IKANG ROA
Oleh Iswan Sual
Nyaris semalam suntuk aku dan teman-temanku menentang
malam bergulat dengan tugas yang tak
terbilang dan harus diselesaikan itu. Hotel Nasional Tahuna nan sederhana
menjadi saksi kami berenam tahang mata hingga fajar menyingsing.
Jolly yang paling tahan. Matanya begitu kebal dengan sinar layar komputer
yang terkadang bikin pusing. Dan dia adalah tumpuan harapan kami. Mau saja dia
mengerjakan tanggungjawab kami meski tak sepeserpun upah diterimannya dari
kantong kami. Luar biasa kesetiakawanannya. Padahal, sama-sama kami digaji
sebesar 4 jutaan rupiah. Jolly itu Superman. Atau mungkin Incredible
Man. Sedangkan kami Sick Man. Atau mungkin Lazy Man. Atau
barangkali, Impotent man. Ah! Pokoknya kami itu payah! Dalam bahasa Minahasa
tua: la ak!
Satu per satu kami tumbang di atas dua ranjang. Tentu
saja double bed tak cukup memikul
setengah lusin orang dengan berat di atas rata-rata orang di negara kami yang
sering dianugerahi gelar-gelar negatif oleh organisasi dunia. Sarang
terorislah, terkorup, termiskin dan terbodoh. Walaupun ada benarnya, tapi bukan
berarti mereka bisa seenaknya memberi gelar-gelar itu pada kami. Sialan
orang-orang bule itu. Seolah mereka tak pernah mengalami masa kelam. Lupa
mereka pada sejarah. Sok suci. Seakan tak pernah berbuat dosa. Atau, lupakah
mereka bahwa kekayaan yang mereka nikmati sekarang adalah hasil curian
kakek-kakek mereka ratusan tahun lalu. Mereka datang dengan bedil dan meriam
lalu menjarah tanah kami yang tentram dan kaya.
***
Mata masih berat untuk dibuka. Namun, demi memberi ruang
kepada teman-teman lain aku terpaksa bangkit dari ranjang bersamaan dengan
mentari menjalar di sela-sela jendela kaca yang ditutupi tirai berwarna putih
dengan motif berlubang-lubang. Seketika itu pula aku merogoh kocek dimana
ponsel bermerk Samsung-ku bersarang. Kubuka inbox. Namun tak ada pesan
singkat ataupun panggilan tak terjawab. Syukurlah. Berarti aku dapat leluasa
menikmati pagi di dekat sendang kecil sambil mengamati ikan-ikan multi warna
yang melompat-lompat menyaingi semburan air mancur yang tak terlalu tinggi.
Gemericik air menggelar teduh dalam jiwa. Belum lagi, bila hujan rintik
mengiring. Tentu suasana akan kian sempurna. Tapi, aku tak mau memerintah Tuhan
mengabulkan doa yang egois itu.
Jalanan mulai ramai. Sepeda motor dan gerobak yang
didorong manusia tampak menjadi mayoritas. Semua menuju ke pusat kota. Bunyi
terompet yang dihasilkan dengan cara meremas benda luwes mirip buah zakar
menarik perhatianku. Dan itu pemandangan yang memberi pelajaran yang berharga
tentang bagaimana orang-orang yang bekerja keras mencari sesuap nasi. Kerja
dari subuh hingga malam datang berkunjung. Pejabat dan orang-orang terhormat di
kantor pemerintahan adalah kebalikannya. Datang terlambat pulang lebih cepat.
Hasil kerja nihil. Sia-sialah kami membayar pajak. Apalagi, dari orang-orang
yang bangun subuh dan pulang malam demi mengais sedikit rezeki di pasar itu.
Cobaan hidup bertambah berat kalah pemerintah daerah selalu mengeluarkan
kebijakan relokasi dan yang tak lain adalah sinonim dari alienasi. Alias penyingkiran
dari tengah-tengah orang berada.
Getir mulai menguasai hatiku. Sehingga demi mencegah
titik-titik air mata membasahi lantai hotel yang belum dipel aku putuskan
melangkah masuk kamar lagi. Tanpa tujuan yang jelas.
“Alo, pigi smokol jo ngana. Kong ambe kwa akang torang.
Biar cuma pisang,” kata susan kala pintu kamar bernomor 101 itu mengangkang.
Dahiku mengernyit. Enggan mengabulkan permintaan mereka. Namun, raut wajah
Susan dan lainnya tampak mendesak. Kututup pintu lagi lalu menuju ke ruangan di
mana sarapan digelar. Langkah-langkah kubuat pasti sehingga terlihat seperti aksi orang-orang berduit. Sudah ada
Supervisorku di situ. Mimik wajahnya berganti ketika aku muncul dihadapannya.
“Napa dorang Santi suru kita mo ambe akang for dorang.
Mar ta malu ini. Napa tu Ko’ so haga-haga miring pa kita,” uraiku sembari
menarik kursi dan menaruh sepasang sikut di atas meja bundar berbalut kain
putih agak tua. Bunga hidup diletakkan di tengah-tengahnya. Konsep hotel yang
terbilang ramah lingkungan. Tapi seperti hotel lain yang dipenuhi dengan bunga
palsu laiknya politisi di negeri kita.
Supervisorku yang bernama Modi itu menawarkan agar
segera aku menikmati hidangan. Seiring itu makannya dipercepat. Ini membuatku
sedikit galau dan kaku. Kuambil piring dengan nasi dan abon ikan laut seadanya.
Mulai makan dengan gaya yang sengaja dibuat pongah. Resepsionis yang aku
belakangi terdengar gaduh berbasa-basi dengan seorang tamu hotel. Sesekali
seorang perempuan di hadapanku mencuri-curi pandang padaku. Barangkali, dia
tertarik dengan gaya rambutku yang aneh. Kepala sudah musim gugur tapi rambut
dililit segala. Lebih mirip buruh bagasi daripada orang-orang di negeri sakura.
Kesan yang hendak dicipta ditafsirkan secara berbeda. Alangkah kampungannya
aku. Tapi, apa peduliku!
“Lebe dulu ne. kalu ngana malu lebe bae suda jo ba
ambe,” ungkap Modi saat mau pergi. Dia menghilang di ujung lorong dengan
kunyahan makanan dari sendok terakhir yang belum ditelan. Sang pemilik hotel tengah
asyik membaca koran. Tapi, aku tahu dia sembunyi-sembuyi memperhatikan. Aku
bertingkah wajar. Pongah bak Julius Cesar yang bergaya di depan senator-senatornya.
Ketika sepiring nasi habis, kuberanikan diri lagi menuju meja di mana makanan
dan minum terhampar. Kupilih secangkir teh saja. Begitu ku duduk, dua orang
berkulit terang dan bermata sipit muncul. Mereka bicara dengan bahasa yang
sukar untuk kekenali. Baru lima menit kemudian berani kusimpulkan bahwa mereka
dari Cina. Kedua lelaki itu terus bertukar kata dan kalimat. Aku dengan serius
menyimak. Tak satupun kata ku mengerti.
Teh pun habis dan kulangkahkan kaki kembali ke kamar.
Dengan lembut kututup pintunya. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pada pintu.
Semua dalam kamar saling berpandangan. Keenam-enamnya ada. Lalu siapa yang
mengetuk? Dengan bisik-bisik dibantu gerak pantomim Modi menyuruh Bea dan Jein
masuk ke kamar mandi untuk bersembunyi. Sedangkan aku langsung mengumpet di
belakang daun pintu.
“Selamat pagi pak! Ada
berapa orang yang nginap, pak?” kata suara seorang wanita.
“Oh…kami hanya bertiga.”
Aku menahan gelak begitu pandanganku tertuju ke Susan
dan Jolly. Aku baru tahu pasti ternyata Modi hanya menyewah kamar untuk satu
orang. Begitu dia melaporkan bahwa kami ada bertiga padahal ada berenam, dia
dipanggil ke resepsionis. Lima menit kemudian dia muncul dan memberitahukan
bahwa kami mesti menghimpun rupiah. Setelah dihitung-hitung bayarannya setimpal
dengan untuk bayaran tiga kamar double bed. Sialan! Kalau tahu begini
jadinya, mendingan kami memesan tiga kamar dan tak perlu tidur berdempetan
seperti ikang roa yang dijepit rapat. Lalu dipanggang. Dan kami adalah ikang
roa hidup khas Tahuna.
Tahuna, Kamis 8 November 2012. Selesai 11.09.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar