jaKekuasaan
Gereja
Oleh Iswan Sual, S.S
Pimpinan dan jemaat gereja di Jakarta berunjuk rasa di depan
kantor agama dan gubernur serta di DPR DKI Jakarta kemarin. Mereka meminta
perlindungan pemerintah. Menjamin hak-hak mereka untuk beribadah. Pada hari
jumat hingga hari minggu beberapa gereja diserang massa yang terang-terang
sudah dikenal. Organisasi itu sudah akan akan merayakan dies natalis
organisasinya ke 12 tahun ini. Sudah banyak tempat ibadah yang mereka
porak-porandakan. Tak hanya gereja yang diserang. Mesjid juga. Jemaah
Muhammadiah juga dibunuhi oleh mereka. Pemerintah tak berbuat hal nyata untuk
menjamin hak-hak warganya untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Paling
banter hanya memberikan pernyataan “mengutuk” tak terkesan membiarkan. Padahal
organisasi itu sudah jelas-jelas meresahkan dan justru pernah mengeluarkan
ancaman untuk menurunkan presiden dari tampuk kekuasaannya. Sebegitukah pengecutnya pemerintah kita
sehingga mereka terus memelihara ular dalam rumahnya. Yang terancam tak
diperdulikan.
Di Koran juga kubaca pimpinan-pimpinan agama di daerah kami
mempublikasikan pernyataan mereka. Semuanya bernada sama: mengutuk tindakan
penyerangan terhadap gereja itu. Mereka juga menghendaki agar pemerintah
memberikan balasan setimpal kepada para pelakunya. Padahal orang-orang yang
diserang itu tak berniat sedikit mengutuki dan membalas mereka. Mereka hanya
meminta pemerintah agar mereka diberikan kenyamanan dan ketentraman sebagai
warga negara. Para pemimpin agama di daerahku bahkan berlebihan dengan
penunjukkan rasa simpati mereka. Rasa simpati yang sebenarnya dibungkus oleh
keinginan untuk tampil sebagai pahlawan. Berharap agar masyarakat bahkan dunia
melihat bahwa mereka peduli dan menginginkan agar kemajemukan harus senantiasa
dijaga. Mereka meneriakkan penjaminan hak-hak setiap orang beribadah dan
berkeyakinan. Mereka menyumpahi para Islam garis keras yang memboikot
rumah-rumah ibadah yang hendak dibangun. Tanpa tahu duduk persoalannya.
***
Seperti biasa, setiap hari minggu saya ke gereja. Demikian
juga hari ini. Batin saya yang sumpek di enam hari boleh terasa sejuk setiap
kali saya melangkahkan kaki rumah Tuhan. Alunan musik yang ciptakan pada abad
13 dimainkan begitu sempurna. Seketika itu kurasakan suasana surga
melingkupiku. Senyum dan tawa mengembang pada semua orang berdatangan. Kami
saling berjabat tangan. Begitu sejuk suasana terasa.
“Pertolongan kepada kita adalah dalam nama Tuhan, yang
menjadikan langit dan bumi, yang tetap setia untuk selama-lamanya dan tidak
meninggalkan perbuatan tangaNya. Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah,
Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai saudara-saudara,” ucapan
khadim di atas mimbar menambah kesejukkan dalam batinku. Bagaikan titik embun
pagi hari. Seumpama pohon-pohon perteduhan di saat mentari menyengat sepanjang
hari.
“Amin,” balas kami.
Bila suasana ini mampu membuat batinku tenang aku rela
tinggal lama dalam gedung ini. Akan kujual seluruh hartaku untuk para pendeta
dan pelayan Tuhan. Akan kubaktikan hidup ini untuk gereja. “Saudara-saudara
sekalian, mari kita persiapan hati kita untuk mendengarkan suara Tuhan…” ini
yang paling kutunggu. Disinilah pesan-pesan indah tentang kedamaian
diungkapkan. Di waktu inilah Tuhan menjelma membagikan percikan-percikan
keadaan surgawi. Seperti mana surgawi dilimpahkan kepada bangsa Israel kita
mereka ditempah di gurun dalam
perjalanan ke tanah Kanaan.
“Kita sebagai cepat harus saling memperhatikan. Saling
mengunjungi di saat sakit, saling mengingatkan bila ada yang mulai menyimpang
dari jalan Tuhan. Didiklah anak-anak kita agar menjadi taat pada agama dan
gereja. Didiklah mereka agar selalu dekat dengan Tuhan…Mari taburkan damai ke
sekeliling kita……tapi kita juga seharusnya waspada. Jangan, besok-besok
anak-anak kita dulu bernama Maria lalu menjadi Siti Mariam, Yohanes menjadi Ibrahim,
Sarah menjadi Siti Hajar, Ishak menjadi Ismail, Imanuel lalu berubah menjadi
Muhammad. Jangan! Jangan saudara sekalian. Jangan berikan kesempatan. Awalnya
mereka datang dengan senyum, ada yang
pura-pura jual bakso, mie ayam, jamu, sayur, tahu. Kemudian lama kelamaan
mereka akan membeli rumah di kampung kita. Mereka akan tinggal. Seiring waktu
mereka mengundang keluarga mereka dari Jawa sehingga mereka dapat mendirikan
mesjid.”
Aku terhenyak dengan khotbah pendeta. Awalya dia berbicara
tentang kedamaian. Selanjutnya dia menaruh rasa curiga pada jemaat agar
mewaspadai orang yang datang. Dia juga menyebutkan cara-cara penyebaran agama
Islam yang bakal terjadi di kampung kami. Bukankah begitu juga cara Riedel dan
swharz sewaktu mereka membawa agama Kristen ke tanah Minahasa?
Dia menyebutkan deretan nama seperti Siti Mariam, Ibrahim,
Siti Hajar, Ismail dan Muhammad seolah-olah mereka adalah sosok yang menebarkan
permusuhan ke dunia. Seolah-olah mereka adalah orang jahat yang juga dibenci
oleh Tuhan. Siti Mariam, bukankah dia itu nama dari ibu Isa (Yesus) dalam
bahasa Arab? Ibrahim apalagi. Bukankah itu nama Arab dari bapa semua orang
beriman, Abraham. Hajar dan Ismail bukankah Allah memberkati mereka juga.
Muhammad, bukankah dia mengajarkan kepada pengikutnya agar tak memusuhi orang
Kristen? Bukankah dia sangat menghormati orang Kristen karena pamannya (beragama
Kristen) juga yang menikahkan dia dengan istrinya?
Kenapa tega-teganya pemuka agama mengajarkan umatnya untuk
membenci umat lain. Para pemuka menampakkan kerukunan dalam lembaga tetapi
ketika mereka pulang ke asal mereka masing-masing, mereka menebarkan benih
permusuhan. Pantas saja kita terus berkelahi.
Saat ibadah selesai aku pulang tanpa menyalami sang
pengkhotbah. Senyumku hilang seiring benih-benih perpecahan ditabur di dalam
gereja.
***
“Selamat sore,” terdengar suara dan ketukan pada pintu. Dari
balik jendela aku melihat tiga sampai lima orang. Aku kenal mereka. Setiap hari
minggu aku selalu melihat mereka, dengan stola putih berbordir ∆ dan Ω, duduk wibawa
rohani yang ternyata dibuat-buat. Kulihat sang pengkhotbah juga berdiri di
depan pintu.
“Selamat sore,” sahutku setelah membuka pintu, “Ada ya?”
“Begini, kamu hendak bertemu dengan bapak.”
“Bapak? Oh ada. Dia di belakang sedang memberi makan bebek
dan ayam. Aku panggil ya…”
“Kami datang untuk bertemu anda,” kata bapa yang sudah
beruban, memotong pembicaraanku.
“Maksud bapak, mau ketemu saya? Oh silahkan duduk.”
Lima orang ini tampak enggan untuk berbicara. Senyuman mereka
terkesan hanya dibuat-buat. Tak berapa lama ayah dan ibu muncul dan langsung
menyalami pendeta dan rekan-rekannya. Ayah dan tampak respek sekali pada
pendeta. Bahkan kelihatan malu bercampur takut. Seperti Adam dan Hawa yang malu
setelah ketahuan oleh Tuhan karena telah menelan “buah pengetahuan buruk dan
baik” yang disuguhkan oleh si ular.
Setelah didahului doa yang panjang,
sang pendeta mulai bertutur:
“Kedatangan kami kesini untuk melihat jangan-jangan saudara
sedang sakit. Soalnya sudah dua bulan tidak pernah kami lihat di gereja.
Biasanya bapak yang paling rajin.”
Oh ternyata ini toh maksud kedatangan mereka. Bukan yang
sakit. Sebenarnya merekalah yang sakit. Mereka seharusnya mengunjungi dan
mengembalakan jiwa mereka yang digerogoti oleh rupa-rupa penyakit, terutama
penyakit curiga dan antikris. Kalau mereka tidak menjalankan anjuran dan ajaran
Kristus, tak keliru kalau aku menyegel mereka sebagai antikris.
“Memang sudah lama saya mau bicara dengan bapak dan ibu
sekalian. Sudah lama saya aktif dalam gereja. Sudah lama juga saya mempelajari
gereja dan agama. Dan inilah saatnya saya mau bicara, kebutulan bapak dan ibu
sekalian adalah wakil gereja. Sebetulnya saya telah memutuskan membacakan surat
pernyataan saya di gereja, namun mungkin itu tak akan baik akibat yang akan
ditimbulkannya. Tapi, mumpung bapak dan ibu sekalian sudah datang, saya akan
mengatakannya sekarang.”
Terlukis keheranan pada raut wajah setiap orang yang datang
itu. Namun, aku tak tahu pasti bilakah mereka sudah mengerti isi hatiku. Ku
lihat pendeta menelan ludah. Seorang wanita memperbaiki duduknya. Seorang bapak
mengatupkan mulut dengan kencang. Yang lainnya menata lantai.
“Katakan saja pak. Kami siap menerima keluhan dari jemaat.
Sudah tugas kami sebagai penatua dan syamas, pelayanan khusus, untuk mendengar
suara jemaatnya. Itulah yang diajarkan Kristus,” kata pendeta memecah
keheningan.
“Saya sudah memutuskan untuk tidak akan bergereja lagi,”
mendadak semua kepala pendengar terangkat, mencari kepastian yang barusan
mereka dengar, “Saya bahkan sudah tak ingin beragama lagi. Buat saya agama
hanyalah jembatan untuk dekat dengan sang pencipta. Gereja sekarang kini adalah
jembatan yang rapuh. Dan, menurutku, agama bukanlah satu-satunya jembatan untuk
dekat dengan Tuhan. Sudah puluhan tahun saya bergereja. Sudah puluhan saya
mempelajari sejarah gereja. Yang kutemukan hanya kegagalan gereja. Kalaupun ada
keberhasilanya, hal itu pun bisa dilakukan tanpa harus bergereja. Lagipula,
Yesus datang kedunia tidak membawa agama. Dia membawa damai. Bukan menganjurkan
membentuk organisasi besar dunia yang berkuasa dan mengatur untuk kepengatan
golongan penguasa. Pimpinan gereja mengira bahwa mendirikan organisasi gereja yang
besar sama dengan membangun kerajaan Allah. Pemuka agama kita telah salah
memaknai kerajaan Allah yang Yesus pernah ucapkan. Gereja bukanlah kekuasaan,
melainkan pelayanan. Pelayanan adalah pelayanan. Bukan kekuasaan. Karena
kekuasaan adalah kekuasaan.”
- ∆ dan Ω berarti alfa dan omega. Simbol itu melambangkan Yesus Kristus sang
pembawa damai.
- Penulis adalah guru bahasa Inggris di SMP
Kristen Tondei. Juga sebagai dosen di Universitas Kristen Indonesia di Sulawesi
Utara.