Rabu, 07 November 2012

SEBUAH CERPEN: IKANG ROA


IKANG ROA
Oleh Iswan Sual

Nyaris semalam suntuk aku dan teman-temanku menentang malam bergulat  dengan tugas yang tak terbilang dan harus diselesaikan itu. Hotel Nasional Tahuna nan sederhana menjadi saksi kami berenam tahang mata hingga fajar menyingsing. Jolly yang paling tahan. Matanya begitu kebal dengan sinar layar komputer yang terkadang bikin pusing. Dan dia adalah tumpuan harapan kami. Mau saja dia mengerjakan tanggungjawab kami meski tak sepeserpun upah diterimannya dari kantong kami. Luar biasa kesetiakawanannya. Padahal, sama-sama kami digaji sebesar 4 jutaan rupiah. Jolly itu Superman. Atau mungkin Incredible Man. Sedangkan kami Sick Man. Atau mungkin Lazy Man. Atau barangkali, Impotent man. Ah! Pokoknya kami itu payah! Dalam bahasa Minahasa tua: la ak!
Satu per satu kami tumbang di atas dua ranjang. Tentu saja double bed  tak cukup memikul setengah lusin orang dengan berat di atas rata-rata orang di negara kami yang sering dianugerahi gelar-gelar negatif oleh organisasi dunia. Sarang terorislah, terkorup, termiskin dan terbodoh. Walaupun ada benarnya, tapi bukan berarti mereka bisa seenaknya memberi gelar-gelar itu pada kami. Sialan orang-orang bule itu. Seolah mereka tak pernah mengalami masa kelam. Lupa mereka pada sejarah. Sok suci. Seakan tak pernah berbuat dosa. Atau, lupakah mereka bahwa kekayaan yang mereka nikmati sekarang adalah hasil curian kakek-kakek mereka ratusan tahun lalu. Mereka datang dengan bedil dan meriam lalu menjarah tanah kami yang tentram dan kaya.
***
Mata masih berat untuk dibuka. Namun, demi memberi ruang kepada teman-teman lain aku terpaksa bangkit dari ranjang bersamaan dengan mentari menjalar di sela-sela jendela kaca yang ditutupi tirai berwarna putih dengan motif berlubang-lubang. Seketika itu pula aku merogoh kocek dimana ponsel bermerk Samsung-ku bersarang. Kubuka inbox. Namun tak ada pesan singkat ataupun panggilan tak terjawab. Syukurlah. Berarti aku dapat leluasa menikmati pagi di dekat sendang kecil sambil mengamati ikan-ikan multi warna yang melompat-lompat menyaingi semburan air mancur yang tak terlalu tinggi. Gemericik air menggelar teduh dalam jiwa. Belum lagi, bila hujan rintik mengiring. Tentu suasana akan kian sempurna. Tapi, aku tak mau memerintah Tuhan mengabulkan doa yang egois itu.
Jalanan mulai ramai. Sepeda motor dan gerobak yang didorong manusia tampak menjadi mayoritas. Semua menuju ke pusat kota. Bunyi terompet yang dihasilkan dengan cara meremas benda luwes mirip buah zakar menarik perhatianku. Dan itu pemandangan yang memberi pelajaran yang berharga tentang bagaimana orang-orang yang bekerja keras mencari sesuap nasi. Kerja dari subuh hingga malam datang berkunjung. Pejabat dan orang-orang terhormat di kantor pemerintahan adalah kebalikannya. Datang terlambat pulang lebih cepat. Hasil kerja nihil. Sia-sialah kami membayar pajak. Apalagi, dari orang-orang yang bangun subuh dan pulang malam demi mengais sedikit rezeki di pasar itu. Cobaan hidup bertambah berat kalah pemerintah daerah selalu mengeluarkan kebijakan relokasi dan yang tak lain adalah sinonim dari alienasi. Alias penyingkiran dari tengah-tengah orang berada.
Getir mulai menguasai hatiku. Sehingga demi mencegah titik-titik air mata membasahi lantai hotel yang belum dipel aku putuskan melangkah masuk kamar lagi. Tanpa tujuan yang jelas.
“Alo, pigi smokol jo ngana. Kong ambe kwa akang torang. Biar cuma pisang,” kata susan kala pintu kamar bernomor 101 itu mengangkang. Dahiku mengernyit. Enggan mengabulkan permintaan mereka. Namun, raut wajah Susan dan lainnya tampak mendesak. Kututup pintu lagi lalu menuju ke ruangan di mana sarapan digelar. Langkah-langkah kubuat pasti sehingga terlihat seperti  aksi orang-orang berduit. Sudah ada Supervisorku di situ. Mimik wajahnya berganti ketika aku muncul dihadapannya.
“Napa dorang Santi suru kita mo ambe akang for dorang. Mar ta malu ini. Napa tu Ko’ so haga-haga miring pa kita,” uraiku sembari menarik kursi dan menaruh sepasang sikut di atas meja bundar berbalut kain putih agak tua. Bunga hidup diletakkan di tengah-tengahnya. Konsep hotel yang terbilang ramah lingkungan. Tapi seperti hotel lain yang dipenuhi dengan bunga palsu laiknya politisi di negeri kita.
Supervisorku yang bernama Modi itu menawarkan agar segera aku menikmati hidangan. Seiring itu makannya dipercepat. Ini membuatku sedikit galau dan kaku. Kuambil piring dengan nasi dan abon ikan laut seadanya. Mulai makan dengan gaya yang sengaja dibuat pongah. Resepsionis yang aku belakangi terdengar gaduh berbasa-basi dengan seorang tamu hotel. Sesekali seorang perempuan di hadapanku mencuri-curi pandang padaku. Barangkali, dia tertarik dengan gaya rambutku yang aneh. Kepala sudah musim gugur tapi rambut dililit segala. Lebih mirip buruh bagasi daripada orang-orang di negeri sakura. Kesan yang hendak dicipta ditafsirkan secara berbeda. Alangkah kampungannya aku. Tapi, apa peduliku!
“Lebe dulu ne. kalu ngana malu lebe bae suda jo ba ambe,” ungkap Modi saat mau pergi. Dia menghilang di ujung lorong dengan kunyahan makanan dari sendok terakhir yang belum ditelan. Sang pemilik hotel tengah asyik membaca koran. Tapi, aku tahu dia sembunyi-sembuyi memperhatikan. Aku bertingkah wajar. Pongah bak Julius Cesar yang bergaya di depan senator-senatornya. Ketika sepiring nasi habis, kuberanikan diri lagi menuju meja di mana makanan dan minum terhampar. Kupilih secangkir teh saja. Begitu ku duduk, dua orang berkulit terang dan bermata sipit muncul. Mereka bicara dengan bahasa yang sukar untuk kekenali. Baru lima menit kemudian berani kusimpulkan bahwa mereka dari Cina. Kedua lelaki itu terus bertukar kata dan kalimat. Aku dengan serius menyimak. Tak satupun kata ku mengerti.
Teh pun habis dan kulangkahkan kaki kembali ke kamar. Dengan lembut kututup pintunya. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pada pintu. Semua dalam kamar saling berpandangan. Keenam-enamnya ada. Lalu siapa yang mengetuk? Dengan bisik-bisik dibantu gerak pantomim Modi menyuruh Bea dan Jein masuk ke kamar mandi untuk bersembunyi. Sedangkan aku langsung mengumpet di belakang daun pintu.
“Selamat pagi pak! Ada  berapa orang yang nginap, pak?” kata suara seorang wanita.
“Oh…kami hanya bertiga.”
Aku menahan gelak begitu pandanganku tertuju ke Susan dan Jolly. Aku baru tahu pasti ternyata Modi hanya menyewah kamar untuk satu orang. Begitu dia melaporkan bahwa kami ada bertiga padahal ada berenam, dia dipanggil ke resepsionis. Lima menit kemudian dia muncul dan memberitahukan bahwa kami mesti menghimpun rupiah. Setelah dihitung-hitung bayarannya setimpal dengan untuk bayaran tiga kamar double bed. Sialan! Kalau tahu begini jadinya, mendingan kami memesan tiga kamar dan tak perlu tidur berdempetan seperti ikang roa yang dijepit rapat. Lalu dipanggang. Dan kami adalah ikang roa hidup khas Tahuna.


Tahuna, Kamis 8 November 2012. Selesai 11.09.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar