I
NAMAKU RATU
A
|
ku diberi nama Ratu.
Tak
tahu pasti alasan orang tua berkenaan dengan keputusan penamaan diriku. Aku
belum sempat menanyakannya.
Mungkin
orang tuaku berharap suatu saat nanti aku menjadi seorang ratu yang bertemu
dengan seorang pangeran yang ganteng seperti dalam kisah Cinderella.
Umurku
kini 9 tahun. Aku sedang duduk di bangku kelas 3 SD.
Walaupun
badanku kerempeng tapi aku tergolong siswa yang cerdas di sekolah. Di samping
itu wajahku juga jelita.
Aku
sangat beruntung dengan anugerah Tuhan yang indah itu.
Kecerdasan
dan kejelitaanku terwarisi secara genetik dari kedua orang tuaku. Papa dan
mama, kedua-duanya berkulit terang.
Papa
mewarisi darah Tionghoa dari kakek.
Mamaku
juga cantik. Dia mewarisi darah portugis dari ayahnya. Ibuku selalu juara kelas sewaktu masih di SD sampai
SMK. Tak heran kalau aku juga memiliki kelebihan-kelebihan luar biasa seperti
dia.
Aku
sangat dimanjakan oleh orang tuaku sedari lahir. Produk apa saja untuk menopang
pertumbuhanku, segalanya dibeli. Semua yang aku butuhkan senantiasa dipenuhi. Tak
pelak kemasan-kemasan produk supermarket masih membanjiri pilatu rumah kami. Sengaja
tidak dibuang sebab, papa dan mama pikir, aku suka dengan kemasan-kemasan itu.
Memang
aku suka.
Saat
aku berumur 2 tahun aku sudah cerewet dan pintar menghafal lagu-lagu yang
diajar mama dan nenek. Mereka terkagum-kagum dengan kelincahan dan kelucuanku.
Aku sering dibelikan bermacam snack sebagai hadiah. Tingkahku, menurut mereka,
begitu menghibur.
Setiap
pulang kerja, papa selalu memelukku dengan bonus-bonus kecupan manis di pipi
dan dahiku. Sulit menggambarkan kesenangan yang disuguhkan papa itu.
Papa
adalah seorang tukang. Dia adalah pekerja terampil. Berbondong-bondong orang
datang ke rumah meminta papa untuk membangun rumah, pagar, gedung perkantoran,
dan lain sebagainya. Papaku, sering kelabakan dengan berbagai tawaran yang
begitu banyak.
Dalam
hal pertukangan, papaku serba bisa. Dia mampu mengerjakan keterampilan perkayuan
juga pengecoran. Keahlian papa tersebar di seluruh kampung. Bahkan sampai
kekampung tetangga. Padahal dia hanyalah warga pendatang di kampung kami.
Setelah
menikah mereka bersepakat menjadikan desa Tondei sebagai tempat kediaman dan
ladang pencaharian keluarga. Sehari papa bisa membawa pulang sebanyak Rp.
200.000.
Darah
Tionghoa yang mengalir dalam tubuh papa adalah berkah. Aku bangga dengan papaku.
Dia mewariskanku mata sipit dan rambut tebal nan lurus. Untung aku perempuan,
jika saja aku lelaki, sudah tentu aku setegak, setinggi dan seganteng papaku.
Keluarga
kami masih seumur jagung namun berkat keuletan papa, kami boleh tinggal dalam
rumah besar dengan kamar-kamar yang semuanya berjumlah 3 buah. Rumah kami telah
penuh sesak dengan perabotan mewah dan barang elektroknik.
Mama
adalah wanita penyayang suami dan anak. Dia melakukan tugasnya sebagai ibu
rumah tangga dengan baik. Sarapan pagi bagi papa dan aku selalu tersedia
sebelum papa berangkat kerja dan aku berangkat sekolah.
Pokoknya,
di tangan mama, semua dijamin terurus dengan baik.
Pendidikanku
sangat penting bagi papa dan mama.
Mereka
memberikan teladan bagaimana bersikap dan bertingkahlaku. Ketika menghadiri
acara-acara, kami bertiga selalu kompak. Setelan pakaian batik yang bercorak
sama kami kenakan saat terundang dalam setiap acara pernikahan, ulang tahun dan
lain yang semacam.
Setiap
hari minggu aku selalu diantar secara bergilir oleh papa dan mama ke gereja.
Mereka
amat memperhatikan pendidikanku di usia dini. Terutama pendidikan karakter.
Belum
lagi masuk TK, aku sudah bisa membaca dan hitung-menghitung. Mama, dengan
semangat, mendaftarkan aku ke lembaga kursus ternama. Aku dijejali pelajaran bahasa
Inggris dan sempoa. Pelajaran-pelajaran aku lahap dengan rakus. Sampai-sampai,
orang kampung menjuluki aku bayi ajaib bahkan bayi jenius. Istilah yang tak
begitu aku suka. Aku tak ingin kata bayi ditambah di depan kata genius. Aku
bukan bayi lagi. Tapi tak apalah, walaupun begitu, rasa percaya diriku
meningkat. Tak jarang mama dan papa sering memintaku memamerkan kebolehanku di
hadapan saudara-saudara dan tamu-tamu yang datang berkunjung ke rumah.
Mama
sangat yakin aku anak dengan segudang talenta dan potensi. Diapun dengan rajin
memberiku pelajaran tambahan di rumah. Keinginan kuatnya begitu besar untuk
menjadikanku seorang anak yang mahatahu.
Aku
menurut saja pada mama. Aku belum memahami apa yang ideal atau yang tidak
bagiku. Semua itu kulakukan dengan senang sebagai imbalan terhadap kasih sayang
mereka yang tak henti-hentinya, walaupun kadang sedikit berlebihan.
Aku
membuat anak-anak lain irih.
Keakraban
dan keintiman dalam keluarga menjadi bahan pembicaraan di kampung. Seakan-akan
kami sedang dijajaki untuk dianugerahi gelar The Family of the Year oleh
sebuah majalah Amerika serikat. Wah…hidup kami terasa sempurna.
***
2
BADAI
MULAI DATANG
N
|
amun segalanya
berubah ketika papa dan mama bersepakat menggadaikan beberapa bidang tanah yang
luas ke pada bank. Padahal, itu adalah budel pemberian kakek di Motoling. Tak
pernah, kami duga keputusan yang mereka ambil sungguh berakibat fatal.
Tak
tahu mengapa, dewi Fortuna makin lama kian menjauh dari rumah kami.
Menjauhi
papaku.
Karena
pasang surutnya orderan jasa papa, pendapatan keluarga jadi tak menentu. Pinjaman,
atau katakanlah itu utang, di bank jadi membengkak. Bunga makang bunga. Uang
yang diambil papa dan mama dari bank tak sanggup lagi dikembalikan. Terasa
hanya mimpi. Semuanya berubah 180 derajat.
Aku
sendiri, awalnya tak habis pikir dengan alasan papa dan mama meminjam uang dari
bank.
Papa
dan mama ternyata, selama ini tidak puas dengan apa yang telah mereka gapai.
Ternyata mereka punya rencana yang lebih besar. Rencana yang secepat kilat mau
diwujudkan.
Mereka
berkeinginan kuat membeli rumah super megah di salah satu kawasan elit di kota Manado.
Padahal bank itu adalah laksana orang yang meminjamkan payung saat hari cerah,
dan memintanya kembali dikala hari hujan dengan sangat derasnya.
Sikap
mama dan papa lambat laun menjadi suram.
Aku
tinggal laksana di padang pasir gersang yang membentang luas.
Temperamen
mama dan papa kini berubah dari lemah lembut menjadi galak dan kasar. Tak jarang
kata-kata tak pantas meluncur begitu saja dari mulut mama.
Dulunya
lagu-lagu pembangun rohani yang terlantun dari CD player kami. Sekarang mama
dan papa telah berganti aliran.
Kehidupan
surga yang selama ini begitu meninabobokan kini berganti kehidupan seperti di
neraka.
Sungguh
sangat kontras yang terlampau kentara!
Keseharian
ceritanya adalah kurang lebih seperti ini.
Pagi-pagi
sudah dimulai dengan lagu berjudul; “Jangan Kau Tuduh Aku”, “mengapa kau
selingkuh?” Siangnya “burung bajingan”. Malamnya “lebe bae bacere.”
Kondisi
ini sangat mempengaruhi jiwa dan perilakuku. Maklumlah aku masih anak-anak yang
polos dan lugu. Bak kertas putih. Kosong.
Lagu-lagu
orang dewasa menjadi begitu akrab ditelingaku sekarang.
Sebaliknya,
lagu sekolah minggu semakin menghilang dari ingatanku. Aku tak pernah lagi
diantar ke gereja. Mereka sibuk dengan perasaan mereka masing-masing. Kadang
aku merasa mama dan papa tak lagi sayang dan peduli padaku.
Aku
jadi malas makan, malas bagun pagi dan malas ke sekolah. Soal makan, mereka
masih sangat peduli. Mereka selalu mempersoalkan apakah tubuhku telah diisi
atau belum. Tapi mereka tidak tahu bahwa jiwaku juga butuh makanan. Bukan hanya
tubuh.
“Ratu,
so makang ngana?!”1 tanya Mama.
“Masih
kenyang e mama,” jawabku sambil sedikit merengek.
Aku
dulu yang tak berani berdusta kini terbiasa karena menghindari apa yang namanya
makan.
Aku
lebih suka makan snack. Junk food2.
Tak
heran badanku semakin ceking bak seorang anak yang menderita busung lapar.
Mama
marah-marah karena aku kedapatan membuang makanan dengan sengaja.
“Ratu! Kyapa ngana buang tu nasi?”3
bentak mama. Matanya serasa mau keluar. Tapi aku tahu itu hanya gertakan saja. Tidak
mungkin dia tega memukulku hanya karena membuang makan. Aku adalah anak
satu-satunya. Aku adalah kebanggaan mereka. Tak mungkin sesuatu yang buruk akan
mama lakukan.
Besoknya
aku ketahuan lagi karena membuang makanan. “Ratu! Ontak apa ngana? Buang-buang
makanan….ngana kira tu nasi cuma ja punggu di got?!4
1 “Ratu,
sudah makan kamu?!” (Bahasa Melayu
Manado)
2 Makan sampah (Bahasa Inggris)
3 “Ratu! kenapa kamu buang nasinya?!” (Bahasa Melayu Manado)
4 “Ratu! Otak apa kamu? Seenaknya buang makanan…kamu kira nasi itu
cuma dipungut dari got?!” (Bahasa Melayu Manado)
“Ratu
nda buang e mama. Anjing kwa ini da nae di meja kong loku ta pe piring.”5
Kini
aku semakin lihai mengarang-ngarang alasan. Kali ini mama percaya saja. Mama berpikir
bahwa bisa saja aku memang khilaf. Mungkin hanya pikirannya saja yang menyangka
anaknya melakukan yang tidak-tidak. Mamanya mengakui, dalam diam, bahwa
pikiranya memang ngelantur karena sedang kacau.
Hari
berikutnya aku melakukan lagi kesalahan yang sama.
Tanpa
disengaja mama melihat aku sedang memberikan makanan kepada 2 anjing peliharaan
mereka di belakang rumah.
Ayam-ayampun ikut
berebut mendengar bunyi piring walaupun sudah diusahakan pelan. Padahal belum
sesendokpun masuk dalam mulutku.
“Setang
ngana. Skarang apa ngana mo bilang?”6 teriak mama dari jarak yang
tak berapa langkah jauhnya. Sambil memegang batang sapu dia mulai memukulku.
Disertai tendangan. Dia menyeretku saat aku menjauh karena menghindari dari
setiap pukulannya. Itu membuatnya sumringah. Aku dipandanginya sebagai anjing
penuh borok yang harus dipukul sehingga menjauhi rumah.
5 “Ratu
tidak membuangnya mama. Anjing ini yang naik ke atas meja lalu merampas
piringnya.” (Bahasa
Melayu Manado)
6 “Setan kamu. Sekarang, mau bilang apa kamu?”
(Bahasa Melayu Manado)
“Cuki
ngana. So siksa orang tua ja mancari ngana seenaknya kase pa binatang tu
makanan. Ontak binatang ngana! So jago ngana badusta pa orang tua e!!”7
“Paf!!!!!!!!
Buk!! Pakkk!!”
Aku
sangat kaget dan berteriak-teriak histeris memohon ampun. Mama terus
mengayunkan batang bambu taki yang keras ke badanku.
“Ampung..…mama.…ampung…mama…..ampuuuuuuung.
Mama…mama…ampung kita….”8
Berkali-kali
dagingku berbenturan dengan daging dan tulang yang menonjol keluar.
Mama terus
memukul. Dia lupa bahwa aku hanya seorang balita.
Batang
sapu patah menjadi 3 bagian. Aku terhempas ke sudut kamar dan terisak
sesendu’ang9.
Aku
belum percaya sepenuhnya dengan apa yang baru saja dia alami. Aku begitu
terhenyak dengan apa yang baru saja aku saksikan.
Dulu mama adalah
induk domba yang selalu memberi kehangatan.
7 “Bangsat
kamu. Sudah siksa orang tua mencari uang, kamu seenaknya memberikannya kepada
binatang? Otak binatang kamu! Sudah pandai ya kamu berduta pada orang tua!!”
(Bahasa Melayu Manado)
8 “Ampun
mama….ampuni saya...!”
(Bahasa Melayu Manado)
9 Menangis sesenggukan (Bahasa Tontemboan)
Sekarang
aku bagai anak domba dalam liang induk serigala yang mulai mencabik-cabik. Tak
tahu kapan aku nantinya akan habis jadi santapan.
Mama berhenti saat basah karena berpeluh
hebat. Dia juga tampak kelelahan telah melampiaskan rasa stresnya karena
dikejar-kejar pegawai bank yang setiap
hari datang menagih.
Sisa
tangisan masih ada ketika papaku tiba.
“Kyapa
e?”10 tanya papa penasaran dengan apa yang baru terjadi.
Belas
kasih menyelimuti papa ketika melihatku tak berdaya meringkuk di pojok. Di
dekatinya aku untuk memastikan keadaan yang sebenarnya. Aku tak berani
mengeluh. Takut situasi tambah buruk. Sambil menoleh ke mama diapun bertanya
lagi.
“Yunita, kyapa karu tu anak ngana so se
biru-biru bagini e? Masih kecil ngana so ja labrak sama deng orang besar.”11
Perkataan papa
cukup memberikanku gambaran seperti apa ku sekarang. Namun pernyataan papa
pasti akan berdampang buruk. Tak berani aku melihat pertengkaran yang sebentar
lagi akan membara. Siapa yang sanggup menyaksikan perang dunia III.
10 “Kenapa?” (Bahasa Manado Melayu)
11 “Yunita, kenapa anak ini kamu telah buat lebam kebiruan seperti ini?
Masih kecil, tapi kamu sudah memukul dia seperti orang dewasa”. (Bahasa Manado
Melayu)
“Badiam
di situ ngana, John! Kalu perlu deng ngana kita mo se ancor.”12
Jawaban mama terdengar begitu kasar.
Sungguh
membuat papa merasa pedih. Papa berusaha menguasai diri. Keadaan lelah usai
kerja seharusnya membuat dia layak memperoleh sambutan yang menyejukkan hati
dari sang istri.
Ayah
berusaha bersabar. “Mungkin dia hilaf lantaran lala kerja di rumah,”13
kata papa pada dirinya sendiri meyakinkan bahwa setiap orang dalam keadaan
lelah atau stres kadang-kadang memunculkan tanggapan yang tak terkendali.
“Wajarlah”.
Aku
berharap malamnya semua akan kembali seperti semula. Tentram dan damai. Papapun
berharap begitu.
Papa
kini mulai masuk kamar dan mulai merayu mama seperti biasa dilakukannya untuk
memecah kebekuan. Tapi, mama hanya memberikan tanggapan dingin. Kulihat papa
mencoba lagi. Aku tahu, ini demi keutuhan rumah tangga dan demi mengembalikan
keselarasan yang sedikit memudar di sore tadi.
“Jang baba dekat
pa kita ngana!”14 teriak mama sambil menghempaskan tangan
papa.
12 “Diam di situ kamu, John! Bila perlu, dengan kamupun saya pukul
hingga hancur” (Bahasa Manado Melayu)
13 “Mungkin dia khilaf karena lelah kerja di rumah”. (Bahasa Manado
Melayu)
14
“Jangan kamu berani dekati
aku!”. (Bahasa Manado Melayu)
Sungguh…reaksi
ini tak pernah diharapkan baik oleh papa maupun aku.
“Kita
nda suka ngana pe cara tadi. Kita nda suka ngana kendo’o cari muka di muka pa
anak.”15
“Sapa yang cari muka?” kini papa angkat
bicara. “ kita cuma kase inga pa ngana tu nda bagus yang da beking pa anak. Ini
demi torang pe kebaikan.”16
“Luji
deng ngana. Setang. Tidor di luar ngana! Jang badekat.”17
Mendengar
papa dan ibu mulai perang mulut lagi aku menutup telinga.
Namun suara makin
keras menjangkau sampai rumah-rumah tetangga. Teriakan mereka bertubi-tubi
menghujam dan merobek telinga.
Pelan-pelan
aku keluar dari rumah kami dan satu langkah demi satu langkah mengarah ke rumah
kakek dan nenek yang hanya berjarak kurang lebih 20 meter.
Kakek nenek
ternyata juga sedang mendengar apa yang sedang berlaku di rumah kami.
15
“Saya tidak suka cara kamu tadi. Saya tidak suka cara kamu mencari
muka di muka anak kita”. (Bahasa Manado Melayu)
16
“Siapa yang cari muka? Saya
hanya mengingatkanmu yang tidak bagus yang kamu lakukan kepada anak kita. Ini
demi kebaikan kita.” (Bahasa Manado Melayu)
17
“Sialan kamu. Setan. Tidur di luar kamu! Jangan mendekat.” (Bahasa
Manado Melayu)
Tadi
hanya suara. Kini terdengar benturan perkakas rumah menyentuh lantai dan
dinding.
“Kyapa
re’e tu di rumah pa ngoni, Ratu?”18 tanya nenek.
“Tau
kasana,”19 jawabku kesal bercampur malu. Mencoba menyembunyikan aib
keluarga namun aku tak pandai memberi jawab pada pertanyaan semacam itu.
Nenek
dan kakek tahu perasaanku. Merasa aku tak nyaman dengan pertanyaan merekapun
mengalihkan pokok pembicaraan pada hal-hal lain. Kakek yang humoris mulai
bicara. Dia senang bertutur mengenai cerita rakyat di kampung kami. Ada cerita
tentang si Hero yang Mati Sembilan Hari, ada juga Legenda Asal Muasal Tetewatu,
cerita epos tentang Mawale dan kaitanya dengan tugu Lutau dan lain sebagainya.
Dalam keadaan
gundah sekalipun aku dapat dibuat kakek tertawa.
Dia memang tipe manusia dengan kecerdasan
linguistik yang hebat.
Dia mampu
berbicara berjam-jam disertai gerak-gerak teatrikal yang membuat orang-orang
benar-benar tegang dan terkekeh-kekeh karena kejenakaan ceritanya.
Banyak orang,
walaupun sebenarnya jenuh dengan cerita-cerita
yang sudah
diulang-ulang itu, masih terkagum-kagum dengan
18 “Ada apa di rumah kalian? Kenapa, Ratu.” (Bahasa Manado Melayu)
19 “Tahulah!” (Bahasa Manado Melayu)
bertutur kakek saya. Gara-gara itu, kakek
dijuluki sebagai si Hans Flasgordon.
Tak
terasa, malam semakin larut.
Pertunjukkan
teatrikal kakek telah usai.
Aku
yang sudah sedikit merasakan kantuk mohon diri pulang ke rumah.
Kakek
dan nenekpun tak berusaha menahan.
Karena
takut kegelapan aku berlari menuju rumah.
Papa
telah berbaring di sofa. Di kamar ibu telah tertidur sendirian.
Aku
tak tahu bagaimana akhir cerita dari pepeperangan mereka. Tapi mendingan.
Setidaknya telah terjadi genjatan senjata.
Aku
keluar kamar lagi sambil membawa selembar kain untuk papa sebagai selimut.
Kasihan
papa.
Aku
tak mau dia nanti kedinginan.
TV
masih saja bicara-bicara sendiri. Ku tekan tombol on/offnya. Karena tinggi
tempat colokannya ku naiki meja kecil dan menarik kabel colokan.
Malam
ini hujan turun. Guntur mulai menggemuruh. Kilat-kilat kecil mulai berdatangan.
Mama
selalu berpesan untuk mematikan semua peralatan elektronik saat dalam keadaan
seperti sekarang ini.
Setelah
semua tampak beres, aku menuju kamar dan merebahkan diri di samping mama.
Aku
tak berani tidur sendirian dalam kamarku dalam cuaca begini.
Lama,
baru aku terlelap.
***
Besoknya
aku terbangun saat jam wekerku menunjukkan pukul 06.30. Waktu itu tape deck
sudah mengeluarkan lantunan-lantunan putus asah dan pengeluhan.
Sungguh
tak sesuai dengan harapanku semalam. Sungguh tak baik memulai hari dengan aura pesimis.
Lagu-lagu
yang terdengar sama dengan beberapa hari terakhir: ”Jangan Kau Tuduh Aku”. Seingatku
itu adalah lagu grup band bernama Wali. Kemudian ada lagu yang berjudul “
mengapa kau selingkuh”, “Pulangkan Saja Aku Pada Orang Tuaku”, “Burung Bajingan”,
“Lebe Bae Bacere” 20.
Daftar
lagu itu sepertinya sengaja menjadi pilihan dan kesayangan orang tuaku sekarang
ini.
Padahal,
seharusnya lagu-lagu memotivasi yang layak didengar dalam situasi seperti ini.
Sadar
atau sadar, lagu-lagu itu sudah menjadi bagian dari kehidupan kami.
Tak tahu pasti
kenapa mama papa lebih memilih lagu-lagu seperti itu. Padahal, dulu, setiap
pagi aku selalu mendengar lagi religius atau lagu-lagu optimis dari Ebiet.
20 “Lebih Baik Bercerai” (Bahasa Manado Melayu)
Aku
paling suka kalau yang diputar adalah lagu koleksi untuk anak sekolah minggu.
Cocok untuk usiaku. Lagu-lagu yang penuh dengan suasana bermain. Dan keriangan.
***
Hari-hari
berikutnya sama saja. Malahan semakin parah.
Papa
kini sering pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Berkali-kali papa ingin
berdamai tapi selalu ditolak. Sekarang mereka, telah berlangsung lama, tak lagi
tidur seranjang. Seperti biasa, papa di sofa. Mama di kamar.
Satu
malam karena tak tahan dengan situasi yang makin besae21, papa
memaksakan diri untuk tidur sekamar dengan mama. Dia berusaha mengeluarkan
jurus-jurus pamungkas untuk meluluhkan hati mama. Tapi mama berang karena papa
sudah dalam keadaan setengah sadar setengah teler.
Karena
hal itu, perang mulutpun pecah di tengah malam.
Mereka
tak peduli lagi dengan keadaan sekitar.
“Yunita,
kyapa ngana so ta roba skali bagitu e? Apa kita pe salah? Kalaupun kita salah
so nda re’e mo dapa maaf so?”22
“Jang
tanya! Kyapa le ngana tiap malam kaluar deng pulang-pulang amper siang?”23
mama balas bertanya tak ingin kalah.
“Mo bagimana
kita? Di rumah nda ada kesenangan.
21 Jelek (Bahasa Manado Melayu)
22
“Yunita, kenapa sudah berubah sekali? Apa salah saya? Kalaupun aku
punya kesalahan, apa sudah tak ada maaf?” (Bahasa Manado Melayu)
23
“Jangan tanya! Kenapa juga kamu setiap malam keluar dan
pulang-pulang subuh? (Bahasa Manado Melayu)
Tiap pulang kerja
bukang ngana sambut bae-bae: sirang akang kopi, malah ngana bajalang baron-ron
kampung. Kita nda snang ngana korang bergaul-gaul deng ABG! Ngana musti sadar
Yunita; ngana itu so tanta bukang lagi cewek. Kalu so ba stel, artis kala.”24
“Apa ngana bilang?! Ngana bilang kita
baron-ron? Ngana anggap kita perempuan lonte! Asal jo ngana. Kong ngana apa? Laki
apa tu pulang so pagi? Bukang lonte tu bagitu? So sama kwa. Udang deng ketang
kalu bakar sama. Ne, jang bicara kalu ngana lebe soe.”25 semprot
mama.
“Beda.
Kita laki-laki. Ngana perempuan.”26 papa tidak mau kalah.
“Cuki deng ngana.
Karena ngoni laki-laki kong sambarang beking ngoni pe mau. Pemai deng ngana!
Ngana bilang kita le nda ja layani pa ngana? Oh io, nanti ngana lia kalu kita
mo se momasa lagi for ngana.”27 balas mama dengan pukulan yang membuat
papa teroleng-oleng.
24
“Mau bagaimana? Di rumah
tidak ada lagi kesenangan. Tiap pulang kerja, bukannya kamu menyambutku dengan
baik-baik: bikin kopi, malah kamu keluyuran. Saya tidak senang kamu bergaul
terus-terusan dengan ABG. Kamu mustinya sadar Yunita. Kamu sudah tante bukan
lagi gadis. Kalau sudah berdandan, selebriti kalah!” (Bahasa Manado Melayu)
25
“Apa kamu bilang?! Kamu
bilang aku keluyuran? Kamu anggap aku lonte! Asal kamu. Kamu apa? Suami macam
apa yang pulang pagi? Bukankah itu yang namanya lonte. Kita sama saja. Udang
dan kepiting kalau dibakar warnanya sama: merah. Jadi, jangan bicara kalau kamu
justru yang lebih parah.”
26
“Beda. Saya lelaki. Kamu perempuan.” (Bahasa Manado Melayu)
27
“Kontol kamu! Jadi, karna kalian lelaki, lalu sembarang buat apa
yang kalian mau? Bangsat kamu. Kamu bilang saya tidak melayani kamu? Oh, jika
begitu lihat saja kalau saya akan memasak lagi untuk kamu.” (Bahasa Manado
Melayu)
“Yunita, coba kwa bicara bae-bae.”28
“Bicara
bae-bae, lawut deng ngana. Ngana kira kita ngana pe pembantu. Kita mo tanya pa
ngana: kyapa kendo’o ngana so nda pernah kase doi pa kita na.”29
Perdebatan
terus berlanjut. Rasa banggaku pada kedua orangtua lululantah sudah. Wibawa
mereka tak ada lagi.
Tanpa
sadar mereka sedang mengajariku bagaimana bertengkar dengan berbagai macam
sumpah serapah.
Aku
sebenarnya hanyalah anak yang belum cukup umur untuk memahami persoalan rumit
dan pelik yang menimpa keluargaku.
Usiaku
belumlah cocok dan siap menghadapi terpaan ini. Seharusnya, masa kecilku
dilalui dengan riang gembira dan sarat dengan curahan kasih sayang.
Terlalu berat
buatku memikirkan dan menghadapi konflik antara mama dan papa yang kian kronis.
Bagaikan konflik Israel dan Palestina yang telah berlarut-larut tanpa ada jalan
keluar yang menguntungkan kedua belah pihak. Hari demi hari korban berjatuhan.
Nyawa melayang setiap saat. Nyawa manusia tak ubahnya nyawa binatang yang
dijagal tanpa ampun.
28.
“Yunita, coba bicara baik-baik. (Bahasa Manado Melayu)
29.
“Bicara baik-baik sialan
kamu. Kamu pikir aku pembantu. Saya tanya sama kamu: kenapa kamu sudah tak
memberikan uang pada saya, ha?” (Bahasa Manado Melayu)
Sungguh
memilukan!
Lama
kelamaan kelakuan mama dan papa mulai berubah.
Sifat-sifat
baik telah lari dari mereka. Yesus tak lagi terlihat dari laku mereka.
Papa
kini juga sering memukulku dengan ikat pinggangnya.
Setiap
kali kedapatan bermain dengan anak-anak tetangga aku selalu dicerca dengan
makian diikuti dengan sabet-sabetan yang terasa perih dalam daging.
Papa
selalu melarangku bermain dengan anak-anak lelaki. Apalagi, gara-gara bermain
dengannya aku sampai lupa makan.
Memang,
selera makanku tak lagi ada. Apalagi makanan seperti nasi. Aku lebih suka
snack. Cepat masuk mulut dan terasa lebih enak. Makanan sampah itu yang
menyebabkan badanku semakin kerempeng. Namun, tentu saja, ancaman mama dan papa
sulit merubah ketergantunganku pada jenis makanan itu.
Kebiasaanku
bermain dengan Gerald sulit untuk dilarang. Si Gerald memang nakal, tapi hanya
dialah satu-satunya temanku.
Beberapa
anak lainpun telah dilarang orang tua mereka bergaul denganku. Mereka takut
anak mereka terjangkiti oleh kebiasaan kasar dari rumahku.
Gerald,
walaupun nakal, dia lucu dan menggemeskan. Aku selalu dibuatnya tertawa. Aku
lebih bisa berekspresi dengan dia karena kami mungkin sebaya. Dia juga teman
berlatihku mengucapkan makian-makian yang aku dengar dari dua orang tuaku yang
juaranya memaki.
Aku,
sebenarnya juga, mendapat kenyamanan ketika dekat dengan nenek dan kakek serta
kedua pamanku yang bernama Wani dan Wady.
Kehadiran
kedua pamanku mampu membuat wajahku berseri-seri. Mereka bagaikan oase di
tengah padang pasir.
Mereka
suka membacakan dongeng untukku. Sayangnya, waktu mereka denganku sangat
terbatas. Paman Wani adalah seorang dosen di salah satu perguruan tinggi di
kota Manado. Dia hanya pulang sekali dalam dua minggu.
Paman
Wady juga sibuk. Dia apalagi. Dia hanya pulang sekali dalam sebulan.
***
Hari-hari
berikutnya, mama dan papa terlihat kadang-kadang insaf kalau aku kekurangan
perhatian.
Mereka
sudah sering memberiku uang.
Dulu
tidak begitu. Tak pernah mereka memberiku uang.
Mereka
biasa menghadiahiku buku-buku cerita. Juga membacakannya.
Aku
tak butuh uang.
Alat
tukar itu tak akan menggantikan kasih sayang dan perhatian mereka.
Aku
heran. Mereka memberiku uang di saat kami sedang mengalami krisis keuangan yang
berat.
***
3
MAKIN
TERPEROSOK
T
|
ak ada perubahan
ke arah baik. Malah makin terperosok.
Satu
tahun terakhir, hubungan papa dan mama tak pernah membaik.
Malahan
semakin jelek.
Kalau
pagi hingga siang mama dan teman-temannya kumpul-kumpul, bergosip dan sesekali,
dalam kehebohan dalam rumah, meneriakkan kata-kata kotor karena bereaksi
terhadap adegan dalam koleksi video porno yang mereka tonton dari ponsel
mereka.
Sore
hingga malam, giliran papa dan teman-temannya yang pesta miras dengan
musik-musik super keras.
Tak
tahan dengan itu aku selalu menjadikan rumah kakek dan nenek sebagai tempat
mencari suaka. Aku dijadikan tumbal demi kebahagiaan semu mereka.
Mama
sangat marah dengan kelakuan ayah dan teman-temannya yang setiap malam
mengotori rumah dengan muntah-muntah mereka saat tengah mabuk.
Papapun
balas mengeluhkan sikap mama yang telah berubah drastik. Tak lagi menunaikan
tugas kesehariannya sebagai seorang ibu dan seorang istri.
Pemenuhan
kebutuhan biologis ayah diabaikan. Mama sering dilabeli papa sebagai seorang
istri yang telah ingkar dengan janji pernikahan. Padahal dengan lantang
mengucapkannya di gereja beberapa tahun yang lalu. Sesuatu yang sakral kini
tidak berarti.
“Brenti
ngana bawa-bawa ngana pe tamang-tamang setang di sini e. Kita so pastiu.”30
Serangan dilancarkan lagi. Sudah bisa diramalkan apa yang bakal jadi
berikutnya.
Tak
tahan dengan itu papapun tak mau kalah.
“Kyapa
ngana e? Pemai deng ngana.” Kali ini serangan balik ayah lebih keras. “Tegor-tegor pakita! Kong ngana?! Bini apa le tu
babajalang deng ABG sampe malam. Laki stenga mati kerja. Ngana asik gaul. So
nda butul ngana no. Ngana pe kira kita nda baca tu sms-sms setang dari
laki-laki dari mana sto ja kirim pa ngana?!”31, mama sedikit
terhenyak dengan reaksi papa.
“Iyo…deri
ngana so ja sangka-sangka nda-nda pa kita, nanti ngana lia. Nanti kita se
butul.”32 balas mama dengan ancaman.
Mama tidak sadar
dengan ucapan itu. Ucapan itu adalah doa yang kalau terkabul akan menjadi
sumber malapetaka. Dia seharusnya sadar bahwa melayani suami adalah tugasnya.
Itulah yang disebut sebagai ibadah.
30. “Berhenti kamu bawa
teman-teman setanmu kesini. Saya sudah jengkel.” (Bahasa Melayu Manado)
31. “Kenapa kamu? Bangsat kamu.
Tegur-tegur saya. Trus kamu?! Istri macam apa kamu, keluyuran dengan ABG hingga
larut malam. Suami stengah mati kerja. Kamu asik gaul. Sudah tidak benar kamu
ini. Kamu kira saya tidak baca sms-sms dari pria setan dikirim sama kamu?” (Bahasa
Melayu Manado)
32. “Oh…karna kamu sudah menuduh aku yang bukan-bukan. Lihat saja
nanti. Nanti aku buat itu menjadi kenyataan.” (Bahasa Melayu Manado)
Kata-kata
tak senonoh sudah membiasa di telingaku. Sungguh tak tahu lagi bagaimana aku
menggambarkan kehancuran keluarga kami.
Serasa
sungguh-sungguh sudah di neraka. Sungguh! Keadaan ini makin menyiksaku. Mereka
sungguh keterlaluan.
Aku
tak lagi dipandang. Aku kini tak ada lagi di mata mereka.
Kenapa
aku harus ada di dunia untuk menyaksikan keruntuhan demi keruntuhan ini?
Mereka
sibuk dengan ego mereka dan mengabaikan aku yang rapuh ini.
Betul-betul
tak berperasaan!
Tak
ada tempat lagi aku mencari pelipur lara bagiku. Kakek nenek sibuk dengan
bisnis mereka. Mereka sedang merencanakan proyek besar. Mereka sedang
mempersiapkan bagaimana menghabiskan masa tua mereka sebelum ke liang kubur.
Terpaksa
aku harus mencari sendiri sumber kenyamanan. Aku harus mandiri.
Aku
harus mencari pelipur lara sendiri. Kalau tidak, lama-lama aku bisa gila dengan
semua kesintingan ini.
Gerald,
ya Gerald. Dialah teman baikku. Bukan hanya teman. Tapi sahabat.
Aku
secara sembunyi-sembunyi bermain dengan Gerald sebelum pulang rumah.
Ini
membuatku sering pulang kesiangan dari sekolah. Bahkan kadang-kadang sore.
Mama
papa tak juga memperdulikannya. Hari demi hari itu aku perbuat. Aku dan Gerald
bermain papa-papaan dan mama-mamaan.
Kami
mendramakan secara impromptu beberapa adegan yang mama dan papa lakoni saban
hari.
Namun,
akhirnya kebiasan pulang sore ketahuan juga oleh papa apa penyebabnya.
Begitu
papa melihatku masih bermain dengan Gerald, papa langsung menyeretku seperti
binatang. Aku dipukulinya terus-menerus sepanjang jalan hingga di rumah. Aku
berteriak minta ampun.
Dia
terus saja menghantamku dengan pukulan-pukulan terbaiknya. Dihempaskannya aku
ke lantai begitu saja kemudian menyuruhku supaya makan. Tak berapa lama dia
sudah pergi keluar rumah dengan sepeda motor. Mama datang saat aku sudah pulih
dari penganiayaan. Saat itu aku tengah bermain sendiri dengan boneka-bonekaku
untuk menghibur diri. Ya…untuk menghibur diriku sendiri.
“So makang
ngana?”33
33. “Kamu sudah makan?”
Belum
sempat ku jawab dia nampaknya cepat tahu karena melihat tingkahku yang berusaha
berkelit.
Tak
bisa lagi aku berbohong.
Ku
lihat mama berjalan mondar-mandir seperti kerasukan. Diambilnya sapu lantai dan
memukuli aku dengan batang kerasnya. Tubuhku yang terkena terasa sangat sakit.
Bukan hanya dagingnya. Rasa sakit menembus tulang. Kemudian jantung. Aku
berteriak-teriak seperti kesetanan. Mama malah semakin beringas. Punggungku
terasa sangat perih karena lecet-lecet dan penuh dengan lebam.
“Kyapa
ngoni?” terdengar suara. Suara itu suara kakek. “Oh kasiang. Ngoni jo re’e tu
mo bunung tu ngoni pe anak sandiri.”34 Kata kakek marah.
Kini
dia berdiri di depan pintu. Kakek mengangkatku perlahan. Aku telah terbujur
lemah. Kehabisan kuat menahan deraan sakit.
Aku
tak berdaya. Tak sanggup mengangkat tangan sebagai tanda menyerah. Tak
sedikitpun terlihat bahwa mama menyesal. Dia kelihatan masih geram. Belum semua
rasa kesalnya dilampiaskan.
Tiga hari aku tak
keluar dari rumah kakek dan nenek. Aku teramat takut melihat kedua monster yang
secara bergantian hampir membunuhku di hari yang sama.
34.
“Kenapa kalian? Oh kasihan.
Kalian, ternyata yang akan membunuh anak kalian sendiri.”
Tubuhku
masih menggigil mengingat keberingasan mereka.
Aku
akui bahwa aku kadang nakal. Namun aku tak pantas dididik dengan cara penuh
kekerasan seperti itu.
Secara
bergantian, suara kedua monster terdengar di luar kamar. Mereka meminta ijin
untuk menengok aku yang hampir saja dimangsa mereka. Berkali-kali aku memang bilang
pada kakek dan nenek bahwa aku takut bila mereka mendekatiku. Apalagi
menyentuhku.
***
Seminggupun
telah berlalu.
Trauma
telah hilang. Kepercayaan kepada orang tua kembali muncul. Aku berpikir pasti mereka
sudah merasa sadar dengan ketelodoran yang telah mereka perbuat padaku.
Kuputuskan
untuk kembali tinggal bersama mama dan papa dan mulai bersekolah lagi.
Aku
telah ketinggalan jauh pelajaran-pelajaran sekolah.
Mama
berusaha membantuku mengatasinya. Disusunlah jadwal belajar tambahan buatku. Aku
memang ingin diajar lagi oleh mama setelah sekian lama belajar sendiri.
Namun,
betapa kecewanya aku karena metode ajar sekarang sudah berubah.
Tak
lagi seperti dulu yang mengerti kelebihan dan kekuranganku, penuh dengan
dukungan juga kemakluman. Itu membuatku sedikit susah untuk belajar.
“Ratu,
ngana ja taru dimana ngana pe ontak? So se ajar, kyapa ngana cuma beking
bagini?”35 kata mama dengan marah.
Tak sempat
kulihat dia masuk kamar, kini dia kembali dengan seikat lidi yang keras.
Pukulan bertubi-tubi mendarat di punggungku.
35.
“Ratu, dimana otak kamu? Sudah diajar, kenapa kamu malah cuma
membuat yang beginian?.”
Aku
histeris. Pukulan demi pukulan melesat tanpa meleset.
Tubuhku
terhempas ke kiri dan ke kanan. Tak ada pengampunan.
Ini adalah lanjutan pelampiasan yang tak
sempat diselesaikannya tempo hari. Aku memekik penuh derita. Kakek tak kunjung
datang membawa keselamatan. Nenekpun tak datang menyerukan kata ‘berhenti!’ Aku
terisak-isak sampai kehabisan suara. Mama kini kehabisan tenaga. Peluhnya yang
besar-besar jatuh ke lantai. Dendamnya tersampaikan. Selanjutnya….
Kami
berdua terdiam. Keheningan. Yang ada hanya keheningan. Aku tertidur. Sore
berlalu. Ganti gelap datang. Udara mendingin. Tiba-tiba terdengar teriakan.
“Yunita,
mana tu John?!! Kuda cuki deng dia. Se kaluar kamari dia. Babi, kaluar ngana
laki-laki. Yunita…mana ngana pe laki? Ta mo teto pa dia!!!”36
Aku terbangun.
Samar-samar terdengar kehebohan. Lama-lama situasi makin mencekam. Walau tubuh
terasa sakit di sekujur tubuh aku tetap nekad mencoba bangkit dan mengintip
dari celah-celah dinding rumah. Di depan telah berkerumunan sejumlah besar
orang. Seorang pria dewasa dengan sebilah pedang terus mengeluarkan sumpah
serapah dan ancaman-ancaman.
36.
“Yunita, dimana John? Kuda kontol! Keluarkan dari situ. Babi!
Keluar kamu laki-laki. Yunita, mana suami kamu? Saya akan cincang dia.”
“Yunita…bilang pa ngana pe laki. Jang berani
kaluar. Brani dia babayang dimuka pakita, ta potong. Sembot!!!!!! Ta bunung.
Brani ngana kaluar, mati ngana!”37
Mama
masih kebingungan. Tak mengerti dengan apa yang sebetulnya terjadi. Dia penasaran
mendengar seorang pria terus mengutuk papa, bahkan mengancam hendak
membunuhnya. Mama beranikan diri keluar dan berdiri di beranda sambil
mengawasi.
“Kyapa
ngana bataria-bataria di muka kita pe rumah, Stevi? Cuki! Kyapa kendo’o yang mo
potong kita pe laki? Lawut deng ngana!”38 mama balik menghamburkan
sumpah serapah ke lelaki yang tengah dirasuki setan di depan rumah kami.
“Pemai…!
Lawut! Ngana pe laki kita dapat riki baku cuki dengan kita pe bini di kamar
mandi. Ta mo teto pa dia!”39 balas lelaki yang telah kerasukan itu.
Beberapa orang
dewasa mencoba menjinakannya namun segala upaya sia-sia.
37.
“Yunita, bilang sama suami kamu. Jangan berani keluar. Berani dia
menunjukkan bayangnya saja, saya tebas.
Sembot!!! (Vagina) saya bunuh. Brani kamu keluar, mati kamu..” (Bahasa
Melayu Manado)
38.
“Kenapa kamu berteriak-teriak di depan rumah saya? Cuki (senggama).
Kenapa kamu mau menebas suami saya? Lawut (vagina) kamu!” (Bahasa Melayu
Manado)
39.
Pemai. Lawut. Suami kamu saya pergoki sedang bersenggama dengan
istri saya di kamar mandi. Saya akan cincang dia!” (Bahasa Melayu Manado)
Dialog
demi dialog yang kudengar membuatku paham apa masalahnya.
Aku
terpukul.
Mama
beranikan diri keluar dan berdiri di beranda sambil mengawasi. Tak tahan
mengetahui papa ternyata seorang ayah amoral. Pukulan batang sapu masih bisa ku
tahan. Tubuhku telah cukup kuat untuk itu.
Tapi
tidak dengan pukulan memalukan ini. Aku tak tahu harus ditaruh dimana mukaku.
Aku takkan mampu menghadapi hari esok dengan cemooh dari teman-teman sekolah.
Apalah
arti mengada di dunia tanpa harga diri dan kosong kasih sayang. Sungguh berat
beban yang harus ku pikul. Keluargaku sangat memalukan…hiks…hiks...hick…
Air
mataku terus mengalir. Perasaan dan pikiran terus berkecamuk.
“Apalah
artinya mengada di dunia, jika harus penuh derita seperti ini. Apalah artinya
orang tua bilang menyiksaku terus-terusan seperti ini. Beban ini terlampau
berat untuk ku tanggung. Terlampau berat untuk ku pikul”.
***
4
TAK
TAHAN LAGI
B
|
esoknya, semua
penuh keheningan. Mama tak tidur sepanjang malam. Dia menangisi nasibnya yang
malang dihianati suami. Dia terus-terusan menyumpahi papa.
Dari
tadi malam tak sedikitpun dia bergeser dari sofa.
Papa
kini tak lagi di kampung. Semalam dia telah dilarikan ke Motoling. Om Obrin,
dengan sepeda motor, meloloskannya dari sabetan parang. Syukur dia lolos dari
maut. Kalau dia masih tinggal mungkin sekarang dia sudah merenggang nyawa.
Hari
semakin terang. Aku tak kunjung keluar dari kamar. Mama tak begitu peduli. Sibuk
menangisi diri sendiri. Dia menyesali semua perbuatannya selama ini. Dia sadar
dia turut memberi sumbangan atas perbuatan suaminya. Dia ingat akan ancamannya
untuk berselingkuh. Sekarang, justru suaminyalah yang terlebih dulu membuatnya
jadi nyata.
Mama
terus sesenggukkan. Kalau saja….
Ah
percuma! Nasi telah membubur.
***
Waktu
terus berjalan. Jam dinding telah menunjukkan pukul 12.07. Ratu belum keluar
kamar.
Yunita
terakhir kali mendengar suara anaknya kemarin sore, saat meraung-raung karena
kesakitan. Saat berteriak-teriak memohon pengampunan. Tapi tak diberi
sedikitpun.
Yunita
ingin berteriak memanggil Ratu. Dia mau marah karena pasti anak itu tak ke
sekolah. Geram mulai diundangnya. Tapi suaranya telah hilang. Dia mengumpulkan semua
tenaga yang tersisa.
Dia
memutuskan untuk masuk dan hendak menyeret Ratu keluar. Dia bahkan telah meraih
batang sapu taki. Dia ingin melampiaskan semua dosa suaminya pada si kecil.
Anak mereka semata wayang. Anak satu-satunya.
Kini
dia telah dekat dengan daun pintu. Begitu pintu dibuka tak ada sosok yang
berbaring di atas tempat tidur…..matanya yang lelah mencoba memindai seluruh
sudut kamar.
Dengan
samar-samar sepasang matanya menangkap sesuatu di atas kepala. Wujud yang tak
pernah dia bayangkan.
Seperti
ada yang melayang. Namun tak bergerak. Perlahan-lahan dia mendongakkan
kepala……….
Tak
pernah terbayang. Tak pernah terpikir apa yang sekarang dilihatnya. Mata Yunita
terbelalak tak percaya dengan apa yang kini dia saksikan. Tak pernah dia menginginkan
ini. Tak pernah sedikitpun.
Puterinya
yang cantik jelita tergantung kaku. Lidah menjulur keluar…… memandang kosong.
Sungguh kasihan!
Tubuh
Yunita berguncang hebat. Dia meronta-ronta dalam diam. Berusaha berteriak
sekuat tenaga. Namun tak keluar suara.
Air
mata-mata bercucuran. Mengalir deras. Sedikit berubah warna.
Kini
semua sudah terlambat… Upaya apapun tak akan berfaedah. Sang semata wayang kini
tinggal nama.
Didekapnya
kaki anaknya yang dingin membeku.
Dia
menangis keras dalam kebisuan. Tapi semua itu tak lagi ada maknanya.
Sehelai
kertas tergeletak di atas lantai. Dia tahu itu tulisan tangan anaknya. Dialah
yang mengajar anaknya sehingga bisa menghasilkan goresan-goresan huruf indah di
atas kertas itu. Tulisan yang pernah mengantarkan anaknya menjadi juara menulis
indah sekabupaten……. Dia ingat anaknya berlari kencang ke pelukannya saat
setelah menerima piala dan piagam penghargaan.
Tondei, 20 Desember 2010
Buat mama dan papa,
(Dua Orang Yang Paling Ku Sayang)
Sungguh indah kenangan yang kita lalui bersama
sepanjang separuh dari sepuluh tahun yang telah berlalu.
Aku adalah anak yang paling bahagia di dunia saat
itu. Banyak teman-temanku irih karena aku dilimpahi dengan kasih sayang dan
kehangatan serta perlakuan-perlakuan kalian yang penuh dengan kelembutan.
Namun, ambisi kalian merenggut semua perhatian
yang seharusnya membahagiakan kita. Keegoisan kalian telah merampas kemesraan
di antara kita. Apalah artinya hidup jika kehilangan senyuman seorang ibu? Apalah
artinya berada di dunia tanpa belaian seorang ayah?
Berbahagialah orang yang tak pernah dilahirkan.
Lebih baik tak pernah dilahirkan, daripada berada dalam dunia sambil
menyaksikan segala ketidakadilan ini.
Anakmu
yang nakal,
Ratu Langkay
Nb: aku janji saat kita bertemu di surga nanti, kelakuanku sudah
berubah.
Rasa
penasaran kakek dan nenek membawa mereka melihat kebisuan di rumah anak dan
cucu mereka.
“Tak
biasanya sesunyi itu”.
Rasa
rindu kakek dan nenek untuk bersenda gurau dengan cucu mereka mendorong mereka melangkah
memasuki rumah itu.
Betapa
terkejutnya mereka menyaksikan cucu mereka telah terbaring tanpa nyawa. Tali
pencabut nyawa masih menggantung. Tak ada yang perlu dijelaskan lagi.
Semua
begitu terang benderang.
Sang
nenek berkali-kali jatuh pingsan tak kuasa melihat sang cucu yang tak berkata
setitikpun.
Padahal
kemarin dia masih dengan lincahnya berlari kian kemari mengejar ayam-ayam kecil
untuk menangkapinya. Cucunya berkali-kali didapati mereka berbicara dengan
anak-anak ayam itu.
Tahulah
sang nenek bahwa anak ayam itu lebih dipercaya sang cucu untuk mencurahkan isi
hati, ketimbang kedua orang tuanya.
***
5
AFTERMATH
H
|
ari itu juga
pemerintah memerintahkan supaya segara mempersiapkan penguburan. Wani dan Wady
berupaya protes tentang pemakaman yang mau dipercepat itu. Sang hukum tua
bersikeras bahwa dia hanya menjalankan peraturan desa.
Telah
ditetapkan bahwa bunuh diri adalah tindakan yang bertentangan dengan
nilai-nilai kekristenan dan adat desa. Jadi, tak ada upacara. Tak ada penghormatan
jenasah.
“Bapak
Hukum Tua, kami mohon supaya penguburan ditunda hingga besok. Bapak kan tahu
ini peristiwa mendadak. Kami masih tunggu keluarga dari jauh. Satu hari saja.
Tidak lebih,” Wani meminta dengan sedikit memohon.
“Begini,
aturan adalah aturan. Aturan sudah dibuat. Dan itu untuk kebaikan kita bersama.
Kita harus menghormatinya. Kalau aturan ini dilonggarkan itu sama saja dengan
bersikap permisif terhadap perilaku bunuh diri,” kata hukum tua dengan bahasa
Indonesa yang dibuat-buat sehingga terdengar ilmiah.
“Bukankah
sangat tidak bijak apabila aturan itu diberlakukan pada anak yang sebetulnya
tak mengerti dengan apa itu bunuh diri? Kenapa kalian tak memberi pengampunan.
Saya yakin Tuhan adalah pengampun. Dia pasti akan mengampuni anak kami.
Lagipula, sebetulnya dia tidak bunuh diri. Dia dibunuh oleh ketertekanan dan
ketidakadilan. Dia adalah mangsa iblis. Dia adalah korban. Kenapa dia yang
harus dihukum?”
Tampaknya
selogis apapun argumen Wani tak akan mengubah pendirian Hukum Tua. Padahal, pada
kasus waktu lalu, waktu adik dari sekdes melakukan bunuh diri, peraturan ini
didiamkan saja. Begitulah nasib orang kecil. Hukum seharusnya buta. Tak melihat
orangnya. Yang bersalah dialah yang dihukum.
Ayah
Ratu tak datang saat anaknya dikubur. Rasa bersalah bertubi-tubi menusuk
jiwanya. Berkali-kali dia ingin mengakhiri hidupnya agar bisa menyusul anaknya.
Tapi dia mengurungnya. Dia sadar bahwa itu tak akan membuat keadaan menjadi
lebih baik.
Banyak
saudara jauhpun tak sempat datang untuk melayat.
***
6
BACK
TO THE BEGINNING
B
|
eberapa tahun
kemudian, ayah dan ibu Ratu bertemu dan memutuskan untuk memulai kembali dari
awal. Pengalaman buruk telah memberikan mereka pelajaran yang sangat bernilai. Meskipun
anak satu-satunya telah menjadi tumbal. Benarlah suatu ungkapan lama yang
mengatakan “Setiap peristiwa memiliki makna”.
Masalah
lalu biarlah berlalu. Mereka telah belajar tentang nilai-nilai kehidupan
sejati. Pernikahan ulang dilakukan. Hal ini harus karena kedua orang tua Ratu
sempat bercerai beberapa bulan setelah dia meninggal. Pada umur perkawinan
kedua tahun mereka dikaruniakan seorang putri yang cantik. Sangat mirip dengan
Ratu. Merekapun menamakan anak itu Ratu. Ratu Langkay. Sungguh suatu keajaiban.
Seorang insan mengalami dua kali kelahiran. Dan mungkin dua kali kematian.
Selesai
Waw..
BalasHapusIde cerita keren y..nice idea kak..