahasa Melayu Manado pegununungan yang berarti ‘kenapa’ sambil
mendorong kaca helem keatas untuk menyingkap wajahnya agar gampang dikenali.
“Putus
tu rante no,” jawab Yohanes sambil terus bekerja.
“Kalu
kita, ta so nda tahu mo beking bagimana itu,” Wany memberikan komentar merendah
diri yang juga sebagai kata lain bahwa
dia tak bisa bantu apa-apa.
Bulan
lalu, sewaktu sepeda motor Wany mendadak mati,
si Yohaneslah yang membantu menariknya dengan menggunakan tali rafia
hingga mencapai rumah. Kalau tidak ditolongnya, tentu waktu itu Wany harus
mendorong sepeda motornya sepanjang 3 km. Dan pasti itu akan sangat melelahkan.
Jalan Tondei yang rusak dan bertanjakkan jauh akan menyukari Wany yang tak biasa.
Mungkin ia akan tiba di rumah ketika sudah jauh tengah malam.
“Nintau
lai kyapa ona ini motor korang putus-putus rante. Padahal baru ki’i ganti gir
deng rante minggu lalu. Dorang bilang kata gir so tajam. Baru ganti no,”
keluhan sang istri tampak begitu dalam. Menyiratkan kerisauan tak terselam.
Yohanes
memang seorang suami yang rajin. Namun pendapatan mereka kadang tidak cukup
untuk mengongkosi kehidupan mereka sehari-hari. Anggaran rumah tangga lebih
banyak beralih kepada sepeda motor yang sudah menjadi seperti anggota keluarga
bagi mereka.
Walaupun
keadaannya kini memprihatinkan, tapi Yohanes tak berani sedikitpun meremehkan
bantuan yang telah roda dua itu lakukan. Meskipun sering mogok, perjalanan jauh
setiap hari menjadi ringan sejak kehadirannya. Sebagai imbalannya dia harus
terus diberi perawatan yang tak murah.
Wany
ingin memberikan tumpangan bagi mereka. Terutama kepada si wanita dan anak yang masih berumur jagung
itu. Tapi dia sedikit ragu. Bukan karena dia pelit. Cuma, dia tak mau saja disangka
maniso. Istri Yohanes memang sungguh elok. Namanya Syuli. Kalau tak
kenal, pasti dia akan disangka sebagai seorang
gadis. Kulitnya yang putih dan bodinya
yang aduhai menyimpan kenyataan bahwa dia telah menikah dan memiliki dua orang
anak.
Wany
tak mau saja dianggap berusaha menolong karena ingin bersentuh-sentuhan dengan
Syuli. Apalagi akhir-akhir ini ada beberapa kasus perselingkuhan di kampungnya.
Dia tak mau masuk dalam daftar orang-orang yang akan terusir dari kampung.
“kita
smo kamuka dang ne,” kata Wany. Menunggu dan berharap mereka memintanya bantuan.
Secepat
kilat Yohanes memalingkan wajah ke istrinya yang sedang duduk pada bebatuan
timbul di pinggir jalan. Istrinya nampak lelah. Penuh keringat. Seumpama gembel
perawakannya.
“Ato
ngana nae jo motor deng Wany,” kata Yohanes kepada istrinya sambil menghentikan
pekerjaannya sejenak. Tangannya yang penuh oli tanpa sadar menyeka wajahnya.
Wajahnya kini belepotan. Terlihat dia mempercayai Wany. Mungkin pikirnya, “Tak
mungkinlah seorang pelayanan Tuhan melakukan yang macam-macam pada istrinya.”
Padahal, yang paling sering berselingkuh bahkan korupsi di negara ini justru
mereka yang menyebut diri sebagai hamba Tuhan dan pelayan rakyat.
Wany
juga tak menyangka dia hendak membiarkan tubuh istrinya bersentuhan dengan
tubuh Wany. Sungguh tak akan Wany
lakukan bila Wany beristri nanti. Tubuh muda istri Wany tak akan pernah
bersentuhan dengan tubuh orang lain. Jalan Ongkau ke Tondei yang sarat dengan
lubang dan batu besar timbul, tak mungkin dapat menghindarkan mereka dari
persentuhan. Tentu guncangan-guncangan akan membuat mereka bersentuhan. Jarak 9
km cukup lama untuk Syuli memasrakan hidupnya pada Wany. Saat sepeda motor Wany
rem dia akan mendekat. Saat Wany kencangkan, dia juga akan mendekat. Jadilah mereka
seperti sepasang remaja yang sedang pacaran di atas sepeda motor. Suasana akan
begitu romantis ketika mereka melihat pemandangan sekitar yang begitu indah.
Deretan pohon nyiur dan cengkih begitu menggiur. Gunung Lolombulan dan
Sinonsayang kehijau-hijauan akan menghadirkan suasana tenang hingga Wany akan
tersihir untuk melambatkan sepeda motor supaya kebersamaan dan sentuhan boleh
berlangsung lama.
“Sudah?”
tanya Wany pelan. Sepeda motor bergerak. Mesin mulai berteriak-teriak
menginjak-injak kerikil tajam dan batu-batu timbul.
“Sudah,”
jawab Syuli terlambat. Suara dengan nada datar, terdengar begitu ringan sampai
memabukkan teling Wany. Sungguh suara yang lembut. Oh Syuli nama yang elok bak
Yuli kekasih hati Romeo.
Sewaktu
Syuli menaiki sepeda motor tubuh Wany gemetar kecil. Wany penasaran dengan
lembutnya tubuh seorang wanita bersuami dan beranak satu itu. Wanita dengan
pengalaman-pengalaman biologis yang cukup lama. Wany sendiri, kalau dia mau
jujur, belum pernah merasakan hal yang demikian. Paling-paling dia hanya pernah
menyaksikan dalam adegan-adegan film biru yang disuguhkan secara paksa oleh
teman-temannya sewaktu masih bersekolah di SMU Tombasian. Berbagai jenis gaya
dan aliran sudah dia lahap semua. Itu nanti akan jadi rujukan ketika menikah nanti.
Di umurnya yang sudah hampir tiga puluh dia bukan makin tambah bijak namun
libidonya semakin mendesak. Kadang dia merasa sulit menahan desak-desakan
badani itu. Kadang terpikir untuk segera menikah supaya dia bisa menyalurkan
segala nafsu alamiah itu. Tapi, dia tak ingin menjadikan itu sebagai alasan
utama untuk masuk dalam rumah tangga. Dia tahu, tidak sedikit pernikahan yang
hancur karena hubungan kelamin yang diutamakan daripada keterkaitan batin.
Kalau pernikahan sinonim dengan hubungan badan, berarti kita tak beda jauh
dengan hewan. Pikirnya.
Seperti
yang ia duga. Semakin jauh roda sepeda motor berlari, pegangan Syuli kian erat.
Tangan Syuli membuat Wany membagi konsentrasinya. Mengemudi dan menahan gidik
dan geli.
Wany
memang seorang yang kolot. Waktu yang
diberikan Tuhan lebih banyak dia habiskan dengan membaca. Otaknya penuh dengan
teori tapi semua itu sulit baginya dibuat jadi. Dalam hal wanita dia selalu
angkat tangan. Tak punya waktulah. Ada yang lebih diutamakanlah. Pokoknya, tak
pernah dia kehabisan jawaban ketika ditanyai perihal wanita. Faint heart
never wo fair lady. Orang yang
penakut takkan mendapat seorang gadis yang cantik. Itulah pepatah Inggris yang
menggambarkan Wany. Bagi dia, buku adalah teman sejati. Kemana-mana buku selalu
membuntutinya. Tapi bagi orang lain, bukulah yang menghantuinya. Sungguh
kasihan. Rugi kalau dia tak punya keturunan. Wany seharusnya mengabadikan
dirinya. Dia harus menyambung turunan. Hidungnya yang mancung, otaknya yang
cerdas, sifatnya moralis adalah tipe manusia surga. Dia termasuk dalam golongan
orang suci. Ya dia pantas diberi gelar santo. Dia juga adalah manusia pilihan.
Dalam hal wanita dia kalah. Tapi bukan berarti sifat itu membatalkan dia untuk
masuk dalam kategori santo atau orang pilihan. Tentu di jaman modern tidaklah
sulit mendapatkan keturunan dari dia. Kloning adalah jalan keluar bagi jenis
manusia individual.
Kini
misi menyelesaikan 9 km hampir selesai. Sedikit lagi Syuli turun. Selama
perjalanan Syuli tak sedikitpun bicara. Walau hanya sekedar basa-basi. Saat dia
menapakan kaki ke pijakan sepeda motor seperti dia langsung di nontaktifkan
oleh suaminya. Ini untuk mencegah supaya tidak terjadi sesuatu yang buruk di
antara kami. Jadinya Wany seperti menggonceng kayu. Benda tak bernyawa. Wany sedikit
kesal sekaligus bersyukur. Kesal, karena sebagai manusia dia yang diposisikan
hanya sebagai tukang ojek. Syukur karena niatan buruk akhirnya tak menjadi
kenyataan. Wany tentu bahagia. Dia lolos lagi dari satu ujian hidup.
Wany
mengantarkan Syuli dan anaknya sampai depan rumah mereka. Begitu kendaraan
beroda dua itu berhenti, Syuli diaktifkan oleh suaminya dari jarak jauh. Mereka
ternyata memiliki telepati yang terlampau
kuat. Banyak rumah tangga yang berantakan akhir-akhir ini sebab mereka
(pasangan suami istri) tak memiliki telepati. Saat bersama orang lain
seringkali mereka lupa diri. Lupa anak bini. Lupa anak dan suami.
“Singgah
kwa e,” kata Syuli saat kedua kakinya dan anaknya menginjak tanah. Senyuman
Syuli begitu mesra. Pasti suaminya bahagia punya istri seperti Syuli. Dia rela
tubuhnya lelah, lecet dan tergores karena menopang suami di kebun. Tak banyak
lagi perempuan seperti Syuli di jaman sekarang. Kebanyakan sesamanya lebih
banyak sibuk dengan urusan rambut: cat warna, rebonding, keriting, keramas, busana, bedak dan segala tetekbengek
yang sebetulnya tak penting itu. Wanita masa kini suka sekali dimanja suami.
Mereka jadi bergantung dan tak lagi mandiri. Tak heran mereka banyak menjadi
korban keganasan pria. Banyak suami meninggalkan istri karena mereka tak
menjalankan tugas sebagai penolong yang sepadan. Mereka menjadi beban. Ketika
suami tak mampu lagi membeli mereka pakaian yang bagus, bedak, cat kuku,
lipstik, pewarna rambut, sepatu berhak tinggi, dan rupa-rupa barang lain, maka
menuding suami tak lagi sayang. Harta dan materi telah menjadi ukuran sayang
dan cinta bagi mereka.
Syuli
sangatlah berbeda. Dia tak suka berias, kecuali saat ke pesta. Dia tak suka
ikut-ikutan mengecat rambut. Karena itu hanyalah pemborosan. Wany terpesona
dengan Syuli. Walaupun Wany sendiri tak tahu pasti apa Syuli menjalani hidup
itu karena panggilan atau karena tak ada pilihan.
Hidup
ini sangat sulit dimengerti. Kita tak boleh menilai hanya dari kulitnya saja.
Namun,
paling tidak, meskipun tak tahu pasti, Syuli adalah salah satu panutan di
antara para wanita masa kini.
“Smo
langsung pigi ini. Banya kerja lai,” Wany menjawab cepat. Kalau Syuli pintar,
pasti dia memahami kegalauan hati Wany. Dia sedang bergulat dengan dirinya
sendiri.
Sesampai
di rumah Wany melepaskan satu per satu pakaiannya. Jaket dua lapis membuatnya
kepanasan. Dia kini harus membuang ingatan tentang Syuli. Tak baik memikirkan
istri orang terus. Lama-lama Wany bisa menginginkannya. “Janganlah kamu
mengingini kepunyaan orang,” itu adalah satu satu hokum yang ditetapkan Tuhan.
Wany hafal betul ayat itu. Dia menuju pintu dan membukanya.
Ibu
Wany tak bersuara melihat kedatangannya. Padahal selama tiga hari belakangan
dia tak berada di rumah. Wany juga tak ingin tergesa-gesa menyimpulkan bahwa orang
tuanya tak peduli. Hanya senyum kecil yang nampak dari wajah Ibunya.
Teringat
di kantong ada amplop putih pemberian orang. Wany kembali tersenyum lebar. Dia
tahu ada uang sejumlah besar dalam kantong jaketnya. Selesai memberi kuliah tadi dia diberi amplop putih. Biaya
transpor. Para mahasiswa memberi tanpa diminta. Mungkin mereka iba melihat
dosen mereka yang tak seperti dosen lainnya yang datang dengan mobil mewah tapi
selalu memeras mereka dengan biaya diktat dan lain sebagainya. Rencananya uang
Rp. 200.000 itu akan dia gunakan membayar cicilan laptop yang baru diambilnya
dari teman. Wany sudah lama mengimpikan
punya laptop. Bakat terpendamnya, menulis, bisa tersalurkan lewat benda itu.
Muncul
perasaan bangga. Jerih payahnya tidak sia-sia. Tak rugi dia giat belajar
sewaktu kuliah. Semua itu sangat berarti. Dia so pasti berhak menikmati.
Senyum di wajahnya kian mengembang.
Tak
sabar melihat uang itu, diapun merogoh sakunya.
“Apa?!
Tidak mungkin!” detak jantung berhenti mendadak. Dia coba memastikan lagi. Tak
ada amplop di kantong jaket birunya. Dilihatnya dengan seksama tapi tak
ditemukan. Wany terduduk lemas. Pikirannya berjalan jauh ke belakang. Kembali
menyusuri perjalanan jauhnya.
“Tidak
mungkin!” keluhnya sedih.
Kali
ini dia mencurahkan semua barang dalam tas punggung. Semua kantong pakaian
digeledanya. Tapi tak ada.
“Pasti
sudah hilang,” keluhnya putus asah.
Dia
merenung.
“Mungkin
ini adalah akibat karena pikiran mesum sewaktu menggonceng Syuli,” Si Wany lain
mulai mempersalahkan diri.
Tak
tahan dengan perasaan kehilangan itu, Wany bercerita ke orang tuanya.
“Terima
jo kenyataan. Anggap jo tu doi itu pengganti soe-soe yang mungkin ngana da
alami di perjalanan tadi,” kata ayah Wany.
Wany
heran dengan komentar ayahnya itu. Itu pandangan yang sangat tak kristiani.
“Ada
kore’e doi cuma asal taru. Nda guna re’e ada dompet,” sembur ibu menyalahkan.
Ibu
Wany memberikan koreksi pedas. Tak satupun dari orangtuanya yang paham
perasaannya. Dia tak mendapat penguatan. Dua-duanya sesat menyalahkan.
Wany
masuk kamar dan dia berdoa. Dia berpikir dengan berdoa dia akan memperoleh
ketenangan.
“Tuhan,
kita perlu doi. Mar kalu doi itu nda ciri di Tondei, muda-mudahan orang dapa
supaya doi itu berguna for dorang. Kalu ada yang sengaja ambe dari kita pe
popoji, beking tu doi itu tabale pakita spaya dia nda jadi papancuri.
Walaupun
tak langsung hilang, kegalauan dan rasa kehilangannya berangsur-angsur
meninggalkan Wany usai dia berhubungan dengan Tuhan. Sekian.
Selesai
pukul 16.00
Minggu,
16 Oktober 2011
17. Kelabu
di Kampung Baru
Dalam keadaan tergesah-gesah kuparkir
sepeda motorku. Rambut masih basah dan kocar kacir. Ini karena aku bangun
nyaris kesiangan. Di bawah pohon mangga yang rindang sepeda motorku ku biarkan
berdiri dengan dua kaki. Para siswa telah berbaris rapih. Tiga orang siswa
perempuan yang cantik sudah berada di depan siap untuk memimpin senam
caka-caka. Senam yang berasal dari Palu ini sedang digandrungi dimana-mana. Tak
terkecuali di desaku yang masih tergolong udik. Ketenaran tarian poco-poco yang
asli dari Manado kini terbenam. Sudah tergantikan senam atau tarian yang
sedikit erotis ini. Rasanya tidak patut senam dengan dominasi gerakan pantat
ini dibawa ke dalam lingkungan anak-anak yang masih begitu polos. Dengan
sedikit malu-malu ku langkahkan kaki menuju kantor kepala sekolah. Di situlah
kami para guru mengisi daftar hadir.
“ser, ada rumah yang terbakar.” Seorang
siswa sedikit berteriak sambil menunjuk ke arah kampung seberang yang tak jauh
dari desa kami. Aku tak mengubris. Aku
harus cepat-cepat supaya tidak kepergok kepala sekolah karena datang terlambat
10 menit.
Akhir-akhir ini aku memang sering tidur
setelah ayam berkokok di tengah malam. Banyak guru yang memintaku mengerjakan
yang seharusnya mereka kerjakan. Guru-guru yang sedang kuliah terpaksa meminta
bantuanku karena mereka tak sanggup mengerjakan tugas-tugas dosen. Sungguh
ironis.
“Ser, coba lihat. Ada yang kebakaran,”
Siswa bernama Kifli itu mendesak. Masih tak kupercaya. Kadang-kadang siswa di
sekolah ada yang suka mencari perhatian dengan
cara seperti itu. Meskipun kurang percaya, kupikir tak ada salahnya
melihat apa yang ditunjuk oleh si Kifli.
Aku urungkan niat mengisi daftar hadir.
Kepala sekolah rupanya tak ada. Tak ada hartop hijaunya. Pasti dia sakit.
“Ser, ada rumah terbakar.”
Kulihat kearah siswa yang terus menganggu
itu. Senam baru saja dimulai. Mataku terbelalak keheranan sebagian siswa
melihat ke arah yang ditunjuk. Sejurus kemudian pandanganku membeo pandangan
mereka.
Asap mengepul dan menjulang tinggi ke
langit. Asap putih kehitaman. Tinggi jauh ke atas. Mendadak aku terpikir rumah
kami. Asap itu nampak berasal dari area Aer Tondei. Ya Aer Tondei. Di kompleks
situlah rumah kami berada. Tak sampai hitungan ketiga aku sudah di atas sepeda
motor lagi. Segera kuhidupkan dan dengan cepat menyusuri jalan bebantuan dan
berkerikil yang menurun. Tak sempat aku pamitan. Tas yang berat tak sempat ku
letakan di meja guru. Ku teringat rumahku. Banyak barang berharga. Antara lain
buku-buku, sertifikat, ijasa-ijasahku.
Di perbatasan kampung Tondei dan Tondei
Satu, tepatnya di rumah hukum tua, aku hentikan sepeda motorku sejenak.
“Vian! Vian! Sepertinya ada rumah yang
terbakar,” kataku sambil ngos-ngosan. Padahal aku berlari dengan sepeda motor.
“Tidak. Itu bukan rumah. Itu…ada seorang
kakek yang sementara membakar rerumputan mungkin. Dia berencana akan menamami
lahan itu dengan berbagai jenis umbi. Kemarin aku sempat bicara dengannya,”
Jawab pria bujangan dengan tenang.
Orang di sekitar rumah hukum tua yang
kebetulan berkerumun terlihat dilayani penjual sayur dan tahu serta nampak
tenang-tenang saja. Tapi aku kurang yakin dengan ketenangan mereka. Ketenangan
itu mungkin disebabkan ketidaktahuan.
Aku tancap gassepeda motorku melewati
jalan berlubang. Badan sepeda motor bersuara ribut. Tapi tak kupedulikan. Gas
sepeda motor terus ku pacu. Saat mencapai di depan SD Inpres, terlihat asap
sangat tinggi. Tapi bukan dari rumahku. Sekarang terlihat asap itu bersumber
dari gereja. Gereja! Jangan! Gereja itu belum selesai. Kenapa terbakar?
Sekarang sepeda motor melewati rumah. Nampak kerumunan orang memenuhi jalan.
Juga di depan rumahku. Tapi tak terjadi sesuatu buruk dengan rumahku. Dari kejauhan terlihat rombongan sepeda motor
dengan kecepatan tinggi.
“Kebakaran! Kebakaran! Rumah tante Unggu
terbakar!” pengemudi berteriak panik. Dengan kostum rapih aku melesat menuju ke
gereja. Asal asap kini terlihat berasal dari rumah kostor yang berdiri di
belakang gedung gereja. Beberapa sepeda membuntuti dari belakang. Kami terlihat
dan terdengar seperti sedang balapan. Raungan sepeda motor memperburuk suasana.
Orang-orang di tepi jalan terlihat semakin panik. Ibu-ibu dan gadis-gadis
perempuan berteriak historis. Ada yang jatuh pingsan. Tampak begitu
menegangkan. Saat tiba di gereja, kelihatan api membumbung tinggi dari sebuah
rumah di kampung baru. Jalan rusak berat dengan nekad bersama-sama kami tempuh.
Sepeda motor setengah tuaku ku parkir saja
sembarangan di badan jalan. orang-orang lelaki dewasa berlarian mondar-mandir
mengambil air dari selokan. Air yang sangat sedikit tidak sanggup memadam api.
Saat disiram api kian bertamba besar. Para wanita berteriak-teriak saat si
bengis merah melahap rumah kayu berkamar 4. Rumah itu masih baru. Belum lama
ditahbiskan oleh pendeta. Semua dinding lenyap. Tiang-tiang satu persatu
tumbang. Para orang dewasa berusaha merobohkan tapi mereka menemui kesukaran.
Kabel listrik terputus dan memancar-ancarkan api.
Dari kejauhan aku melihat sepasang suami
istri berteriak-teriak penuh tangis berusaha masuk dalam rumah yang sedang
lenyap. Beberapa orang beberapa kali mencoba. Usaha apapun tak dapat
menghentikan api. Satu-satunya cara adalah menunggu sampai si bengis merah
kenyang. Dengan begitu perlahan-lahan ia akan menghilang. Mengetahui itu, para
lelaki dewasa menyerah. Semua terduduk lemas menjadi saksi keberingasan si
bengis merah.
Kini bengis merah telah pergi namun jejak
panas masih terasa. Walaupun begitu para lelaki dewasa berdiri dan kembali
menjinjing ember. Disiram mereka sisa-sisa api. Satu dua orang dengan berani
menyusuri rumah yang tercabik-cabik. Bagian atas yang jatuh membuat tumpukan di
lantai. Alas kaki beberapa pria dewasa itu mencair oleh bara api. Tapi mereka
tetap nekad mencari sesuatu. Aku bingung. Apa yang mereka cari? Tidak sebaiknya
pencarian dilakukan setelah api betul-betul sudah padam. Pasti ada sesuatu yang
berharga.
Kini telah ada 5 pria dewasa di dalam.
Dengan menggunakan kayu panjang sebesar lengan mereka mengorek-ngorek tumpukan.
Tiba-tiba seorang pria…
“Oh Tuhan. Oh Tuhan…kenapa kau biarkan ini
terjadi. Dia masih kecil!”
Orang banyak sontak berkerumun melihat apa
yang ditunjuk si pria berperawakan tinggi.
Seorang pria, belakangan ku tahu dia
seorang mantan kriminal, mengangkat seonggok tubuh.
“Oh Tuhan! Oh Tuhan! Tuhaaaaaaaaan…!”
kerumunan berseru dengan keras seakan-akan mempersalahkan Tuhan karena
menimpahi mereka dengan musibah yang begitu berat.
Tubuh kecil berwarna hitam karena hamgus
diangkat dan dipindahtangankan. Tercium bau daging pangang. Perut anak kecil
itu telah pecah. Isi perut terburai. rupa tumbuh tampak begitu buruk. Jari
tangan dan kaki telah tiada habis ditelan si bengis. Teganya si bengis. Tak
puas dengan rumah, dia juga melahap sebagian kanak-kanak itu.
“Kain… kain. “ kata pria yang menggotong
tubuh terbakar.
Seorang pemuda membuka pakaiannya dan
merelakannya menjadi penutup mayat si anak. Brian tewas mengenaskan sewaktu dia
bersembunyi di bawah ranjang. Kata neneknya, dialah yang memberitahu si nenek
tentang api pertama kali. Sang nenek yang telah lumpuh buru-buru di selamatkan
ayahnya. Sewaktu ayahnya hendak kembali ke kamar, amukan api sedang
besar-besarnya. Dia berharap anak itu telah menyelamatkan dirinya. Tapi, kini
telah gamblang. Brian memang berusaha menyelamatkan diri. Hanya saja di tempat
yang salah.
Tangisan kerumunan menggemuruh sampai ke
langit.
“Tuhan…dia hanya anak kecil. Kenapa dia?
Kenapa…….?”
Saat ku lihat jam tangan, aku insaf akan
tugasku. Seharusnya aku di dalam kelas
di depan siswa. Tak patut aku berada di situ. Aku melangkah keluar
melewati tumpukan manusia berdesak-desakan. Sepeda motorku kini telah berada di
tengah-tengah kerumunan sepeda motor lain. Satu persatu sepeda motor itu ku
pinggirkan.
Ku putuskan untuk segera kembali ke
sekolah tanpa kebut-kebutan. Pikiran masih terganggu oleh kejadian na’as yang
menimpa keluarga yang terhitung seumur jagung. Brian baru berumur 4 tahun.
Kakaknya, yang sulung, berumur 9 tahun. Pasti sangat berat jika aku yang
mengalami pergumulan itu.
Begitu sampai di sekolah aku ke ruang guru
sebentar. Betapa pedas kekesalan mereka padaku karena keluar begitu saja dari
sekolah pasti akan segera pudar saat ku beritahu tentang kebakaran disertai
foto dan video yang sempat ku ambil saat kebakaran masih sumgringahnya membabat
setiap bagian rumah yang cantik itu. Untung, beberapa bulan lalu, aku sempat
mengabadikan rumah itu dalam Hpku. Aku pernah memiliki impian punya rumah
sebagus itu. Rumah itu dibuat sendiri oleh sang pemilik. Ayah Brian. Namanya
Eben.
Seperti yang aku duga. Waktu kaki satu
langkah di ruang guru. Seorang guru telah bertanya. Ku beritahu mereka mengenai
peristiwa yang baru terjadi. Kaget mereka bukan main. Walau hanya melihat dari
video mereka tak bedanya seperti saksi mata. Para guru berteriak dan membuahkan
kegaduhan. Beberapa siswa dari kelas sebelah berhamburan ikut serta bercambur
baur dengan para guru karena penasaran. Karena garang oleh kelakuan murid yang
sudah tak sopan kata-kata senonoh keluar meluncur.
“Pergi sana. Binatang kalian!”
Para murid hanya sedikit menjauh. Masih
berharap ada sesuatu yang memuaskan rasa keingintahuan mereka. Walaupun tak
melihatnya videonya, mereka tinggal mendekat, berharap mendapat informasi
dengan mendengarkan indra pendengar. Akupun menjelaskan. Para siswa terkejut
sedih. Beberapa dari mereka masih saudara dekat keluarga korban amukan si bengis
merah.
“Jesika, Indri dan Fike, kalian boleh
pulang skarang. Tengoklah adik kalian.”
Mereka langsung bubar dan kembali kelas
untuk mengambil tas. Sudah itu mereka pulang dalam keadaan muram.
“Musibah itu memang cocok untuk mereka,”
kata seorang guru perempuan berambut pendek. Dia memang pernah cekcok dengan
keluarga korban lahapan api.
“Kenapa ibu berkata begitu. Sungguh tak
baik berkata seperti itu.”
“Memang betul. Mereka sudah pantas
ditegur. Mereka jahat pada orang tua, anti gereja dan tak menghormati pemuka
agama. Kami sering dicemooh mereka. Tambah lagi, mereka kurang sosial. Tidak
mau bermasyarakat. Mentang-mentang orang berada.”
Tak tahu apa yang dikata itu benar atau
tidak. Tapi sungguh sangat tidak manusia jika ada seorang menginjak orang lain
yang sedang jatuh terperosok dalam lubang. Sudah jatuh dari pohon tertimpah
buah durian pula. Sungguh malang.
Aku sendiri, bukan baru sekali saja
mendengar rumor itu. Memang si bapak adalah orang yang rajin bekerja. Ekonomi
mereka cepat berkembang berkat kepiawaiannya sebagai tukang kayu. Dia sanggup
membangun rumah sendiri tanpa harus bekerja selama 20 tahun. Ini membuat dia
congkak dan merasa tak perlu bantuan orang lain untuk bisa hidup. Tapi itu
cerita yang sudah lewat. Sekarang tidaklah begitu. Sudah kehilangan rumah.
Perkakas pertukangan juga telah hilang tak berbekas. Anak lelaki yang paling
tampanpun ikut menjadi mangsa si bengismerah. Walaupun begitu umumnya
masyarakat bersimpati. Pemerintah dan gereja bekerjasama mengumpulkan uang dan material rumah:semen,
kayu, batu, bata, pasir, tras. Belum selesai pemerintah mengumumkan lewat
pengeras suara, semua material yang diminta serta uang berdatangan. Melebihi
yang diharapkan. Yang tak sanggup memberi uang atau bahan, mereka menyumbangkan
tenaga untuk membangun rumah baru. Tak sampai sebulan rumah permanen 3 kamar
telah berdiri. Rumah kayu telah digantikan oleh rumah beton. Gara-gara itu
sekeluargapun sadar dan secara perlahan mulai bermasyarakat dan bergereja.
Iswan Sual,
S.S adalah seorang penulis pemula. Namun dia sangat prihatin dan begitu
bersemangat dengan untuk mulai bergelut.Dia adalah lulusan S1 dari Universitas
Negeri Manado.Fakultas Bahasa dan Seni. Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris.
Dia berprofesi sebagai seorang guru di sebuah SD
dan SMP di desa Tondei dan dosen di salah perguruan tinggi di Sulawesi Utara.
Dia banyak terlibat dalam kegiatan gereja dan
kemasyarakatan di desanya baik sebagai pendamping maupun sebagai pelaksana.
Sekarang ini menjabat sebagai Ketua Komisi
Pelayanan Kategorial Pemuda Toaat GMIM “Bukit Moria” Tondei Satu.
Di tengah-tengah berbagai kesibukan dia masih
menyempatkan untuk membaca dan berekspresi lewat lewat puisi dan prosa.Dia juga
memiliki ketertarikan untuk belajar politik, sejarah, bahasa-bahasa asing lain
dan seni serta budaya. Dia berharap secara konsisten bisa melahirkan
karya-karya yang berakar dan bertumpuh pada pemikiran pemikiran Tou Minahasa
(Minahasan-based Thought). Ini lahir karena keprihatinannya bahwa orang
Minahasa kini semakin tidak produktif dalam pemikiran.
'Toar dan Lumimuut
BalasHapusBerjualan Kacang di
Singapura' keren..
Setuju jg sama 'Kekuasaan gereja'..
Isi semua cerita tentang hal2 d sekitar y..
Keren2 idenya..hahha *like*