[Sebuah cerpen]
Oleh Iswan Sual
Kesialan atau
bila diperhalus, ketidakberuntungan. Ah! Kenapa pula berusaha memperhalusnya. Segala
upaya penghalusan kata takkan akan mengubah suatu keadaaan itu. Orang Indonesia
memang pintar menyembunyikan keadaan dengan menggunakan istilah pengganti manis.
Kami memang telah diajar oleh para pejabat bejat dalam hal penciptaan kamuflase
demi menutupi kebusukan. Kesialan dan ketidakberuntungan adalah tetap hal yang
sama dan tak ada beda. Layaknya buang air besar dan berak. Bodoh dan tidak
terpelajar. Pencuri uang rakyat dan koruptor. Pembunuh dan pencabut nyawa.
Tunasusila dan pelacur. Orang yang tak punya rumah dan tunawisma.
***
Saat
matahari baru saja menampakkan diri, Tambun keluar dari rumah dengan sepeda
motornya. Helem putih dan jaket hitam turut melekat di tubuh. Sesuai rencana,
hari ini Tambun hendak mengecek informasi dan mengambil tanda peserta Ujian
Kompetensi Guru (UKG) di kantor Dinas Pendidikan. UKG adalah
suatu langkah bijak yang diambil oleh pemerintah dalam rangka mengukur
kecakapan dan kemampuan guru. Mendorong para guru agar senantiasa membekali
diri sehingga ada peningkatan mutu pendidikan. Bila benar-benar memiliki
kemampuan memadai maka seorang guru bisa dikelompokkan sebagai guru profesional
dan layak diberikan tunjangan atau insentif. Sekali lagi, itu adalah upaya yang
bagus dan bijak. Hanya saja banyak pihak yang berusaha menggunakan kesempatan
dalam kesempitan. Di kala para guru tengah berburu sumber pendapatan karena
kian beratnnya hidup, ada orang lain yang berupaya pula mengeruk keuntungan
dengan alasan yang sama. Hal semacam ini menimpa Tambun juga tadi. Setelah
kartu peserta, yang terbuat dari kertas putih tipis dengan ukuran sejengkal (mirip
selembar kertas kwitansi) ditemukan dari tumpukan yang tak tersusun baik, secara
blak-blakan dua pegawai memberitahu bahwa Tambun harus memberikan “uang
administrasi”. Istilah pungutan liar ini pula telah diperhalus menjadi “uang
administrasi”. Mereka tahu bahwa pasti para guru membayarnya. Sebab mereka tahu
bahwa nasib guru banyak terletak di kantor itu. Kantor Dinas Pendidikan. Padahal
seharusnya semakin keatas tingkatan kantornya maka semakin terdidiklah para
pegawainya. Tapi, ternyata kantor pendidikan di tingkat kabupaten itu justru menjadi
tempat bertumbuh suburnya tindakan koruptif dan tindakan pemerasan terselubung.
Gawat!
“Wah ternyata
bapa’ pe jadwal tes: ini hari. Jam delapan sampe jam seblas,” kata pegawai
berseragam putih hitam itu.
Tambun kaget
mendengar keterangan itu. Jam tangannya sudah menunjukan pukul 10.20.
“Mar masi
bole sto. Bapa’ langsung jo ke SMA Aquino kong setunjuk tu kartu peserta ujian.
Mudamudahan masi bole,” suara mereka berubah menjadi lebih lembut tatkala uang
Rp. 10.000 sudah dikeluarkan. Awalnya mereka kurang bersahabat.
Tanpa
banyak basa basi lagi Tambun melompat ke punggung sepeda motor dan meluncur
dengan kecepatan tinggi. Motornya beberapa kali menyalib kendaraan. Dalam
hatinya terucap harap dan doa supaya masih ada waktu dan diperbolehkan
mengikuti ujiannya. Saat jalanan macet Tambun dengan kurangajar membawa sepeda
motornya melalui trotoar yang adalah hak pejalan kaki.
“Woi! Cuki
le ngana! Nda ada ontak!” teriak salah seorang pejalan kaki karena terserempet
sepeda motor Tambun. Tambun tak sedikit pun memperdulikan makian itu. Lagipula
dia mengetahui kesalahannya.
Tambun
turun dari sepeda motornya dengan tubuh telah berlumuran keringat. Tak terlihat
ada orang duduk atau sedang menunggu di depan gedung. Kursi dan bangku semuanya
kosong. Sudah bisa ditebak apa artinya itu. Usaha Tambun sia-sia.
“Ada perlu
apa? Mo iko ujian kompetensi? Ka atas jo. Lantai tiga,” kata seorang wanita
yang ternyata adalah seorang penjaga toko sekolah.
Saat Tambun
tiba di lantai yang dimaksud semua orang nampak sibuk di depan layar komputer. Tambun
langsung menuju ke meja panitia pelaksana dan meminta diijinkan mengikuti
ujian. Mereka tak keberatan. Hanya sedikit menyengir. Dan tentu itu bukanlah
masalah besar. Teratasi tanpa upaya yang besar.
Dua jam
kemudian 80 soal terjawab sudah. Tambun pun langsung ke sebuah ATM untuk
mengambil Rp. 100.000 sebagai jaga-jaga saja dalam perjalanan pulang. Tambun
pikir dia perlu membawa uang lebih bila berkendara dengan sepeda motor.
Bisa-bisa hal yang tak diinginkan terjadi di tengah perjalanan. Ban kempis,
rantai putus atau ada suku cadang kendaraan yang tiba-tiba minta diganti. Yang
bisa disebut uang yang akan kutarik dari mesin teller otomatis itu sebaga uang antisipasi.
Barangkali
karena tak fokus, tanpa sengaja Tambun salah tekan tombol. Uang Rp. 500.000 pun
keluar. Ah biar saja. Tambun berikhtiar memberikan Rp. 200.000 ke adiknya
sebagai biaya penyusunan skripsinya. Dan lainnya akan Tambun berikan kepada ayah
atau ibunya sebagai tambahan biaya rumah tangga. Sepertinya mereka memang
sangat memerlukan uang saat ini. Harga kopra telah anjlok. Sudah dua kali empat
bulan kelapa mereka tidak dipanen. Semua yang sudah jatuh ke tanah kini telah
berakar dan berdaun. Mengingatkannya pada simbol Pramuka. Gantinya ayah dan ibu
Tambun tiap hari pergi memanen cengkeh yang buahnya tak seberapa. Tapi harganya
lumayan.
Dari mesin
uang itu Tambun mampir sebentar di sebuah warung internet. Hanya sekedar
mengecek email. Siapa tahu ada pesan dari teman Perancisnya, Pierre. Kabar
terakhir yang dia terima Pierre baru saja mengalami kecelakaan ketika berlibur
dengan anaknya di Yunani. Kaki yang pernah patah tulang, patah lagi. Karena
panik sudah infeksi berat, suatu malam dia berencana bunuh diri. Dia yang sudah
tua tak ingin menderita dan menjadi beban orang lagi. Tambun sangat kasihan
dengan orang tua itu. Seorang lelaki kurus tinggi dan tak memiliki siapa-siapa
lagi. Rasa iba kepadanya persis rasa iba kepada ayahnya sendiri.
Rasa lapar
menghentikan aktifitas Tambun di warung internet itu. Di restoran Cina dia lalu
mengisi perutnya. Tak lama kemudian dia meluncur cepat ke kampung halamannya.
Setengah jam menyusuri jalanan yang nyaris sempurna nyaman. Namun setengah jam
kemudian adalah jalanan yang penuh batu timbul. Seperti sungai yang telah dilanda
kekeringan berkepanjangan. Jalanan menanjak dan berbatu membuat tubuh Tambun
terguncang dan terpantul di atas sadel motor. Beberapa kali Tambun hampir
terpisah dari kendaraannya. Tak disadarinya dompet yang berisi uang, kartu
kredit, kartu ATM, KTP, uang, dan lainnya telah melompat keluar dari celananya.
Menjelang di ujung kampung dia pun menyadari ketiadaan dompet coklat
panjangnya. Jalanan yang minta ampun rusaknya kembali dilaluinya untuk mencari
barangnya yang sangat berharga. Dia berusaha memindai sepanjang jalanan hingga
desa Ongkau. Tapi dia tak menemukan yang dicari.
Hati Tambun
bagai disayat sembilu. Tak tahu kepada siapa harus mengadu. Mulut Tambun
komat-kamit mengucapkan doa. Berharap Tuhan membantu menemukan dompetya. Tapi
tak terjadi apa-apa. Tambun mulai mengejek Tuhan yang tak dapat mengabulkan
permintaan kecilnya. Dan itu pun tak membuat Tuhan menjawab permintaannya.
Tambun berhenti mencari. Dia memandangi langit yang telah berubah menjadi
kelabu. Padahal belum sejam yang lalu langit begitu terang benderang dan elok
dengan warna biru yang mendominasi. Dia pun berpikir bahwa untuk menghilangkan
rasa kehilangan, tak lain dan tak bukan adalah dengan berpikir bahwa cepat atau
lambat semua di dunia ini akan hilang dan pergi dari kita. Anggap saja itu tak
pernah kita miliki maka rasa kehilangan taklah muncul dan takkan ada. Karena pada
dasarnya sumber penderitaan manusia adalah kemelekatan pada sesuatu.
Motor
dihidupkannya lagi. Perlahan Tambun menyusuri jalanan yang berlubang di
sana-sini. Ada binar terpancar dari kedua kedua bola matanya. Ada senyum terukir
di sudut bibirnya. Dia bangga karena telah memiliki kekuatan untuk lepas dari
kemelekatan. Dia baru saja memperoleh pencerahan. “Pergilah dompetku beserta
isinya. Aku telah merelakan dirimu meninggalkanku. Semoga kau ditemukan tangan
yang benar-benar membutuhkan.”
Tondei Satu, 4 Juni 2013